Sunday, 9 September 2018

Damascus Road Series: Jiwa Bukanlah Sekedar Gagasan Metafisika

Source: https://static.wixstatic.com

oleh Jeff Miller
dimuat pada Majalah This Rock Volume 15 Nomor 8, Oktober 2004



Ada pepatah bahwa jika engkau ingin membuat Allah tertawa, katakan pada-Nya rencanamu. Demikian juga sebaliknya. Jika Allah ingin membuatmu tertawa, Ia akan mengatakan rencana-Nya padamu. Pada 4 April 1999, pada Malam Paskah, aku diterima ke dalam Gereja Katolik. Sekitar dua tahun sebelumnya, jika ada seorang nabi yang mengatakan padaku bahwa aku akan sangat senang saat memasuki Gereja, atau bahwa air mata akan mengaliri pipiku saat aku melakukan pengakuanku yang pertama, akan kukatakan padanya bahwa ia sangat keliru.

Aku berada dalam puncak konservatismeku pada positivisme Randian. Bagiku, sikap egois yang radikal merupakan nilai tertinggi. Berada pada puncak individualisme dan menjadi manusia yang berdiri atas usaha sendiri adalah idealisme tertinggiku. Nilai-nilai alami membantuku untuk memodifikasi positivisme ideal ini saat berhubungan dengan orang lain, tetapi itu tidak cukup. Aku sering memandang rendah mereka yang percaya pada takhyul, orang yang masih percaya pada kumpulan-kumpulan mitos semacam Allah.

Selama tahun-tahun formatif dalam hidupku, aku tumbuh di Portland, Oregon, dalam atmosfer dimana religi bukanlah bagian dari hidupku. Religi adalah suatu hal yang pribadi yang tidak pernah dibicarakan. Aku tahu bahwa teman-teman sekitar rumahku pergi ke gereja dengan orang tua mereka, dan mereka tidak pernah membicarakan tentang gereja mereka atau pertanyaan-pertanyaan religius apapun. Aku juga tahu bahwa keluarga kami dianggap aneh karena hampir tidak pernah ke gereja. Ayahku mengatakan bahwa ia seorang agnostic atau seorang “pensiunan Kristen”. Ibuku, yang meninggal tahun lalu, memasuki Gereja Katolik saat aku di SMA. Topik tentang religi adalah hal yang sangat pribadi di rumahku sehingga aku bahkan tidak tahu bahwa ibuku telah beralih dari Methodisme ke Gereja Katolik sampai bertahun-tahun kemudian.

C.S. Lewis mengatakan, “Seorang muda yang berharap untuk tetap menjadi atheis tidak boleh terlalu hati-hati akan bacaannya.” Tanpa mengetahui hal itu, aku sangat hati-hati mengenai bacaanku. Seiring pertumbuhanku, aku menikmati membaca, dan sains fiksi adalah genre pilihanku. Aku bangga akan pilihanku pada apa yang disebut “hard SF”, seperti Isaac Asimov dan Hal Clement. Aku sedikit membaca hal-hal diluar SF kecuali majalah-majalah umum mengenai sains. Aku juga menikmati kisah-kisah Sherlock Holmes. Karakter itu menarik perhatianku karena dia terlihat selalu in control dan menggunakan kemampuan akal dan sainsnya untuk memecahkan kejahatan. Aku mencoba untuk bertindak seperti Mr. Holmes dengan menaruh perhatian secara akut terhadap sekelilingku.

Persentuhanku pertama dengan religi adalah saat aku pergi dengan ibuku ke suatu gereja katolik progresif. Aku saat itu masih remaja, dan untuk menyenangkan ibuku aku pergi ke Misa. Musik yang digunakan selama Misa termasuk pilihan-pilihan semacam “Turn!Turn!Turn!”-nya Byrds dan “Day by Day” dari musical Godspell. Aku menikmati bernyanyi dan tidak memikirkan tentang lagu-lagu ini. Ibuku kenal wanita yang memimpin paduan suara, dan aku berakhir dalam audisi dan kemudian bernyanyi bersama mereka. Aku menikmati ironi menjadi atheis dan bernyanyi untuk gereja.

Suatu sore aku pergi ke tempat seorang pastor untuk suatu kelas tentang Gereja. Pastornya memberi sekilas pandang tentang Alkitab dan bahwa mujizat tidak sungguh-sungguh terjadi tetapi dapat dijelaskan dengan cara lain. Aku ingat saat itu berpikir bahwa sebagai seorang atheis aku telah tidak mempercayai mujizat. Mengapa aku harus menjadi Katolik untuk tidak mempercayai mujizat? Aku juga mendengar kata Katolikisme digunakan untuk pertama kalinya. Kata ini entah kenapa terdengar tidak menyenangkan dan terus menempel padaku. Selama periode panjang bertahun-tahun ini aku tidak pernah menerima informasi apapun tentang apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Homili-homilinya penuh dengan ajaran-ajaran sosial dan tidak lebih dari itu. Aku menerima komuni tanpa tahu apa yang kuterima. Aku pasti tertawa jika sebelumnya aku diberitahu apa yang dikatakan Katolik tentang Ekaristi, meskipun sebenarnya akan baik jika diberitahu hal yang sebenarnya. Orang tuaku akhirnya bercerai dan aku berhenti pergi ke Misa. Aku tidak berpikir bahwa perceraian orang tuaku akan mempengaruhiku. Ibuku meminta cerai dan aku mengatakan pada ayahku untuk mengabulkannya, bahwa itu bukan masalah bagiku. Selama periode ini aku tidak pernah menghubungkan kemunduran moral dan penurunan peringkatku dengan apa yang terjadi di rumah. Perceraian orang tuaku tidaklah pahit ataupun menyakitkan, tetapi hanyalah berpisah dan perubahan-perubahan yang terjadi berikutnya mempengaruhiku tanpa aku menyadarinya.

Selama tahun-tahun terakhirku di SMA aku mendaftar pada suatu kelas elektronik. Aku menikmati belajar teori elektronik dan merakit komponen-komponen dan mulai berpikir tentang suatu karir dengan melakukan hal ini. Aku akhirnya bergabung dengan Angkatan Laut dibawah program Advanced Electronics Field. Ketika aku ditanya agama apa yang kuinginkan tertulis di catatanku, aku dengan bangga berkata atheis.

Saat aku pergi ke suatu sekolah elektronik Angkatan Laut, salah seorang instruktur mengundangku ke rumahnya untuk makan malam. Yang terjadi berikutnya adalah bahwa ia adalah seorang Baptist yang mencoba membawa orang ke dalam kepercayaannya. Kami berbicara di ruang tamunya dan dia mengatakan beberapa hal yang menarik bagiku karena aku pada saat itu adalah tipikal seorang pelaut yang berada dalam party mode. Aku berusaha masuk dalam pembicaraan tetapi satu-satunya gagasan filosofis yang dapat aku pikirkan saat itu adalah suatu lirik dari “Stairway to Heaven” milik Led Zeppelin : “Yes, there are two paths you can go by, but in the long run there's still time to change the road you're on” (Ya, ada dua jalan yang dapat kau lalui, tetapi dalam perjalan panjang tetap masih ada waktu untuk berubah jalur).

Ini adalah suatu indikasi yang jelas mengenai kekurangan total pada kedalaman spiritualku saat itu, dan aku tersenyum jika mengingatnya. Malam itu berakhir dengan baptis selam dan beberapa literatur. Aku tidak pernah melihatnya lagi atau orang-orang lainnya setelah aku selesai dengan kelas tersebut, dan tidak ada follow up. Konversiku berakhir dalam dua puluh empat jam. Itu jelas suatu kasus tentang benih yang disebarkan pada tanah yang keras bercadas.

Saat ditugaskan di luar negeri, aku menikah di Filipina. Istriku adalah seorang Katolik, dan kami menikah di sebuah gereja Katolik. Gereja ini entah kenapa semacam pabrik pernikahan, dan tidak ada persiapan pernikahan yang diberikan. Selama lima belas tahun berikutnya satu-satunya saat dimana aku memasuki sebuah gereja adalah saat pembaptisan kedua anakku. Aku merasa tidak nyaman saat persiapan pembaptisan dan merasakan suatu kebohongan total saat melakukan semua itu dan pada saat yang sama menjadi seorang atheis. Selama bertahun-tahun aku tidak pernah diajarkan gagasan tentang Allah atau religi selain untuk menghinanya. Istriku terus dalam devosi pribadinya dengan beberapa buku doa yang dibawanya dan dengan doa rosario. Aku berusaha menjauhkan istriku dari apa yang aku anggap takhyul, tetapi ia dengan bijak mengabaikanku untuk hal tersebut.

Pada saat aku bergabung dengan Angkatan Laut, pandanganku hampir mirip dengan apa yang sekarang disebut liberalisme modern : Pemerintah harus melakukan apa yang dapat dilakukan untuk membantu masyarakat dan membuat hidup mereka lebih baik. Tetapi saat aku bepergian keliling dunia dan memiliki keluarga, pandanganku tentang apa yang penting dalam kehidupan berubah. Pada awal tahun sembilan puluhan aku mulai mendengarkan bincang-bincang di radio dan itu adalah G. Gordon Liddy show saat aku mendengar dia menyatakan lima bukti akan Allah sebagaimana didetailkan oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae. Aku cukup terkejut atas gagasan yang begitu rasional. Aku mulai mengamati bahwa orang-orang yang aku hormati percaya kepada Allah, dan mereka yang menyebut diri non-religius aku tidak sependapat dengan mereka dalam banyak hal.

Mungkin secara tidak sadar aku melihat atheismeku mulai kehilangan dasar karena aku secara aktif mulai menguatkan “iman” atheisku. Aku mulai membaca buku-buku tentang atheisme. Satu buku yang aku baca merekomendasikan karya Ayn Rand. Aku sungguh bersukacita membaca Atlas Shrugged, dan aku berpikir itu mengandung jawaban-jawaban yang aku butuhkan untuk dapat tetap konservatif sekaligus atheis.

Pada saat kegairahan baruku sedang meningkat, sesuatu yang akan mengubah kehidupanku terjadi. Aku terbiasa mengendarai motorku ke dan dari tempat kerja. Suatu pagi, saat aku hampir sampai pada akhir suatu blok, aku melihat sebuah mobil datang tepat ke arahku dari sebelah kanan. Orang yang ada di mobil melihat ke arah jalan utama dan tidak melihatku. Aku memperhitungkan bahwa tidak mungkin aku dapat menghindari tabrakan. Dalam detik-detik itu seluruh hidupku tidak berkelebat di mataku, tetapi hanya keyakinan bahwa aku akan mati. Mobil itu menabrakku dengan keras, dan aku terpelanting ke atapnya kemudian jatuh ke jalan. Reaksi pertamaku adalah terkejut – terkejut bahwa aku masih hidup. Banyak orang yang berhenti, dan berkerumun membantuku serta memeriksa kondisiku. Pengemudi mobil memacu mobilnya tanpa dikenali oleh mereka yang menolongku.

Aku selamat dengan cedera yang relatif ringan dan beberapa goresan. Ini sekaligus merupakan akhir dari atheismeku. Menghadapi kematian, aku menemukan bahwa aku tidak sungguh percaya bahwa jika aku mati saat itu maka keberadaanku akan lenyap dari semesta. Jiwa bukanlah sekedar gagasan metafisika.

Aku berharap konversiku semendadak Saul yang dibutakan oleh cahaya, tetapi pikiran baruku hanya tersaring secara perlahan dibenakku dan membawaku pada suatu theisme umum. Aku percaya bahwa Allah ada, dan aku tidak mempunyai gagasan apa yang harus aku lakukan mengenai informasi tersebut. Aku tahu bahwa aku sebaiknya pergi ke suatu gereja. Akan sangat sulit untuk menemukan seseorang yang se-ignorant aku mengenai Kristianitas. Aku tahu ada beberapa gereja yang berbeda dan aku tak memiliki ide apa yang menjadi perbedaan antara gereja Protestan, Katolik atau Mormon.

Kecintaanku terhadap bernyanyi juga menghubungkanku dengan lagu-lagu Natal. Pada suatu saat selama masa Natal kamu dapat menyalakan hampir radio manapun dan mendengarkan lagu-lagu ini. Ketika semakin sulit untuk menemukan lagu-lagu ini diudarakan, aku akhirnya mendengarkan stasiun radio Protestan lokal untuk mendengarkan lagu-lagu tersebut. Aku juga mulai mendengarkan pesan-pesan yang mereka sampaikan di antara lagu-lagu. Keatheisan dan stoikismeku sebelumnya tidak mempersiapkanku untuk menghadapi segala kesalahan yang telah kubuat dalam hidupku, dan sekarang aku siap untuk mengakui bahwa aku adalah seorang pendosa dan bahwa aku sedang membutuhkan seorang penebus.

Ketika Natal berakhir, aku melanjutkan mendengarkan siaran mereka dan mempelajari siapa Yesus. Aku membaca sejumlah besar buku dari beberapa tokoh Protestant terkemuka dan sedikit buku dari Katolik. Aku juga mulai membaca Alkitab, dan aku membuat kesalahan seperti yang dilakukan oleh sebagian besar pemula dengan membaca mulai dari Kejadian sampai Wahyu. Aku masih mempunyai pemikiran pagan tentang religi. Saat membaca Alkitab, aku berpikir bahwa sesuatu yang supernatural akan terjadi untuk membuktikan bahwa Alkitab benar dan bahwa Allah sungguh ada. Karena aku membaca Alkitab menggunakan kerangka referensiku sendiri, aku juga memasukkan beberapa heresi ke dalam pemahamanku. Satu hal yang kuperhatikan saat mendengarkan radio Protestant adalah bahwa seseorang yang berbicara selama satu jam sering akan melakukan kontradiksi dengan apa yang telah diucapkannya sebelumnya. Dengan segala apa yang telah aku alami dalam Gereja Katolik, aku mulai melakukan bacaan yang mendalam tentang Katolikisme.

Aku kemudian pensiun dari Angkatan Laut, dan keluargaku pindah ke Florida. Aku menemukan toko buku Katolik dan membeli sebuah Katekismus dan beberapa buku lainnya. Membaca Katekismus membuatku bergairah dengan apa yang kutemukan. Aku melihat bahwa apa yang diajarkan Gereja adalah konsisten dengan apa yang aku amati dalam hidup, dan itu dipresentasikan sebagai kesatuan yang masuk akal. Aku memiliki sisa sikap sola scriptura yang telah kuserap dari masyarakat. Aku memahami melalui media bahwa apapun pemikiran Kristen yang serius maka itu harus ada dalam Alkitab. Aku memperhatikan bahwa bagian yang kubaca dalam Katekismus tidak kulihat secara langsung dalam Alkitab.

Untungnya, kami pindah ke wilayah yang memiliki stasiun radio Katolik dan juga EWTN di televisi kabel. Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan dan jawaban-jawaban yang diberikan dalam Catholic Answers Live adalah bagian yang penting dalam konversi intelektualku. Pernah di militer, adalah mudah bagiku untuk memahami bahwa Gereja memerlukan suatu hierarki dan suatu magisterium untuk menyatakan kebenaran. Militer telah menulis instruksi-instruksi tentang hampir segala hal, meskipun demikian kami tetap harus menjelaskan kepada yang lainnya apa maksud dari instruksi-instruksi tersebut. Kadang kami harus bertanya kepada komando yang lebih tinggi untuk meyakinkan bahwa penafsiran kami benar.

Aku melihat bahwa harus ada suatu Gereja yang hidup untuk melindungi doktrin-doktrin dan menerjemahkan serta mengajarkannya tanpa kesalahan. Sejalan dengan waktu maka harus ada suatu cara untuk menanyakan pertanyaan baru yang berkembang : dengan hanya menggunakan Bible study, maka akan sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai topik-topik seperti bayi tabung dan kloning.


Para Founding Father Amerika Serikat memahami permasalahan ini saat mereka menyusun Konstitusi. Mereka tahu bahwa Konstitusi tidak dapat menafsirkan dirinya sendiri, dan mereka membentuk Supreme Court untuk melakukan penafsiran tersebut. Tentu saja, sistem ini gagal jika Supreme Court membuat interpretasi yang tidak konsisten dengan tujuan para pendiri. Karena dosa asal, tidak ada organisasi manusia yang dapat menjaga agar tidak jatuh dalam kekeliruan. Hanya melalui Roh Kudus yang membimbing Gereja maka kita yakin bahwa Gereja tidak mengajarkan kekeliruan.


Sebagaimana yang dikatakan Augustine, “Aku tidak akan mempercayai Injil jika bukan karena Gereja.” Ini sungguh merupakan Rosetta stone yang menolongku untuk mempercayai otoritas Gereja dan menerima segala ajarannya. Daripada melihat isu seperti kontrasepsi dan mempertanyakan apakah ajaran Gereja adalah benar, aku mengambil sikap bahwa aku mempercayai doktrin Gereja sebagai benar dan aku perlu mempelajari mengapa itu benar. Aku telah sampai pada penghargaan kepada harta yang sangat banyak dan agung yang telah diajarkan Gereja selama berabad-abad. Tonggak-tonggak intelektual dari iman kita adalah sesuatu yang kita tidak akan pernah kekurangan, dan setiap saat kita dapat datang kepada suatu pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran-ajaran tersebut.


Dengan pemahaman ini, aku siap memasuki Gereja. Karena perayaan Paskah sudah dekat, aku harus menunggu dan menghadiri sesi RCIA berikutnya. Istriku dan aku juga mulai menghadiri Misa harian. Kerinduanku terhadap Ekaristi meningkat, dan sungguh sulit untuk tinggal di belakang saat yang lainnya menerima Komuni. Akhirnya hari itu tiba : Aku diterima ke dalam Gereja dan dikuatkan.


Setelah menerima Komuni aku menyadari bahwa, baik secara figuratif maupun literal, aku telah melewatkan empat puluh tahun di belantara dan sekarang telah memasuki Tanah Terjanji. Aku juga tahu bahwa seperti bangsa Israel masih tetap menghadapi banyak pertempuran setelah memasuki Tanah Terjanji, aku juga masih akan menghadapi pertempuran spiritual untuk tahun-tahun ke depan.


Menulis suatu kisah konversi adalah sulit, karena kisah itu mempunyai bagian awal dan tengah, tetapi tidak sungguh-sungguh memiliki bagian akhir. Kisah-kisah konversi kita tidak berakhir dengan sungguh-sungguh sampai kematian kita, saat kita berharap mendengar, “Pelayan yang baik dan setia, masuklah kedalam sukacita tuanmu.” Untuk pergi dari padang gurun atheisme kepada pengenalan dan kecintaan akan Allah melalui Gereja-Nya adalah suatu sukacita yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.



------------




Jeffrey Miller diterima ke dalam Gereja pada 1999. Seorang pensiunan pimpinan Angkatan Laut, ia sekarang adalah seorang simulation engineer dan mengembangkan peralatan pelatihan untuk militer. Ia dan istrinya, Socorro, memiliki dua anak yang sudah dewasa. Miller menulis dari Jacksonville, Florida.






Copyright © 1979 – 2008 Catholic Answers.

Terjemahan ini telah mendapat ijin dr Cherie Peacock, editor majalah This Rock
http://www.facebook.com/home.php?sk=group_166780996252

No comments:

Post a Comment