Pertanyaan 28 : Tentang Hubungan-hubungan Ilahi
Hubungan-hubungan ilahi
adalah yang dipertimbangkan selanjutnya, dalam empat poin bahasan :
1.
Apakah ada hubungan-hubungan nyata di dalam Allah?
2.
Apakah hubungan-hubungan itu adalah esensi
(essence) ilahi itu sendiri, atau berkaitan dengan hubungan luar?
3.
Apakah dalam Allah dapat ada beberapa hubungan yang
berbeda satu sama lain?
4.
Jumlah dari hubungan ini.
Artikel 1 : Apakah
Ada Hubungan-hubungan Nyata di Dalam Allah?
Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada
hubungan nyata dalam Allah. Karena Boethius berkata (De Trin. iv), “Segala hal
sulit yang mungkin ada tentang Ketuhanan berhubungan dengan substansi, karena
tidak ada yang dapat diberi predikat secara relatif.” Tetapi apa yang sungguh
ada dalam Allah dapat dipredikatkan pada-Nya. Maka tidak ada hubungan yang
nyata dalam Allah.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Boethius
mengatakan (De Trin. iv) bahwa, “Hubungan dalam Tritunggal dari Bapa ke Anak,
dan dari keduanya kepada Roh Kudus, adalah hubungan dari yang sama kepada yang
sama.” Tetapi suatu hubungan dari jenis ini hanyalah suatu hubungan logika
(logical), karena hubungan yang nyata pada kenyataannya memerlukan dan
menyatakan dua syarat. Maka hubungan ilahi bukanlah hubungan sesungguhnya,
melainkan hanya dibentuk oleh pikiran.
Keberatan 3 : hubungan kebapakan
(paternity) adalah hubungan dari suatu prinsipal. Tetapi untuk mengatakan bahwa
Allah adalah prinsipal dari ciptaan-ciptaan tidaklah memasukkan hubungan nyata
apapun, tetapi hanya hubungan logika. Maka kebapakan dalam Allah bukanlah suatu
hubungan nyata, hal yang sama juga diterapkan pada hubungan lain dalam Allah.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, pemunculan
ilahi (divine generation) berprosesi dengan jalan suatu kata yang jelas
(intelligible). Tetapi hubungan yang mengikuti tindakan intelek adalah hubugan
logika. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation) dalam Allah,
sebagai akibat dari pemunculan, hanyalah hubungan logika.
Sebaliknya, Bapa disebut hanya
dari kebapakan, dan Anak hanya dari peranakan. Maka, jika tidak ada kebapakan
atau peranakan dalam Allah, maka dengan sendirinya Allah bukanlah Bapa atau
anak yang sesungguhnya, tetapi hanya cara pemahaman kita, dan inilah kesesatan
Sabellian.
Aku menjawab, hubungan sungguh ada dalam
Allah. Sebagai bukti maka kita dapat mempertimbangkan bahwa dalam hubungan
sendiri ditemukan sesuatu yang hanya ada dalam pemahaman dan bukan dalam
kenyataan. Ini tidak ditemukan dalam hal (genus) lain, sebagaimana hal
lain, seperti kuantitas dan kualitas, dalam arti yang ketat dan tepat,
menunjukkan sesuatu yang melekat pada suatu subyek. Tetapi hubungan, dalam arti
tepatnya, hanya menunjukkan apa yang mengacu pada yang lainnya. Hal berhubungan
dengan sesuatu lainnya, kadang ada dalam natur benda-benda, yang dalam hal-hal
tersebut oleh natur dasar mereka diurutkan satu sama lain, dan memiliki
kecenderungan satu sama lain; dan yang seperti itulah hubungan yang sebenarnya,
sebagaimana dalam benda padat ditemukan suatu kecenderungan dan aturan ke
pusat, maka dalam benda padat ada kepatuhan tertentu kepada pusat dan hal yang
sama berlaku bagi benda lainnya. Kadang, yang satu berkenaan dengan lainnya,
yang ditunjukkan melalui hubungan, ditemukan hanya dalam pemahaman nalar yang
membandingkan hal yang satu dengan lainnya, dan ini hanyalah hubungan logika,
sebagai contohnya, saat nalar membandingkan manusia dengan binatang sebagai
spesies dan genus. Tetapi ketika sesuatu berprosesi dari suatu prinsipal dengan
natur yang sama, maka keduanya, yang berprosesi dan sumber prosesi, sepakat
dalam aturan yang sama, dan kemudian mereka memiliki hubungan yang nyata satu
sama lain. Oleh karena itu sebagaimana prosesi-prosesi ilahi berada dalam natur
yang sama, sebagaimana dijelaskan di atas (Pertanyaan 27, Artikel 2 dan 4), hubungan-hubungan ini,
berdasarkan prosesi-prosesi ilahi, adalah hubungan yang nyata.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Hubungan tidak
dipredikatkan pada Allah berdasarkan pada arti formal dan tepatnya, dapat
dikatakan demikian, sejauh arti tepatnya menunjuk pada perbandingan yang
didalamnya melekat suatu hubungan, tetapi hanya menunjuk yang berhubungan
dengan hal lainnya. Namun, Boethius tidak ingin mengecualikan hubungan dalam
Allah, tetapi ia bermaksud menunjukkan bahwa hubungan tidak dipredikatkan
pada-Nya sehubungan dengan persatuan (mode of inherence) dalam-Nya dalam arti
yang ketat tentang hubungan, tetapi lebih pada cara berhubungan dengan lainnya.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hubungan yang ditunjukkan
dengan istilah “kesamaan” hanyalah hubungan logika saja, jika memperhatikan
kesamaan absolut, karena hubungan semacam itu hanya dapat ada dalam suatu aturan
tertentu yang teramati oleh nalar sehubungan dengan aturan tentang segala hal
baginya, berdasar dua hal yang berasal darinya. Kasusnya adalah sebaliknya,
jika beberapa hal disebut sama, bukan secara numerikal, tetapi secara generik
atau spesifik. Maka Boethius menyamakan hubungan ilahi dengan suatu hubungan
identitas, bukan dalam segala hal, tetapi hanya sehubungan dengan fakta bahwa
tidak terdapat pembedaan substansi oleh hubungan-hubungan ini, juga tidak oleh
hubungan identitas.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana ciptaan
berprosesi dari Allah dalam keragaman natur, Allah berada di luar aturan
tentang segala ciptaan, juga tidak segala hubungan pada ciptaan muncul dari
natur-Nya, karena Dia tidak menghasilkan ciptaan karena natur-Nya mengharuskan-Nya
demikian, tetapi melalui intelek dan kehendak-Nya, sebagaimana dijelaskan di
atas (Pertanyaan 14 Artikel 3 & 4, Pertanyaan 19 Artikel 8). Maka di dalam
Allah tidak ada hubungan yang nyata terhadap ciptaan, sedangkan dalam ciptaan
ada hubungan yang nyata terhadap Allah, karena ciptaan mengandung aturan ilahi,
dan natur dasarnya adalah bergantung pada Allah. Di lain pihak, prosesi ilahi
adalah dalam natur yang satu dan sama. Maka tidak terdapat paralel
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Hubungan yang hanya
merupakan akibat dari operasi mental dalam obyek yang dipahami,hanyalah
hubungan logika, karena nalar mengamati mereka sebagai ada di antara dua obyek
yang diterima oleh akal. Hubungan-hubungan itu, yang mengikuti operasi intelek,
dan ada di antara kata yang secara intelektual berprosesi dan sumber
prosesinya, bukanlah hubungan logika saja, tetapi hubungan nyata, karena
sebagaimana intelek dan nalar adalah hal yang nyata, dan sungguh berhubungan
dengan apa yang berprosesi melalui mereka dengan jelas (intelligibly),
sebagaimana suatu makhluk corporeal (tambahan
penerjemah : badan, materi) berhubungan dengan yang berprosesi
darinya secara badaniah. Maka kebapakan (paternity) dan peranakan (filiation)
adalah hubungan-hubungan nyata dalam Allah.
Artikel 2 : Apakah Hubungan dalam Allah
sama dengan Esensi-Nya?
Keberatan 1 : Tampaknya hubungan ilahi
tidak sama dengan esensi ilahi, Karena Augusine mengatakan (De Trin. v) bahwa
“tidak semua yang dikatakan tetang Allah adalah esensi-Nya, karena jika kita mengatakan
sesuatu tentang hubungan, sebagaimana Bapa dalam hubungan-Nya dengan Anak, hal
semacam itu tidak berkenaan dengan substansi.” Maka, hubungan tersebut bukanlah
esensi ilahi.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Augustine
mengatakan (De Trin. Vii) bahwa “setiap eksperesi tentang hubungan adalah
sesuatu di luar hubungan yang diekspresikan, sebagaimana tuan adalah manusia
dan budak adalah manusia.” Maka, jika hubungan ada dalam Allah, harus ada
sesuatu yang lain selain hubungan dalam Allah. Ini hanya dapat berupa esensi
Allah. Maka, esensi berbeda dengan hubungan.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, esensi dari
[suatu] hubungan adalah hal berkenaan dengan yang lain, sebagaimana dikatakan
oleh sang Philosopher (Praedic. v). Maka jika hubungan adalah [sama dengan] esensi
ilahi, dengan sendirinya [berarti] bahwa esensi ilahi pada dasarnya adalah
suatu hubungan dengan sesuatu yang lain, yang mana [ide] ini sungguh
menjijikkan mengenai kesempurnaan esensi ilahi, yang sangat mutlak dan ada
dengan sendirinya (self subsisting) (Pertanyaan 3 Artikel 4). Maka hubungan [dalam
Allah] bukanlah esensi ilahi.
Sebaliknya, Segala sesuatu yang bukan
esensi ilahi adalah makhluk ciptaan. Tetapi hubungan sungguh ada dalam Allah,
dan jika itu bukan esensi ilahi, maka itu adalah ciptaan, dan [hubungan] itu
tidak berhak mendapatkan penghormatan latria (tambahan penerjemah : penyembahan yang hanya ditujukan
pada Allah), yang bertentangan dengan yang dinyanyikan dalam
Prefasi : “Marilah kita menyembah perbedaan Pribadi, dan kesetaraan kemuliaan
mereka.”
Aku menjawab, Dikabarkan bahwa Gilbert de
la Porree melakukan kesalahan pada poin ini, tetapi kemudian menarik kembali
kekeliruannya pada Konsili Rheims. Dia mengatakan bahwa hubungan ilahi adalah
asisten, atau suatu tambahan eksternal yang melekat.
Untuk memahami
kesalahannya, kita harus memperhatikan bahwa dalam masing-masing dari sembilan
kategori (genera) dari accident (tambahan
penerjemah : accident adalah ‘nonessential attributes’ dari suatu substansi.
Sembilan kategori dari accident adalah : kuantitas, kualitas, relasi, aksi,
passion, lokasi, durasi, posisi dan habiliment [pakaian?]. Accident dapat
dikatakan adalah atribut suatu substansi dibandingkan dengan substansi lain)
terdapat dua poin untuk diperhatikan. Satu adalah natur dari masing-masing
kategori sehingga dianggap sebagai accident, yang secara umum diaplikasikan
pada masing-masing dari mereka sebagai melekat pada suatu subyek, karena esensi
dari suatu accident adalah untuk melekat. Poin perhatian lainnya adalah natur
yang tepat (proper nature) dari masing-masing kategori (genera). Dalam suatu
kategori, terpisah dari yang ada dalam [kategori] “hubungan (relation)”,
sebagaimana dalam [kategori] kuantitas dan kualitas, bahkan gagasan yang benar
tentang kategori itu sendiri berasal dari suatu perhatian (respect) terhadap
subject, karena kuantitas disebut ukuran dari substansi, dan kualitas adalah
watak (disposition) dari substansi. Tetapi gagasan yang benar tentang hubungan
tidak diambil dari perhatiannya terhadap hubungan itu sendiri, tetapi terhadap
sesuatu di luar. Jadi jika kita memperhatikan bahkan pada makhluk ciptaan,
hubungan secara formal seperti itu(tambahan
: hubungan yang berhubungan dengan sesuatu di luar), dalam aspek
tersebut hubungan-hubungan itu tidak disebut sebagai “asisten”, dan tidak
dilekatkan pada hakekatnya, karena, dalam hal ini, hubungan-hubungan itu
menunjukkan suatu perhatian (a respect) yang mempengaruhi sesuatu yang
dihubungkan dan berkecenderungan dari hal tersebut kepada hal lainnya, oleh
karena itu, jika hubungan dianggap sebagai accident, hubungan itu ada dalam
subyek, dan memiliki keberadaan yang bersifat accident. Gilbert de la Porree
memahami hubungan hanya dalam pemahaman yang pertama (tambahan penerjemah : bahwa hubungan
bukan accident, tetapi berhubungan dengan sesuatu di luar).
Sekarang apapun dalam
ciptaan yang memiliki keberadaan yang bersifat accident, saat hal tersebut
dipertimbangkan diterapkan kepada Allah, memiliki keberadaan yang bersifat
pokok (substantial), karena tidak ada accident (tamb. : atribut yang nonesensial) di dalam
Allah, karena segala sesuatu dalam Dia adalah esensi-Nya. Maka, jika pada
ciptaan hubungan memiliki keberadaan accidental, hubungan yang sungguh nyata
ada dalam Allah memiliki keberadaan esensi ilahi yang tidak berbeda [darimana
hubungan itu berasal]. Tetapi jika hubungan menyatakan keterkaitannya (respect)
dengan sesuatu yang lain, [maka] tidak ada keterkaitan esensi, tetapi lebih
pada istilah sebaliknya.
Maka nyatalah bahwa
hubungan yang sungguh ada dalam Allah adalah sungguh sama dengan esensi-Nya dan
hanya berbeda pada cara pemahamannya (mode of intelligibility), sebagaimana
dalam hubungan diartikan sebaliknya jika tidak diekspresikan atas nama (tamb. : mewakili) esensi tersebut. Maka
jelas bahwa dalam Allah hubungan dan esensi tidak berbeda satu sama lain,
tetapi satu dan sama.
Jawaban atas Keberatan 1 : Kata-kata Augustine ini
tidak berarti bahwa paternity atau hubungan lainnya yang ada dalam Allah tidak
dalam keberadaan yang sama dengan esensi ilahi, tetapi bahwa hal tersebut tidak
dipredikatkan pada moda substansi, sebagaimana ada [substansi lain] dalam Dia
yang diberi predikat, tetapi sebagai suatu hubungan. Maka dikatakan bahwa hanya
ada dua status obyektif yang nyata (predicaments) dalam Allah, karena
status-status obyektif yang nyata (predicaments) lainnya mengambil kebiasaan
(habitude) dari hal-hal sesuai yang dibicarakannya, baik dalam natur generik
maupun spesifiknya; tetapi tidak satupun yang ada dalam Allah dapat memiliki
hubungan pada sesuatu dimana ia berada atau sesuatu yang dibicarakan, kecuali
hubungan identitas, dan ini didasari pada kesangatsederhanaan Allah.
Jawaban atas Keberatan 2 : Sebagaimana hubungan yang
ada dalam ciptaan melibatkan tidak hanya suatu perhatian kepada lainnya, tetapi
juga sesuatu yang absolut, maka hal yang sama berlaku bagi Allah, meskipun
tidak dalam cara yang sama. Apa yang terkandung dalam ciptaan yang melebihi
dari apa yang terkandung dalam arti suatu hubungan, adalah sesuatu di luar
relasi [itu sendiri], karena dalam Allah tidak ada pembedaan, tapi satu dan
sama, dan ini tidak diekspresikan secara sempurna dengan istilah “hubungan”,
seolah seperti yang dipahami dalam arti yang umum tentang istilah tersebut.
Karena telah dijelaskan di atas (Pertanyaan 13 Artikel 2), saat membahas
tentang nama-nama ilahi, bahwa ada lebih yang terkandung dalam kesempurnaan
esensi ilahi (divine essence) daripada yang dapat ditandakan oleh nama apapun.
Maka tidak dengan sendirinya bahwa ada dalam Allah sesuatu di luar hubungan
nyata, tetapi hanya beragam nama yang diberikan oleh kita.
Jawaban atas Keberatan 3 : Jika kesempurnaan ilahi
mengandung hanya apa yang ditandakan oleh nama-nama yang berkenaan dengan
hubungan, maka dengan sendirinya kesempurnaan itu tidak sempurna, karena
berhubungan dengan sesuatu hal lain, sebagaimana dalam cara yang sama, jika
tidak ada hal lain yang terkandung dalam kesempurnaan ilahi itu daripada apa
yang ditandakan oleh istilah “kebijaksanaan”, kesempurnaan itu bukanlah suatu
subsistence (sesuatu yang menghidupi). Tetapi karena kesempurnaan esensi ilahi
adalah lebih besar dari pada yang dapat dicakup oleh nama apapun, maka jika
suatu istilah mengenai hubungan atau nama lainnya yang berikan pada Allah
menunjukkan sesuatu ketidaksempurnaan, tidak berarti bahwa esensi ilahi dalam
hal tertentu adalah tidak sempurna, karena esensi ilahi memahami dalam dirinya
sendiri suatu kesempurnaan dari setiap kategori (genus) (Pertanyaan 4 Artikel 2).
Artikel 3 : Apakah Hubungan-hubungan
dalam Allah Sungguh Berbeda Satu Sama Lain?
Keberatan 1 : Tampaknya hubungan-hubungan
ilahi tidak berbeda satu sama lain, karena hal-hal yang diidentifikasi sebagai
hal-hal yang sama, adalah identik satu sama lain. Tetapi setiap hubungan dalam
Allah adalah sama dengan esensi ilahi. Maka hubungan-hubungan itu tidak berbeda
satu sama lain.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, karena
paternity dan filiation dari namanya dibedakan dengan esensi ilahi, maka
demikian juga kebaikan dan kuasa. Tetapi pembedaan jenis ini tidak membuat
pembedaan nyata apapun tentang kebaikan dan kuasa ilahi. Maka juga tidak ada
pembedaan yang nyata dari paternity dan filiation.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, dalam Allah
tidak ada pembedaan yang nyata kecuali tentang asal (origin). Tetapi satu
hubungan tampaknya tidak muncul dari hubungan lainnya. Maka hubungan-hubungan
yang ada tidak sungguh berbeda satu sama lain.
Sebaliknya, Boethius mengatakan (De
Trin.) bahwa dalam Allah “substansi mengandung kesatuan, dan hubungan
menghasilkan (multiply) Tritunggal.” Oleh karena itu, jika hubungan-hubungan
itu tidak sungguh berbeda satu sama lain, maka tidak ada Tritunggal yang nyata
dalam Allah, hanya suatu gagasan tentang tritunggal, yang adalah kesesatan dari
Sabellius.
Aku menjawab, Pengatribusian sesuatu pada
lainnya melibatkan pengatribusian sebagaimana yang ada pada apapun yang
terkandung di dalamnya. Maka saat “manusia” diatribusikan pada sesuatu, suatu
natur rasional juga diatribusikan padanya. Gagasan tentang hubungan,
bagaimanapun juga, setepatnya berarti perhatian satu sama lain, sebagaimana
sesuatu secara relatif dihadapkan (opposed) pada lainnya. Maka sebagaimana
dalam Allah ada suatu hubungan nyata (Artikel 1), harus ada juga suatu
oposisi nyata. Natur dasar dari hubungan oposisi ini termasuk pembedaan. Oleh
karena itu, harus ada pembedaan nyata dalam Allah, bukan berdasar sesuatu yang
absolut, katakanlah tentang esensi, yang mana di dalamnya terdapat persatuan dan
kesederhanaan tertinggi, tetapi tentang suatu hubungan.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Menurut sang Philosopher
(Phys. Iii), argumen ini beranggapan bahwa hal-hal apapun yang
diidentifikasikan sebagai hal-hal yang sama adalah identik satu sama lain, jika
identitas tersebut nyata dan logis, sebagai contoh, suatu jubah ( a tunic) dan
suatu jas (a garment), tetapi tidak jika mereka berbeda secara logis. Maka
dalam hal yang sama dikatakan bahwa meskipun aksi adalah sama dengan gerakan,
demikian juga nafsu (passion), tetap saja tidak berarti bahwa aksi dan nafsu
(passion) adalah hal yang sama, karena aksi merujuk pada sesuatu yang “darinya
(from which)” terdapat gerakan dalam sesuatu yang digerakkan, sedangkan nafsu
(passion) merujuk pada sesuatu “dari (which is from)” hal lain. Maka, meskipun
paternity, seperti juga filiation, adalah sungguh sama dengan esensi ilahi,
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kuasa dan kebaikan tidak
menyebabkan oposisi apapun dalam natur mereka, maka tidak ada argumen paralel.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Meskipun hubungan-hubungan,
setepatnya, tidak saling memunculkan atau berprosesi, namun hubungan-hubungan
itu dipahami sebagai beroposisi berdasarkan prosesi dari satu ke lainnya.
Artikel 4 : Apakah dalam Allah Hanya
Ada Empat Hubungan yang Nyata – Paternity, Filiation, Spiration dan Procession?
Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah tidak
hanya ada empat hubungan yang nyata – paternity, filiation, spiration dan
procession, karena harus diamati bahwa dalam Allah ada hubungan-hubungan dari
agen berakal dengan obyek yang dipahami, dan satu antara yang berkehendak
dengan obyek yang dikehendaki, yang adalah hubungan-hubungan yang sungguh nyata
yang tidak termasuk [keempat] yang telah dispesifikasikan di atas. Maka tidak hanya
ada empat hubungan nyata dalam Allah.
Keberatan 2 : Lebih lanjut,
hubungan-hubungan nyata dalam Allah dipahami datang dari prosesi Sabda. Tetapi
hubungan-hubungan yang jelas (intelligible) berkembang secara tak berhingga,
sebagaimana dikatakan Avicenna. Maka dalam Allah terdapat seri hubungan nyata
yang tak berhingga.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, gagasan dalam
Allah adalah kekal (Pertanyaan 15 Artikel 1), dan hanya dibedakan satu sama
lain melalui alasan hubungan mereka terhadap hal-hal, sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Maka dalam Allah ada lebih banyak hubunga-hubungan kekal.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, kesetaraan
dan kesamaan, dan identitas, adalah hubungan-hubungan, dan mereka ada dalam
Allah sejak kekal. Maka [terdapat] beberapa hubungan lagi yang kekal dalam
Allah selain yang telah disebutkan di atas.
Keberatan 5 : Lebih lanjut, sebaliknya
juga dikatakan bahwa ada lebih sedikit hubungan dalam Allah dibanding [keempat]
hubungan yang telah disebutkan di atas, karena menurut sang Philosopher (Phys.
iii tekt 24), “Adalah jalan yang sama dari Athena ke Thebes, sebagaimana juga
dari Thebes ke Athena.” Dengan cara penalaran yang sama maka ada hubugan yang
sama dari Bapa ke Anak, yang adalah paternity, dengan dari Anak ke Bapa, yang
adalah filiation, sehingga tidak ada empat hubungan dalam Allah.
Aku menjawab, Berdasarkan sang
Philosopher (Metaph. v), setiap hubungan didasarkan pada kuantitas, sebagai
kelipatan atau pembagian, atau pada aksi dan passion, sebagai pelaku dan
tindakan, bapak dan anak, tuan dan pelayan, dan sejenisnya. Sekarang karena
tidak ada kuantitas dalam Allah, karena Ia adalah besar (great) tanpa
kuantitas, sebagaimana dikatakan Augustine (De Trin. I, 1) maka dengan
sendirinya berarti bahwa suatu hubungan nyata dalam Allah dapat didasarkan
hanya pada aksi. Hubungan seperti ini tidak didasarkan pada tindakan-tindakan
Allah pada prosesi keluar, sebagaimana hubungan Allah kepada ciptaan adalah
tidak nyata dalam Dia (Pertanyaan 13 Artikel 7). Maka dengan sendirinya berarti
bahwa hubungan nyata dalam Allah dapat dipahami hanya dalam kaitannya dengan
tindakan-tindakan yang dipahami sebagai prosesi internal, bukan eksternal,
dalam Allah. Prosesi-prosesi ini hanya ada dua, sebagaimana dijelaskan di atas
(Pertanyaan 27 Artikel 5), satu berasal dari
tindakan intelek, yaitu prosesi Sabda, dan yang lainnya berasal dari tindakan
kehendak, yaitu prosesi kasih. Sehubungan dengan masing-masing prosesi
tersebut, muncul dua hubungan oposisi, satu adalah hubungan dari pribadi yang
berprosesi dari sang prinsipal, yang lainnya adalah hubungan bagi sang
prinsipal itu sendiri. Prosesi Sabda disebut pemunculan (generation) dalam
pemahaman yang benar akan istilah tersebut, sebagaimana yang diterapkan pada
makhluk hidup. Sekarang hubungan milik sang prinsipal dari generation dalam
suatu keberadaan hidup yang sempurna (perfect living being) disebut paternity,
dan hubungan milik [dia] yang berprosesi dari sang prinsipal disebut filiation.
Tetapi prosesi Kasih tidak mempunyai nama yang tepat bagi dirinya sendiri (Pertanyaan 27 Artikel 4), dan hubungan yang
mengikutinya juga tidak memiliki nama yang tepat bagi dirinya. Hubungan milik
prinsipal dari prosesi ini disebut spiration (penghembusan), dan hubungan milik
pribadi yang berprosesi disebut [hanya] prosesi : meskipun dua nama ini menjadi
milik dari prosesi atau asal (origin) itu sendiri, dan tidak pada hubungan.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Di dalam hal-hal di mana
terdapat perbedaan antara intelek dan obyeknya, dan antara kehendak dan
obyeknya, sungguh dapat ada hubungan yang nyata, baik dari ilmu pengetahuan
(science) kepada obyeknya, dan dari yang berkehendak kepada obyek yang
dikehendaki. Dalam Allah, intelek dan obyeknya adalah satu dan sama, karena
dengan memahami diri-Nya sendiri, Allah memahami segala hal lainnya, dan hal
yang sama juga ditereapkan pada kehendak dan obyek yang dikehendaki-Nya. Maka
dengan sendirinya dalam Allah jenis-jenis hubungan seperti tersebut tidaklah
nyata, sebagaimana hubungan dari suatu benda pada dirinya sendiri juga tidak.
Namun, hubungan kepada kata adalah hubungan yang nyata, karena kata dipahami
sebagai berprosesi dari tindakan akal (intelligible action), dan bukan sebagai
sesuatu yang dipahami. Karena saat kita memahami [apa itu] batu, maka hal yang
diterima akal tentang obyek yang dipahami disebut sebagai kata.
Tanggapan terhadap Keberatan 2
: Hubungan intelek
(intelligibility relations) dalam diri kita [memang] berganda tanpa batas,
karena seseorang memahami [apa itu] batu melalui suatu tindakan, dan melalui
tindakan lain ia memahami bahwa ia paham [apa itu] batu, dan lagi oleh lainnya,
memahami bahwa ia memahami ini. Maka tindakan memahami adalah berganda tanpa
batas, dan konsekuensinya hubungan yang dipahami juga [tak terbatas]. Ini tidak
dapat diterapkan pada Allah, sebab Dia memahami segala sesuatu hanya melalui
satu tindakan saja.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hubungan-hubungan dalam
gagasan (ideal relations) ada sebagai dipahami oleh Allah. Karena itu tidak
dengan sendirinya berarti bahwa dari pluralitas hubungan tersebut terdapat
banyak hubungan dalam Allah, tetapi Allah memahami hubungan yang banyak ini.
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Kesetaraan dan kesamaan
dalam Allah bukanlah hubungan-hubungan yang nyata, tetapi hanya berupa hubungan
logika (Pertanyaan 42 Artikel 3 ad 4).
Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Jalur dari suatu istilah kepada istilah lain dan sebaliknya adalah sama,
namun hubungan timbal baliknya (mutual relations) tidaklah sama. Maka, kita
tidak dapat menyimpulkan bahwa hubungan dari Bapa kepada Anak adalah sama
dengan Anak kepada Bapa, melainkan kita dapat menyimpulkannya sebagai sesuatu
yang absolut, jika terdapat hubungan seperti itu di antara mereka.