Sunday, 23 September 2018

Pertanyaan 28 : Tentang Hubungan-hubungan Ilahi


Hubungan-hubungan ilahi adalah yang dipertimbangkan selanjutnya, dalam empat poin bahasan :
1.    Apakah ada hubungan-hubungan nyata di dalam Allah?
2.    Apakah hubungan-hubungan itu adalah esensi (essence) ilahi itu sendiri, atau berkaitan dengan hubungan luar?
3.    Apakah dalam Allah dapat ada beberapa hubungan yang berbeda satu sama lain?
4.    Jumlah dari hubungan ini.

Artikel 1 : Apakah Ada Hubungan-hubungan Nyata di Dalam Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada hubungan nyata dalam Allah. Karena Boethius berkata (De Trin. iv), “Segala hal sulit yang mungkin ada tentang Ketuhanan berhubungan dengan substansi, karena tidak ada yang dapat diberi predikat secara relatif.” Tetapi apa yang sungguh ada dalam Allah dapat dipredikatkan pada-Nya. Maka tidak ada hubungan yang nyata dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (De Trin. iv) bahwa, “Hubungan dalam Tritunggal dari Bapa ke Anak, dan dari keduanya kepada Roh Kudus, adalah hubungan dari yang sama kepada yang sama.” Tetapi suatu hubungan dari jenis ini hanyalah suatu hubungan logika (logical), karena hubungan yang nyata pada kenyataannya memerlukan dan menyatakan dua syarat. Maka hubungan ilahi bukanlah hubungan sesungguhnya, melainkan hanya dibentuk oleh pikiran.

Keberatan 3 : hubungan kebapakan (paternity) adalah hubungan dari suatu prinsipal. Tetapi untuk mengatakan bahwa Allah adalah prinsipal dari ciptaan-ciptaan tidaklah memasukkan hubungan nyata apapun, tetapi hanya hubungan logika. Maka kebapakan dalam Allah bukanlah suatu hubungan nyata, hal yang sama juga diterapkan pada hubungan lain dalam Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, pemunculan ilahi (divine generation) berprosesi dengan jalan suatu kata yang jelas (intelligible). Tetapi hubungan yang mengikuti tindakan intelek adalah hubugan logika. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation) dalam Allah, sebagai akibat dari pemunculan, hanyalah hubungan logika.

Sebaliknya,  Bapa disebut hanya dari kebapakan, dan Anak hanya dari peranakan. Maka, jika tidak ada kebapakan atau peranakan dalam Allah, maka dengan sendirinya Allah bukanlah Bapa atau anak yang sesungguhnya, tetapi hanya cara pemahaman kita, dan inilah kesesatan Sabellian.

Aku menjawab, hubungan sungguh ada dalam Allah. Sebagai bukti maka kita dapat mempertimbangkan bahwa dalam hubungan sendiri ditemukan sesuatu yang hanya ada dalam pemahaman dan bukan dalam kenyataan. Ini tidak ditemukan dalam hal (genus) lain, sebagaimana hal  lain, seperti kuantitas dan kualitas, dalam arti yang ketat dan tepat, menunjukkan sesuatu yang melekat pada suatu subyek. Tetapi hubungan, dalam arti tepatnya, hanya menunjukkan apa yang mengacu pada yang lainnya. Hal berhubungan dengan sesuatu lainnya, kadang ada dalam natur benda-benda, yang dalam hal-hal tersebut oleh natur dasar mereka diurutkan satu sama lain, dan memiliki kecenderungan satu sama lain; dan yang seperti itulah hubungan yang sebenarnya, sebagaimana dalam benda padat ditemukan suatu kecenderungan dan aturan ke pusat, maka dalam benda padat ada kepatuhan tertentu kepada pusat dan hal yang sama berlaku bagi benda lainnya. Kadang, yang satu berkenaan dengan lainnya, yang ditunjukkan melalui hubungan, ditemukan hanya dalam pemahaman nalar yang membandingkan hal yang satu dengan lainnya, dan ini hanyalah hubungan logika, sebagai contohnya, saat nalar membandingkan manusia dengan binatang sebagai spesies dan genus. Tetapi ketika sesuatu berprosesi dari suatu prinsipal dengan natur yang sama, maka keduanya, yang berprosesi dan sumber prosesi, sepakat dalam aturan yang sama, dan kemudian mereka memiliki hubungan yang nyata satu sama lain. Oleh karena itu sebagaimana prosesi-prosesi ilahi berada dalam natur yang sama, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 27, Artikel 2 dan 4), hubungan-hubungan ini, berdasarkan prosesi-prosesi ilahi, adalah hubungan yang nyata.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Hubungan tidak dipredikatkan pada Allah berdasarkan pada arti formal dan tepatnya, dapat dikatakan demikian, sejauh arti tepatnya menunjuk pada perbandingan yang didalamnya melekat suatu hubungan, tetapi hanya menunjuk yang berhubungan dengan hal lainnya. Namun, Boethius tidak ingin mengecualikan hubungan dalam Allah, tetapi ia bermaksud menunjukkan bahwa hubungan tidak dipredikatkan pada-Nya sehubungan dengan persatuan (mode of inherence) dalam-Nya dalam arti yang ketat tentang hubungan, tetapi lebih pada cara berhubungan dengan lainnya.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hubungan yang ditunjukkan dengan istilah “kesamaan” hanyalah hubungan logika saja, jika memperhatikan kesamaan absolut, karena hubungan semacam itu hanya dapat ada dalam suatu aturan tertentu yang teramati oleh nalar sehubungan dengan aturan tentang segala hal baginya, berdasar dua hal yang berasal darinya. Kasusnya adalah sebaliknya, jika beberapa hal disebut sama, bukan secara numerikal, tetapi secara generik atau spesifik. Maka Boethius menyamakan hubungan ilahi dengan suatu hubungan identitas, bukan dalam segala hal, tetapi hanya sehubungan dengan fakta bahwa tidak terdapat pembedaan substansi oleh hubungan-hubungan ini, juga tidak oleh hubungan identitas.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana ciptaan berprosesi dari Allah dalam keragaman natur, Allah berada di luar aturan tentang segala ciptaan, juga tidak segala hubungan pada ciptaan muncul dari natur-Nya, karena Dia tidak menghasilkan ciptaan karena natur-Nya mengharuskan-Nya demikian, tetapi melalui intelek dan kehendak-Nya, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 14 Artikel 3 & 4, Pertanyaan 19 Artikel 8). Maka di dalam Allah tidak ada hubungan yang nyata terhadap ciptaan, sedangkan dalam ciptaan ada hubungan yang nyata terhadap Allah, karena ciptaan mengandung aturan ilahi, dan natur dasarnya adalah bergantung pada Allah. Di lain pihak, prosesi ilahi adalah dalam natur yang satu dan sama. Maka tidak terdapat paralel

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Hubungan yang hanya merupakan akibat dari operasi mental dalam obyek yang dipahami,hanyalah hubungan logika, karena nalar mengamati mereka sebagai ada di antara dua obyek yang diterima oleh akal. Hubungan-hubungan itu, yang mengikuti operasi intelek, dan ada di antara kata yang secara intelektual berprosesi dan sumber prosesinya, bukanlah hubungan logika saja, tetapi hubungan nyata, karena sebagaimana intelek dan nalar adalah hal yang nyata, dan sungguh berhubungan dengan apa yang berprosesi melalui mereka dengan jelas (intelligibly), sebagaimana suatu makhluk corporeal (tambahan penerjemah : badan, materi) berhubungan dengan yang berprosesi darinya secara badaniah. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation) adalah hubungan-hubungan nyata dalam Allah.


Artikel 2 : Apakah Hubungan dalam Allah sama dengan Esensi-Nya?

Keberatan 1 : Tampaknya hubungan ilahi tidak sama dengan esensi ilahi, Karena Augusine mengatakan (De Trin. v) bahwa “tidak semua yang dikatakan tetang Allah adalah esensi-Nya, karena jika kita mengatakan sesuatu tentang hubungan, sebagaimana Bapa dalam hubungan-Nya dengan Anak, hal semacam itu tidak berkenaan dengan substansi.” Maka, hubungan tersebut bukanlah esensi ilahi.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Augustine mengatakan (De Trin. Vii) bahwa “setiap eksperesi tentang hubungan adalah sesuatu di luar hubungan yang diekspresikan, sebagaimana tuan adalah manusia dan budak adalah manusia.” Maka, jika hubungan ada dalam Allah, harus ada sesuatu yang lain selain hubungan dalam Allah. Ini hanya dapat berupa esensi Allah. Maka, esensi berbeda dengan hubungan.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, esensi dari [suatu] hubungan adalah hal berkenaan dengan yang lain, sebagaimana dikatakan oleh sang Philosopher (Praedic. v). Maka jika hubungan adalah [sama dengan] esensi ilahi, dengan sendirinya [berarti] bahwa esensi ilahi pada dasarnya adalah suatu hubungan dengan sesuatu yang lain, yang mana [ide] ini sungguh menjijikkan mengenai kesempurnaan esensi ilahi, yang sangat mutlak dan ada dengan sendirinya (self subsisting) (Pertanyaan 3 Artikel 4). Maka hubungan [dalam Allah] bukanlah esensi ilahi.

Sebaliknya, Segala sesuatu yang bukan esensi ilahi adalah makhluk ciptaan. Tetapi hubungan sungguh ada dalam Allah, dan jika itu bukan esensi ilahi, maka itu adalah ciptaan, dan [hubungan] itu tidak berhak mendapatkan penghormatan latria (tambahan penerjemah : penyembahan yang hanya ditujukan pada Allah), yang bertentangan dengan yang dinyanyikan dalam Prefasi : “Marilah kita menyembah perbedaan Pribadi, dan kesetaraan kemuliaan mereka.”

Aku menjawab, Dikabarkan bahwa Gilbert de la Porree melakukan kesalahan pada poin ini, tetapi kemudian menarik kembali kekeliruannya pada Konsili Rheims. Dia mengatakan bahwa hubungan ilahi adalah asisten, atau suatu tambahan eksternal yang melekat.

Untuk memahami kesalahannya, kita harus memperhatikan bahwa dalam masing-masing dari sembilan kategori (genera) dari accident (tambahan penerjemah : accident adalah ‘nonessential attributes’ dari suatu substansi. Sembilan kategori dari accident adalah : kuantitas, kualitas, relasi, aksi, passion, lokasi, durasi, posisi dan habiliment [pakaian?]. Accident dapat dikatakan adalah atribut suatu substansi dibandingkan dengan substansi lain) terdapat dua poin untuk diperhatikan. Satu adalah natur dari masing-masing kategori sehingga dianggap sebagai accident, yang secara umum diaplikasikan pada masing-masing dari mereka sebagai melekat pada suatu subyek, karena esensi dari suatu accident adalah untuk melekat. Poin perhatian lainnya adalah natur yang tepat (proper nature) dari masing-masing kategori (genera). Dalam suatu kategori, terpisah dari yang ada dalam [kategori] “hubungan (relation)”, sebagaimana dalam [kategori] kuantitas dan kualitas, bahkan gagasan yang benar tentang kategori itu sendiri berasal dari suatu perhatian (respect) terhadap subject, karena kuantitas disebut ukuran dari substansi, dan kualitas adalah watak (disposition) dari substansi. Tetapi gagasan yang benar tentang hubungan tidak diambil dari perhatiannya terhadap hubungan itu sendiri, tetapi terhadap sesuatu di luar. Jadi jika kita memperhatikan bahkan pada makhluk ciptaan, hubungan secara formal seperti itu(tambahan : hubungan yang berhubungan dengan sesuatu di luar), dalam aspek tersebut hubungan-hubungan itu tidak disebut sebagai “asisten”, dan tidak dilekatkan pada hakekatnya, karena, dalam hal ini, hubungan-hubungan itu menunjukkan suatu perhatian (a respect) yang mempengaruhi sesuatu yang dihubungkan dan berkecenderungan dari hal tersebut kepada hal lainnya, oleh karena itu, jika hubungan dianggap sebagai accident, hubungan itu ada dalam subyek, dan memiliki keberadaan yang bersifat accident. Gilbert de la Porree memahami hubungan hanya dalam pemahaman yang pertama (tambahan penerjemah : bahwa hubungan bukan accident, tetapi berhubungan dengan sesuatu di luar).

Sekarang apapun dalam ciptaan yang memiliki keberadaan yang bersifat accident, saat hal tersebut dipertimbangkan diterapkan kepada Allah, memiliki keberadaan yang bersifat pokok (substantial), karena tidak ada accident (tamb. : atribut yang nonesensial) di dalam Allah, karena segala sesuatu dalam Dia adalah esensi-Nya. Maka, jika pada ciptaan hubungan memiliki keberadaan accidental, hubungan yang sungguh nyata ada dalam Allah memiliki keberadaan esensi ilahi yang tidak berbeda [darimana hubungan itu berasal]. Tetapi jika hubungan menyatakan keterkaitannya (respect) dengan sesuatu yang lain, [maka] tidak ada keterkaitan esensi, tetapi lebih pada istilah sebaliknya.

Maka nyatalah bahwa hubungan yang sungguh ada dalam Allah adalah sungguh sama dengan esensi-Nya dan hanya berbeda pada cara pemahamannya (mode of intelligibility), sebagaimana dalam hubungan diartikan sebaliknya jika tidak diekspresikan atas nama (tamb. : mewakili) esensi tersebut. Maka jelas bahwa dalam Allah hubungan dan esensi tidak berbeda satu sama lain, tetapi satu dan sama.

Jawaban atas Keberatan 1 : Kata-kata Augustine ini tidak berarti bahwa paternity atau hubungan lainnya yang ada dalam Allah tidak dalam keberadaan yang sama dengan esensi ilahi, tetapi bahwa hal tersebut tidak dipredikatkan pada moda substansi, sebagaimana ada [substansi lain] dalam Dia yang diberi predikat, tetapi sebagai suatu hubungan. Maka dikatakan bahwa hanya ada dua status obyektif yang nyata (predicaments) dalam Allah, karena status-status obyektif yang nyata (predicaments) lainnya mengambil kebiasaan (habitude) dari hal-hal sesuai yang dibicarakannya, baik dalam natur generik maupun spesifiknya; tetapi tidak satupun yang ada dalam Allah dapat memiliki hubungan pada sesuatu dimana ia berada atau sesuatu yang dibicarakan, kecuali hubungan identitas, dan ini didasari pada kesangatsederhanaan Allah.

Jawaban atas Keberatan 2 : Sebagaimana hubungan yang ada dalam ciptaan melibatkan tidak hanya suatu perhatian kepada lainnya, tetapi juga sesuatu yang absolut, maka hal yang sama berlaku bagi Allah, meskipun tidak dalam cara yang sama. Apa yang terkandung dalam ciptaan yang melebihi dari apa yang terkandung dalam arti suatu hubungan, adalah sesuatu di luar relasi [itu sendiri], karena dalam Allah tidak ada pembedaan, tapi satu dan sama, dan ini tidak diekspresikan secara sempurna dengan istilah “hubungan”, seolah seperti yang dipahami dalam arti yang umum tentang istilah tersebut. Karena telah dijelaskan di atas (Pertanyaan 13 Artikel 2), saat membahas tentang nama-nama ilahi, bahwa ada lebih yang terkandung dalam kesempurnaan esensi ilahi (divine essence) daripada yang dapat ditandakan oleh nama apapun. Maka tidak dengan sendirinya bahwa ada dalam Allah sesuatu di luar hubungan nyata, tetapi hanya beragam nama yang diberikan oleh kita.

Jawaban atas Keberatan 3 : Jika kesempurnaan ilahi mengandung hanya apa yang ditandakan oleh nama-nama yang berkenaan dengan hubungan, maka dengan sendirinya kesempurnaan itu tidak sempurna, karena berhubungan dengan sesuatu hal lain, sebagaimana dalam cara yang sama, jika tidak ada hal lain yang terkandung dalam kesempurnaan ilahi itu daripada apa yang ditandakan oleh istilah “kebijaksanaan”, kesempurnaan itu bukanlah suatu subsistence (sesuatu yang menghidupi). Tetapi karena kesempurnaan esensi ilahi adalah lebih besar dari pada yang dapat dicakup oleh nama apapun, maka jika suatu istilah mengenai hubungan atau nama lainnya yang berikan pada Allah menunjukkan sesuatu ketidaksempurnaan, tidak berarti bahwa esensi ilahi dalam hal tertentu adalah tidak sempurna, karena esensi ilahi memahami dalam dirinya sendiri suatu kesempurnaan dari setiap kategori (genus) (Pertanyaan 4 Artikel 2).

  

Artikel 3 : Apakah Hubungan-hubungan dalam Allah Sungguh Berbeda Satu Sama Lain?

Keberatan 1 : Tampaknya hubungan-hubungan ilahi tidak berbeda satu sama lain, karena hal-hal yang diidentifikasi sebagai hal-hal yang sama, adalah identik satu sama lain. Tetapi setiap hubungan dalam Allah adalah sama dengan esensi ilahi. Maka hubungan-hubungan itu tidak berbeda satu sama lain.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena paternity dan filiation dari namanya dibedakan dengan esensi ilahi, maka demikian juga kebaikan dan kuasa. Tetapi pembedaan jenis ini tidak membuat pembedaan nyata apapun tentang kebaikan dan kuasa ilahi. Maka juga tidak ada pembedaan yang nyata dari paternity dan filiation.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, dalam Allah tidak ada pembedaan yang nyata kecuali tentang asal (origin). Tetapi satu hubungan tampaknya tidak muncul dari hubungan lainnya. Maka hubungan-hubungan yang ada tidak sungguh berbeda satu sama lain.

Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Trin.) bahwa dalam Allah “substansi mengandung kesatuan, dan hubungan menghasilkan (multiply) Tritunggal.” Oleh karena itu, jika hubungan-hubungan itu tidak sungguh berbeda satu sama lain, maka tidak ada Tritunggal yang nyata dalam Allah, hanya suatu gagasan tentang tritunggal, yang adalah kesesatan dari Sabellius.

Aku menjawab, Pengatribusian sesuatu pada lainnya melibatkan pengatribusian sebagaimana yang ada pada apapun yang terkandung di dalamnya. Maka saat “manusia” diatribusikan pada sesuatu, suatu natur rasional juga diatribusikan padanya. Gagasan tentang hubungan, bagaimanapun juga, setepatnya berarti perhatian satu sama lain, sebagaimana sesuatu secara relatif dihadapkan (opposed) pada lainnya. Maka sebagaimana dalam Allah ada suatu hubungan nyata (Artikel 1), harus ada juga suatu oposisi nyata. Natur dasar dari hubungan oposisi ini termasuk pembedaan. Oleh karena itu, harus ada pembedaan nyata dalam Allah, bukan berdasar sesuatu yang absolut, katakanlah tentang esensi, yang mana di dalamnya terdapat persatuan dan kesederhanaan tertinggi, tetapi tentang suatu hubungan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Menurut sang Philosopher (Phys. Iii), argumen ini beranggapan bahwa hal-hal apapun yang diidentifikasikan sebagai hal-hal yang sama adalah identik satu sama lain, jika identitas tersebut nyata dan logis, sebagai contoh, suatu jubah ( a tunic) dan suatu jas (a garment), tetapi tidak jika mereka berbeda secara logis. Maka dalam hal yang sama dikatakan bahwa meskipun aksi adalah sama dengan gerakan, demikian juga nafsu (passion), tetap saja tidak berarti bahwa aksi dan nafsu (passion) adalah hal yang sama, karena aksi merujuk pada sesuatu yang “darinya (from which)” terdapat gerakan dalam sesuatu yang digerakkan, sedangkan nafsu (passion) merujuk pada sesuatu “dari (which is from)” hal lain. Maka, meskipun paternity, seperti juga filiation, adalah sungguh sama dengan esensi ilahi,

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kuasa dan kebaikan tidak menyebabkan oposisi apapun dalam natur mereka, maka tidak ada argumen paralel.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Meskipun hubungan-hubungan, setepatnya, tidak saling memunculkan atau berprosesi, namun hubungan-hubungan itu dipahami sebagai beroposisi berdasarkan prosesi dari satu ke lainnya.

  

Artikel 4 : Apakah dalam Allah Hanya Ada Empat Hubungan yang Nyata – Paternity, Filiation, Spiration dan Procession?

Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah tidak hanya ada empat hubungan yang nyata – paternity, filiation, spiration dan procession, karena harus diamati bahwa dalam Allah ada hubungan-hubungan dari agen berakal dengan obyek yang dipahami, dan satu antara yang berkehendak dengan obyek yang dikehendaki, yang adalah hubungan-hubungan yang sungguh nyata yang tidak termasuk [keempat] yang telah dispesifikasikan di atas. Maka tidak hanya ada empat hubungan nyata dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, hubungan-hubungan nyata dalam Allah dipahami datang dari prosesi Sabda. Tetapi hubungan-hubungan yang jelas (intelligible) berkembang secara tak berhingga, sebagaimana dikatakan Avicenna. Maka dalam Allah terdapat seri hubungan nyata yang tak berhingga.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, gagasan dalam Allah adalah kekal (Pertanyaan 15 Artikel 1), dan hanya dibedakan satu sama lain melalui alasan hubungan mereka terhadap hal-hal, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Maka dalam Allah ada lebih banyak hubunga-hubungan kekal.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, kesetaraan dan kesamaan, dan identitas, adalah hubungan-hubungan, dan mereka ada dalam Allah sejak kekal. Maka [terdapat] beberapa hubungan lagi yang kekal dalam Allah selain yang telah disebutkan di atas.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, sebaliknya juga dikatakan bahwa ada lebih sedikit hubungan dalam Allah dibanding [keempat] hubungan yang telah disebutkan di atas, karena menurut sang Philosopher (Phys. iii tekt 24), “Adalah jalan yang sama dari Athena ke Thebes, sebagaimana juga dari Thebes ke Athena.” Dengan cara penalaran yang sama maka ada hubugan yang sama dari Bapa ke Anak, yang adalah paternity, dengan dari Anak ke Bapa, yang adalah filiation, sehingga tidak ada empat hubungan dalam Allah.

Aku menjawab, Berdasarkan sang Philosopher (Metaph. v), setiap hubungan didasarkan pada kuantitas, sebagai kelipatan atau pembagian, atau pada aksi dan passion, sebagai pelaku dan tindakan, bapak dan anak, tuan dan pelayan, dan sejenisnya. Sekarang karena tidak ada kuantitas dalam Allah, karena Ia adalah besar (great) tanpa kuantitas, sebagaimana dikatakan Augustine (De Trin. I, 1) maka dengan sendirinya berarti bahwa suatu hubungan nyata dalam Allah dapat didasarkan hanya pada aksi. Hubungan seperti ini tidak didasarkan pada tindakan-tindakan Allah pada prosesi keluar, sebagaimana hubungan Allah kepada ciptaan adalah tidak nyata dalam Dia (Pertanyaan 13 Artikel 7). Maka dengan sendirinya berarti bahwa hubungan nyata dalam Allah dapat dipahami hanya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang dipahami sebagai prosesi internal, bukan eksternal, dalam Allah. Prosesi-prosesi ini hanya ada dua, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 27 Artikel 5), satu berasal dari tindakan intelek, yaitu prosesi Sabda, dan yang lainnya berasal dari tindakan kehendak, yaitu prosesi kasih. Sehubungan dengan masing-masing prosesi tersebut, muncul dua hubungan oposisi, satu adalah hubungan dari pribadi yang berprosesi dari sang prinsipal, yang lainnya adalah hubungan bagi sang prinsipal itu sendiri. Prosesi Sabda disebut pemunculan (generation) dalam pemahaman yang benar akan istilah tersebut, sebagaimana yang diterapkan pada makhluk hidup. Sekarang hubungan milik sang prinsipal dari generation dalam suatu keberadaan hidup yang sempurna (perfect living being) disebut paternity, dan hubungan milik [dia] yang berprosesi dari sang prinsipal disebut filiation. Tetapi prosesi Kasih tidak mempunyai nama yang tepat bagi dirinya sendiri (Pertanyaan 27 Artikel 4), dan hubungan yang mengikutinya juga tidak memiliki nama yang tepat bagi dirinya. Hubungan milik prinsipal dari prosesi ini disebut spiration (penghembusan), dan hubungan milik pribadi yang berprosesi disebut [hanya] prosesi : meskipun dua nama ini menjadi milik dari prosesi atau asal (origin) itu sendiri, dan tidak pada hubungan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Di dalam hal-hal di mana terdapat perbedaan antara intelek dan obyeknya, dan antara kehendak dan obyeknya, sungguh dapat ada hubungan yang nyata, baik dari ilmu pengetahuan (science) kepada obyeknya, dan dari yang berkehendak kepada obyek yang dikehendaki. Dalam Allah, intelek dan obyeknya adalah satu dan sama, karena dengan memahami diri-Nya sendiri, Allah memahami segala hal lainnya, dan hal yang sama juga ditereapkan pada kehendak dan obyek yang dikehendaki-Nya. Maka dengan sendirinya dalam Allah jenis-jenis hubungan seperti tersebut tidaklah nyata, sebagaimana hubungan dari suatu benda pada dirinya sendiri juga tidak. Namun, hubungan kepada kata adalah hubungan yang nyata, karena kata dipahami sebagai berprosesi dari tindakan akal (intelligible action), dan bukan sebagai sesuatu yang dipahami. Karena saat kita memahami [apa itu] batu, maka hal yang diterima akal tentang obyek yang dipahami disebut sebagai kata.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 :  Hubungan intelek (intelligibility relations) dalam diri kita [memang] berganda tanpa batas, karena seseorang memahami [apa itu] batu melalui suatu tindakan, dan melalui tindakan lain ia memahami bahwa ia paham [apa itu] batu, dan lagi oleh lainnya, memahami bahwa ia memahami ini. Maka tindakan memahami adalah berganda tanpa batas, dan konsekuensinya hubungan yang dipahami juga [tak terbatas]. Ini tidak dapat diterapkan pada Allah, sebab Dia memahami segala sesuatu hanya melalui satu tindakan saja.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hubungan-hubungan dalam gagasan (ideal relations) ada sebagai dipahami oleh Allah. Karena itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa dari pluralitas hubungan tersebut terdapat banyak hubungan dalam Allah, tetapi Allah memahami hubungan yang banyak ini.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Kesetaraan dan kesamaan dalam Allah bukanlah hubungan-hubungan yang nyata, tetapi hanya berupa hubungan logika (Pertanyaan 42 Artikel 3 ad 4).

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Jalur dari suatu istilah kepada istilah lain dan sebaliknya adalah sama, namun hubungan timbal baliknya (mutual relations) tidaklah sama. Maka, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa hubungan dari Bapa kepada Anak adalah sama dengan Anak kepada Bapa, melainkan kita dapat menyimpulkannya sebagai sesuatu yang absolut, jika terdapat hubungan seperti itu di antara mereka.

No comments:

Post a Comment