Thursday, 20 September 2018


Pertanyaan 4 : Kesempurnaan Allah (Tiga Artikel)


Setelah mempertimbangkan tentang kesederhanaan ilahi, kita beralih berikutnya kepada kesempurnaan Allah. Sekarang karena segala sesuatu sejauh sesuatu itu sempurna disebut sebagai baik, maka kita akan berbicara pertama tentang kesempurnaan ilahi; kedua tentang kebaikan ilahi.

Mengenai hal yang pertama tersebut terdapat tiga poin penyelidikan :

(1) Apakah Allah sempurna?
(2) Apakah Allah sempurna secara universal, dalam pemahaman bahwa seluruh kedempurnaan segala sesuatu ada
      dalam DIa?
(3) Apakah ada makhluk yang dapat menyerupai seperti Allah?


Artikel 1 : Apakah Allah Sempurna?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak sempurna, karena kita menyebut sesuatu sebagai sempurna dalam hubungannya dengan sesuatu yang telah selesai dibuat. Tapi tidak tepat jika dikatakan bahwa Allah dibuat. Maka Ia tidak sempurna.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Allah adalah awal dari segala. Tapi awal dari segala hal tampaknya tidak sempurna, seperti benih yang merupakan awal dari kehidupan binatang dan tumbuhan. Oleh karena itu Allah tidak sempurna.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, seperti yang ditunjukkan di atas (P [3], A[4]), esensi Allah adalah keberadaan. Tapi keberadaan tampaknya merupakan sesuatu yang paling tidak sempurna, karena merupakan sesuatu yang paling universal dan bersifat menerima segala bentuk modifikasi. Oleh karena itu Allah tidak sempurna.

Sebaliknya, Ada tertulis: "Jadilah sempurna sama seperti Bapamu di surga adalah sempurna " (Matius 5: 48).

Aku menjawab bahwa, Sebagaimana dikatakan sang Filsuf (Metaph. xii), beberapa filsuf kuno, yaitu, Pythagoras dan Leukippos, tidak mempredikasikan "terbaik" dan "paling sempurna" pada prinsip pertama. Alasannya adalah bahwa para filsuf kuno tersebut hanya membahas suatu principal material, dan suatu principal material adalah sesuatu yang paling tidak sempurna. Karena materia seperti itu hanya memiliki potensialitas, maka principal material pertama harus berupa potensialitas saja, dan dengan demikian paling tidak sempurna. Sekarang Allah adalah prinsipal pertama, bukan secara materia, tetapi dalam urutan penyebab efisien, yang harus paling sempurna. Karena jika materia hanyalah berupa potensialitas, maka suatu penyebab efisien pertama harus dalam keadaan actual. Oleh karena itu, prinsipal aktif pertama harus paling aktual, dan karena itu adalah paling sempurna; karena sesuatu disebut sempurna dalam takaran keadaan aktualnya, dan kita menyebut sesuatu sebagai sempurna jika sesuatu tersebut tidak kehilangan apapun dari cara ia menjadi sempurna.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatanan Gregorius (Moral. v, 26,29): "Meskipun bibir kita hanya dapat tergagap, kita tetap mengidungkan hal-hal yang tinggi tentang Allah." Karena itulah sesuatu yang tidak dibuat tidak dapat dengan tepat disebut sebagai sempurna. Namun demikian karena hal-hal yang dibuat kemudian disebut sempurna, yaitu ketika hal-hal tersebut dibawa dari potensialitas menuju pada aktualitas, kata “sempurna” ini menunjukkan pada keadaan dimana tidak ada apapun yang diinginkan dalam aktualitas, entah keadaan tersebut dicapai melalui tahap penyempurnaan ataupun tanpa melalui tahapan tersebut.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Prinsipal material yang kita temukan sebagai tidak sempurna, tidak dapat menjadi benar-benar primal; tetapi harus didahului oleh sesuatu yang sempurna. Karena benih, meskipun menjadi principal dari kehidupan binatang yang bereproduksi melalui benih, memiliki binatang atau tumbuhan lain dari mana benih tersebu muncul. Karena sesuatu yang ada sebelum suatu potensialitas adalah sesuatu yang actual, dank arena suatu yang potensial ada hanya dapat memiliki aktualitasnya melalui sesuatu yang telah ada secara actual.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keberadaan adalah sesuatu yang paling sempurna dalam semua hal, karena itu adalah sesuatu yang menjadikan hal-hal tersebut aktual; karena tak ada yang dapat menjadi actual jika ia tidak tidak ada. Maka keberadaan adalah sesuatu yang mengaktualisasikan segala sesuatu, bahkan forma-forma dari segala sesuatu. Oleh karena itu hubungan antara keberadaan dan segala sesuatu bukanlah antara penerima dan yang diterima, melainkan antara yang diterima dan yang menerima. Jika aku berbicara tentang keberadaan manusia, atau kuda, atau apapun, maka aku berbicara tentang suatu principal formal, dan tentang sesuatu yang diterima, dan bukan tentang sesuatu yang memiliki keberadaan itu sendiri.


Artikel 2 : Apakah Kesempurnaan Segala Sesuatu Ada Dalam Allah ?

Keberatan 1 : Tampaknya kesempurnaan dari segala sesuatu tidak dalam Allah, karena Allah adalah sederhana, sebagaimana telah ditunjukkan di atas (P[3], A[7]); sedangkan kesempurnaan dari segala sesuatu adalah bermacam-macam dan banyak jumlahnya. Oleh karena itu kesempurnaan segala sesuatu tidak dalam Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, sesuatu yang saling bertentangan tidak dapat ada secara berdampingan. Sekarang, kesempurnaan dari segala sesuatu saling bertentangan satu sama lain, karena masing-masing hal menjadi sempurna melalui perbedaan khususnya. Tapi perbedaan-perbedaan tersebut, dimana “genera” dibagi menjadi beberapa bagian, dan darinya “species” berasal, adalah saling bertentangan satu sama lain. Maka karena hal-hal yang saling bertentangan tidak dapat ada secara berdampingan dalam satu subjek, tampaknya kesempurnaan segala sesuatu tidak dalam Allah.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu makhluk hidup adalah lebih sempurna daripada benda-benda lain yang sekedar ada, dan suatu makhluk berakal adalah lebih sempurna daripada makhluk hidup yang tidak berakal. Maka hidup adalah lebih sempurna daripada ada, dan pengetahuan adalah lebih sempurna daripada hidup. Tapi esensi Allah adalah keberadaan-Nya itu sendiri. Maka kesempurnaan hidup, pengetahuan dan kesempurnaan-kesempurnaan lainnya tidaklah dalam Allah.

Sebaliknya, Dionysius mengatakan (Div. Nom. V) bahwa “Allah dalam keberadaan-Nya memiliki segala hal”.

Aku menjawab bahwa, Segala kesempurnaan ciptaan ada dalam Allah. Maka Ia dikatakan sebagai sempurna secara universal, karena Ia tidak kekurangan (seperti dikatakan oleh sang Commentator, Metaph.v) segala jenis keunggulan yang dapat ditemukan dalam setiap genus. Hal tersebut dapat dilihat dengan dua pertimbangan. Pertama, karena kesempurnaan apapun yang ada dalam suatu efek harus dapat ditemukan juga dalam kausa efektifnya, entah dalam formalitas yang sama, jika berhubungan dengan suatu agen yang serupa -  seperti jika manusia mereproduksi manusia; atau dalam suatu derajad yang lebih unggul, jika berhubungan dengan agen yang tidak serupa – maka segala keserupaan dalam matahari dihasilkan oleh tenaga matahari. Sekarang telah jelas bahwa suatu efek ada terlebih dahulu dalam suatu kausa efisien, dan meskipun untuk menjadi ada dalam suatu potensialitas dari suatu kausa material adalah berarti menjadi ada dalam cara yang kurang sempurna, karena materia semacam itu adalah tidak sempurna, dan suatu agen semacam itu adalah sempurna, tetap saja cara keberadaan seperti itu dalam suatu kausa efisien bukannya kurang sempurna, tetapi lebih sempurna. Maka, karena Allah adalah kausa efektif pertama dari segala sesuatu, kesempurnaan segala sesuatu harus telah ada dalam Allah dalam suatu  cara yang lebih unggul. Dionysius secara tidak langsung menyatakan jalur argument yang sama dengan mengatakan tentang Allah (Div. Nom.v) : “Allah bukanlah tentang ini atau itu, tetapi Allah adalah segala, sebagai kausa dari segala.” Kedua, dari apa yang telah dibuktikan, Allah adalah keberadaan itu sendiri, ada dari diri-Nya sendiri (P[3], A[4]). Konsekuensinya, dalam Dia harus terdapat segala kesempurnaan dari keberadaan, karena adalah jelas bahwa jika suatu benda panas tidak memiliki segala kesempurnaan dari panas, ini adalah karena panas tersebut tidak ada dalam kepenuhan kesempurnaannya. Tapi jika panas ini menjadi ada dengan sendirinya, maka panas tersebut tidak memerlukan lagi nilai-nilai dari panas. Maka karena Allah adalah keberadaan yang ada dengan sendirinya itu sendiri, Ia tidak memerlukan kesempurnaan lain dalam hal keberadaan. Sekarang, segala kesempurnaan dari ciptaan ada dalam kesempurnaan keberadaan, karena segala sesuatu mennjadi sempurna, tepat karena segala sesuatu tersebut memiliki keberadaan. Maka tidak ada kesempurnaan apapun dari hal-hal tersebut yang diperlukan ada dalam Allah. Jalur argument ini juga diimplikasikan oleh Dionysius (Div.Nim.v), ketika ia mengatakan bahwa, “Allah ada tidak dalam satu jenis cara keberadaan, tapi dalam Dia secara absolute terdapat segala keberadaan, tanpa batasan, dan secara seragam;” dan kemudia ia menambahkan bahwa, “Allah adalah keberadaan itu sendiri bagi hal-hal lain.”

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun matahari (sebagaimana disebutkan oleh Dionysius, (Div.Nom.v)), tetap satu dan bersinar secara merata, di dalamnya terkandung secara merata substansi pertama dari hal-hal indrawi, serta banyak kualitas yang berbeda. Secara “a fortiori”[1] seharusnya segala jenis kesatuan alami telah ada dalam kausa dari segala sesuatu, dan dengan demikian hal-hal yang berbeda dan dalam diri mereka sendiri saling bertentangan, telah ada dalam Allah sebagai suatu kesatuan, tanpa mencederai kesederhanaan-Nya. Ini cukup unutk menanggapi Keberatan 2.[2]

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Dionysius juga menyatakan (Div.Nom.v) bahwa, meskipun ada adalah lebih sempurna dari hidup, dan hidup lebih sempurna dari kebijaksanaan, jika hal-hal tersebut dianggap sebagai gagasan-gagasan yang berbeda, namun, suatu makhluk hidup adalah lebih sempurna dari apa yang hanya sekedar ada, karena makhluk hidup selain ada juga hidup, sedangkan makhluk berakal lebih sempurna dari makhluk hidup karena selain hidup ia juga berakal. Maka meskipun dalam keberadaan tidak terkandung di dalamnya kehidupan dan kebijaksanaan, karena apa yang ada tidak harus memiliki segala mode dari keberadaan, namun dalam keberadaan Allah terkandung hidup dan kebijaksanaan, karena dalam Allah sebagai keberadaan yang ada dari diri-Nya sendiri telah terkandung segala kesempurnaan keberadaan.


Artikel 3 : Apakah Ciptaan dapat Menyerupai Allah?

Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada ciptaan yang dapat menyerupai Allah, karena ada tertulis (Mzm 85:8) ;”Tidak ada apapun di antara ilah-ilah yang serupa dengan-Mu, ya Tuhan.” Tapi dari segala ciptaan, yang paling unggul adalah mereka yang dianggap sebagai ilah-ilah. Oleh karena itu tidak ada ciptaan yang dapat menyerupai Allah.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, keserupaan secara tidak langsung menyatakan perbandingan. Tapi tak ada yang dapat dibandingkan antara hal-hal yang berbeda “genus”. Maka tidak mungkin dapat ada keserupaan. Jadi kita tidak mengatakan bahwa manis adalah serupa dengan putih. Tapi tidak ada ciptaan yang berada dalam “genus” yang sama dengan Allah, karena Allah tidak berada dalam “genus” apapun, sebagaimana telah ditunjukkan di atas (P[3], A[5]). Oleh karena itu tidak ada ciptaan yang dapat menyerupai Allah.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, kita berbicara tentang hal-hal tersebut dalam lingkup keserupaan forma. Tapi tidak ada yang serupa dengan forma Allah, karena hanya dalam Allah esensi dan keberadaan adalah sama. Maka tidak ada ciptaan apapun yang dapat menyerupai Allah.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, di antara hal-hal yang serupa terdapat saling keserupaan, karena serupa adalah cenderung menjadi sama. Jika ada ciptaan yang menyerupai Allah, maka Allah akan serupa dengan ciptaan, yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Yesaya : “Dengan siapakah engkau menyerupakan Allah?” (Yes 40:18).

Sebaliknya, Ada tertulis : “Baiklah kita jadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kej 1:26), dan : “Saat Ia akan muncul, kita akan serupa dengan-Nya” (1 Yoh 3:2).

Aku menjawab bahwa, Karena keserupaan didasarkan pada persetujuan atau komunikasi dalam forma, maka keserupaan bervariasi menurut berbagai cara mengkomunikasikan forma. Beberapa hal dikatakan serupa karena saling mengkomunikasikan forma yang sama berdasarkan formalitas dan cara yang sama, dan ini tidak disebut sekedar serupa, tapi sederajad dalam keserupaannya, sebagaimana dua hal yang memiliki warna putih yang sama disebut serupa dalam keputihannya, dan ini adalah keserupaan yang paling sempurna. Dalam cara lain, kita menyatakan hal-hal sebagai serupa karena mereka mengkomunikasikan forma dalam formalitas yang sama, meskipun tidak dalam ukuran yang sama, tapi berdasarkan kurang lebih, seperti sesuatu yanag kurang putih disebut serupa dengan sesuatu yang lebih putih, dan ini adalah keserupaan yang tidak sempurna. Dalam cara ketiga, beberapa hal disebut serupa karena mengkomunikasikan forma yang sama, tapi tidak dalam formalitas yang sama, seperti kita lihat dalam  agen yang tidak sama (non-univocal). Maka karena setiap agen bereproduksi sebagai suatu agen, dan segala sesuatu bertindak sesuai dengan perilaku dari forma agen tersebut, efek yang dihasilkan harus dalam beberapa cara serupa dengan forma dari agen tersebut. Maka jika suatu agen berada dalam spesies yang sama dengan efeknya, aka nada suatu keserupaan dalam forma antara yang membuat dan yang dibuat, berdasarkan formalitas yang sama dari spesies tersebut, seperti manusia mereproduksi manusia. Namun, jika suatu agen beserta efeknya tidak ada dalam spesies yang sama, maka aka nada keserupaan, tapi bukan berdasar keserupaan formal dari suatu spesies, seperti segala sesuatu yang keluar dari matahari dikatakan mirip matahari, bukan karena mereka dalam keserupaan khusus menerima forma yang sama dengan matahari, tapi lebih dalam keserupaan generic. Maka jika ada suatu agen yang tidak berada dalam “genus” apapun, efeknya akan tetap mereproduksi forma yang sama dari agen tersebut, tidak dalam formalitas khusus maupun generic terhadap keserupaan forma agen tersebut, tapi hanya menurut sejenis analogy, sebagaimana keberadaan adalah suatu yang dimiliki oleh segala hal. Dalam hal inilah segala sesuatu, selama mereka memiliki keberadaan, disebut serupa dengan Allah yang adalah principal dan keberadaan pertama dari segala keberadaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatakan Dionysius (Div. Nom. Ix), saat Kitab Suci menyatakan bahwa tak ada sesuatupun yang dapat menyerupai Allah, itu tidak berarti ia menyangkal segala jenis keserupaan dengan-Nya, karena, “hal yang sama dapat menjadi serupa sekaligus tidak serupa dengan Allah, seperti sesuatu mengimitasi-Nya sejauh Ia yang tak dapat diimitasi, dapat diimitasi, namun bukan berarti ini adalah karena hal-hal tersebut gagal dalam usahanya untuk mencapai keserupaan tersebut,” bukan sekedar dalam hal intensitas ataupun kekurangan, seperti sesuatu yang kurang putih gagal mencapai keserupaan dengan yang lebih putih, namun karena hal-hal tersebut tidak dalam formalitas yang sama, baik secara khusus maupun generic.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Allah tidak dihubungkan dengan ciptaan seolah masing-masing ada dalam “genus” yang berbeda, tapi dalam cara bahwa Allah mengatasi segala ‘genus”, dan sebagai principal dari segala “genera”.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keserupaan segala ciptaan terhadap Allah bukan karena keserupaan forma menurut formalitas dari genus atau spesies yang sama, tapi berdasarkan analogi, karena Allah adalah keberadaan esensial, sedangkan segala sesuatu adalah keberadaan yang berpartisipasi.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Meskipun diakui bahwa ciptaan dalam cara tertentu serupa dengan Allah, tidak dengan sendirinya diakui bahwa Allah serupa dengan ciptaan, karena, sebagaimana dikatakan Dionysius (Div. Nom. ix) : “Suatu keserupaan yang saling serupa dapat ditemukan di antara hal-hal yang berada dalam tingkatan yang sama, tapi tidak antara suatu penyebab dan yang disebabkan.” Karena kita mengatakan bahwa suatu patung mirip dengan seseorang, tapi tidak sebaliknya. Demikian juga suatu ciptaan dapat disebut dalam hal tertentu serupa dengan Allah, tapi bukan bahwa Allah serupa dengan ciptaan.



[1]“argumentum a fortiori” adalah suatu argument berdasarkan alasan yang lebih kuat. Contohnya jika manusia dinyatakan meninggal, maka seseorang dapat menyatakan bahwa orang yang meninggal tersebut tidak lagi bernafas ( http://en.m.wikipedia.org/wiki/A_fortiori_argument )

[2] Segala kesempurnaan ada dalam Allah tanpa mengganggu kesederhanaan-Nya. Ini seperti cahaya putih yang di dalamnya terdapat kesempurnaan warna-warna pelangi. Juga bahwa hal-hal yang lebih rendah selalu ditemukan sebagai satu kesatuan dalam hal yang lebih tinggi, seperti jiwa manusia yang meskipun sederhana sekaligus di dalamnya terkandung hidup, indera dan intelek (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one45.php )

No comments:

Post a Comment