Source: https://static.wixstatic.com |
oleh Jeff Miller
dimuat pada Majalah This Rock Volume 15
Nomor 8, Oktober 2004
Ada pepatah bahwa jika engkau ingin
membuat Allah tertawa, katakan pada-Nya rencanamu. Demikian juga sebaliknya.
Jika Allah ingin membuatmu tertawa, Ia akan mengatakan rencana-Nya padamu. Pada
4 April 1999, pada Malam Paskah, aku diterima ke dalam Gereja Katolik. Sekitar
dua tahun sebelumnya, jika ada seorang nabi yang mengatakan padaku bahwa aku
akan sangat senang saat memasuki Gereja, atau bahwa air mata akan mengaliri
pipiku saat aku melakukan pengakuanku yang pertama, akan kukatakan padanya
bahwa ia sangat keliru.
Aku berada dalam puncak konservatismeku
pada positivisme Randian. Bagiku, sikap egois yang radikal merupakan nilai
tertinggi. Berada pada puncak individualisme dan menjadi manusia yang berdiri
atas usaha sendiri adalah idealisme tertinggiku. Nilai-nilai alami membantuku
untuk memodifikasi positivisme ideal ini saat berhubungan dengan orang lain,
tetapi itu tidak cukup. Aku sering memandang rendah mereka yang percaya pada
takhyul, orang yang masih percaya pada kumpulan-kumpulan mitos semacam Allah.
Selama tahun-tahun formatif dalam
hidupku, aku tumbuh di Portland, Oregon, dalam atmosfer dimana religi bukanlah
bagian dari hidupku. Religi adalah suatu hal yang pribadi yang tidak pernah
dibicarakan. Aku tahu bahwa teman-teman sekitar rumahku pergi ke gereja dengan
orang tua mereka, dan mereka tidak pernah membicarakan tentang gereja mereka
atau pertanyaan-pertanyaan religius apapun. Aku juga tahu bahwa keluarga kami dianggap
aneh karena hampir tidak pernah ke gereja. Ayahku mengatakan bahwa ia seorang
agnostic atau seorang “pensiunan Kristen”. Ibuku, yang meninggal tahun lalu,
memasuki Gereja Katolik saat aku di SMA. Topik tentang religi adalah hal yang
sangat pribadi di rumahku sehingga aku bahkan tidak tahu bahwa ibuku telah
beralih dari Methodisme ke Gereja Katolik sampai bertahun-tahun kemudian.
C.S. Lewis mengatakan, “Seorang muda
yang berharap untuk tetap menjadi atheis tidak boleh terlalu hati-hati akan
bacaannya.” Tanpa mengetahui hal itu, aku sangat hati-hati mengenai bacaanku.
Seiring pertumbuhanku, aku menikmati membaca, dan sains fiksi adalah genre
pilihanku. Aku bangga akan pilihanku pada apa yang disebut “hard SF”, seperti
Isaac Asimov dan Hal Clement. Aku sedikit membaca hal-hal diluar SF kecuali
majalah-majalah umum mengenai sains. Aku juga menikmati kisah-kisah Sherlock
Holmes. Karakter itu menarik perhatianku karena dia terlihat selalu in
control dan menggunakan kemampuan akal dan sainsnya untuk memecahkan
kejahatan. Aku mencoba untuk bertindak seperti Mr. Holmes dengan menaruh
perhatian secara akut terhadap sekelilingku.
Persentuhanku pertama dengan religi
adalah saat aku pergi dengan ibuku ke suatu gereja katolik progresif. Aku saat
itu masih remaja, dan untuk menyenangkan ibuku aku pergi ke Misa. Musik yang
digunakan selama Misa termasuk pilihan-pilihan semacam “Turn!Turn!Turn!”-nya
Byrds dan “Day by Day” dari musical Godspell. Aku menikmati bernyanyi dan tidak
memikirkan tentang lagu-lagu ini. Ibuku kenal wanita yang memimpin paduan
suara, dan aku berakhir dalam audisi dan kemudian bernyanyi bersama mereka. Aku
menikmati ironi menjadi atheis dan bernyanyi untuk gereja.
Suatu sore aku pergi ke tempat seorang
pastor untuk suatu kelas tentang Gereja. Pastornya memberi sekilas pandang
tentang Alkitab dan bahwa mujizat tidak sungguh-sungguh terjadi tetapi dapat
dijelaskan dengan cara lain. Aku ingat saat itu berpikir bahwa sebagai seorang
atheis aku telah tidak mempercayai mujizat. Mengapa aku harus menjadi Katolik
untuk tidak mempercayai mujizat? Aku juga mendengar kata Katolikisme digunakan
untuk pertama kalinya. Kata ini entah kenapa terdengar tidak menyenangkan dan
terus menempel padaku. Selama periode panjang bertahun-tahun ini aku tidak
pernah menerima informasi apapun tentang apa yang diajarkan oleh Gereja
Katolik. Homili-homilinya penuh dengan ajaran-ajaran sosial dan tidak lebih
dari itu. Aku menerima komuni tanpa tahu apa yang kuterima. Aku pasti tertawa
jika sebelumnya aku diberitahu apa yang dikatakan Katolik tentang Ekaristi,
meskipun sebenarnya akan baik jika diberitahu hal yang sebenarnya. Orang tuaku
akhirnya bercerai dan aku berhenti pergi ke Misa. Aku tidak berpikir bahwa
perceraian orang tuaku akan mempengaruhiku. Ibuku meminta cerai dan aku
mengatakan pada ayahku untuk mengabulkannya, bahwa itu bukan masalah bagiku.
Selama periode ini aku tidak pernah menghubungkan kemunduran moral dan
penurunan peringkatku dengan apa yang terjadi di rumah. Perceraian orang tuaku
tidaklah pahit ataupun menyakitkan, tetapi hanyalah berpisah dan
perubahan-perubahan yang terjadi berikutnya mempengaruhiku tanpa aku
menyadarinya.
Selama tahun-tahun terakhirku di SMA aku
mendaftar pada suatu kelas elektronik. Aku menikmati belajar teori elektronik
dan merakit komponen-komponen dan mulai berpikir tentang suatu karir dengan
melakukan hal ini. Aku akhirnya bergabung dengan Angkatan Laut dibawah program
Advanced Electronics Field. Ketika aku ditanya agama apa yang kuinginkan
tertulis di catatanku, aku dengan bangga berkata atheis.
Saat aku pergi ke suatu sekolah
elektronik Angkatan Laut, salah seorang instruktur mengundangku ke rumahnya
untuk makan malam. Yang terjadi berikutnya adalah bahwa ia adalah seorang
Baptist yang mencoba membawa orang ke dalam kepercayaannya. Kami berbicara di
ruang tamunya dan dia mengatakan beberapa hal yang menarik bagiku karena aku
pada saat itu adalah tipikal seorang pelaut yang berada dalam party mode. Aku
berusaha masuk dalam pembicaraan tetapi satu-satunya gagasan filosofis yang dapat
aku pikirkan saat itu adalah suatu lirik dari “Stairway to Heaven” milik Led
Zeppelin : “Yes, there are two paths you can go by, but in the long run there's
still time to change the road you're on” (Ya, ada dua jalan yang dapat kau
lalui, tetapi dalam perjalan panjang tetap masih ada waktu untuk berubah
jalur).
Ini adalah suatu indikasi yang jelas
mengenai kekurangan total pada kedalaman spiritualku saat itu, dan aku
tersenyum jika mengingatnya. Malam itu berakhir dengan baptis selam dan
beberapa literatur. Aku tidak pernah melihatnya lagi atau orang-orang lainnya
setelah aku selesai dengan kelas tersebut, dan tidak ada follow up. Konversiku
berakhir dalam dua puluh empat jam. Itu jelas suatu kasus tentang benih yang
disebarkan pada tanah yang keras bercadas.
Saat ditugaskan di luar negeri, aku
menikah di Filipina. Istriku adalah seorang Katolik, dan kami menikah di sebuah
gereja Katolik. Gereja ini entah kenapa semacam pabrik pernikahan, dan tidak
ada persiapan pernikahan yang diberikan. Selama lima belas tahun berikutnya
satu-satunya saat dimana aku memasuki sebuah gereja adalah saat pembaptisan
kedua anakku. Aku merasa tidak nyaman saat persiapan pembaptisan dan merasakan
suatu kebohongan total saat melakukan semua itu dan pada saat yang sama menjadi
seorang atheis. Selama bertahun-tahun aku tidak pernah diajarkan gagasan
tentang Allah atau religi selain untuk menghinanya. Istriku terus dalam devosi
pribadinya dengan beberapa buku doa yang dibawanya dan dengan doa rosario. Aku
berusaha menjauhkan istriku dari apa yang aku anggap takhyul, tetapi ia dengan
bijak mengabaikanku untuk hal tersebut.
Pada saat aku bergabung dengan Angkatan
Laut, pandanganku hampir mirip dengan apa yang sekarang disebut liberalisme
modern : Pemerintah harus melakukan apa yang dapat dilakukan untuk membantu
masyarakat dan membuat hidup mereka lebih baik. Tetapi saat aku bepergian
keliling dunia dan memiliki keluarga, pandanganku tentang apa yang penting
dalam kehidupan berubah. Pada awal tahun sembilan puluhan aku mulai mendengarkan
bincang-bincang di radio dan itu adalah G. Gordon Liddy show saat aku mendengar
dia menyatakan lima bukti akan Allah sebagaimana didetailkan oleh Thomas
Aquinas dalam Summa Theologiae. Aku cukup terkejut atas gagasan yang begitu
rasional. Aku mulai mengamati bahwa orang-orang yang aku hormati percaya kepada
Allah, dan mereka yang menyebut diri non-religius aku tidak sependapat dengan
mereka dalam banyak hal.
Mungkin secara tidak sadar aku melihat
atheismeku mulai kehilangan dasar karena aku secara aktif mulai menguatkan
“iman” atheisku. Aku mulai membaca buku-buku tentang atheisme. Satu buku yang
aku baca merekomendasikan karya Ayn Rand. Aku sungguh bersukacita membaca Atlas
Shrugged, dan aku berpikir itu mengandung jawaban-jawaban yang aku butuhkan
untuk dapat tetap konservatif sekaligus atheis.
Pada saat kegairahan baruku sedang
meningkat, sesuatu yang akan mengubah kehidupanku terjadi. Aku terbiasa
mengendarai motorku ke dan dari tempat kerja. Suatu pagi, saat aku hampir
sampai pada akhir suatu blok, aku melihat sebuah mobil datang tepat ke arahku
dari sebelah kanan. Orang yang ada di mobil melihat ke arah jalan utama dan
tidak melihatku. Aku memperhitungkan bahwa tidak mungkin aku dapat menghindari
tabrakan. Dalam detik-detik itu seluruh hidupku tidak berkelebat di mataku,
tetapi hanya keyakinan bahwa aku akan mati. Mobil itu menabrakku dengan keras,
dan aku terpelanting ke atapnya kemudian jatuh ke jalan. Reaksi pertamaku
adalah terkejut – terkejut bahwa aku masih hidup. Banyak orang yang berhenti,
dan berkerumun membantuku serta memeriksa kondisiku. Pengemudi mobil memacu
mobilnya tanpa dikenali oleh mereka yang menolongku.
Aku selamat dengan cedera yang relatif
ringan dan beberapa goresan. Ini sekaligus merupakan akhir dari atheismeku.
Menghadapi kematian, aku menemukan bahwa aku tidak sungguh percaya bahwa jika
aku mati saat itu maka keberadaanku akan lenyap dari semesta. Jiwa bukanlah
sekedar gagasan metafisika.
Aku berharap konversiku semendadak Saul
yang dibutakan oleh cahaya, tetapi pikiran baruku hanya tersaring secara
perlahan dibenakku dan membawaku pada suatu theisme umum. Aku percaya bahwa
Allah ada, dan aku tidak mempunyai gagasan apa yang harus aku lakukan mengenai
informasi tersebut. Aku tahu bahwa aku sebaiknya pergi ke suatu gereja. Akan
sangat sulit untuk menemukan seseorang yang se-ignorant aku mengenai
Kristianitas. Aku tahu ada beberapa gereja yang berbeda dan aku tak memiliki
ide apa yang menjadi perbedaan antara gereja Protestan, Katolik atau Mormon.
Kecintaanku terhadap bernyanyi juga
menghubungkanku dengan lagu-lagu Natal. Pada suatu saat selama masa Natal kamu
dapat menyalakan hampir radio manapun dan mendengarkan lagu-lagu ini. Ketika
semakin sulit untuk menemukan lagu-lagu ini diudarakan, aku akhirnya
mendengarkan stasiun radio Protestan lokal untuk mendengarkan lagu-lagu
tersebut. Aku juga mulai mendengarkan pesan-pesan yang mereka sampaikan di
antara lagu-lagu. Keatheisan dan stoikismeku sebelumnya tidak mempersiapkanku
untuk menghadapi segala kesalahan yang telah kubuat dalam hidupku, dan sekarang
aku siap untuk mengakui bahwa aku adalah seorang pendosa dan bahwa aku sedang
membutuhkan seorang penebus.
Ketika Natal berakhir, aku melanjutkan
mendengarkan siaran mereka dan mempelajari siapa Yesus. Aku membaca sejumlah
besar buku dari beberapa tokoh Protestant terkemuka dan sedikit buku dari
Katolik. Aku juga mulai membaca Alkitab, dan aku membuat kesalahan seperti yang
dilakukan oleh sebagian besar pemula dengan membaca mulai dari Kejadian sampai
Wahyu. Aku masih mempunyai pemikiran pagan tentang religi. Saat membaca
Alkitab, aku berpikir bahwa sesuatu yang supernatural akan terjadi untuk
membuktikan bahwa Alkitab benar dan bahwa Allah sungguh ada. Karena aku membaca
Alkitab menggunakan kerangka referensiku sendiri, aku juga memasukkan beberapa
heresi ke dalam pemahamanku. Satu hal yang kuperhatikan saat mendengarkan radio
Protestant adalah bahwa seseorang yang berbicara selama satu jam sering akan
melakukan kontradiksi dengan apa yang telah diucapkannya sebelumnya. Dengan
segala apa yang telah aku alami dalam Gereja Katolik, aku mulai melakukan
bacaan yang mendalam tentang Katolikisme.
Aku kemudian pensiun dari Angkatan Laut,
dan keluargaku pindah ke Florida. Aku menemukan toko buku Katolik dan membeli
sebuah Katekismus dan beberapa buku lainnya. Membaca Katekismus membuatku
bergairah dengan apa yang kutemukan. Aku melihat bahwa apa yang diajarkan
Gereja adalah konsisten dengan apa yang aku amati dalam hidup, dan itu
dipresentasikan sebagai kesatuan yang masuk akal. Aku memiliki sisa sikap sola
scriptura yang telah kuserap dari masyarakat. Aku memahami melalui media bahwa
apapun pemikiran Kristen yang serius maka itu harus ada dalam Alkitab. Aku
memperhatikan bahwa bagian yang kubaca dalam Katekismus tidak kulihat secara
langsung dalam Alkitab.
Untungnya, kami pindah ke wilayah yang
memiliki stasiun radio Katolik dan juga EWTN di televisi kabel.
Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan dan jawaban-jawaban yang diberikan dalam
Catholic Answers Live adalah bagian yang penting dalam konversi intelektualku.
Pernah di militer, adalah mudah bagiku untuk memahami bahwa Gereja memerlukan
suatu hierarki dan suatu magisterium untuk menyatakan kebenaran. Militer telah
menulis instruksi-instruksi tentang hampir segala hal, meskipun demikian kami
tetap harus menjelaskan kepada yang lainnya apa maksud dari instruksi-instruksi
tersebut. Kadang kami harus bertanya kepada komando yang lebih tinggi untuk
meyakinkan bahwa penafsiran kami benar.
Aku melihat bahwa harus ada suatu Gereja
yang hidup untuk melindungi doktrin-doktrin dan menerjemahkan serta
mengajarkannya tanpa kesalahan. Sejalan dengan waktu maka harus ada suatu cara
untuk menanyakan pertanyaan baru yang berkembang : dengan hanya menggunakan
Bible study, maka akan sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai
topik-topik seperti bayi tabung dan kloning.
Para Founding Father Amerika Serikat
memahami permasalahan ini saat mereka menyusun Konstitusi. Mereka tahu bahwa
Konstitusi tidak dapat menafsirkan dirinya sendiri, dan mereka membentuk
Supreme Court untuk melakukan penafsiran tersebut. Tentu saja, sistem ini gagal
jika Supreme Court membuat interpretasi yang tidak konsisten dengan tujuan para
pendiri. Karena dosa asal, tidak ada organisasi manusia yang dapat menjaga agar
tidak jatuh dalam kekeliruan. Hanya melalui Roh Kudus yang membimbing Gereja
maka kita yakin bahwa Gereja tidak mengajarkan kekeliruan.
Sebagaimana yang dikatakan Augustine,
“Aku tidak akan mempercayai Injil jika bukan karena Gereja.” Ini sungguh
merupakan Rosetta stone yang menolongku untuk mempercayai otoritas Gereja dan
menerima segala ajarannya. Daripada melihat isu seperti kontrasepsi dan
mempertanyakan apakah ajaran Gereja adalah benar, aku mengambil sikap bahwa aku
mempercayai doktrin Gereja sebagai benar dan aku perlu mempelajari mengapa itu
benar. Aku telah sampai pada penghargaan kepada harta yang sangat banyak dan
agung yang telah diajarkan Gereja selama berabad-abad. Tonggak-tonggak
intelektual dari iman kita adalah sesuatu yang kita tidak akan pernah
kekurangan, dan setiap saat kita dapat datang kepada suatu pemahaman yang lebih
dalam tentang ajaran-ajaran tersebut.
Dengan pemahaman ini, aku siap memasuki
Gereja. Karena perayaan Paskah sudah dekat, aku harus menunggu dan menghadiri sesi
RCIA berikutnya. Istriku dan aku juga mulai menghadiri Misa harian. Kerinduanku
terhadap Ekaristi meningkat, dan sungguh sulit untuk tinggal di belakang saat
yang lainnya menerima Komuni. Akhirnya hari itu tiba : Aku diterima ke dalam
Gereja dan dikuatkan.
Setelah menerima Komuni aku menyadari
bahwa, baik secara figuratif maupun literal, aku telah melewatkan empat puluh
tahun di belantara dan sekarang telah memasuki Tanah Terjanji. Aku juga tahu
bahwa seperti bangsa Israel masih tetap menghadapi banyak pertempuran setelah
memasuki Tanah Terjanji, aku juga masih akan menghadapi pertempuran spiritual
untuk tahun-tahun ke depan.
Menulis suatu kisah konversi adalah
sulit, karena kisah itu mempunyai bagian awal dan tengah, tetapi tidak sungguh-sungguh
memiliki bagian akhir. Kisah-kisah konversi kita tidak berakhir dengan
sungguh-sungguh sampai kematian kita, saat kita berharap mendengar, “Pelayan
yang baik dan setia, masuklah kedalam sukacita tuanmu.” Untuk pergi dari padang
gurun atheisme kepada pengenalan dan kecintaan akan Allah melalui Gereja-Nya
adalah suatu sukacita yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
------------
Jeffrey Miller diterima ke dalam Gereja
pada 1999. Seorang pensiunan pimpinan Angkatan Laut, ia sekarang adalah
seorang simulation engineer dan mengembangkan peralatan
pelatihan untuk militer. Ia dan istrinya, Socorro, memiliki dua anak yang sudah
dewasa. Miller menulis dari Jacksonville, Florida.
Copyright © 1979 – 2008 Catholic Answers.
Terjemahan ini telah mendapat ijin dr Cherie Peacock,
editor majalah This Rock
http://www.facebook.com/home.php?sk=group_166780996252
http://www.facebook.com/home.php?sk=group_166780996252
No comments:
Post a Comment