Sunday, 9 September 2018

Homili Rm. Raniero Cantalamessa, Pengkhotbah Rumah Tangga Kepausan, pada Jumat Agung di Vatikan, 18 April 2014


Source: https://i.pinimg.com


Dalam sejarah ilahi-manusia tentang kisah sengsara Yesus, terdapat banya kisah-kisah kecil tentang pria dan wanita yang memasuki terang cahaya kisah tersebut atau bayang-bayang gelapnya. Salah satu yang paling tragis adalah kisah tentang Yudas Iskariot. Ini adalah satu dari sedikit peristiwa yang ditekankan dengan penekanan yang sama oleh masing-masing keempat Injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya. Jemaat Kristen perdana merefleksikan kejadian ini dengan sungguh-sungguh dan kita akan menjadi lalai jika tidak melakukannya juga. Kisah ini bercerita banyak pada kita.

Yudas sejak awal telah dipilih untuk menjadi bagian dari Keduabelasan. Saat menyebut namanya dalam daftar para Rasul, Lukas Penulis Injil berkata, "Yudas Iskariot yang kemudian menjadi (egeneto) pengkhianat" (Lk 6:16). Jadi Yudas tidak terlahir sebagai pengkhianat dan bukan seorang pengkhianat saat Yesus memilihnya; ia menjadi pengkhianat! Kita ada di hadapan salah satu drama tergelap tentang kebebasan manusia.

Mengapa ia menjadi seorang pengkhianat? Beberapa waktu lalu, ketika thesis tentang "Yesus yang revolusioner" sedang menjadi tren, orang mencoba memberikan motivasi idealistik pada tindakan Yudas. Beberapa melihat bahwa nama "Iskariot" adalah bentuk lain dari "sicariot", yang berarti bahwa ia adalah salah seorang anggota grup ekstrimis Zealot yang menggunakan semacam belati (sica) untuk melawan Romawi; beberapa orang lain berpikir bahwa Yudas kecewa terhadap cara Yesus mengedepankan konsep "Kerajaan Surga"-Nya dan ingin memaksa agar Ia juga bertindak terhadap orang-orang kafir pada level politis juga. Inilah Yudas dari drama musikal yang terkenal "Jesus Christ Superstar" dan juga dari film-film dan novel-novel saat ini - Yudas yang menyerupai pengkhianat budiman lainnya, Brutus, yang membunuh Julius Caesar untuk menyelamatkan Republik Roma!

Rekonstruksi-rekonstruksi itulah yang ditampilkan dalam beberapa literatur dan nilai-nilai artistik, tapi rekonstruksi-rekonstruksi semacam itu tidak mempunyai dasar sejarah apapun. Keempat Injil - satu-satunya sumber terpercaya yang kita miliki tentang karakter Yudas - berbicara tentang motif yang lebih membumi: uang. Yudas dipercaya memegang kas kelompok; pada peristiwa pengurapan Yesus di Bethany, Yudas memprotes penggunaan minyak parfum yang mahal yang dituangkan Maria ke kaki Yesus, bukan karena ia peduli pada kaum miskin tapi, sebagaimana dicatat oleh Yohanes, "karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya“ (Yoh 12:6). Proposalnya pada Imam-imam kepala juga jelas: "'Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?' Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya” (Mat 26:15).

Tapi mengapa orang terkejut dengan penjelasan ini dan menganggapnya terlalu dangkal? Bukankah memang selalu seperti itu dalam sejarah dan masih juga seperti itu saat ini? Mammon, uang, tidak hanya salah satu berhala di antara banyak berhala: uang adalah berhala par excellence, sungguh-sungguh "ilah tuangan" (lihat Kel 34:17). Dan kita tahu mengapa memang seperti itu. Siapa yang secara obyektif, jika tidak subyektif (kenyataannya, tidak dalam hal niat), musuh sejati, saingan Allah, dalam dunia ini? Iblis? Tapi tak seorangpun memutuskan untuk melayani Iblis tanpa suatu motif. Siapapun yang memilih melayani Iblis melakukannya karena mereka percaya akan memperoleh semacam kuasa atau keuntungan sementara darinya. Yesus memberitahu kita siapa tuan yang lainnya itu, si anti_Allah, yaitu: "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. . . . Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat 6:24). Uang adalah "ilah yang tampak" yang berkebalikan dengan Allah yang benar yang tak tampak.

Mammon adalah si anti-Allah karena ia menciptakan dunia spiritual tandingan; ia menggeser tujuan nilai-nilai theologis. Iman, harapan dan kasih tidak lagi diletakkan dalam Allah tapi dalam uang. Terjadi perubahan yang menakutkan dalam semua nilai-nilai. Kitab Suci berkata, “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” (Mrk 9:23), tapi dunia berkata, “Segala sesuatu mungkin bagi yang memiliki uang.” Dan dalam level tertentu, seluruh fakta memang menguatkan hal itu.

“Akar segala kejahatan ialah cinta uang ,“ kata Alkitab (1 Tim 6:10). Di balik segala kejahatan dalam masyarakat kita adalah uang, atau paling tidak uang terlibat di sana. Dari Alkitab kita ingat bahwa kepada Molokh anak-anak laki-laki dan perempuan dipersembahkan (lihat Yer 32:35) atau dewa Aztec yang kepadanya perlu dipersembahkan setiap hari sejumlah jantung manusia. Apa yang ada di balik perdagangan narkoba yang menghancurkan begitu banyak hidup manusia, di balik fenomena mafia, di balik korupsi politis, di balik pembuatan dan penjualan senjata, dan bahkan di balik – sungguh hal yang mengerikan untuk disebut – penjualan organ-organ manusia yang diambil dari anak-anak? Dan krisis finansial yang telah dilalui dunia dan masih terjadi di negeri ini, apakah itu bukan merupakan bagian besar dari “rasa lapar yang terkutuk terhadap uang,” auri sacra fames, bagi sebagian orang? Yudas mulai dengan mengambil uang dari kas bersama. Apakah hal ini mengatakan sesuatu pada para administrator tertentu untuk dana-dana public?

Tapi terlepas dari cara-cara criminal untuk memperoleh uang seperti itu, bukankah juga merupakan skandal bahwa beberapa orang menerima gaji dan memperoleh dana pensiun yang kadang 100 kali lebih tinggi dari mereka yang bekerja baginya dan bahwa orang-orang tersebut menyuarakan keberatan saat suatu rancangan diajukan untuk mengurangi gaji mereka demi keadilan social yang lebih besar?

Dalam tahun 1970-an dan 1980-an di Italy, untuk menjelaskan tikungan-tikungan politis yang tak terduga, penggunaan kekuasaan secara sembunyi-sembunyi, terorisme, dan segala jenis misteri yang menyusahkan kehidupan masyarakat sipil, orang mulai menunjuk pada gagasan semu-mitos tentang keberadaan “seorang tua yang besar,” suatu sosok licik dan berkuasa yang memegang segala kendali dari balik tirai demi tujuan-tujuan yang hanya dia sendiri yang tahu. “Orang Tua” yang penuh kuasa ini memang ada dan bukan mitos; namanya adalah Uang!

Seperti semua berhala, uang adalah penuh daya dan berdusta: uang menjanjikan keamanan namun justru mengambilnya; uang menjanjikan kebebasan namun justru menghancurkannya. St. Fransiskus dari Asisi, dengan kekerasan yang bukan menjadi tipenya, menjelaskan akhir hidup dari seorang yang hidup hanya untuk meningkatkan “modal”nya. Kematian sudah membayangi orang tersebut, dan St. Fransiskus dipanggil. Ia bertanya pada orang yang hampir mati itu, “Apakah engkau menginginkan pengampunan atas segala dosamu?” dan ia menjawab, “Ya.” St. Fransiskus lalu bertanya, “Apakah engkau siap memperbaiki segala kekeliruan yang telah kau lakukan, mengembalikan segala sesuatu pada mereka yang telah kau tipu?” Orang yang sekarat itu menjawab, “Aku tidak bisa melakukannya.” “Mengapa tidak bisa?” “Karena aku telah memberikan semuanya pada semua kerabat dan temanku.” Maka matilah ia tanpa pertobatan, dan tubuhnya telah dingin saat kerabat dan temannya berkata, “Terkutuklah ia! Ia bisa memperoleh lebih banyak uang bagi kita, tapi ia tidak melakukannya.”

Berapa kali dalam masa sekarang kita harus melihat kembali pada seruan Yesus yang ditujukan pada orang kaya dalam perumpamaan seseorang yang menumpuk kekayaan tiada henti dan berpikir bahwa ia telah merasa aman sepanjang sisa hidupnya: “Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (Lk 12:20).

Orang-orang yang ditempatkan dalam posisi memegang tanggung jawab namun tidak lagi tahu di bank atau surga moneter mana mereka dapat menimbun hasil korupsi mereka telah mendapati diri mereka berada dalam ruang sidang atau dalam suatu sel penjara justru saat mereka akan berkata pada diri mereka sendiri, “Bersenang-senanglah sekarang, jiwaku.” Untuk siapa mereka melakukan semua itu? Apakah hal semacam itu layak dilakukan? Bukankah mereka bekerja demi kebaikan anak-anak dan keluarga mereka, atau kelompok mereka, jika memang hal itu yang mereka cari? Bukankah mereka justru menghancurkan diri mereka sendiri dan orang lain?

Pengkhianatan Yudas terus berlanjut sepanjang sejarah, dan yang dikhianati selalu Yesus. Yudas menjual kepala, sedangkan para penirunya menjual tubuh, karena orang-orang miskin adalah anggota dari tubuh Kristus, entah mereka sadari atau tidak. “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40). Namun, pengkhianatan Yudas tidak hanya berlangsung dalam kasus-kasus tingkat tinggi seperti yang telah saya contohkan. Sungguh nyaman bagi kita untuk berpikir demikian, namun bukan itu kasusnya. Homili Rm. Primo Mazzolari yang diberikan pada Kamis Putih 1958, tentan “Saudara Kita Yudas” tetaplah terkenal. Ia berkata, “Biarkan saya sejenak berpikir tentang Yudas yang ada dalam diri saya, tentang Yudas yang mungkin ada juga dalam diri Anda.”

Seseorang dapat mengkhianati Yesus demi jenis kompensasi yang lain dan bukan demi 30 keping perak. Seorang pria yang mengkhianati istrinya, atau seorang istri yang mengkhianati suaminya, mengkhianati Kristus. Pelayan Allah yang tidak setia dengan pelayanannya dalam hidupnya, atau dalam menggembalakan domba-domba yang dipercayakan padanya, mengkianati Yesus. Siapapun yang mengkhianati kesadarannya mengkhianati Yesus. Bahkan saya dapat mengkhianati-Nya pada saat ini – dan itu membuat saya gemetar – bahwa saat berkhotbah tentang Yudas saya lebih menaruh perhatian pada persetujuan para hadirin daripada keikutsertaan saya pada penderitaan berat Sang Penyelamat. Ada hal-hal yang meringankan dalam kasus Yudas yang tidak saya miliki. Ia tidak tahu siapa Yesus sebenarnya dan hanya menganggap-Nya sebagai seorang yang baik; ia tidak tahu, sedangkan kita tahu, bahwa Ia adalah Anak Allah.

Saat Paskah terus mendekat setiap tahun, saya ingin mendengar lagi “Passion According to St. Mathew” karya Bach. Karya itu memasukkan satu detil yang selalu menyentakkan saya. Saat pengkhianatan Yudas diumumkan, para Rasul bertanya pada Yesus, “Apakah aku, Tuhan?” Sebelum kita mendengar jawaban Kristus, sang composer – seakan menghapus jarak antara peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan perayaannya saat ini – memasukkan suatu paduan suara yang mulai dengan seperti ini: “Akulah itu; akulah sang pengkhianat! Aku harus membayar atas dosa-dosaku.” Seperti seluruh paduan suara dalam karya musical ini, paduan suara tersebut menyatakan perasaan orang yang mendengarkan. Itu juga merupakan undangan bagi kita untuk mengakukan dosa kita.

Injil mengisahkan akhir hidup Yudas yang menghebohkan: “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: "Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah." Tetapi jawab mereka: "Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!" Maka iapun melemparkan uang perak itu ke dalam Bait Suci, lalu pergi dari situ dan menggantung diri.” (Mat 27:3-5). Tapi marilah kita tidak melakukan penghakiman yang terburu-buru di sini. Yesus tidak pernah meninggalkan Yudas, dan tak seorang pun yang tahu, setelah ia menggantung dirinya di pohon dengan tali di lehernya, ke mana ia akan berakhir: dalam tangan Setan atau tangan Allah. Siapa yang dapat mengatakan apa yang terjadi dengan jiwanya pada saat-saat terakhir itu? “Teman” adalah kata terakhir yang digunakan Yesus untuk menyebutnya, dan ia tidak bisa melupakan hal itu, sebagaimana ia juga tidak dapat melupakan tatapan Yesus.

Adalah benar bahwa saat berbicara pada Bapa tentang para murid-Nya, Yesus berkata tentang Yudas, “tidak ada seorangpun dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa” (Yoh 17:12). Tapi di sini, dan dalam berbagai kesempatan lain, Ia berbicara dalam perpektif waktu dan bukan dalam perspektif kekekalan. Keparahan dari pengkhianatan ini sendiri sudah cukup besar tanpa perlu mempertimbangkan kesalahan yang kekal, untuk menjelaskan pernyataan lain tentang Yudas: “celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan." (Mrk 14:21). Tujuan kekal dari manusia adalah rahasia Allah yang tak dapat diganggu gugat. Gereja meyakinkan kita bahwa seseorang yang dinyatakan sebagai seorang kudus telah mengalami kebahagiaan kekal, namun Gereja tidak tahu dengan pasti apakah saat ini ada jiwa di neraka.

Dante Aloghieri, yang menempatkan Yudas di bagian terdalam di neraka pada “Divine Comedi”nya, bercerita tentang percakapan terakhir Manfred, anak Frederick II dan Raja Sisilia, yang oleh semua orang saat itu dianggap terkutuk karena ia meninggal dalam keadaan terekskomunikasi. Setelah terluka serius dalam pertempuran, ia menceritakan suatu rahasia pada sang penyair di masa-masa terakhir hidupnya, “…dengan menangis, aku memberikan jiwaku / pada Ia yang berkenan menganugerahkan pengampunan” dan ia mengirimkan pesan dari Purgatory ke dunia yang masih relevan bagi kita:

“Sungguh mengerikan sifat dosaku, tapi kasih tak berbatas merengkuh setiap orang yang mencarinya.”

Dalam hal inilah kisah tentang saudara kita Yudas seharusnya menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu: agar kita menundukkan diri kita pada Ia yang dengan sukarela mengampuni, untuk menghamburkan diri kita pada tangan terentang Sang Tersalib. Hal paling penting dalam kisah tentang Yudas bukanlah tentang pengkhianatannya tapi respon Yesus terhadap pengkhianatan tersebut. Ia tahu betul apa yang ada dalam hati setiap murid-Nya, tapi Ia tidak mengeksposnya; Ia ingin memberi kesempatan pada Yudas bahkan sampai pada menit terakhir untuk berbalik, dan hamper melindunginya. Ia tahu mengapa Yudas dating ke taman zaitun, tapi Ia tidak menolak ciuman dinginnya bahkan menyebutnya “teman” (Mat 26:50). Ia mencari Petrus setelah penyangkalannya untuk memberinya pengampunan, sehingga siapa yang tahu bagaimana Ia mungkin mencari Yudas sepanjang perjalanan-Nya menuju Kalvari! Saat Yesus berdoa di atas salib, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34), Ia jelas tidak mengecualikan Yudas dari mereka yang Ia doakan.

Jadi apa yang akan kita lakukan? Siapa yang akan kita ikuti, Yudas atau Petrus? Petrus telah menyesali apa yang ia lakukan, tapi Yudas pada titik tertentu juga menyesal saat ia berseru, “Aku telah mengkhianati darah tak berdosa!” and mengembalikan ketiga puluh keeping perak. Lalu di mana perbedaannya? Hanya satu: Petrus memiliki keyakinan akan kasih Kristus, sedangkan Yudas tidak! Dosa terbesar Yudas bukan pada pengkhianatannya terhadap Kristus tapi pada keraguannya akan kasih-Nya.

Jika kita pernah meniru Yudas dalam pengkhianatannya, beberapa dari kita melakukannya lebih atau kurang dari itu, janganlah kita meniru dia dalam kurangnya rasa percaya akan pengampunan. Ada sakramen yang melaluinya dimungkinkan bagi kita untuk memperoleh suatu pengalaman yang pasti akan kasih Kristus: Sakramen Rekonsiliasi. Sungguh indah sakramen ini! Sungguh indah mengalami Yesus sebagai Guru, sebagai Tuhan, namun lebih manis saat mengalami-Nya sebagai Penebus, sebagai seseorang yang telah menarik Anda dari jurang yang sangat dalam, seperti Ia menarik Petrus keluar dari laut, sebagai seseorang yang menyentuhmu dan berkata, seperti yang ia lakukan pada para penderita kusta, “Aku mau, jadilah engkau tahir” Mat 8:3).

Pengakuan dosa membuat kita mengalami sendiri apa yang dikatakan Gereja tentang dosa Adam dalam “Exultet” di malam Paskah: “O kesalahan yang membahagiakan yang memperoleh Penebus yang sungguh agung dan mulia!” Yesus tahu bagaimana mengambil seluruh dosa kita, saat kita bertobat, dan menjadikan dosa tersebut sebagai “kesalahan yang membahagiakan”, kesalahan yang tidak akan diingat lagi kecuali untuk mengalami kasih dan kelembutan ilahi yang disebabkan olehnya.

Saya memiliki suatu harapan bagi Anda sekalian, para bapa yang mulia, saudara dan saudari: di Minggu Paskah, semoga kita bangkit dan biarlah kata-kata seorang besar yang kembali pada Kristus di masa modern ini, Paul Claudel, bergema dalam hati kita:

“Allahku, aku telah dihidupkan kembali, dan aku ada bersama-Mu kembali!

Aku telah tertidur, tergeletak seperti orang mati di waktu malam. Engkau berkata, “Jadilah terang!” dan aku terbangun bagaikan suatu seruan yang diserukan keluar.

Bapaku, Engkau memberikan hidup padaku sebelum fajar, aku meletakkan diriku di Hadirat-Mu.

Hatiku telah bebas dan mulutku dibersihkan; tubuh dan jiwaku berpuasa. Aku telah diampuni dari segala dosaku, yang aku akukan satu demi satu.

Cincin perkawinan ada di jariku dan wajahku telah dibasuh. Aku seperti seorang yang tanpa dosa yang berada dalam rahmat yang Engkau karuniakan padaku.”

Inilah yang dapat dilakukan Paskah Kristus pada kita.


............



No comments:

Post a Comment