Sunday, 23 September 2018


Pertanyaan 29 : Tentang Pribadi-pribadi Ilahi


Setelah mempremiskan apa yang tampaknya merupakan perhatian yang penting mengenai prosesi dan hubungan, kini kita harus mendekati subyek tentang pribadi-pribadi.
Pertama, kita akan mempertimbangkan pribadi-pribadi secara absolut, dan kemudian membandingkannya dalam hubungannya satu sama lain. Kita harus pertama mempertimbangkan pribadi-pribadi secara absolut secara umum, dan kemudian satu persatu [dari pribadi-pribadi tersebut].
Pertimbangan umum tentang pribadi-pribadi Ilahi tampaknya melibatkan empat poin : (1) Pemahaman akan istilah “pribadi”; (2) jumlah dari pribadi-pribadi; (3) apa yang terlibat sehubungan dengan jumlah pribadi-pribadi, atau yang dioposisikan darinya, seperti perbedaan, kesamaan, dan sejenisnya; (4) apa yang kita pahami tentang pribadi-pribadi tersebut.
Terdapat empat subyek bahasan dalam poin pertama :
(1)   Definisi “pribadi”;
(2)   Perbandingan pribadi terhadap esensi, subsistensi, dan hypostasis;
(3)   Apakah istilah “pribadi” dapat digunakan untuk Allah?
(4)   Istilah [pribadi] tersebut menunjukkan apa dalam Allah?


Artikel 1 : Definisi pribadi.

Keberatan 1 : Tampaknya definisi pribadi yang diberikan oleh Boethius (De Duab. Nat.) tidaklah mencukupi – yaitu : “suatu pribadi adalah suatu substansi individu dari suatu natur rasional.” Karena tidak ada bentuk tunggal (singular) yang dapat memenuhi definisi tersebut. Tetapi “pribadi” menunjukkan suatu bentuk tunggal. Maka pribadi tidak didefinisikan dengan tepat.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, substansi sebagaimana ditempatkan di atas dalam definisi tentang pribadi, adalah dapat diartikan entah sebagai substansi pertama atau sebagai substansi kedua. Jika diartikan sebagai substansi pertama, istilah “individu” tidak ada artinya, karena substansi pertama adalah substansi individu. Jika istilah “substansi” diartikan sebagai substansi kedua, istilah “individu” adalah salah, karena terdapat kontradiksi istilah, karena substansi kedua adalah “kategori” (genera [btk jamak dari genus]) ataupun “spesies”. Maka definisi tersebut adalah keliru.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu istilah yang menjelaskan suatu maksud (suatu istilah intensional) seharusnya tidak dimasukkan dalam suatu definisi tentang suatu hal, sehingga untuk mendefinisikan manusia dengan “suatu spesies dari hewan” tidaklah tepat, karena “manusia” adalah nama dari suatu benda, sedangkan “species” adalah suatu nama dari suatu maksud (intention). Maka, karena “pribadi” adalah nama dari suatu hal (karena “pribadi” menunjukkan suatu substansi dari suatu natur rasional), kata “individu” yang juga merupakan suatu nama yang menjelaskan tujuan tidaklah tepat digunakan dalam suatu definisi.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, “Natur adalah prinsipal dari pergerakan dan perhentian, dan dalam hal-hal tersebut natur bersifat esensial, bukan bersifat aksidental (atribut nonesensial),” sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles (Phys. ii). Tetapi pribadi ada dalam sesuatu dengan tak tergerakkan (immovable), sebagaimana dalam Allah dan dalam malaikat. Maka istilah “natur” tidak boleh digunakan dalam definisi tentang pribadi, tetapi lebih baik digunakan istilah “esensi”.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, jiwa adalah suatu substansi individu dari suatu natur rasional, tetapi jiwa bukanlah pribadi. Maka pribadi tidak tepat jika didefinisikan seperti di atas [pada keberatan 1].

Aku menjawab, Meskipun hal umum dan khusus ada dalam tiap kategori (genus), namun, dalam suatu cara khusus tertentu, individu adalah milik dari genus substansi. Karena substansi adalah terindividu oleh dirinya sendiri, seperti accident adalah terindividu oleh subyeknya, yang adalah substansi; karena warna putih tertentu ini disebut “ini” (tambahan penerjemah : St. Thomas sering menggunakan “whiteness” untuk menunjuk pada sifat dasar benda), karena warna putih itu ada dalam subyek tertentu ini. Dan maka masuk akal bahwa individu dari genus substansi harus mempunyai nama khusus bagi dirinya sendiri, yaitu “hypostases”, atau substansi pertama.
Lebih lanjut, dalam cara yang lebih khusus dan sempurna, kekhususan dan keindividuan ditemukan dalam substansi rasional, yang memiliki dominasi atas tindakan mereka sendiri, dan bukan hanya dibuat bertindak, seperti substansi lainnya, tetapi yang dapat bertindak sendiri, karena tindakan adalah milik dari suatu bentuk tunggal (singular). Demikian juga individu dari natur rasional memiliki suatu nama khusus bahkan diantara substansi lainnya, dan ini dinamakan “pribadi”.
Jadi istilah “substansi individu” ditempatkan dalam definisi tentang pribadi, sebagaimana menandakan suatu bentuk tunggal dalam kategori (genus) suatu substansi, dan istilah “natur rasional (rational nature)” ditambahkan, untuk menunjukkan suatu bentuk tunggal dalam substansi rasional.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun suatu bentuk tunggal ini atau itu tidak dapat didefinisikan, tetapi apa yang merupakan gagasan umum tentang suatu bentuk tunggal tersebut dapat didefinisikan, dan demikian juga sang Philosopher (De Praedic., cap. De substantia) memberikan definisi mengenai substansi awal (first substance), dan dengan cara inilah Boethius mendefinisikan pribadi.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Dalam beberapa opini, istilah “substansi” dalam definisi tentang pribadi berdiri untuk first substance, yang adalah hypostasis, maka istilah “individual” tidaklah digunakan secara berlebihan, karena dalam nama hypostasis atau first substance, gagasan menyeluruh dan perbagian sudah termasuk di dalamnya. Tetapi ketika “individual” digunakan, gagasan tentang kemungkinan-untuk-dianggap-lain (assumptibility) dikeluarkan dari “pribadi”, karena natur manusia pada Kristus bukanlah suatu pribadi, karena “pribadi” diasumsikan pada sesuatu yang lebih besar, yaitu pada sang Sabda Allah. Bagaimanapun, lebih baik untuk mengatakan bahwa “substansi” di sini diambil dalam artian umum, yang terbagi dalam substansi pertama dan kedua (first and second substance) dan ketika “individual” digunakan, penggunaannya terbatas hanya untuk first substance.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Perbedaan substansial yang tidak kita ketahui, atau paling tidak tidak ternamai oleh kita, kadang perlu untuk menggunakan perbedaan aksidental pada tempat substansial. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan bahwa api adalah suatu badan yang sederhana, panas dan kering, karena accident yang tepat adalah efek dari bentuk-bentuk substansial, dan membuat bentuk-bentuk itu terkenali. Demikian juga, istilah-istilah yang menyatakan suatu maksud dapat digunakan dalam menjelaskan kenyataan-kenyataan jika digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang belum ternamai. Maka istilah “individual” ditempatkan dalam definisi tentang pribadi untuk menunjukkan cara-berada (mode of subsistence) yang menjadi milik substansi tertentu.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Menurut Philosopher (Metaph. V, 5), kata “natur” pertama kali digunakan untuk menunjukkan pemunculan (generation) makhluk hidup, yang disebut kelahiran (nativity). Dan karena jenis generation ini datang dari suatu intrinsic principle (prinsipal dari dalam dirinya sendiri), istilah “natur” ini dikembangkan untuk menunjukkan suatu intrinsic principle dari segala jenis gerakan. Dalam artian ini Philosopher mendefinisikan “natur” (Phys. ii, 3). Dan karena principle jenis ini adalah formal sekaligus material, masing-masing materi dan forma secara umum disebut natur. Dan karena esensi dari segala hal dijadikan lengkap oleh forma, maka esensi dari segala hal, yang ditunjukkan melalui definisi, secara umum disebut natur. Dan di sini natur diletakkan pada artian itu. Sebab itu Boethius berkata (De Duab. Nat.) bahwa, “natur adalah suatu perbedaan khusus yang memberikan bentuknya pada masing-masing hal,” karena suatu perbedaan khusus menjadikan lengkap suatu definisi, dan perbedaan itu didapat dari suatu forma khusus dari suatu hal. Maka dalam definisi tentang “pribadi”, yang berarti suatu bentuk tunggal dalam genus (kategori) tertentu, adalah lebih tepat jika digunakan istilah “natur” daripada “esensi”, karena “esensi” diletakkan pada suatu keberadaan, yang adalah lebih umum.

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Jiwa adalah bagian dari human species, maka, meskipun jiwa dapat eksis dalam suatu kondisi terpisah, karena jiwa tetap memiliki natur menyatunya (nature of unibility), jiwa tidak dapat disebut sebagai suatu substansi individu, yang adalah hypostasis atau substansi dasar, sebagaimana juga tangan atau bagian lain dari manusia [tidak dapat disebut individu]. Jadi baik definisi maupun nama suatu pribadi tidak dapat dikenakan padanya.


Artikel 2 : Apakah “Pribadi” Sama dengan Hypostasis, Subsistensi, dan Esensi?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa “pribadi” sama dengan “hypostasis”, “subsistensi”, dan “esensi”, karena Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa “orang Yunani menyebut substansi individu dari suatu natur rasional dengan nama hypostasis.” Tetapi bagi kita ini berarti “pribadi”. Maka “pribadi” sama dengan “hypostasis”.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena kita mengatakan ada tiga Pribadi dalam Allah, maka kita mengatakan ada tiga subsistensi dalam Allah, sehingga secara tidak langsung “pribadi” dan “subsistensi” memiliki arti yang sama. Maka “pribadi” dan “subsistensi” adalah sama.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (Com. Praed.) bahwa kata Yunani “ousia”, yang berarti esensi, menunjukkan suatu keberadaan yang dibentuk dari materi dan forma. Sekarang, yang terbentuk dari materi dan forma adalah suatu substansi individu yang disebut “hypostasis” dan “pribadi”. Maka semua nama yang telah disebut sebelumnya kelihatannya memiliki arti yang sama.

Keberatan 4 : Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa genera (kategori) dan species hanyalah subsist (memperoleh keberadaannya), sedangkan individu tidak hanya subsistent (hidup dari), tetapi juga substand (mandiri?). Tetapi subsistensi disebut demikian karena [bersifat] subsisting (hidup dari), dan substansi atau hypostasis disebut demikian karena [bersifat] substanding (mandiri?). Karena genera dan species bukanlah hypostasis ataupun pribadi, maka genera dan species bukanlah susbistensi.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (Com. Praed.) bahwa materi disebut hypostasis, dan forma disebut “ousiosis”–yaitu subsistensi. Tetapi baik materi ataupun forma tidak dapat disebut pribadi. Maka pribadi berbeda dengan yang [telah disebutkan] lainnya.

Aku menjawab, Menurut Philosopher (Metaph. v), substansi berarti ganda. Dalam satu artian ia berarti intisari dari suatu hal, yang ditunjukkan oleh definisinya, dan sehingga kita mengatakan bahwa suatu definisi berarti suatu substansi dari suatu hal, yang dalam artian tersebut substansi dalam bahasa Yunani disebut “ousia”, yang dapat kita sebut “esensi”. Dalam artian lain substansi berarti suatu subyek atau “suppositum”, yang subsist (hidup dari) dalam kategori (genus) substansi. Terhadap ini, diambil dalam artian umum, dapat diaplikasikan suatu nama yang menyatakan suatu maksud, dan sehingga disebut “suppositum”. [Substansi] ini juga disebut dalam tiga nama yang menunjukkan suatu kenyataan – yaitu : “suatu hal dari natur”(a thing of nature), “subsistensi”, dan “hypostasis”, berdasarkan pada tiga pertimbangan tentang substansi yang dinamakan. Karena, sebagaimana hal itu ada dalam dirinya sendiri dan tidak dalam hal lain, hal itu disebut “subsistensi”, sebagaimana kita mengatakan bahwa hal-hal tersebut menghidupi (subsist) hal-hal yang ada dalam dirinya sendiri, dan tidak dalam hal lain. Jika suatu hal mendasari beberapa natur umum, maka hal itu disebut “sesuatu dari suatu natur”, sebagai contoh, seseorang khusus ini adalah suatu natur manusia. Jika sesuatu itu mendasari suatu accident, maka itu disebut “hypostasis” atau “substansi”. Apa yang [oleh] ketiga nama ini ditunjukkan secara umum dalam seluruh kategori substansi, ditunjukkan oleh “pribadi” dalam kategori substansi rasional.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Di kalangan orang Yunani, istilah “hypostasis” yang diambil dalam arti yang ketat, menunjukkan indivudu apapun dari suatu kategori substansi, tetapi dalam pembicaraan umum, “hypostasis” berarti suatu individu dari suatu substansi rasional, dengan alasan mengenai keunggulan natur tersebut.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Jika kita mengatakan “tiga pribadi” ada dalam Allah, dan “tiga subsistensi”, maka orang Yunani mengatakan “tiga hypostasis”. Tetapi karena kata “substansi” dalam arti sebenarnya, jika dihubungkan dengan arti kata “hypostasis”, digunakan di antara kita [orang Latin] dalam arti yang kurang jelas –  karena kadang-kadang kata itu berarti esensi, kadang berarti hypostasis–, maka untuk menghindari kemungkinan kekeliruan, maka dianggap bahwa lebih baik menggunakan “subsistensi” untuk “hypostasis” daripada menggunakan “substansi”.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Strictly speaking, esensi adalah apa yang diekspresikan oleh definisi tersebut (ousia). Sekarang, “ousia” terdiri dari hal-hal yang pokok tentang suatu spesies, tetapi bukan hal-hal yang pokok tentang suatu individu. Karena itu, dalam hal yang terdiri dari materi dan forma, esensi tidak hanya menunjukkan forma, juga tidak hanya menunjukkan materi, tetapi komposisi materi dan forma umum, sebagai hal yang pokok bagi spesies. Tetapi apa yang dikomposisi oleh “materi ini” dan “forma ini” memiliki natur hypostasis dan pribadi, karena jiwa, daging dan tulang adalah milik natur manusia, sedangkan “jiwa ini”, “daging ini” dan “tulang ini” adalah milik dari natur “manusia ini”. Maka hypostasis dan pribadi menambahkan hal-hal pokok individual ke dalam gagasan tetnang esensi, tetapi hypostasis dan pribadi tidak diidentifikasikan dengan esensi dalam hal-hal yang dibentuk oleh materi dan forma, sebagaimana kita katakan di atas saat membahas kesederhanaan ilahi (divine simplicity) (Pertanyaan 3 Artikel 3).

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Boethius mengatakan bahwa genera (kategori) dan species memperoleh keberadaannya (subsist) selama masing-masing dari mereka adalah bagian dari beberapa hal-hal individu untuk memperoleh keberadaannya, dari kenyataan bahwa hal-hal individu tersebut menjadi milik genera dan species yang merupakan bagian dalam predicament (hal obyektif yang nyata) dari substansi, tetapi bukan karena spesies dan genera dalam dirinya sendiri subsist, kecuali dalam pendapat Plato yang menyatakan bahwa spesies ot things ada (subsist) secara terpisah dari hal-hal tunggal. Tetapi untuk substand (mandiri?) adalah milik dari hal-hal individu yang sama dalam hubungannya dengan accident, yang adalah diluar esensi dari genera dan species.

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Individu yang terdiri dari materi dan forma substand (mandiri?) dalam hubungannya dengan accident dari natur dasar materi. Karena itu Boethius mengatakan (De Trin.) : “Suatu forma sederhana tidak dapat menjadi suatu subyek.” Hidup-dari-dirinya-sendiri (self subsistence) -nya berasal dari natur dari formanya, yang tidak berhubungan (supervene) dengan hal-hal yang memperoleh keberadaannya (subsisting), tetapi memberi eksistensi nyata kepada materi dan menjadikannya ada (subsist) sebagai suatu individu. Dalam hal ini, Boethius menganggap hypostasis sebagai materi, dan “ousiosis”, atau subsistensi, sebagai forma, karena materi adalah hal pokok dari substanding (kemandirian?), dan forma adalah hal pokok dari menjadi ada (subsisting).


Artikel 3 : Apakah Kata “Pribadi” Tepat Diberikan pada Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa kata “pribadi” tidak tepat diberikan pada Allah, karena Dionysius mengatakan (Div. Norm.) : “Tak ada yang berani untuk mengatakan atau memikirkan apapun tentang Keilahian yang supersubstantial dan tersembunyi, melampaui dari apa yang telah dinyatakan pada kita oleh para bijak.” Tetapi kata “pribadi” tidaklah dinyatakan pada kita dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru. Maka “pribadi” tidak tepat ditujukan pada Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) : “Kata “pribadi” tampaknya diambil dari “pribadi-pribadi” yang menampilkan karakter-karakter dalam komedi dan tragedi. Karena “pribadi” berasal dari bersuara melalui “personado” (topeng), karena sejumlah volume suara dihasilkan melalui lubang yang ada pada topeng. “Pribadi-pribadi” ini atau topeng-topeng ini oleh orang Yunani disebut “prosopa”, karena topeng-topeng ini diletakkan di wajah dan menutupi tampilan (features) dari pandangan. Hal ini hanya dapat diaplikasikan pada Allah dalam suatu artian metafora. Maka kata “pribadi” hanya ditujukan kepada Allah secara metafora.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, setiap pribadi adalah suatu hypostasis. Tetapi kata “hypostasis” tidak ditujukan pada Allah, karena, sebagaimana diakatan Boethius (De Duab. Nat.), kata itu menunjukkan subyek dari accident, yang tidak ada dalam Allah. Jerome juga mengatakan (Ep. ad Damas.) bahwa, “dalam kata hypostasis ini, racun bersembunyi dalam madu.” Maka kata “pribadi” tidak tepat ditujukan pada Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, jika suatu definisi disangkal, maka apa yang didefinisikan juga disangkal. Tetapi definisi “pribadi” sebagaimana diberikan di atas tidak diaplikasikan pada Allah, karena “akal” mengandung arti suatu pengetahuan perbagian (discursive knowledge), yang tidak diaplikasikan pada Allah sebagaimana kami buktikan di atas, (Pertanyaan 14 Artikel 12), maka Allah tidak dapat disebut memiliki “natur rasional”. Dan juga karena Allah tidak dapat disebut suatu substansi individu, karena pokok dari pengindividuan adalah materi, sedangkan Allah adalah immaterial. Allah juga bukan subyek dari accident, sehingga dapat disebut substansi. Maka kata “pribadi” sebaiknya tidak diberikan pada Allah.

Sebaliknya, Dalam Kredo Athanasius kita mengatakan : “Satu adalah pribadi Bapa, satu adalah pribadi Anak, satu adalah pribadi Roh Kudus.”

Aku menjawab, “Pribadi” menunjukkan apa yang paling sempurna dalam segala natur – yaitu, suatu individu subsistent dari suatu natur rasional. Maka, karena segala sesuatu yang sempurna harus diatribusikan pada Allah, karena esensi-Nya terdiri dari setiap kesempurnaan, kata “pribadi” ini adalah tepat diberikan pada Allah, bukan sebagaimana kata itu diaplikasikan pada makhluk, tetapi dalam cara yang lebih unggul, sebagaimana nama lainnya juga, yang selain kita berikan pada makhluk, kita tujukan juga pada Allah, sebagaimana kami tunjukkan diatas saat membahas nama-nama Allah )Pertanyaan 13 Artikel 2).

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun kata “pribadi” tidak ditemukan diaplikasikan kepada Allah dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru, namun apa yang ditunjukkan oleh kata itu ditemukan ditujukan pada Allah dalam banyak tempat dalam Alkitab, seperti bahwa Ia adalah keberadaan yang maha ada dari diri-Nya sendiri (self subsisting), dan keberadaan bernalar yang paling sempurna. Jika kita hanya dapat berbicara tentang Allah sebatas pada istilah-istilah yang ada di Alkitab, maka tak seorangpun dapat berbicara mengenai Allah selain dalam bahasa asli dari Perjanjian Lama dan Baru. Kemendesakan untuk menangkal heresi menjadikan penting untuk menemukan kata-kata baru yang mengekspresikan iman kuno tentang Allah. Sesuatu yang baru seperti itu tidak perlu dihindari, karena itu bukanlah sesuatu yang profan (mencemarkan), karena hal-hal tersebut tidak membawa kita menjauh dari pemahaman tentang Alkitab. Para Rasul mengingatkan kita untuk menghindarkan “kata-kata baru yang profan” (1 Tim 6:20).

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Meskipun kata “pribadi” ini mungkin tidak menjadi milik Allah sehubungan dengan asal dari istilah itu, namun istilah itu secara lebih unggul menjadi milik Allah dalam artiannya yang obyektif. Karena sebagaimana orang-orang terkenal direpresentasikan dalam [pementasan drama] komedi dan tragedi, kata “pribadi” diberikan untuk menunjukkan mereka yang memiliki martabat tinggi. Oleh karena itu, mereka yang memiliki kedudukan tinggi dalam Gereja disebut “pribadi”. Kemudian oleh beberapa orang definisi “pribadi” diberikan sebagai “hypostasis yang berbeda berdasarkan martabat”. Dan karena substansi dalam suatu natur rasional adalah suatu martabat yang tinggi, maka setiap individu dari natur rasional disebu “pribadi”. Sekarang martabat dari natur ilahi mengungguli segala martabat lainnya, dan sehingga kata “pribadi” dengan sangat unggul adalah milik Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Kata “hypostasis” tidak diaplikasikan pada Allah sehubungan dengan sumber asalnya, karena Allah mendasari accident, tetapi istilah itu diaplikasikan pada-Nya dalam artian obyektifnya, karena lebih menunjuk pada subsistensi. Jerome mengatakan bahwa “racun tersembunyi dalam kata ini” karena sebelum istilah itu dipahami sepenuhnya oleh orang-orang Latin, kaum heretik menggunakan istilah ini untuk menyesatkan orang-orang sederhana, untuk membuat masyarakat mengakui ada banyak esensi sebagaimana mereka mengakui banyak hypostasis, karena kata “substance” yang berhubungan dengan hypostasis dalam bahasa Yunani, diterima secara umum dalam kita [orang Latin] sebagai esensi.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Dapat dikatakan bahwa Allah memiliki ‘natur’ rasional, jika nalar digunakan dalam arti umum, bukan dalam arti pikiran-pikiran yang terpisah. Tetapi Allah tidak dapat disebut “individu” dalam artian bahwa keindividuan-Nya berasal dari materi, tetapi hanya dalam artian yang menyatakan ke-tidakterkomunikasikan-an (incommunicability). “Substansi” dapat diaplikasikan pada Allah dalam artian yang menunjukkan keberadaan-dari-dirinya-sendiri (self-subsistence). Tetapi, ada bebarapa orang yang mengatakan bahwa definisi oleh Boethius yang dikutip di atas (Artikel 1), tidaklah suatu definisi tentang pribadi dalam artian yang kita gunakan saat berbicara tentang pribadi dalam Allah. Maka Richard of St. Victor mengubah definisi ini dengan menambahkan bahwa “Pribadi” dalam Allah adalah “eksistensi natur ilahi yang tak terkomunikasikan”.

No comments:

Post a Comment