Sunday, 23 September 2018

Daftar Referensi


 1.    ---, ---, http://biblos.com/
2.    ---, ---, The Blue Letter Bible, http://www.blueletterbible.org/index.cfm
3.    ---, 2007, Duoay-Rheims Bible, Eulogos, http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_INDEX.HTM;
4.    Aquinas, St. Thomas, ---, De Ente et Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm
5.    Aquinas, St. Thomas, ---, Summa Contra Gentiles, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles.htm
6.    Aveling, F., 1908, Cause. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm
7.    Aveling, F., 1909, Form. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm
8.    Aveling, F., 1911, Matter. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm
9.    Geddes, L., 1911, Person. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm
10. Glen, Mgr. Paul J., ---, A Tour of the Summa, http://www.catholictheology.info/summa-theologica/index.php
11. Maher, M. ,1910, Individual, Individuality. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm
12. Munnynck, M.M., 1912, Substance. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm
13. Pace, E., 1911, Pantheism. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved December 29, 2012 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/11447b.htm
14. Rapar, Jan Hendrik, 1996, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, h. 48;
15. Reginald Garrigou-Lagrange, O. P.,  A Commentary on the First Part of St Thomas’ Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/index.php;
16. Studtmann, Paul, "Aristotle's Categories", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2008 Edition), Edward N. Zalta (ed.), http://plato.stanford.edu/archives/fall2008/entries/aristotle-categories/

Bacaan Pendukung

1. Paus Pius XI, "Studiorem Ducem (On St. Thomas Aquinas)", http://www.ewtn.com/library/encyc/p11studi.htm;

2. Joseph Kenny, O.P., "St. Thomas Aquinas' Works in English", http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/index2.htm

Daftar Istilah



1.    Aksiden (accident) : adalah suatu sifat tidak khusus yang melekat pada genus atau species sehingga bukan merupakan bagian yang hakiki. Contoh : buku yang berwarna hijau, rambut pada manusia, dan sejenisnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, h.21).

2.    Aktualitas (actuality, actus) : adalah suatu keberadaan yang nyata dan merupakan kepenuhan dari potensialitas (bdk. Catholic Encyclopedia, Actus et Potentia, http://www.newadvent.org/cathen/01124a.htm ).

3.    Tentang causes :
Dalam setiap perubahan, terdapat 4 aspek
(http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#scholastic):
1.    Sesuatu yang diubah (what) à berkaitan dengan material cause;
2.    Cara perubahannya (how) à berkaitan dengan formal cause;
3.    Agen aktif yang melakukan perubahan (‘who’) à berkaitan dengan efficient cause atau moving cause;
4.    Alasan dari perubahan (why) à berkaitan dengan final cause.
Sekarang ambil contoh perubahan dari lilin mainan berbentuk kubus menjadi berbentuk bulatan. Lilin mainan adalah sesuatu yang diubah. Kubus lilin permainan menjadi ada secara material karena ada lilin permainan. Maka lilin permainan adalah material cause-nya. Lalu cara perubahannya adalah dari bentuk satu (kubus) ke bentuk lain (bulatan). Maka bulatan, yang menyebabkannya berubah/berbeda dari keadaan awalnya, adalah formal cause. Orang yang melakukan perubahan adalah efficient cause, atau moving cause-nya. Lalu niat orang tersebut untuk menjadikan lilin plastik dari bentuk kubus ke bentuk bulatan adalah final cause-nya.

4.    Esensi (essence) : adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu lainnya menjadi ada dan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tersendiri (bdk. St. Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.6). Sebagai contoh, “kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan berbeda dengan kelompok binatang lainnya.

5.    Forma (form) : adalah sesuatu yang terlihat, yang tampak ( Catholic Encyclopedia, Form, http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm )

6.    Genus : adalah jenis yang merupakan himpunan benda, perorangan atau hal lainnya yang meliputi kelompok-kelompok terbatas yang berada di bawahnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).

7.    Kausa efisien (efficient cause) : adalah penyebab yang menghasilkan efek yang berbeda dari dirinya sendiri ( Catholic Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm )


8.    Materia (matter) : adalah elemen yang membentuk atau menyusun sesuatu ( Catholic Encyclopedia, Matterhttp://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm )

9.    Materia Utama (primary matter): banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud oleh St. Thomas Aquinas sebagai materia utama adalah semacam substansi yang lebih kecil dari atom, yang membentuk segala keberadaan fisik.

10. Potensialitas (potentiality, potentia) : adalah suatu sifat yang terbuka terhadap perubahan. Potensialitas mengarah pada keberadaan yang akan ada (bdk. Catholic Encyclopedia, Actus et Potentiahttp://www.newadvent.org/cathen/01124a.htm  ).  

11. Species : adalah kelompok-kelompok terbatas di bawah genus (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20). Hubungan genus-species adalah genus selalu meliputi species, sedangkan species tersebut dapat menjadi genus bagi kelompok-kelompok di bawahnya. Contoh (Stanford Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's Categorieshttp://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/:
Substansi :
         - Tak tergerakkan
         - Tergerakkan :
                      - Bersifat kekal
                      - Bersifat tidak kekal :
                                - Mati
                                - Hidup :
                                           - Rasional
                                           - Irasional

12. Substansi (substance) : adalah suatu keberadaan yang tinggal di dalam dirinya sendiri, dan menjadi subjek dari segala aksiden dan perubahan aksidental (Catholic Encyclopedia, Substance, http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm ). Contohnya adalah kayu. Kayu dapat utuh, terpotong-potong, kering ataupun basah, dan semuanya itu adalah kayu dengan segala aksiden dan perubahan aksidentalnya. Tapi jika kayu terbakar habis sehingga hanya menyisakan abu, maka substansi kayu sudah tida ada dalam abu tersebut.

13. Suppositum (pl. : supposita) : adalah substansi yang terindividualisasi, yang memiliki sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (bdk. Catholic Encyclopedia Personhttp://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm, dan Individual, Individualityhttp://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm ).

14. Term tengah (middle term) : adalah term yang tidak terdapat pada proposisi konklusi tapi ada di premis mayor dan premis minor (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 46). Contohnya :
Premis mayor : Semua manusia akan mati.
Premis minor   : Orang Yunani adalah manusia.
Kesimpulan     :  Orang Yunani akan mati.
Di sini manusia adalah term tengah yang menghubungkan antara premis mayor dan premis minor.


Pertanyaan 29 : Tentang Pribadi-pribadi Ilahi


Setelah mempremiskan apa yang tampaknya merupakan perhatian yang penting mengenai prosesi dan hubungan, kini kita harus mendekati subyek tentang pribadi-pribadi.
Pertama, kita akan mempertimbangkan pribadi-pribadi secara absolut, dan kemudian membandingkannya dalam hubungannya satu sama lain. Kita harus pertama mempertimbangkan pribadi-pribadi secara absolut secara umum, dan kemudian satu persatu [dari pribadi-pribadi tersebut].
Pertimbangan umum tentang pribadi-pribadi Ilahi tampaknya melibatkan empat poin : (1) Pemahaman akan istilah “pribadi”; (2) jumlah dari pribadi-pribadi; (3) apa yang terlibat sehubungan dengan jumlah pribadi-pribadi, atau yang dioposisikan darinya, seperti perbedaan, kesamaan, dan sejenisnya; (4) apa yang kita pahami tentang pribadi-pribadi tersebut.
Terdapat empat subyek bahasan dalam poin pertama :
(1)   Definisi “pribadi”;
(2)   Perbandingan pribadi terhadap esensi, subsistensi, dan hypostasis;
(3)   Apakah istilah “pribadi” dapat digunakan untuk Allah?
(4)   Istilah [pribadi] tersebut menunjukkan apa dalam Allah?


Artikel 1 : Definisi pribadi.

Keberatan 1 : Tampaknya definisi pribadi yang diberikan oleh Boethius (De Duab. Nat.) tidaklah mencukupi – yaitu : “suatu pribadi adalah suatu substansi individu dari suatu natur rasional.” Karena tidak ada bentuk tunggal (singular) yang dapat memenuhi definisi tersebut. Tetapi “pribadi” menunjukkan suatu bentuk tunggal. Maka pribadi tidak didefinisikan dengan tepat.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, substansi sebagaimana ditempatkan di atas dalam definisi tentang pribadi, adalah dapat diartikan entah sebagai substansi pertama atau sebagai substansi kedua. Jika diartikan sebagai substansi pertama, istilah “individu” tidak ada artinya, karena substansi pertama adalah substansi individu. Jika istilah “substansi” diartikan sebagai substansi kedua, istilah “individu” adalah salah, karena terdapat kontradiksi istilah, karena substansi kedua adalah “kategori” (genera [btk jamak dari genus]) ataupun “spesies”. Maka definisi tersebut adalah keliru.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu istilah yang menjelaskan suatu maksud (suatu istilah intensional) seharusnya tidak dimasukkan dalam suatu definisi tentang suatu hal, sehingga untuk mendefinisikan manusia dengan “suatu spesies dari hewan” tidaklah tepat, karena “manusia” adalah nama dari suatu benda, sedangkan “species” adalah suatu nama dari suatu maksud (intention). Maka, karena “pribadi” adalah nama dari suatu hal (karena “pribadi” menunjukkan suatu substansi dari suatu natur rasional), kata “individu” yang juga merupakan suatu nama yang menjelaskan tujuan tidaklah tepat digunakan dalam suatu definisi.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, “Natur adalah prinsipal dari pergerakan dan perhentian, dan dalam hal-hal tersebut natur bersifat esensial, bukan bersifat aksidental (atribut nonesensial),” sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles (Phys. ii). Tetapi pribadi ada dalam sesuatu dengan tak tergerakkan (immovable), sebagaimana dalam Allah dan dalam malaikat. Maka istilah “natur” tidak boleh digunakan dalam definisi tentang pribadi, tetapi lebih baik digunakan istilah “esensi”.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, jiwa adalah suatu substansi individu dari suatu natur rasional, tetapi jiwa bukanlah pribadi. Maka pribadi tidak tepat jika didefinisikan seperti di atas [pada keberatan 1].

Aku menjawab, Meskipun hal umum dan khusus ada dalam tiap kategori (genus), namun, dalam suatu cara khusus tertentu, individu adalah milik dari genus substansi. Karena substansi adalah terindividu oleh dirinya sendiri, seperti accident adalah terindividu oleh subyeknya, yang adalah substansi; karena warna putih tertentu ini disebut “ini” (tambahan penerjemah : St. Thomas sering menggunakan “whiteness” untuk menunjuk pada sifat dasar benda), karena warna putih itu ada dalam subyek tertentu ini. Dan maka masuk akal bahwa individu dari genus substansi harus mempunyai nama khusus bagi dirinya sendiri, yaitu “hypostases”, atau substansi pertama.
Lebih lanjut, dalam cara yang lebih khusus dan sempurna, kekhususan dan keindividuan ditemukan dalam substansi rasional, yang memiliki dominasi atas tindakan mereka sendiri, dan bukan hanya dibuat bertindak, seperti substansi lainnya, tetapi yang dapat bertindak sendiri, karena tindakan adalah milik dari suatu bentuk tunggal (singular). Demikian juga individu dari natur rasional memiliki suatu nama khusus bahkan diantara substansi lainnya, dan ini dinamakan “pribadi”.
Jadi istilah “substansi individu” ditempatkan dalam definisi tentang pribadi, sebagaimana menandakan suatu bentuk tunggal dalam kategori (genus) suatu substansi, dan istilah “natur rasional (rational nature)” ditambahkan, untuk menunjukkan suatu bentuk tunggal dalam substansi rasional.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun suatu bentuk tunggal ini atau itu tidak dapat didefinisikan, tetapi apa yang merupakan gagasan umum tentang suatu bentuk tunggal tersebut dapat didefinisikan, dan demikian juga sang Philosopher (De Praedic., cap. De substantia) memberikan definisi mengenai substansi awal (first substance), dan dengan cara inilah Boethius mendefinisikan pribadi.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Dalam beberapa opini, istilah “substansi” dalam definisi tentang pribadi berdiri untuk first substance, yang adalah hypostasis, maka istilah “individual” tidaklah digunakan secara berlebihan, karena dalam nama hypostasis atau first substance, gagasan menyeluruh dan perbagian sudah termasuk di dalamnya. Tetapi ketika “individual” digunakan, gagasan tentang kemungkinan-untuk-dianggap-lain (assumptibility) dikeluarkan dari “pribadi”, karena natur manusia pada Kristus bukanlah suatu pribadi, karena “pribadi” diasumsikan pada sesuatu yang lebih besar, yaitu pada sang Sabda Allah. Bagaimanapun, lebih baik untuk mengatakan bahwa “substansi” di sini diambil dalam artian umum, yang terbagi dalam substansi pertama dan kedua (first and second substance) dan ketika “individual” digunakan, penggunaannya terbatas hanya untuk first substance.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Perbedaan substansial yang tidak kita ketahui, atau paling tidak tidak ternamai oleh kita, kadang perlu untuk menggunakan perbedaan aksidental pada tempat substansial. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan bahwa api adalah suatu badan yang sederhana, panas dan kering, karena accident yang tepat adalah efek dari bentuk-bentuk substansial, dan membuat bentuk-bentuk itu terkenali. Demikian juga, istilah-istilah yang menyatakan suatu maksud dapat digunakan dalam menjelaskan kenyataan-kenyataan jika digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang belum ternamai. Maka istilah “individual” ditempatkan dalam definisi tentang pribadi untuk menunjukkan cara-berada (mode of subsistence) yang menjadi milik substansi tertentu.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Menurut Philosopher (Metaph. V, 5), kata “natur” pertama kali digunakan untuk menunjukkan pemunculan (generation) makhluk hidup, yang disebut kelahiran (nativity). Dan karena jenis generation ini datang dari suatu intrinsic principle (prinsipal dari dalam dirinya sendiri), istilah “natur” ini dikembangkan untuk menunjukkan suatu intrinsic principle dari segala jenis gerakan. Dalam artian ini Philosopher mendefinisikan “natur” (Phys. ii, 3). Dan karena principle jenis ini adalah formal sekaligus material, masing-masing materi dan forma secara umum disebut natur. Dan karena esensi dari segala hal dijadikan lengkap oleh forma, maka esensi dari segala hal, yang ditunjukkan melalui definisi, secara umum disebut natur. Dan di sini natur diletakkan pada artian itu. Sebab itu Boethius berkata (De Duab. Nat.) bahwa, “natur adalah suatu perbedaan khusus yang memberikan bentuknya pada masing-masing hal,” karena suatu perbedaan khusus menjadikan lengkap suatu definisi, dan perbedaan itu didapat dari suatu forma khusus dari suatu hal. Maka dalam definisi tentang “pribadi”, yang berarti suatu bentuk tunggal dalam genus (kategori) tertentu, adalah lebih tepat jika digunakan istilah “natur” daripada “esensi”, karena “esensi” diletakkan pada suatu keberadaan, yang adalah lebih umum.

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Jiwa adalah bagian dari human species, maka, meskipun jiwa dapat eksis dalam suatu kondisi terpisah, karena jiwa tetap memiliki natur menyatunya (nature of unibility), jiwa tidak dapat disebut sebagai suatu substansi individu, yang adalah hypostasis atau substansi dasar, sebagaimana juga tangan atau bagian lain dari manusia [tidak dapat disebut individu]. Jadi baik definisi maupun nama suatu pribadi tidak dapat dikenakan padanya.


Artikel 2 : Apakah “Pribadi” Sama dengan Hypostasis, Subsistensi, dan Esensi?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa “pribadi” sama dengan “hypostasis”, “subsistensi”, dan “esensi”, karena Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa “orang Yunani menyebut substansi individu dari suatu natur rasional dengan nama hypostasis.” Tetapi bagi kita ini berarti “pribadi”. Maka “pribadi” sama dengan “hypostasis”.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena kita mengatakan ada tiga Pribadi dalam Allah, maka kita mengatakan ada tiga subsistensi dalam Allah, sehingga secara tidak langsung “pribadi” dan “subsistensi” memiliki arti yang sama. Maka “pribadi” dan “subsistensi” adalah sama.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (Com. Praed.) bahwa kata Yunani “ousia”, yang berarti esensi, menunjukkan suatu keberadaan yang dibentuk dari materi dan forma. Sekarang, yang terbentuk dari materi dan forma adalah suatu substansi individu yang disebut “hypostasis” dan “pribadi”. Maka semua nama yang telah disebut sebelumnya kelihatannya memiliki arti yang sama.

Keberatan 4 : Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) bahwa genera (kategori) dan species hanyalah subsist (memperoleh keberadaannya), sedangkan individu tidak hanya subsistent (hidup dari), tetapi juga substand (mandiri?). Tetapi subsistensi disebut demikian karena [bersifat] subsisting (hidup dari), dan substansi atau hypostasis disebut demikian karena [bersifat] substanding (mandiri?). Karena genera dan species bukanlah hypostasis ataupun pribadi, maka genera dan species bukanlah susbistensi.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (Com. Praed.) bahwa materi disebut hypostasis, dan forma disebut “ousiosis”–yaitu subsistensi. Tetapi baik materi ataupun forma tidak dapat disebut pribadi. Maka pribadi berbeda dengan yang [telah disebutkan] lainnya.

Aku menjawab, Menurut Philosopher (Metaph. v), substansi berarti ganda. Dalam satu artian ia berarti intisari dari suatu hal, yang ditunjukkan oleh definisinya, dan sehingga kita mengatakan bahwa suatu definisi berarti suatu substansi dari suatu hal, yang dalam artian tersebut substansi dalam bahasa Yunani disebut “ousia”, yang dapat kita sebut “esensi”. Dalam artian lain substansi berarti suatu subyek atau “suppositum”, yang subsist (hidup dari) dalam kategori (genus) substansi. Terhadap ini, diambil dalam artian umum, dapat diaplikasikan suatu nama yang menyatakan suatu maksud, dan sehingga disebut “suppositum”. [Substansi] ini juga disebut dalam tiga nama yang menunjukkan suatu kenyataan – yaitu : “suatu hal dari natur”(a thing of nature), “subsistensi”, dan “hypostasis”, berdasarkan pada tiga pertimbangan tentang substansi yang dinamakan. Karena, sebagaimana hal itu ada dalam dirinya sendiri dan tidak dalam hal lain, hal itu disebut “subsistensi”, sebagaimana kita mengatakan bahwa hal-hal tersebut menghidupi (subsist) hal-hal yang ada dalam dirinya sendiri, dan tidak dalam hal lain. Jika suatu hal mendasari beberapa natur umum, maka hal itu disebut “sesuatu dari suatu natur”, sebagai contoh, seseorang khusus ini adalah suatu natur manusia. Jika sesuatu itu mendasari suatu accident, maka itu disebut “hypostasis” atau “substansi”. Apa yang [oleh] ketiga nama ini ditunjukkan secara umum dalam seluruh kategori substansi, ditunjukkan oleh “pribadi” dalam kategori substansi rasional.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Di kalangan orang Yunani, istilah “hypostasis” yang diambil dalam arti yang ketat, menunjukkan indivudu apapun dari suatu kategori substansi, tetapi dalam pembicaraan umum, “hypostasis” berarti suatu individu dari suatu substansi rasional, dengan alasan mengenai keunggulan natur tersebut.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Jika kita mengatakan “tiga pribadi” ada dalam Allah, dan “tiga subsistensi”, maka orang Yunani mengatakan “tiga hypostasis”. Tetapi karena kata “substansi” dalam arti sebenarnya, jika dihubungkan dengan arti kata “hypostasis”, digunakan di antara kita [orang Latin] dalam arti yang kurang jelas –  karena kadang-kadang kata itu berarti esensi, kadang berarti hypostasis–, maka untuk menghindari kemungkinan kekeliruan, maka dianggap bahwa lebih baik menggunakan “subsistensi” untuk “hypostasis” daripada menggunakan “substansi”.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Strictly speaking, esensi adalah apa yang diekspresikan oleh definisi tersebut (ousia). Sekarang, “ousia” terdiri dari hal-hal yang pokok tentang suatu spesies, tetapi bukan hal-hal yang pokok tentang suatu individu. Karena itu, dalam hal yang terdiri dari materi dan forma, esensi tidak hanya menunjukkan forma, juga tidak hanya menunjukkan materi, tetapi komposisi materi dan forma umum, sebagai hal yang pokok bagi spesies. Tetapi apa yang dikomposisi oleh “materi ini” dan “forma ini” memiliki natur hypostasis dan pribadi, karena jiwa, daging dan tulang adalah milik natur manusia, sedangkan “jiwa ini”, “daging ini” dan “tulang ini” adalah milik dari natur “manusia ini”. Maka hypostasis dan pribadi menambahkan hal-hal pokok individual ke dalam gagasan tetnang esensi, tetapi hypostasis dan pribadi tidak diidentifikasikan dengan esensi dalam hal-hal yang dibentuk oleh materi dan forma, sebagaimana kita katakan di atas saat membahas kesederhanaan ilahi (divine simplicity) (Pertanyaan 3 Artikel 3).

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Boethius mengatakan bahwa genera (kategori) dan species memperoleh keberadaannya (subsist) selama masing-masing dari mereka adalah bagian dari beberapa hal-hal individu untuk memperoleh keberadaannya, dari kenyataan bahwa hal-hal individu tersebut menjadi milik genera dan species yang merupakan bagian dalam predicament (hal obyektif yang nyata) dari substansi, tetapi bukan karena spesies dan genera dalam dirinya sendiri subsist, kecuali dalam pendapat Plato yang menyatakan bahwa spesies ot things ada (subsist) secara terpisah dari hal-hal tunggal. Tetapi untuk substand (mandiri?) adalah milik dari hal-hal individu yang sama dalam hubungannya dengan accident, yang adalah diluar esensi dari genera dan species.

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Individu yang terdiri dari materi dan forma substand (mandiri?) dalam hubungannya dengan accident dari natur dasar materi. Karena itu Boethius mengatakan (De Trin.) : “Suatu forma sederhana tidak dapat menjadi suatu subyek.” Hidup-dari-dirinya-sendiri (self subsistence) -nya berasal dari natur dari formanya, yang tidak berhubungan (supervene) dengan hal-hal yang memperoleh keberadaannya (subsisting), tetapi memberi eksistensi nyata kepada materi dan menjadikannya ada (subsist) sebagai suatu individu. Dalam hal ini, Boethius menganggap hypostasis sebagai materi, dan “ousiosis”, atau subsistensi, sebagai forma, karena materi adalah hal pokok dari substanding (kemandirian?), dan forma adalah hal pokok dari menjadi ada (subsisting).


Artikel 3 : Apakah Kata “Pribadi” Tepat Diberikan pada Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa kata “pribadi” tidak tepat diberikan pada Allah, karena Dionysius mengatakan (Div. Norm.) : “Tak ada yang berani untuk mengatakan atau memikirkan apapun tentang Keilahian yang supersubstantial dan tersembunyi, melampaui dari apa yang telah dinyatakan pada kita oleh para bijak.” Tetapi kata “pribadi” tidaklah dinyatakan pada kita dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru. Maka “pribadi” tidak tepat ditujukan pada Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (De Duab. Nat.) : “Kata “pribadi” tampaknya diambil dari “pribadi-pribadi” yang menampilkan karakter-karakter dalam komedi dan tragedi. Karena “pribadi” berasal dari bersuara melalui “personado” (topeng), karena sejumlah volume suara dihasilkan melalui lubang yang ada pada topeng. “Pribadi-pribadi” ini atau topeng-topeng ini oleh orang Yunani disebut “prosopa”, karena topeng-topeng ini diletakkan di wajah dan menutupi tampilan (features) dari pandangan. Hal ini hanya dapat diaplikasikan pada Allah dalam suatu artian metafora. Maka kata “pribadi” hanya ditujukan kepada Allah secara metafora.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, setiap pribadi adalah suatu hypostasis. Tetapi kata “hypostasis” tidak ditujukan pada Allah, karena, sebagaimana diakatan Boethius (De Duab. Nat.), kata itu menunjukkan subyek dari accident, yang tidak ada dalam Allah. Jerome juga mengatakan (Ep. ad Damas.) bahwa, “dalam kata hypostasis ini, racun bersembunyi dalam madu.” Maka kata “pribadi” tidak tepat ditujukan pada Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, jika suatu definisi disangkal, maka apa yang didefinisikan juga disangkal. Tetapi definisi “pribadi” sebagaimana diberikan di atas tidak diaplikasikan pada Allah, karena “akal” mengandung arti suatu pengetahuan perbagian (discursive knowledge), yang tidak diaplikasikan pada Allah sebagaimana kami buktikan di atas, (Pertanyaan 14 Artikel 12), maka Allah tidak dapat disebut memiliki “natur rasional”. Dan juga karena Allah tidak dapat disebut suatu substansi individu, karena pokok dari pengindividuan adalah materi, sedangkan Allah adalah immaterial. Allah juga bukan subyek dari accident, sehingga dapat disebut substansi. Maka kata “pribadi” sebaiknya tidak diberikan pada Allah.

Sebaliknya, Dalam Kredo Athanasius kita mengatakan : “Satu adalah pribadi Bapa, satu adalah pribadi Anak, satu adalah pribadi Roh Kudus.”

Aku menjawab, “Pribadi” menunjukkan apa yang paling sempurna dalam segala natur – yaitu, suatu individu subsistent dari suatu natur rasional. Maka, karena segala sesuatu yang sempurna harus diatribusikan pada Allah, karena esensi-Nya terdiri dari setiap kesempurnaan, kata “pribadi” ini adalah tepat diberikan pada Allah, bukan sebagaimana kata itu diaplikasikan pada makhluk, tetapi dalam cara yang lebih unggul, sebagaimana nama lainnya juga, yang selain kita berikan pada makhluk, kita tujukan juga pada Allah, sebagaimana kami tunjukkan diatas saat membahas nama-nama Allah )Pertanyaan 13 Artikel 2).

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun kata “pribadi” tidak ditemukan diaplikasikan kepada Allah dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru, namun apa yang ditunjukkan oleh kata itu ditemukan ditujukan pada Allah dalam banyak tempat dalam Alkitab, seperti bahwa Ia adalah keberadaan yang maha ada dari diri-Nya sendiri (self subsisting), dan keberadaan bernalar yang paling sempurna. Jika kita hanya dapat berbicara tentang Allah sebatas pada istilah-istilah yang ada di Alkitab, maka tak seorangpun dapat berbicara mengenai Allah selain dalam bahasa asli dari Perjanjian Lama dan Baru. Kemendesakan untuk menangkal heresi menjadikan penting untuk menemukan kata-kata baru yang mengekspresikan iman kuno tentang Allah. Sesuatu yang baru seperti itu tidak perlu dihindari, karena itu bukanlah sesuatu yang profan (mencemarkan), karena hal-hal tersebut tidak membawa kita menjauh dari pemahaman tentang Alkitab. Para Rasul mengingatkan kita untuk menghindarkan “kata-kata baru yang profan” (1 Tim 6:20).

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Meskipun kata “pribadi” ini mungkin tidak menjadi milik Allah sehubungan dengan asal dari istilah itu, namun istilah itu secara lebih unggul menjadi milik Allah dalam artiannya yang obyektif. Karena sebagaimana orang-orang terkenal direpresentasikan dalam [pementasan drama] komedi dan tragedi, kata “pribadi” diberikan untuk menunjukkan mereka yang memiliki martabat tinggi. Oleh karena itu, mereka yang memiliki kedudukan tinggi dalam Gereja disebut “pribadi”. Kemudian oleh beberapa orang definisi “pribadi” diberikan sebagai “hypostasis yang berbeda berdasarkan martabat”. Dan karena substansi dalam suatu natur rasional adalah suatu martabat yang tinggi, maka setiap individu dari natur rasional disebu “pribadi”. Sekarang martabat dari natur ilahi mengungguli segala martabat lainnya, dan sehingga kata “pribadi” dengan sangat unggul adalah milik Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Kata “hypostasis” tidak diaplikasikan pada Allah sehubungan dengan sumber asalnya, karena Allah mendasari accident, tetapi istilah itu diaplikasikan pada-Nya dalam artian obyektifnya, karena lebih menunjuk pada subsistensi. Jerome mengatakan bahwa “racun tersembunyi dalam kata ini” karena sebelum istilah itu dipahami sepenuhnya oleh orang-orang Latin, kaum heretik menggunakan istilah ini untuk menyesatkan orang-orang sederhana, untuk membuat masyarakat mengakui ada banyak esensi sebagaimana mereka mengakui banyak hypostasis, karena kata “substance” yang berhubungan dengan hypostasis dalam bahasa Yunani, diterima secara umum dalam kita [orang Latin] sebagai esensi.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Dapat dikatakan bahwa Allah memiliki ‘natur’ rasional, jika nalar digunakan dalam arti umum, bukan dalam arti pikiran-pikiran yang terpisah. Tetapi Allah tidak dapat disebut “individu” dalam artian bahwa keindividuan-Nya berasal dari materi, tetapi hanya dalam artian yang menyatakan ke-tidakterkomunikasikan-an (incommunicability). “Substansi” dapat diaplikasikan pada Allah dalam artian yang menunjukkan keberadaan-dari-dirinya-sendiri (self-subsistence). Tetapi, ada bebarapa orang yang mengatakan bahwa definisi oleh Boethius yang dikutip di atas (Artikel 1), tidaklah suatu definisi tentang pribadi dalam artian yang kita gunakan saat berbicara tentang pribadi dalam Allah. Maka Richard of St. Victor mengubah definisi ini dengan menambahkan bahwa “Pribadi” dalam Allah adalah “eksistensi natur ilahi yang tak terkomunikasikan”.

Pertanyaan 28 : Tentang Hubungan-hubungan Ilahi


Hubungan-hubungan ilahi adalah yang dipertimbangkan selanjutnya, dalam empat poin bahasan :
1.    Apakah ada hubungan-hubungan nyata di dalam Allah?
2.    Apakah hubungan-hubungan itu adalah esensi (essence) ilahi itu sendiri, atau berkaitan dengan hubungan luar?
3.    Apakah dalam Allah dapat ada beberapa hubungan yang berbeda satu sama lain?
4.    Jumlah dari hubungan ini.

Artikel 1 : Apakah Ada Hubungan-hubungan Nyata di Dalam Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada hubungan nyata dalam Allah. Karena Boethius berkata (De Trin. iv), “Segala hal sulit yang mungkin ada tentang Ketuhanan berhubungan dengan substansi, karena tidak ada yang dapat diberi predikat secara relatif.” Tetapi apa yang sungguh ada dalam Allah dapat dipredikatkan pada-Nya. Maka tidak ada hubungan yang nyata dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius mengatakan (De Trin. iv) bahwa, “Hubungan dalam Tritunggal dari Bapa ke Anak, dan dari keduanya kepada Roh Kudus, adalah hubungan dari yang sama kepada yang sama.” Tetapi suatu hubungan dari jenis ini hanyalah suatu hubungan logika (logical), karena hubungan yang nyata pada kenyataannya memerlukan dan menyatakan dua syarat. Maka hubungan ilahi bukanlah hubungan sesungguhnya, melainkan hanya dibentuk oleh pikiran.

Keberatan 3 : hubungan kebapakan (paternity) adalah hubungan dari suatu prinsipal. Tetapi untuk mengatakan bahwa Allah adalah prinsipal dari ciptaan-ciptaan tidaklah memasukkan hubungan nyata apapun, tetapi hanya hubungan logika. Maka kebapakan dalam Allah bukanlah suatu hubungan nyata, hal yang sama juga diterapkan pada hubungan lain dalam Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, pemunculan ilahi (divine generation) berprosesi dengan jalan suatu kata yang jelas (intelligible). Tetapi hubungan yang mengikuti tindakan intelek adalah hubugan logika. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation) dalam Allah, sebagai akibat dari pemunculan, hanyalah hubungan logika.

Sebaliknya,  Bapa disebut hanya dari kebapakan, dan Anak hanya dari peranakan. Maka, jika tidak ada kebapakan atau peranakan dalam Allah, maka dengan sendirinya Allah bukanlah Bapa atau anak yang sesungguhnya, tetapi hanya cara pemahaman kita, dan inilah kesesatan Sabellian.

Aku menjawab, hubungan sungguh ada dalam Allah. Sebagai bukti maka kita dapat mempertimbangkan bahwa dalam hubungan sendiri ditemukan sesuatu yang hanya ada dalam pemahaman dan bukan dalam kenyataan. Ini tidak ditemukan dalam hal (genus) lain, sebagaimana hal  lain, seperti kuantitas dan kualitas, dalam arti yang ketat dan tepat, menunjukkan sesuatu yang melekat pada suatu subyek. Tetapi hubungan, dalam arti tepatnya, hanya menunjukkan apa yang mengacu pada yang lainnya. Hal berhubungan dengan sesuatu lainnya, kadang ada dalam natur benda-benda, yang dalam hal-hal tersebut oleh natur dasar mereka diurutkan satu sama lain, dan memiliki kecenderungan satu sama lain; dan yang seperti itulah hubungan yang sebenarnya, sebagaimana dalam benda padat ditemukan suatu kecenderungan dan aturan ke pusat, maka dalam benda padat ada kepatuhan tertentu kepada pusat dan hal yang sama berlaku bagi benda lainnya. Kadang, yang satu berkenaan dengan lainnya, yang ditunjukkan melalui hubungan, ditemukan hanya dalam pemahaman nalar yang membandingkan hal yang satu dengan lainnya, dan ini hanyalah hubungan logika, sebagai contohnya, saat nalar membandingkan manusia dengan binatang sebagai spesies dan genus. Tetapi ketika sesuatu berprosesi dari suatu prinsipal dengan natur yang sama, maka keduanya, yang berprosesi dan sumber prosesi, sepakat dalam aturan yang sama, dan kemudian mereka memiliki hubungan yang nyata satu sama lain. Oleh karena itu sebagaimana prosesi-prosesi ilahi berada dalam natur yang sama, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 27, Artikel 2 dan 4), hubungan-hubungan ini, berdasarkan prosesi-prosesi ilahi, adalah hubungan yang nyata.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Hubungan tidak dipredikatkan pada Allah berdasarkan pada arti formal dan tepatnya, dapat dikatakan demikian, sejauh arti tepatnya menunjuk pada perbandingan yang didalamnya melekat suatu hubungan, tetapi hanya menunjuk yang berhubungan dengan hal lainnya. Namun, Boethius tidak ingin mengecualikan hubungan dalam Allah, tetapi ia bermaksud menunjukkan bahwa hubungan tidak dipredikatkan pada-Nya sehubungan dengan persatuan (mode of inherence) dalam-Nya dalam arti yang ketat tentang hubungan, tetapi lebih pada cara berhubungan dengan lainnya.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hubungan yang ditunjukkan dengan istilah “kesamaan” hanyalah hubungan logika saja, jika memperhatikan kesamaan absolut, karena hubungan semacam itu hanya dapat ada dalam suatu aturan tertentu yang teramati oleh nalar sehubungan dengan aturan tentang segala hal baginya, berdasar dua hal yang berasal darinya. Kasusnya adalah sebaliknya, jika beberapa hal disebut sama, bukan secara numerikal, tetapi secara generik atau spesifik. Maka Boethius menyamakan hubungan ilahi dengan suatu hubungan identitas, bukan dalam segala hal, tetapi hanya sehubungan dengan fakta bahwa tidak terdapat pembedaan substansi oleh hubungan-hubungan ini, juga tidak oleh hubungan identitas.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana ciptaan berprosesi dari Allah dalam keragaman natur, Allah berada di luar aturan tentang segala ciptaan, juga tidak segala hubungan pada ciptaan muncul dari natur-Nya, karena Dia tidak menghasilkan ciptaan karena natur-Nya mengharuskan-Nya demikian, tetapi melalui intelek dan kehendak-Nya, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 14 Artikel 3 & 4, Pertanyaan 19 Artikel 8). Maka di dalam Allah tidak ada hubungan yang nyata terhadap ciptaan, sedangkan dalam ciptaan ada hubungan yang nyata terhadap Allah, karena ciptaan mengandung aturan ilahi, dan natur dasarnya adalah bergantung pada Allah. Di lain pihak, prosesi ilahi adalah dalam natur yang satu dan sama. Maka tidak terdapat paralel

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Hubungan yang hanya merupakan akibat dari operasi mental dalam obyek yang dipahami,hanyalah hubungan logika, karena nalar mengamati mereka sebagai ada di antara dua obyek yang diterima oleh akal. Hubungan-hubungan itu, yang mengikuti operasi intelek, dan ada di antara kata yang secara intelektual berprosesi dan sumber prosesinya, bukanlah hubungan logika saja, tetapi hubungan nyata, karena sebagaimana intelek dan nalar adalah hal yang nyata, dan sungguh berhubungan dengan apa yang berprosesi melalui mereka dengan jelas (intelligibly), sebagaimana suatu makhluk corporeal (tambahan penerjemah : badan, materi) berhubungan dengan yang berprosesi darinya secara badaniah. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation) adalah hubungan-hubungan nyata dalam Allah.


Artikel 2 : Apakah Hubungan dalam Allah sama dengan Esensi-Nya?

Keberatan 1 : Tampaknya hubungan ilahi tidak sama dengan esensi ilahi, Karena Augusine mengatakan (De Trin. v) bahwa “tidak semua yang dikatakan tetang Allah adalah esensi-Nya, karena jika kita mengatakan sesuatu tentang hubungan, sebagaimana Bapa dalam hubungan-Nya dengan Anak, hal semacam itu tidak berkenaan dengan substansi.” Maka, hubungan tersebut bukanlah esensi ilahi.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Augustine mengatakan (De Trin. Vii) bahwa “setiap eksperesi tentang hubungan adalah sesuatu di luar hubungan yang diekspresikan, sebagaimana tuan adalah manusia dan budak adalah manusia.” Maka, jika hubungan ada dalam Allah, harus ada sesuatu yang lain selain hubungan dalam Allah. Ini hanya dapat berupa esensi Allah. Maka, esensi berbeda dengan hubungan.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, esensi dari [suatu] hubungan adalah hal berkenaan dengan yang lain, sebagaimana dikatakan oleh sang Philosopher (Praedic. v). Maka jika hubungan adalah [sama dengan] esensi ilahi, dengan sendirinya [berarti] bahwa esensi ilahi pada dasarnya adalah suatu hubungan dengan sesuatu yang lain, yang mana [ide] ini sungguh menjijikkan mengenai kesempurnaan esensi ilahi, yang sangat mutlak dan ada dengan sendirinya (self subsisting) (Pertanyaan 3 Artikel 4). Maka hubungan [dalam Allah] bukanlah esensi ilahi.

Sebaliknya, Segala sesuatu yang bukan esensi ilahi adalah makhluk ciptaan. Tetapi hubungan sungguh ada dalam Allah, dan jika itu bukan esensi ilahi, maka itu adalah ciptaan, dan [hubungan] itu tidak berhak mendapatkan penghormatan latria (tambahan penerjemah : penyembahan yang hanya ditujukan pada Allah), yang bertentangan dengan yang dinyanyikan dalam Prefasi : “Marilah kita menyembah perbedaan Pribadi, dan kesetaraan kemuliaan mereka.”

Aku menjawab, Dikabarkan bahwa Gilbert de la Porree melakukan kesalahan pada poin ini, tetapi kemudian menarik kembali kekeliruannya pada Konsili Rheims. Dia mengatakan bahwa hubungan ilahi adalah asisten, atau suatu tambahan eksternal yang melekat.

Untuk memahami kesalahannya, kita harus memperhatikan bahwa dalam masing-masing dari sembilan kategori (genera) dari accident (tambahan penerjemah : accident adalah ‘nonessential attributes’ dari suatu substansi. Sembilan kategori dari accident adalah : kuantitas, kualitas, relasi, aksi, passion, lokasi, durasi, posisi dan habiliment [pakaian?]. Accident dapat dikatakan adalah atribut suatu substansi dibandingkan dengan substansi lain) terdapat dua poin untuk diperhatikan. Satu adalah natur dari masing-masing kategori sehingga dianggap sebagai accident, yang secara umum diaplikasikan pada masing-masing dari mereka sebagai melekat pada suatu subyek, karena esensi dari suatu accident adalah untuk melekat. Poin perhatian lainnya adalah natur yang tepat (proper nature) dari masing-masing kategori (genera). Dalam suatu kategori, terpisah dari yang ada dalam [kategori] “hubungan (relation)”, sebagaimana dalam [kategori] kuantitas dan kualitas, bahkan gagasan yang benar tentang kategori itu sendiri berasal dari suatu perhatian (respect) terhadap subject, karena kuantitas disebut ukuran dari substansi, dan kualitas adalah watak (disposition) dari substansi. Tetapi gagasan yang benar tentang hubungan tidak diambil dari perhatiannya terhadap hubungan itu sendiri, tetapi terhadap sesuatu di luar. Jadi jika kita memperhatikan bahkan pada makhluk ciptaan, hubungan secara formal seperti itu(tambahan : hubungan yang berhubungan dengan sesuatu di luar), dalam aspek tersebut hubungan-hubungan itu tidak disebut sebagai “asisten”, dan tidak dilekatkan pada hakekatnya, karena, dalam hal ini, hubungan-hubungan itu menunjukkan suatu perhatian (a respect) yang mempengaruhi sesuatu yang dihubungkan dan berkecenderungan dari hal tersebut kepada hal lainnya, oleh karena itu, jika hubungan dianggap sebagai accident, hubungan itu ada dalam subyek, dan memiliki keberadaan yang bersifat accident. Gilbert de la Porree memahami hubungan hanya dalam pemahaman yang pertama (tambahan penerjemah : bahwa hubungan bukan accident, tetapi berhubungan dengan sesuatu di luar).

Sekarang apapun dalam ciptaan yang memiliki keberadaan yang bersifat accident, saat hal tersebut dipertimbangkan diterapkan kepada Allah, memiliki keberadaan yang bersifat pokok (substantial), karena tidak ada accident (tamb. : atribut yang nonesensial) di dalam Allah, karena segala sesuatu dalam Dia adalah esensi-Nya. Maka, jika pada ciptaan hubungan memiliki keberadaan accidental, hubungan yang sungguh nyata ada dalam Allah memiliki keberadaan esensi ilahi yang tidak berbeda [darimana hubungan itu berasal]. Tetapi jika hubungan menyatakan keterkaitannya (respect) dengan sesuatu yang lain, [maka] tidak ada keterkaitan esensi, tetapi lebih pada istilah sebaliknya.

Maka nyatalah bahwa hubungan yang sungguh ada dalam Allah adalah sungguh sama dengan esensi-Nya dan hanya berbeda pada cara pemahamannya (mode of intelligibility), sebagaimana dalam hubungan diartikan sebaliknya jika tidak diekspresikan atas nama (tamb. : mewakili) esensi tersebut. Maka jelas bahwa dalam Allah hubungan dan esensi tidak berbeda satu sama lain, tetapi satu dan sama.

Jawaban atas Keberatan 1 : Kata-kata Augustine ini tidak berarti bahwa paternity atau hubungan lainnya yang ada dalam Allah tidak dalam keberadaan yang sama dengan esensi ilahi, tetapi bahwa hal tersebut tidak dipredikatkan pada moda substansi, sebagaimana ada [substansi lain] dalam Dia yang diberi predikat, tetapi sebagai suatu hubungan. Maka dikatakan bahwa hanya ada dua status obyektif yang nyata (predicaments) dalam Allah, karena status-status obyektif yang nyata (predicaments) lainnya mengambil kebiasaan (habitude) dari hal-hal sesuai yang dibicarakannya, baik dalam natur generik maupun spesifiknya; tetapi tidak satupun yang ada dalam Allah dapat memiliki hubungan pada sesuatu dimana ia berada atau sesuatu yang dibicarakan, kecuali hubungan identitas, dan ini didasari pada kesangatsederhanaan Allah.

Jawaban atas Keberatan 2 : Sebagaimana hubungan yang ada dalam ciptaan melibatkan tidak hanya suatu perhatian kepada lainnya, tetapi juga sesuatu yang absolut, maka hal yang sama berlaku bagi Allah, meskipun tidak dalam cara yang sama. Apa yang terkandung dalam ciptaan yang melebihi dari apa yang terkandung dalam arti suatu hubungan, adalah sesuatu di luar relasi [itu sendiri], karena dalam Allah tidak ada pembedaan, tapi satu dan sama, dan ini tidak diekspresikan secara sempurna dengan istilah “hubungan”, seolah seperti yang dipahami dalam arti yang umum tentang istilah tersebut. Karena telah dijelaskan di atas (Pertanyaan 13 Artikel 2), saat membahas tentang nama-nama ilahi, bahwa ada lebih yang terkandung dalam kesempurnaan esensi ilahi (divine essence) daripada yang dapat ditandakan oleh nama apapun. Maka tidak dengan sendirinya bahwa ada dalam Allah sesuatu di luar hubungan nyata, tetapi hanya beragam nama yang diberikan oleh kita.

Jawaban atas Keberatan 3 : Jika kesempurnaan ilahi mengandung hanya apa yang ditandakan oleh nama-nama yang berkenaan dengan hubungan, maka dengan sendirinya kesempurnaan itu tidak sempurna, karena berhubungan dengan sesuatu hal lain, sebagaimana dalam cara yang sama, jika tidak ada hal lain yang terkandung dalam kesempurnaan ilahi itu daripada apa yang ditandakan oleh istilah “kebijaksanaan”, kesempurnaan itu bukanlah suatu subsistence (sesuatu yang menghidupi). Tetapi karena kesempurnaan esensi ilahi adalah lebih besar dari pada yang dapat dicakup oleh nama apapun, maka jika suatu istilah mengenai hubungan atau nama lainnya yang berikan pada Allah menunjukkan sesuatu ketidaksempurnaan, tidak berarti bahwa esensi ilahi dalam hal tertentu adalah tidak sempurna, karena esensi ilahi memahami dalam dirinya sendiri suatu kesempurnaan dari setiap kategori (genus) (Pertanyaan 4 Artikel 2).

  

Artikel 3 : Apakah Hubungan-hubungan dalam Allah Sungguh Berbeda Satu Sama Lain?

Keberatan 1 : Tampaknya hubungan-hubungan ilahi tidak berbeda satu sama lain, karena hal-hal yang diidentifikasi sebagai hal-hal yang sama, adalah identik satu sama lain. Tetapi setiap hubungan dalam Allah adalah sama dengan esensi ilahi. Maka hubungan-hubungan itu tidak berbeda satu sama lain.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena paternity dan filiation dari namanya dibedakan dengan esensi ilahi, maka demikian juga kebaikan dan kuasa. Tetapi pembedaan jenis ini tidak membuat pembedaan nyata apapun tentang kebaikan dan kuasa ilahi. Maka juga tidak ada pembedaan yang nyata dari paternity dan filiation.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, dalam Allah tidak ada pembedaan yang nyata kecuali tentang asal (origin). Tetapi satu hubungan tampaknya tidak muncul dari hubungan lainnya. Maka hubungan-hubungan yang ada tidak sungguh berbeda satu sama lain.

Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Trin.) bahwa dalam Allah “substansi mengandung kesatuan, dan hubungan menghasilkan (multiply) Tritunggal.” Oleh karena itu, jika hubungan-hubungan itu tidak sungguh berbeda satu sama lain, maka tidak ada Tritunggal yang nyata dalam Allah, hanya suatu gagasan tentang tritunggal, yang adalah kesesatan dari Sabellius.

Aku menjawab, Pengatribusian sesuatu pada lainnya melibatkan pengatribusian sebagaimana yang ada pada apapun yang terkandung di dalamnya. Maka saat “manusia” diatribusikan pada sesuatu, suatu natur rasional juga diatribusikan padanya. Gagasan tentang hubungan, bagaimanapun juga, setepatnya berarti perhatian satu sama lain, sebagaimana sesuatu secara relatif dihadapkan (opposed) pada lainnya. Maka sebagaimana dalam Allah ada suatu hubungan nyata (Artikel 1), harus ada juga suatu oposisi nyata. Natur dasar dari hubungan oposisi ini termasuk pembedaan. Oleh karena itu, harus ada pembedaan nyata dalam Allah, bukan berdasar sesuatu yang absolut, katakanlah tentang esensi, yang mana di dalamnya terdapat persatuan dan kesederhanaan tertinggi, tetapi tentang suatu hubungan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Menurut sang Philosopher (Phys. Iii), argumen ini beranggapan bahwa hal-hal apapun yang diidentifikasikan sebagai hal-hal yang sama adalah identik satu sama lain, jika identitas tersebut nyata dan logis, sebagai contoh, suatu jubah ( a tunic) dan suatu jas (a garment), tetapi tidak jika mereka berbeda secara logis. Maka dalam hal yang sama dikatakan bahwa meskipun aksi adalah sama dengan gerakan, demikian juga nafsu (passion), tetap saja tidak berarti bahwa aksi dan nafsu (passion) adalah hal yang sama, karena aksi merujuk pada sesuatu yang “darinya (from which)” terdapat gerakan dalam sesuatu yang digerakkan, sedangkan nafsu (passion) merujuk pada sesuatu “dari (which is from)” hal lain. Maka, meskipun paternity, seperti juga filiation, adalah sungguh sama dengan esensi ilahi,

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kuasa dan kebaikan tidak menyebabkan oposisi apapun dalam natur mereka, maka tidak ada argumen paralel.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Meskipun hubungan-hubungan, setepatnya, tidak saling memunculkan atau berprosesi, namun hubungan-hubungan itu dipahami sebagai beroposisi berdasarkan prosesi dari satu ke lainnya.

  

Artikel 4 : Apakah dalam Allah Hanya Ada Empat Hubungan yang Nyata – Paternity, Filiation, Spiration dan Procession?

Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah tidak hanya ada empat hubungan yang nyata – paternity, filiation, spiration dan procession, karena harus diamati bahwa dalam Allah ada hubungan-hubungan dari agen berakal dengan obyek yang dipahami, dan satu antara yang berkehendak dengan obyek yang dikehendaki, yang adalah hubungan-hubungan yang sungguh nyata yang tidak termasuk [keempat] yang telah dispesifikasikan di atas. Maka tidak hanya ada empat hubungan nyata dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, hubungan-hubungan nyata dalam Allah dipahami datang dari prosesi Sabda. Tetapi hubungan-hubungan yang jelas (intelligible) berkembang secara tak berhingga, sebagaimana dikatakan Avicenna. Maka dalam Allah terdapat seri hubungan nyata yang tak berhingga.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, gagasan dalam Allah adalah kekal (Pertanyaan 15 Artikel 1), dan hanya dibedakan satu sama lain melalui alasan hubungan mereka terhadap hal-hal, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Maka dalam Allah ada lebih banyak hubunga-hubungan kekal.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, kesetaraan dan kesamaan, dan identitas, adalah hubungan-hubungan, dan mereka ada dalam Allah sejak kekal. Maka [terdapat] beberapa hubungan lagi yang kekal dalam Allah selain yang telah disebutkan di atas.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, sebaliknya juga dikatakan bahwa ada lebih sedikit hubungan dalam Allah dibanding [keempat] hubungan yang telah disebutkan di atas, karena menurut sang Philosopher (Phys. iii tekt 24), “Adalah jalan yang sama dari Athena ke Thebes, sebagaimana juga dari Thebes ke Athena.” Dengan cara penalaran yang sama maka ada hubugan yang sama dari Bapa ke Anak, yang adalah paternity, dengan dari Anak ke Bapa, yang adalah filiation, sehingga tidak ada empat hubungan dalam Allah.

Aku menjawab, Berdasarkan sang Philosopher (Metaph. v), setiap hubungan didasarkan pada kuantitas, sebagai kelipatan atau pembagian, atau pada aksi dan passion, sebagai pelaku dan tindakan, bapak dan anak, tuan dan pelayan, dan sejenisnya. Sekarang karena tidak ada kuantitas dalam Allah, karena Ia adalah besar (great) tanpa kuantitas, sebagaimana dikatakan Augustine (De Trin. I, 1) maka dengan sendirinya berarti bahwa suatu hubungan nyata dalam Allah dapat didasarkan hanya pada aksi. Hubungan seperti ini tidak didasarkan pada tindakan-tindakan Allah pada prosesi keluar, sebagaimana hubungan Allah kepada ciptaan adalah tidak nyata dalam Dia (Pertanyaan 13 Artikel 7). Maka dengan sendirinya berarti bahwa hubungan nyata dalam Allah dapat dipahami hanya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang dipahami sebagai prosesi internal, bukan eksternal, dalam Allah. Prosesi-prosesi ini hanya ada dua, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 27 Artikel 5), satu berasal dari tindakan intelek, yaitu prosesi Sabda, dan yang lainnya berasal dari tindakan kehendak, yaitu prosesi kasih. Sehubungan dengan masing-masing prosesi tersebut, muncul dua hubungan oposisi, satu adalah hubungan dari pribadi yang berprosesi dari sang prinsipal, yang lainnya adalah hubungan bagi sang prinsipal itu sendiri. Prosesi Sabda disebut pemunculan (generation) dalam pemahaman yang benar akan istilah tersebut, sebagaimana yang diterapkan pada makhluk hidup. Sekarang hubungan milik sang prinsipal dari generation dalam suatu keberadaan hidup yang sempurna (perfect living being) disebut paternity, dan hubungan milik [dia] yang berprosesi dari sang prinsipal disebut filiation. Tetapi prosesi Kasih tidak mempunyai nama yang tepat bagi dirinya sendiri (Pertanyaan 27 Artikel 4), dan hubungan yang mengikutinya juga tidak memiliki nama yang tepat bagi dirinya. Hubungan milik prinsipal dari prosesi ini disebut spiration (penghembusan), dan hubungan milik pribadi yang berprosesi disebut [hanya] prosesi : meskipun dua nama ini menjadi milik dari prosesi atau asal (origin) itu sendiri, dan tidak pada hubungan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Di dalam hal-hal di mana terdapat perbedaan antara intelek dan obyeknya, dan antara kehendak dan obyeknya, sungguh dapat ada hubungan yang nyata, baik dari ilmu pengetahuan (science) kepada obyeknya, dan dari yang berkehendak kepada obyek yang dikehendaki. Dalam Allah, intelek dan obyeknya adalah satu dan sama, karena dengan memahami diri-Nya sendiri, Allah memahami segala hal lainnya, dan hal yang sama juga ditereapkan pada kehendak dan obyek yang dikehendaki-Nya. Maka dengan sendirinya dalam Allah jenis-jenis hubungan seperti tersebut tidaklah nyata, sebagaimana hubungan dari suatu benda pada dirinya sendiri juga tidak. Namun, hubungan kepada kata adalah hubungan yang nyata, karena kata dipahami sebagai berprosesi dari tindakan akal (intelligible action), dan bukan sebagai sesuatu yang dipahami. Karena saat kita memahami [apa itu] batu, maka hal yang diterima akal tentang obyek yang dipahami disebut sebagai kata.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 :  Hubungan intelek (intelligibility relations) dalam diri kita [memang] berganda tanpa batas, karena seseorang memahami [apa itu] batu melalui suatu tindakan, dan melalui tindakan lain ia memahami bahwa ia paham [apa itu] batu, dan lagi oleh lainnya, memahami bahwa ia memahami ini. Maka tindakan memahami adalah berganda tanpa batas, dan konsekuensinya hubungan yang dipahami juga [tak terbatas]. Ini tidak dapat diterapkan pada Allah, sebab Dia memahami segala sesuatu hanya melalui satu tindakan saja.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hubungan-hubungan dalam gagasan (ideal relations) ada sebagai dipahami oleh Allah. Karena itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa dari pluralitas hubungan tersebut terdapat banyak hubungan dalam Allah, tetapi Allah memahami hubungan yang banyak ini.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Kesetaraan dan kesamaan dalam Allah bukanlah hubungan-hubungan yang nyata, tetapi hanya berupa hubungan logika (Pertanyaan 42 Artikel 3 ad 4).

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Jalur dari suatu istilah kepada istilah lain dan sebaliknya adalah sama, namun hubungan timbal baliknya (mutual relations) tidaklah sama. Maka, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa hubungan dari Bapa kepada Anak adalah sama dengan Anak kepada Bapa, melainkan kita dapat menyimpulkannya sebagai sesuatu yang absolut, jika terdapat hubungan seperti itu di antara mereka.