Source: https://i.pinimg.com |
Dalam sejarah ilahi-manusia tentang
kisah sengsara Yesus, terdapat banya kisah-kisah kecil tentang pria dan wanita
yang memasuki terang cahaya kisah tersebut atau bayang-bayang gelapnya. Salah
satu yang paling tragis adalah kisah tentang Yudas Iskariot. Ini adalah satu
dari sedikit peristiwa yang ditekankan dengan penekanan yang sama oleh
masing-masing keempat Injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya. Jemaat
Kristen perdana merefleksikan kejadian ini dengan sungguh-sungguh dan kita akan
menjadi lalai jika tidak melakukannya juga. Kisah ini bercerita banyak pada
kita.
Yudas sejak awal telah dipilih untuk
menjadi bagian dari Keduabelasan. Saat menyebut namanya dalam daftar para
Rasul, Lukas Penulis Injil berkata, "Yudas Iskariot yang kemudian menjadi
(egeneto) pengkhianat" (Lk 6:16). Jadi Yudas tidak terlahir
sebagai pengkhianat dan bukan seorang pengkhianat saat Yesus memilihnya; ia
menjadi pengkhianat! Kita ada di hadapan salah satu drama tergelap tentang
kebebasan manusia.
Mengapa ia menjadi seorang pengkhianat?
Beberapa waktu lalu, ketika thesis tentang "Yesus yang revolusioner"
sedang menjadi tren, orang mencoba memberikan motivasi idealistik pada tindakan
Yudas. Beberapa melihat bahwa nama "Iskariot" adalah bentuk lain dari
"sicariot", yang berarti bahwa ia adalah salah seorang anggota
grup ekstrimis Zealot yang menggunakan semacam belati (sica) untuk
melawan Romawi; beberapa orang lain berpikir bahwa Yudas kecewa terhadap cara
Yesus mengedepankan konsep "Kerajaan Surga"-Nya dan ingin memaksa
agar Ia juga bertindak terhadap orang-orang kafir pada level politis
juga. Inilah Yudas dari drama musikal yang terkenal "Jesus Christ
Superstar" dan juga dari film-film dan novel-novel saat ini - Yudas
yang menyerupai pengkhianat budiman lainnya, Brutus, yang membunuh Julius
Caesar untuk menyelamatkan Republik Roma!
Rekonstruksi-rekonstruksi itulah yang
ditampilkan dalam beberapa literatur dan nilai-nilai artistik, tapi
rekonstruksi-rekonstruksi semacam itu tidak mempunyai dasar sejarah apapun.
Keempat Injil - satu-satunya sumber terpercaya yang kita miliki tentang
karakter Yudas - berbicara tentang motif yang lebih membumi: uang. Yudas
dipercaya memegang kas kelompok; pada peristiwa pengurapan Yesus di Bethany,
Yudas memprotes penggunaan minyak parfum yang mahal yang dituangkan Maria ke
kaki Yesus, bukan karena ia peduli pada kaum miskin tapi, sebagaimana dicatat
oleh Yohanes, "karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang
yang disimpan dalam kas yang dipegangnya“ (Yoh 12:6). Proposalnya pada Imam-imam
kepala juga jelas: "'Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku
menyerahkan Dia kepada kamu?' Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya”
(Mat 26:15).
Tapi mengapa orang terkejut dengan
penjelasan ini dan menganggapnya terlalu dangkal? Bukankah memang selalu
seperti itu dalam sejarah dan masih juga seperti itu saat ini? Mammon, uang,
tidak hanya salah satu berhala di antara banyak berhala: uang adalah
berhala par excellence, sungguh-sungguh "ilah
tuangan" (lihat Kel 34:17). Dan kita tahu mengapa memang seperti itu.
Siapa yang secara obyektif, jika tidak subyektif (kenyataannya, tidak dalam hal
niat), musuh sejati, saingan Allah, dalam dunia ini? Iblis? Tapi tak seorangpun
memutuskan untuk melayani Iblis tanpa suatu motif. Siapapun yang memilih
melayani Iblis melakukannya karena mereka percaya akan memperoleh semacam kuasa
atau keuntungan sementara darinya. Yesus memberitahu kita siapa tuan yang
lainnya itu, si anti_Allah, yaitu: "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada
dua tuan. . . . Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”
(Mat 6:24). Uang adalah "ilah yang tampak" yang berkebalikan dengan
Allah yang benar yang tak tampak.
Mammon adalah si anti-Allah karena ia
menciptakan dunia spiritual tandingan; ia menggeser tujuan nilai-nilai
theologis. Iman, harapan dan kasih tidak lagi diletakkan dalam Allah tapi dalam
uang. Terjadi perubahan yang menakutkan dalam semua nilai-nilai. Kitab Suci
berkata, “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” (Mrk 9:23),
tapi dunia berkata, “Segala sesuatu mungkin bagi yang memiliki uang.” Dan dalam
level tertentu, seluruh fakta memang menguatkan hal itu.
“Akar segala kejahatan ialah cinta
uang ,“ kata Alkitab (1 Tim 6:10). Di balik segala kejahatan dalam
masyarakat kita adalah uang, atau paling tidak uang terlibat di sana. Dari
Alkitab kita ingat bahwa kepada Molokh anak-anak laki-laki dan perempuan
dipersembahkan (lihat Yer 32:35) atau dewa Aztec yang kepadanya perlu
dipersembahkan setiap hari sejumlah jantung manusia. Apa yang ada di balik
perdagangan narkoba yang menghancurkan begitu banyak hidup manusia, di balik
fenomena mafia, di balik korupsi politis, di balik pembuatan dan penjualan
senjata, dan bahkan di balik – sungguh hal yang mengerikan untuk disebut –
penjualan organ-organ manusia yang diambil dari anak-anak? Dan krisis finansial
yang telah dilalui dunia dan masih terjadi di negeri ini, apakah itu bukan
merupakan bagian besar dari “rasa lapar yang terkutuk terhadap uang,” auri
sacra fames, bagi sebagian orang? Yudas mulai dengan mengambil uang dari
kas bersama. Apakah hal ini mengatakan sesuatu pada para administrator tertentu
untuk dana-dana public?
Tapi terlepas dari cara-cara criminal
untuk memperoleh uang seperti itu, bukankah juga merupakan skandal bahwa
beberapa orang menerima gaji dan memperoleh dana pensiun yang kadang 100 kali
lebih tinggi dari mereka yang bekerja baginya dan bahwa orang-orang tersebut
menyuarakan keberatan saat suatu rancangan diajukan untuk mengurangi gaji
mereka demi keadilan social yang lebih besar?
Dalam tahun 1970-an dan 1980-an di
Italy, untuk menjelaskan tikungan-tikungan politis yang tak terduga, penggunaan
kekuasaan secara sembunyi-sembunyi, terorisme, dan segala jenis misteri yang
menyusahkan kehidupan masyarakat sipil, orang mulai menunjuk pada gagasan
semu-mitos tentang keberadaan “seorang tua yang besar,” suatu sosok licik dan
berkuasa yang memegang segala kendali dari balik tirai demi tujuan-tujuan yang
hanya dia sendiri yang tahu. “Orang Tua” yang penuh kuasa ini memang ada dan
bukan mitos; namanya adalah Uang!
Seperti semua berhala, uang adalah penuh
daya dan berdusta: uang menjanjikan keamanan namun justru mengambilnya; uang
menjanjikan kebebasan namun justru menghancurkannya. St. Fransiskus dari Asisi,
dengan kekerasan yang bukan menjadi tipenya, menjelaskan akhir hidup dari
seorang yang hidup hanya untuk meningkatkan “modal”nya. Kematian sudah
membayangi orang tersebut, dan St. Fransiskus dipanggil. Ia bertanya pada orang
yang hampir mati itu, “Apakah engkau menginginkan pengampunan atas segala
dosamu?” dan ia menjawab, “Ya.” St. Fransiskus lalu bertanya, “Apakah engkau
siap memperbaiki segala kekeliruan yang telah kau lakukan, mengembalikan segala
sesuatu pada mereka yang telah kau tipu?” Orang yang sekarat itu menjawab, “Aku
tidak bisa melakukannya.” “Mengapa tidak bisa?” “Karena aku telah memberikan
semuanya pada semua kerabat dan temanku.” Maka matilah ia tanpa pertobatan, dan
tubuhnya telah dingin saat kerabat dan temannya berkata, “Terkutuklah ia! Ia
bisa memperoleh lebih banyak uang bagi kita, tapi ia tidak melakukannya.”
Berapa kali dalam masa sekarang kita
harus melihat kembali pada seruan Yesus yang ditujukan pada orang kaya dalam
perumpamaan seseorang yang menumpuk kekayaan tiada henti dan berpikir bahwa ia
telah merasa aman sepanjang sisa hidupnya: “Hai engkau orang bodoh, pada malam
ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk
siapakah itu nanti?” (Lk 12:20).
Orang-orang yang ditempatkan dalam
posisi memegang tanggung jawab namun tidak lagi tahu di bank atau surga moneter
mana mereka dapat menimbun hasil korupsi mereka telah mendapati diri mereka
berada dalam ruang sidang atau dalam suatu sel penjara justru saat mereka akan
berkata pada diri mereka sendiri, “Bersenang-senanglah sekarang, jiwaku.” Untuk
siapa mereka melakukan semua itu? Apakah hal semacam itu layak dilakukan?
Bukankah mereka bekerja demi kebaikan anak-anak dan keluarga mereka, atau
kelompok mereka, jika memang hal itu yang mereka cari? Bukankah mereka justru
menghancurkan diri mereka sendiri dan orang lain?
Pengkhianatan Yudas terus berlanjut
sepanjang sejarah, dan yang dikhianati selalu Yesus. Yudas menjual kepala,
sedangkan para penirunya menjual tubuh, karena orang-orang miskin adalah
anggota dari tubuh Kristus, entah mereka sadari atau tidak. “sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40). Namun,
pengkhianatan Yudas tidak hanya berlangsung dalam kasus-kasus tingkat tinggi
seperti yang telah saya contohkan. Sungguh nyaman bagi kita untuk berpikir
demikian, namun bukan itu kasusnya. Homili Rm. Primo Mazzolari yang diberikan
pada Kamis Putih 1958, tentan “Saudara Kita Yudas” tetaplah terkenal. Ia
berkata, “Biarkan saya sejenak berpikir tentang Yudas yang ada dalam diri saya,
tentang Yudas yang mungkin ada juga dalam diri Anda.”
Seseorang dapat mengkhianati Yesus demi
jenis kompensasi yang lain dan bukan demi 30 keping perak. Seorang pria yang
mengkhianati istrinya, atau seorang istri yang mengkhianati suaminya,
mengkhianati Kristus. Pelayan Allah yang tidak setia dengan pelayanannya dalam
hidupnya, atau dalam menggembalakan domba-domba yang dipercayakan padanya,
mengkianati Yesus. Siapapun yang mengkhianati kesadarannya mengkhianati Yesus.
Bahkan saya dapat mengkhianati-Nya pada saat ini – dan itu membuat saya gemetar
– bahwa saat berkhotbah tentang Yudas saya lebih menaruh perhatian pada
persetujuan para hadirin daripada keikutsertaan saya pada penderitaan berat
Sang Penyelamat. Ada hal-hal yang meringankan dalam kasus Yudas yang tidak saya
miliki. Ia tidak tahu siapa Yesus sebenarnya dan hanya menganggap-Nya sebagai
seorang yang baik; ia tidak tahu, sedangkan kita tahu, bahwa Ia adalah Anak
Allah.
Saat Paskah terus mendekat setiap tahun,
saya ingin mendengar lagi “Passion According to St. Mathew” karya Bach. Karya
itu memasukkan satu detil yang selalu menyentakkan saya. Saat pengkhianatan
Yudas diumumkan, para Rasul bertanya pada Yesus, “Apakah aku, Tuhan?” Sebelum kita
mendengar jawaban Kristus, sang composer – seakan menghapus jarak antara
peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan perayaannya saat ini – memasukkan
suatu paduan suara yang mulai dengan seperti ini: “Akulah itu; akulah sang
pengkhianat! Aku harus membayar atas dosa-dosaku.” Seperti seluruh paduan suara
dalam karya musical ini, paduan suara tersebut menyatakan perasaan orang yang
mendengarkan. Itu juga merupakan undangan bagi kita untuk mengakukan dosa kita.
Injil mengisahkan akhir hidup Yudas yang
menghebohkan: “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus
telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang
tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata:
"Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah."
Tetapi jawab mereka: "Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu
sendiri!" Maka iapun melemparkan uang perak itu ke dalam Bait Suci, lalu
pergi dari situ dan menggantung diri.” (Mat 27:3-5). Tapi marilah kita tidak
melakukan penghakiman yang terburu-buru di sini. Yesus tidak pernah
meninggalkan Yudas, dan tak seorang pun yang tahu, setelah ia menggantung
dirinya di pohon dengan tali di lehernya, ke mana ia akan berakhir: dalam
tangan Setan atau tangan Allah. Siapa yang dapat mengatakan apa yang terjadi
dengan jiwanya pada saat-saat terakhir itu? “Teman” adalah kata terakhir yang
digunakan Yesus untuk menyebutnya, dan ia tidak bisa melupakan hal itu,
sebagaimana ia juga tidak dapat melupakan tatapan Yesus.
Adalah benar bahwa saat berbicara pada
Bapa tentang para murid-Nya, Yesus berkata tentang Yudas, “tidak ada seorangpun
dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk
binasa” (Yoh 17:12). Tapi di sini, dan dalam berbagai kesempatan lain, Ia berbicara
dalam perpektif waktu dan bukan dalam perspektif kekekalan. Keparahan dari
pengkhianatan ini sendiri sudah cukup besar tanpa perlu mempertimbangkan
kesalahan yang kekal, untuk menjelaskan pernyataan lain tentang Yudas:
“celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik
bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan." (Mrk 14:21). Tujuan kekal
dari manusia adalah rahasia Allah yang tak dapat diganggu gugat. Gereja
meyakinkan kita bahwa seseorang yang dinyatakan sebagai seorang kudus telah
mengalami kebahagiaan kekal, namun Gereja tidak tahu dengan pasti apakah saat
ini ada jiwa di neraka.
Dante Aloghieri, yang menempatkan Yudas
di bagian terdalam di neraka pada “Divine Comedi”nya, bercerita tentang
percakapan terakhir Manfred, anak Frederick II dan Raja Sisilia, yang oleh
semua orang saat itu dianggap terkutuk karena ia meninggal dalam keadaan
terekskomunikasi. Setelah terluka serius dalam pertempuran, ia menceritakan
suatu rahasia pada sang penyair di masa-masa terakhir hidupnya, “…dengan
menangis, aku memberikan jiwaku / pada Ia yang berkenan menganugerahkan
pengampunan” dan ia mengirimkan pesan dari Purgatory ke dunia yang masih
relevan bagi kita:
“Sungguh mengerikan sifat dosaku, tapi
kasih tak berbatas merengkuh setiap orang yang mencarinya.”
Dalam hal inilah kisah tentang saudara
kita Yudas seharusnya menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu: agar kita
menundukkan diri kita pada Ia yang dengan sukarela mengampuni, untuk
menghamburkan diri kita pada tangan terentang Sang Tersalib. Hal paling penting
dalam kisah tentang Yudas bukanlah tentang pengkhianatannya tapi respon Yesus
terhadap pengkhianatan tersebut. Ia tahu betul apa yang ada dalam hati setiap
murid-Nya, tapi Ia tidak mengeksposnya; Ia ingin memberi kesempatan pada Yudas
bahkan sampai pada menit terakhir untuk berbalik, dan hamper melindunginya. Ia
tahu mengapa Yudas dating ke taman zaitun, tapi Ia tidak menolak ciuman
dinginnya bahkan menyebutnya “teman” (Mat 26:50). Ia mencari Petrus setelah
penyangkalannya untuk memberinya pengampunan, sehingga siapa yang tahu
bagaimana Ia mungkin mencari Yudas sepanjang perjalanan-Nya menuju Kalvari!
Saat Yesus berdoa di atas salib, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak
tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34), Ia jelas tidak mengecualikan Yudas
dari mereka yang Ia doakan.
Jadi apa yang akan kita lakukan? Siapa
yang akan kita ikuti, Yudas atau Petrus? Petrus telah menyesali apa yang ia
lakukan, tapi Yudas pada titik tertentu juga menyesal saat ia berseru, “Aku
telah mengkhianati darah tak berdosa!” and mengembalikan ketiga puluh keeping
perak. Lalu di mana perbedaannya? Hanya satu: Petrus memiliki keyakinan akan
kasih Kristus, sedangkan Yudas tidak! Dosa terbesar Yudas bukan pada
pengkhianatannya terhadap Kristus tapi pada keraguannya akan kasih-Nya.
Jika kita pernah meniru Yudas dalam
pengkhianatannya, beberapa dari kita melakukannya lebih atau kurang dari itu,
janganlah kita meniru dia dalam kurangnya rasa percaya akan pengampunan. Ada
sakramen yang melaluinya dimungkinkan bagi kita untuk memperoleh suatu
pengalaman yang pasti akan kasih Kristus: Sakramen Rekonsiliasi. Sungguh indah
sakramen ini! Sungguh indah mengalami Yesus sebagai Guru, sebagai Tuhan, namun
lebih manis saat mengalami-Nya sebagai Penebus, sebagai seseorang yang telah
menarik Anda dari jurang yang sangat dalam, seperti Ia menarik Petrus keluar
dari laut, sebagai seseorang yang menyentuhmu dan berkata, seperti yang ia
lakukan pada para penderita kusta, “Aku mau, jadilah engkau tahir” Mat 8:3).
Pengakuan dosa membuat kita mengalami
sendiri apa yang dikatakan Gereja tentang dosa Adam dalam “Exultet” di malam
Paskah: “O kesalahan yang membahagiakan yang memperoleh Penebus yang sungguh
agung dan mulia!” Yesus tahu bagaimana mengambil seluruh dosa kita, saat kita
bertobat, dan menjadikan dosa tersebut sebagai “kesalahan yang membahagiakan”,
kesalahan yang tidak akan diingat lagi kecuali untuk mengalami kasih dan
kelembutan ilahi yang disebabkan olehnya.
Saya memiliki suatu harapan bagi Anda
sekalian, para bapa yang mulia, saudara dan saudari: di Minggu Paskah, semoga
kita bangkit dan biarlah kata-kata seorang besar yang kembali pada Kristus di
masa modern ini, Paul Claudel, bergema dalam hati kita:
“Allahku, aku telah dihidupkan kembali,
dan aku ada bersama-Mu kembali!
Aku telah tertidur, tergeletak seperti
orang mati di waktu malam. Engkau berkata, “Jadilah terang!” dan aku terbangun
bagaikan suatu seruan yang diserukan keluar.
Bapaku, Engkau memberikan hidup padaku
sebelum fajar, aku meletakkan diriku di Hadirat-Mu.
Hatiku telah bebas dan mulutku
dibersihkan; tubuh dan jiwaku berpuasa. Aku telah diampuni dari segala dosaku,
yang aku akukan satu demi satu.
Cincin perkawinan ada di jariku dan
wajahku telah dibasuh. Aku seperti seorang yang tanpa dosa yang berada dalam
rahmat yang Engkau karuniakan padaku.”
Inilah yang dapat dilakukan Paskah
Kristus pada kita.
............
No comments:
Post a Comment