Pertanyaan 29 : Tentang Pribadi-pribadi Ilahi
Setelah mempremiskan apa
yang tampaknya merupakan perhatian yang penting mengenai prosesi dan hubungan,
kini kita harus mendekati subyek tentang pribadi-pribadi.
Pertama, kita akan
mempertimbangkan pribadi-pribadi secara absolut, dan kemudian membandingkannya
dalam hubungannya satu sama lain. Kita harus pertama mempertimbangkan
pribadi-pribadi secara absolut secara umum, dan kemudian satu persatu [dari
pribadi-pribadi tersebut].
Pertimbangan umum tentang
pribadi-pribadi Ilahi tampaknya melibatkan empat poin : (1) Pemahaman akan
istilah “pribadi”; (2) jumlah dari pribadi-pribadi; (3) apa yang terlibat
sehubungan dengan jumlah pribadi-pribadi, atau yang dioposisikan darinya,
seperti perbedaan, kesamaan, dan sejenisnya; (4) apa yang kita pahami tentang
pribadi-pribadi tersebut.
Terdapat empat subyek
bahasan dalam poin pertama :
(1) Definisi
“pribadi”;
(2)
Perbandingan pribadi terhadap esensi, subsistensi, dan hypostasis;
(3) Apakah
istilah “pribadi” dapat digunakan untuk Allah?
(4) Istilah
[pribadi] tersebut menunjukkan apa dalam Allah?
Artikel 1 : Definisi
pribadi.
Keberatan 1 : Tampaknya definisi pribadi
yang diberikan oleh Boethius (De Duab. Nat.) tidaklah mencukupi – yaitu :
“suatu pribadi adalah suatu substansi individu dari suatu natur rasional.”
Karena tidak ada bentuk tunggal (singular) yang dapat memenuhi definisi
tersebut. Tetapi “pribadi” menunjukkan suatu bentuk tunggal. Maka pribadi tidak
didefinisikan dengan tepat.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, substansi
sebagaimana ditempatkan di atas dalam definisi tentang pribadi, adalah dapat
diartikan entah sebagai substansi pertama atau sebagai substansi kedua. Jika
diartikan sebagai substansi pertama, istilah “individu” tidak ada artinya,
karena substansi pertama adalah substansi individu. Jika istilah “substansi”
diartikan sebagai substansi kedua, istilah “individu” adalah salah, karena
terdapat kontradiksi istilah, karena substansi kedua adalah “kategori” (genera
[btk jamak dari genus]) ataupun “spesies”. Maka definisi tersebut adalah
keliru.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu istilah
yang menjelaskan suatu maksud (suatu istilah intensional) seharusnya tidak
dimasukkan dalam suatu definisi tentang suatu hal, sehingga untuk
mendefinisikan manusia dengan “suatu spesies dari hewan” tidaklah tepat, karena
“manusia” adalah nama dari suatu benda, sedangkan “species” adalah suatu nama
dari suatu maksud (intention). Maka, karena “pribadi” adalah nama dari suatu
hal (karena “pribadi” menunjukkan suatu substansi dari suatu natur rasional),
kata “individu” yang juga merupakan suatu nama yang menjelaskan tujuan tidaklah
tepat digunakan dalam suatu definisi.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, “Natur adalah
prinsipal dari pergerakan dan perhentian, dan dalam hal-hal tersebut natur
bersifat esensial, bukan bersifat aksidental (atribut nonesensial),”
sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles (Phys. ii). Tetapi pribadi ada dalam
sesuatu dengan tak tergerakkan (immovable), sebagaimana dalam Allah dan dalam
malaikat. Maka istilah “natur” tidak boleh digunakan dalam definisi tentang
pribadi, tetapi lebih baik digunakan istilah “esensi”.
Keberatan 5 : Lebih lanjut, jiwa adalah
suatu substansi individu dari suatu natur rasional, tetapi jiwa bukanlah
pribadi. Maka pribadi tidak tepat jika didefinisikan seperti di atas [pada
keberatan 1].
Aku menjawab, Meskipun hal umum dan
khusus ada dalam tiap kategori (genus), namun, dalam suatu cara khusus
tertentu, individu adalah milik dari genus substansi. Karena substansi adalah
terindividu oleh dirinya sendiri, seperti accident adalah terindividu oleh
subyeknya, yang adalah substansi; karena warna putih tertentu ini disebut “ini”
(tambahan penerjemah : St.
Thomas sering menggunakan “whiteness” untuk menunjuk pada sifat dasar benda),
karena warna putih itu ada dalam subyek tertentu ini. Dan maka masuk akal bahwa
individu dari genus substansi harus mempunyai nama khusus bagi dirinya sendiri,
yaitu “hypostases”, atau substansi pertama.
Lebih lanjut, dalam cara
yang lebih khusus dan sempurna, kekhususan dan keindividuan ditemukan dalam
substansi rasional, yang memiliki dominasi atas tindakan mereka sendiri, dan
bukan hanya dibuat bertindak, seperti substansi lainnya, tetapi yang dapat
bertindak sendiri, karena tindakan adalah milik dari suatu bentuk tunggal
(singular). Demikian juga individu dari natur rasional memiliki suatu nama
khusus bahkan diantara substansi lainnya, dan ini dinamakan “pribadi”.
Jadi istilah “substansi
individu” ditempatkan dalam definisi tentang pribadi, sebagaimana menandakan
suatu bentuk tunggal dalam kategori (genus) suatu substansi, dan istilah “natur
rasional (rational nature)” ditambahkan, untuk menunjukkan suatu bentuk tunggal
dalam substansi rasional.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun suatu bentuk
tunggal ini atau itu tidak dapat didefinisikan, tetapi apa yang merupakan
gagasan umum tentang suatu bentuk tunggal tersebut dapat didefinisikan, dan
demikian juga sang Philosopher (De Praedic., cap. De substantia) memberikan
definisi mengenai substansi awal (first substance), dan dengan cara inilah
Boethius mendefinisikan pribadi.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Dalam beberapa opini,
istilah “substansi” dalam definisi tentang pribadi berdiri untuk first
substance, yang adalah hypostasis, maka istilah “individual” tidaklah digunakan
secara berlebihan, karena dalam nama hypostasis atau first substance, gagasan
menyeluruh dan perbagian sudah termasuk di dalamnya. Tetapi ketika “individual”
digunakan, gagasan tentang kemungkinan-untuk-dianggap-lain (assumptibility)
dikeluarkan dari “pribadi”, karena natur manusia pada Kristus bukanlah suatu
pribadi, karena “pribadi” diasumsikan pada sesuatu yang lebih besar, yaitu pada
sang Sabda Allah. Bagaimanapun, lebih baik untuk mengatakan bahwa “substansi”
di sini diambil dalam artian umum, yang terbagi dalam substansi pertama dan
kedua (first and second substance) dan ketika “individual” digunakan,
penggunaannya terbatas hanya untuk first substance.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Perbedaan substansial yang
tidak kita ketahui, atau paling tidak tidak ternamai oleh kita, kadang perlu
untuk menggunakan perbedaan aksidental pada tempat substansial. Sebagai contoh,
kita dapat mengatakan bahwa api adalah suatu badan yang sederhana, panas dan
kering, karena accident yang tepat adalah efek dari bentuk-bentuk substansial,
dan membuat bentuk-bentuk itu terkenali. Demikian juga, istilah-istilah yang
menyatakan suatu maksud dapat digunakan dalam menjelaskan kenyataan-kenyataan
jika digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang belum ternamai. Maka istilah
“individual” ditempatkan dalam definisi tentang pribadi untuk menunjukkan
cara-berada (mode of subsistence) yang menjadi milik substansi tertentu.
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Menurut Philosopher
(Metaph. V, 5), kata “natur” pertama kali digunakan untuk menunjukkan
pemunculan (generation) makhluk hidup, yang disebut kelahiran (nativity). Dan
karena jenis generation ini datang dari suatu intrinsic principle (prinsipal
dari dalam dirinya sendiri), istilah “natur” ini dikembangkan untuk menunjukkan
suatu intrinsic principle dari segala jenis gerakan. Dalam artian ini
Philosopher mendefinisikan “natur” (Phys. ii, 3). Dan karena principle jenis
ini adalah formal sekaligus material, masing-masing materi dan forma secara
umum disebut natur. Dan karena esensi dari segala hal dijadikan lengkap oleh
forma, maka esensi dari segala hal, yang ditunjukkan melalui definisi, secara
umum disebut natur. Dan di sini natur diletakkan pada artian itu. Sebab itu
Boethius berkata (De Duab. Nat.) bahwa, “natur adalah suatu perbedaan khusus
yang memberikan bentuknya pada masing-masing hal,” karena suatu perbedaan
khusus menjadikan lengkap suatu definisi, dan perbedaan itu didapat dari suatu
forma khusus dari suatu hal. Maka dalam definisi tentang “pribadi”, yang
berarti suatu bentuk tunggal dalam genus (kategori) tertentu, adalah lebih
tepat jika digunakan istilah “natur” daripada “esensi”, karena “esensi”
diletakkan pada suatu keberadaan, yang adalah lebih umum.
Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Jiwa adalah bagian dari
human species, maka, meskipun jiwa dapat eksis dalam suatu kondisi terpisah,
karena jiwa tetap memiliki natur menyatunya (nature of unibility), jiwa tidak dapat disebut sebagai suatu
substansi individu, yang adalah hypostasis atau substansi dasar, sebagaimana
juga tangan atau bagian lain dari manusia [tidak dapat disebut individu]. Jadi
baik definisi maupun nama suatu pribadi tidak dapat dikenakan padanya.
Artikel 2 : Apakah “Pribadi” Sama dengan Hypostasis, Subsistensi, dan
Esensi?
Keberatan 1 : Tampaknya bahwa “pribadi”
sama dengan “hypostasis”, “subsistensi”, dan “esensi”, karena Boethius
mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa “orang Yunani menyebut substansi individu dari
suatu natur rasional dengan nama hypostasis.” Tetapi bagi kita ini berarti
“pribadi”. Maka “pribadi” sama dengan “hypostasis”.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena kita
mengatakan ada tiga Pribadi dalam Allah, maka kita mengatakan ada tiga
subsistensi dalam Allah, sehingga secara tidak langsung “pribadi” dan
“subsistensi” memiliki arti yang sama. Maka “pribadi” dan “subsistensi” adalah
sama.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, Boethius
mengatakan (Com. Praed.) bahwa kata Yunani “ousia”, yang berarti esensi,
menunjukkan suatu keberadaan yang dibentuk dari materi dan forma. Sekarang,
yang terbentuk dari materi dan forma adalah suatu substansi individu yang
disebut “hypostasis” dan “pribadi”. Maka semua nama yang telah disebut
sebelumnya kelihatannya memiliki arti yang sama.
Keberatan 4 : Sebaliknya, Boethius
mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa genera (kategori) dan species hanyalah subsist
(memperoleh keberadaannya), sedangkan individu tidak hanya subsistent (hidup
dari), tetapi juga substand (mandiri?).
Tetapi subsistensi disebut demikian karena [bersifat] subsisting (hidup dari),
dan substansi atau hypostasis disebut demikian karena [bersifat] substanding (mandiri?). Karena genera
dan species bukanlah hypostasis ataupun pribadi, maka genera dan species
bukanlah susbistensi.
Keberatan 5 : Lebih lanjut, Boethius
mengatakan (Com. Praed.) bahwa materi disebut hypostasis, dan forma disebut
“ousiosis”–yaitu subsistensi. Tetapi baik materi ataupun forma tidak dapat
disebut pribadi. Maka pribadi berbeda dengan yang [telah disebutkan] lainnya.
Aku menjawab, Menurut Philosopher
(Metaph. v), substansi berarti ganda. Dalam satu artian ia berarti intisari
dari suatu hal, yang ditunjukkan oleh definisinya, dan sehingga kita mengatakan
bahwa suatu definisi berarti suatu substansi dari suatu hal, yang dalam artian
tersebut substansi dalam bahasa Yunani disebut “ousia”, yang dapat kita sebut
“esensi”. Dalam artian lain substansi berarti suatu subyek atau “suppositum”,
yang subsist (hidup dari) dalam kategori (genus) substansi. Terhadap ini,
diambil dalam artian umum, dapat diaplikasikan suatu nama yang menyatakan suatu
maksud, dan sehingga disebut “suppositum”. [Substansi] ini juga disebut dalam
tiga nama yang menunjukkan suatu kenyataan – yaitu : “suatu hal dari natur”(a
thing of nature), “subsistensi”, dan “hypostasis”, berdasarkan pada tiga
pertimbangan tentang substansi yang dinamakan. Karena, sebagaimana hal itu ada
dalam dirinya sendiri dan tidak dalam hal lain, hal itu disebut “subsistensi”,
sebagaimana kita mengatakan bahwa hal-hal tersebut menghidupi (subsist) hal-hal
yang ada dalam dirinya sendiri, dan tidak dalam hal lain. Jika suatu hal
mendasari beberapa natur umum, maka hal itu disebut “sesuatu dari suatu natur”,
sebagai contoh, seseorang khusus ini adalah suatu natur manusia. Jika sesuatu
itu mendasari suatu accident, maka itu disebut “hypostasis” atau “substansi”. Apa
yang [oleh] ketiga nama ini ditunjukkan secara umum dalam seluruh kategori
substansi, ditunjukkan oleh “pribadi” dalam kategori substansi rasional.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Di kalangan orang Yunani,
istilah “hypostasis” yang diambil dalam arti yang ketat, menunjukkan indivudu
apapun dari suatu kategori substansi, tetapi dalam pembicaraan umum,
“hypostasis” berarti suatu individu dari suatu substansi rasional, dengan
alasan mengenai keunggulan natur tersebut.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Jika kita mengatakan “tiga
pribadi” ada dalam Allah, dan “tiga subsistensi”, maka orang Yunani mengatakan
“tiga hypostasis”. Tetapi karena kata “substansi” dalam arti sebenarnya, jika
dihubungkan dengan arti kata “hypostasis”, digunakan di antara kita [orang
Latin] dalam arti yang kurang jelas – karena kadang-kadang kata itu
berarti esensi, kadang berarti hypostasis–, maka untuk menghindari kemungkinan
kekeliruan, maka dianggap bahwa lebih baik menggunakan “subsistensi” untuk
“hypostasis” daripada menggunakan “substansi”.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Strictly speaking, esensi
adalah apa yang diekspresikan oleh definisi tersebut (ousia). Sekarang, “ousia”
terdiri dari hal-hal yang pokok tentang suatu spesies, tetapi bukan hal-hal
yang pokok tentang suatu individu. Karena itu, dalam hal yang terdiri dari
materi dan forma, esensi tidak hanya menunjukkan forma, juga tidak hanya
menunjukkan materi, tetapi komposisi materi dan forma umum, sebagai hal yang
pokok bagi spesies. Tetapi apa yang dikomposisi oleh “materi ini” dan “forma
ini” memiliki natur hypostasis dan pribadi, karena jiwa, daging dan tulang
adalah milik natur manusia, sedangkan “jiwa ini”, “daging ini” dan “tulang ini”
adalah milik dari natur “manusia ini”. Maka hypostasis dan pribadi menambahkan hal-hal
pokok individual ke dalam gagasan tetnang esensi, tetapi hypostasis dan pribadi
tidak diidentifikasikan dengan esensi dalam hal-hal yang dibentuk oleh materi
dan forma, sebagaimana kita katakan di atas saat membahas kesederhanaan ilahi
(divine simplicity) (Pertanyaan 3 Artikel 3).
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Boethius mengatakan bahwa
genera (kategori) dan species memperoleh keberadaannya (subsist) selama
masing-masing dari mereka adalah bagian dari beberapa hal-hal individu untuk
memperoleh keberadaannya, dari kenyataan bahwa hal-hal individu tersebut
menjadi milik genera dan species yang merupakan bagian dalam predicament (hal
obyektif yang nyata) dari substansi, tetapi bukan karena spesies dan genera
dalam dirinya sendiri subsist, kecuali dalam pendapat Plato yang menyatakan
bahwa spesies ot things ada (subsist) secara terpisah dari hal-hal tunggal.
Tetapi untuk substand (mandiri?)
adalah milik dari hal-hal individu yang sama dalam hubungannya dengan accident,
yang adalah diluar esensi dari genera dan species.
Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Individu yang terdiri dari
materi dan forma substand (mandiri?)
dalam hubungannya dengan accident dari natur dasar materi. Karena itu Boethius
mengatakan (De Trin.) : “Suatu forma sederhana tidak dapat menjadi suatu
subyek.” Hidup-dari-dirinya-sendiri (self subsistence) -nya berasal dari natur
dari formanya, yang tidak berhubungan (supervene) dengan hal-hal yang
memperoleh keberadaannya (subsisting), tetapi memberi eksistensi nyata kepada
materi dan menjadikannya ada (subsist) sebagai suatu individu. Dalam hal ini,
Boethius menganggap hypostasis sebagai materi, dan “ousiosis”, atau
subsistensi, sebagai forma, karena materi adalah hal pokok dari substanding (kemandirian?), dan forma
adalah hal pokok dari menjadi ada (subsisting).
Artikel 3 : Apakah Kata “Pribadi” Tepat Diberikan pada Allah?
Keberatan 1 : Tampaknya bahwa kata
“pribadi” tidak tepat diberikan pada Allah, karena Dionysius mengatakan (Div.
Norm.) : “Tak ada yang berani untuk mengatakan atau memikirkan apapun tentang
Keilahian yang supersubstantial dan tersembunyi, melampaui dari apa yang telah
dinyatakan pada kita oleh para bijak.” Tetapi kata “pribadi” tidaklah
dinyatakan pada kita dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru. Maka “pribadi”
tidak tepat ditujukan pada Allah.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius
mengatakan (De Duab. Nat.) : “Kata “pribadi” tampaknya diambil dari
“pribadi-pribadi” yang menampilkan karakter-karakter dalam komedi dan tragedi.
Karena “pribadi” berasal dari bersuara melalui “personado” (topeng), karena sejumlah
volume suara dihasilkan melalui lubang yang ada pada topeng. “Pribadi-pribadi”
ini atau topeng-topeng ini oleh orang Yunani disebut “prosopa”, karena
topeng-topeng ini diletakkan di wajah dan menutupi tampilan (features) dari
pandangan. Hal ini hanya dapat diaplikasikan pada Allah dalam suatu artian
metafora. Maka kata “pribadi” hanya ditujukan kepada Allah secara metafora.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, setiap
pribadi adalah suatu hypostasis. Tetapi kata “hypostasis” tidak ditujukan pada
Allah, karena, sebagaimana diakatan Boethius (De Duab. Nat.), kata itu
menunjukkan subyek dari accident, yang tidak ada dalam Allah. Jerome juga
mengatakan (Ep. ad Damas.) bahwa, “dalam kata hypostasis ini, racun bersembunyi
dalam madu.” Maka kata “pribadi” tidak tepat ditujukan pada Allah.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, jika suatu
definisi disangkal, maka apa yang didefinisikan juga disangkal. Tetapi definisi
“pribadi” sebagaimana diberikan di atas tidak diaplikasikan pada Allah, karena
“akal” mengandung arti suatu pengetahuan perbagian (discursive knowledge), yang
tidak diaplikasikan pada Allah sebagaimana kami buktikan di atas, (Pertanyaan
14 Artikel 12), maka Allah tidak dapat disebut memiliki “natur rasional”. Dan
juga karena Allah tidak dapat disebut suatu substansi individu, karena pokok
dari pengindividuan adalah materi, sedangkan Allah adalah immaterial. Allah
juga bukan subyek dari accident, sehingga dapat disebut substansi. Maka kata “pribadi”
sebaiknya tidak diberikan pada Allah.
Sebaliknya, Dalam Kredo Athanasius kita
mengatakan : “Satu adalah pribadi Bapa, satu adalah pribadi Anak, satu adalah
pribadi Roh Kudus.”
Aku menjawab, “Pribadi” menunjukkan apa
yang paling sempurna dalam segala natur – yaitu, suatu individu subsistent dari
suatu natur rasional. Maka, karena segala sesuatu yang sempurna harus
diatribusikan pada Allah, karena esensi-Nya terdiri dari setiap kesempurnaan,
kata “pribadi” ini adalah tepat diberikan pada Allah, bukan sebagaimana kata
itu diaplikasikan pada makhluk, tetapi dalam cara yang lebih unggul,
sebagaimana nama lainnya juga, yang selain kita berikan pada makhluk, kita
tujukan juga pada Allah, sebagaimana kami tunjukkan diatas saat membahas
nama-nama Allah )Pertanyaan 13 Artikel 2).
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun kata “pribadi”
tidak ditemukan diaplikasikan kepada Allah dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama
maupun Baru, namun apa yang ditunjukkan oleh kata itu ditemukan ditujukan pada
Allah dalam banyak tempat dalam Alkitab, seperti bahwa Ia adalah keberadaan
yang maha ada dari diri-Nya sendiri (self subsisting), dan keberadaan bernalar
yang paling sempurna. Jika kita hanya dapat berbicara tentang Allah sebatas
pada istilah-istilah yang ada di Alkitab, maka tak seorangpun dapat berbicara
mengenai Allah selain dalam bahasa asli dari Perjanjian Lama dan Baru.
Kemendesakan untuk menangkal heresi menjadikan penting untuk menemukan
kata-kata baru yang mengekspresikan iman kuno tentang Allah. Sesuatu yang baru
seperti itu tidak perlu dihindari, karena itu bukanlah sesuatu yang profan
(mencemarkan), karena hal-hal tersebut tidak membawa kita menjauh dari
pemahaman tentang Alkitab. Para Rasul mengingatkan kita untuk menghindarkan
“kata-kata baru yang profan” (1 Tim 6:20).
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Meskipun kata “pribadi”
ini mungkin tidak menjadi milik Allah sehubungan dengan asal dari istilah itu,
namun istilah itu secara lebih unggul menjadi milik Allah dalam artiannya yang
obyektif. Karena sebagaimana orang-orang terkenal direpresentasikan dalam
[pementasan drama] komedi dan tragedi, kata “pribadi” diberikan untuk
menunjukkan mereka yang memiliki martabat tinggi. Oleh karena itu, mereka yang
memiliki kedudukan tinggi dalam Gereja disebut “pribadi”. Kemudian oleh
beberapa orang definisi “pribadi” diberikan sebagai “hypostasis yang berbeda
berdasarkan martabat”. Dan karena substansi dalam suatu natur rasional adalah
suatu martabat yang tinggi, maka setiap individu dari natur rasional disebu
“pribadi”. Sekarang martabat dari natur ilahi mengungguli segala martabat
lainnya, dan sehingga kata “pribadi” dengan sangat unggul adalah milik Allah.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Kata “hypostasis” tidak
diaplikasikan pada Allah sehubungan dengan sumber asalnya, karena Allah
mendasari accident, tetapi istilah itu diaplikasikan pada-Nya dalam artian
obyektifnya, karena lebih menunjuk pada subsistensi. Jerome mengatakan bahwa
“racun tersembunyi dalam kata ini” karena sebelum istilah itu dipahami
sepenuhnya oleh orang-orang Latin, kaum heretik menggunakan istilah ini untuk
menyesatkan orang-orang sederhana, untuk membuat masyarakat mengakui ada banyak
esensi sebagaimana mereka mengakui banyak hypostasis, karena kata “substance”
yang berhubungan dengan hypostasis dalam bahasa Yunani, diterima secara umum
dalam kita [orang Latin] sebagai esensi.
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Dapat dikatakan bahwa Allah
memiliki ‘natur’ rasional, jika nalar digunakan dalam arti umum, bukan dalam
arti pikiran-pikiran yang terpisah. Tetapi Allah tidak dapat disebut “individu”
dalam artian bahwa keindividuan-Nya berasal dari materi, tetapi hanya dalam
artian yang menyatakan ke-tidakterkomunikasikan-an (incommunicability).
“Substansi” dapat diaplikasikan pada Allah dalam artian yang menunjukkan
keberadaan-dari-dirinya-sendiri (self-subsistence). Tetapi, ada bebarapa orang
yang mengatakan bahwa definisi oleh Boethius yang dikutip di atas (Artikel 1), tidaklah suatu definisi
tentang pribadi dalam artian yang kita gunakan saat berbicara tentang pribadi
dalam Allah. Maka Richard of St. Victor mengubah definisi ini dengan
menambahkan bahwa “Pribadi” dalam Allah adalah “eksistensi natur ilahi yang tak
terkomunikasikan”.
No comments:
Post a Comment