Pertanyaan
4 : Kesempurnaan Allah (Tiga Artikel)
Setelah mempertimbangkan
tentang kesederhanaan ilahi, kita beralih berikutnya kepada kesempurnaan Allah.
Sekarang karena segala sesuatu sejauh sesuatu itu sempurna disebut sebagai
baik, maka kita akan berbicara pertama tentang kesempurnaan ilahi; kedua
tentang kebaikan ilahi.
Mengenai hal yang pertama
tersebut terdapat tiga poin penyelidikan :
(1) Apakah Allah sempurna?
(2) Apakah Allah sempurna
secara universal, dalam pemahaman bahwa seluruh kedempurnaan segala sesuatu ada
dalam DIa?
(3) Apakah ada makhluk yang
dapat menyerupai seperti Allah?
Artikel 1 : Apakah
Allah Sempurna?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak
sempurna, karena kita menyebut sesuatu sebagai sempurna dalam hubungannya
dengan sesuatu yang telah selesai dibuat. Tapi tidak tepat jika dikatakan bahwa
Allah dibuat. Maka Ia tidak sempurna.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Allah
adalah awal dari segala. Tapi awal dari segala hal tampaknya tidak sempurna,
seperti benih yang merupakan awal dari kehidupan binatang dan tumbuhan. Oleh
karena itu Allah tidak sempurna.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, seperti
yang ditunjukkan di atas (P [3], A[4]), esensi Allah adalah keberadaan.
Tapi keberadaan tampaknya merupakan sesuatu yang paling tidak sempurna, karena
merupakan sesuatu yang paling universal dan bersifat menerima segala bentuk
modifikasi. Oleh karena itu Allah tidak sempurna.
Sebaliknya, Ada tertulis:
"Jadilah sempurna sama seperti Bapamu di surga adalah sempurna "
(Matius 5: 48).
Aku menjawab bahwa, Sebagaimana dikatakan
sang Filsuf (Metaph. xii), beberapa filsuf kuno, yaitu, Pythagoras dan
Leukippos, tidak mempredikasikan "terbaik" dan "paling
sempurna" pada prinsip pertama. Alasannya adalah bahwa para filsuf kuno
tersebut hanya membahas suatu principal material, dan suatu principal material
adalah sesuatu yang paling tidak sempurna. Karena materia seperti itu hanya
memiliki potensialitas, maka principal material pertama harus berupa
potensialitas saja, dan dengan demikian paling tidak sempurna. Sekarang Allah
adalah prinsipal pertama, bukan secara materia, tetapi dalam urutan penyebab
efisien, yang harus paling sempurna. Karena jika materia hanyalah berupa potensialitas,
maka suatu penyebab efisien pertama harus dalam keadaan actual. Oleh karena
itu, prinsipal aktif pertama harus paling aktual, dan karena itu adalah paling
sempurna; karena sesuatu disebut sempurna dalam takaran keadaan aktualnya, dan
kita menyebut sesuatu sebagai sempurna jika sesuatu tersebut tidak kehilangan
apapun dari cara ia menjadi sempurna.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatanan
Gregorius (Moral. v, 26,29): "Meskipun bibir kita hanya dapat tergagap,
kita tetap mengidungkan hal-hal yang tinggi tentang Allah." Karena itulah
sesuatu yang tidak dibuat tidak dapat dengan tepat disebut sebagai sempurna.
Namun demikian karena hal-hal yang dibuat kemudian disebut sempurna, yaitu
ketika hal-hal tersebut dibawa dari potensialitas menuju pada aktualitas, kata
“sempurna” ini menunjukkan pada keadaan dimana tidak ada apapun yang diinginkan
dalam aktualitas, entah keadaan tersebut dicapai melalui tahap penyempurnaan
ataupun tanpa melalui tahapan tersebut.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Prinsipal material yang
kita temukan sebagai tidak sempurna, tidak dapat menjadi benar-benar primal;
tetapi harus didahului oleh sesuatu yang sempurna. Karena benih, meskipun
menjadi principal dari kehidupan binatang yang bereproduksi melalui benih, memiliki
binatang atau tumbuhan lain dari mana benih tersebu muncul. Karena sesuatu yang
ada sebelum suatu potensialitas adalah sesuatu yang actual, dank arena suatu
yang potensial ada hanya dapat memiliki aktualitasnya melalui sesuatu yang
telah ada secara actual.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keberadaan adalah sesuatu
yang paling sempurna dalam semua hal, karena itu adalah sesuatu yang menjadikan
hal-hal tersebut aktual; karena tak ada yang dapat menjadi actual jika ia tidak
tidak ada. Maka keberadaan adalah sesuatu yang mengaktualisasikan segala
sesuatu, bahkan forma-forma dari segala sesuatu. Oleh karena itu hubungan
antara keberadaan dan segala sesuatu bukanlah antara penerima dan yang
diterima, melainkan antara yang diterima dan yang menerima. Jika aku berbicara
tentang keberadaan manusia, atau kuda, atau apapun, maka aku berbicara tentang
suatu principal formal, dan tentang sesuatu yang diterima, dan bukan tentang
sesuatu yang memiliki keberadaan itu sendiri.
Artikel 2 : Apakah
Kesempurnaan Segala Sesuatu Ada Dalam Allah ?
Keberatan 1 : Tampaknya kesempurnaan
dari segala sesuatu tidak dalam Allah, karena Allah adalah sederhana,
sebagaimana telah ditunjukkan di atas (P[3], A[7]); sedangkan kesempurnaan
dari segala sesuatu adalah bermacam-macam dan banyak jumlahnya. Oleh karena itu
kesempurnaan segala sesuatu tidak dalam Allah.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, sesuatu
yang saling bertentangan tidak dapat ada secara berdampingan. Sekarang,
kesempurnaan dari segala sesuatu saling bertentangan satu sama lain, karena
masing-masing hal menjadi sempurna melalui perbedaan khususnya. Tapi
perbedaan-perbedaan tersebut, dimana “genera” dibagi menjadi beberapa bagian,
dan darinya “species” berasal, adalah saling bertentangan satu sama lain. Maka
karena hal-hal yang saling bertentangan tidak dapat ada secara berdampingan
dalam satu subjek, tampaknya kesempurnaan segala sesuatu tidak dalam Allah.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu
makhluk hidup adalah lebih sempurna daripada benda-benda lain yang sekedar ada,
dan suatu makhluk berakal adalah lebih sempurna daripada makhluk hidup yang
tidak berakal. Maka hidup adalah lebih sempurna daripada ada, dan pengetahuan
adalah lebih sempurna daripada hidup. Tapi esensi Allah adalah keberadaan-Nya
itu sendiri. Maka kesempurnaan hidup, pengetahuan dan kesempurnaan-kesempurnaan
lainnya tidaklah dalam Allah.
Sebaliknya, Dionysius mengatakan
(Div. Nom. V) bahwa “Allah dalam keberadaan-Nya memiliki segala hal”.
Aku menjawab bahwa, Segala kesempurnaan
ciptaan ada dalam Allah. Maka Ia dikatakan sebagai sempurna secara universal,
karena Ia tidak kekurangan (seperti dikatakan oleh sang Commentator, Metaph.v)
segala jenis keunggulan yang dapat ditemukan dalam setiap genus. Hal tersebut
dapat dilihat dengan dua pertimbangan. Pertama, karena kesempurnaan apapun yang
ada dalam suatu efek harus dapat ditemukan juga dalam kausa efektifnya, entah
dalam formalitas yang sama, jika berhubungan dengan suatu agen yang serupa
- seperti jika manusia mereproduksi manusia; atau dalam suatu derajad
yang lebih unggul, jika berhubungan dengan agen yang tidak serupa – maka segala
keserupaan dalam matahari dihasilkan oleh tenaga matahari. Sekarang telah jelas
bahwa suatu efek ada terlebih dahulu dalam suatu kausa efisien, dan meskipun
untuk menjadi ada dalam suatu potensialitas dari suatu kausa material adalah
berarti menjadi ada dalam cara yang kurang sempurna, karena materia semacam itu
adalah tidak sempurna, dan suatu agen semacam itu adalah sempurna, tetap saja
cara keberadaan seperti itu dalam suatu kausa efisien bukannya kurang sempurna,
tetapi lebih sempurna. Maka, karena Allah adalah kausa efektif pertama dari
segala sesuatu, kesempurnaan segala sesuatu harus telah ada dalam Allah dalam
suatu cara yang lebih unggul. Dionysius secara tidak langsung menyatakan
jalur argument yang sama dengan mengatakan tentang Allah (Div. Nom.v) : “Allah
bukanlah tentang ini atau itu, tetapi Allah adalah segala, sebagai kausa dari
segala.” Kedua, dari apa yang telah dibuktikan, Allah adalah keberadaan itu
sendiri, ada dari diri-Nya sendiri (P[3], A[4]). Konsekuensinya, dalam
Dia harus terdapat segala kesempurnaan dari keberadaan, karena adalah jelas
bahwa jika suatu benda panas tidak memiliki segala kesempurnaan dari panas, ini
adalah karena panas tersebut tidak ada dalam kepenuhan kesempurnaannya. Tapi
jika panas ini menjadi ada dengan sendirinya, maka panas tersebut tidak
memerlukan lagi nilai-nilai dari panas. Maka karena Allah adalah keberadaan
yang ada dengan sendirinya itu sendiri, Ia tidak memerlukan kesempurnaan lain
dalam hal keberadaan. Sekarang, segala kesempurnaan dari ciptaan ada dalam
kesempurnaan keberadaan, karena segala sesuatu mennjadi sempurna, tepat karena
segala sesuatu tersebut memiliki keberadaan. Maka tidak ada kesempurnaan apapun
dari hal-hal tersebut yang diperlukan ada dalam Allah. Jalur argument ini juga
diimplikasikan oleh Dionysius (Div.Nim.v), ketika ia mengatakan bahwa, “Allah
ada tidak dalam satu jenis cara keberadaan, tapi dalam Dia secara absolute
terdapat segala keberadaan, tanpa batasan, dan secara seragam;” dan kemudia ia
menambahkan bahwa, “Allah adalah keberadaan itu sendiri bagi hal-hal lain.”
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun matahari (sebagaimana
disebutkan oleh Dionysius, (Div.Nom.v)), tetap satu dan bersinar secara merata,
di dalamnya terkandung secara merata substansi pertama dari hal-hal indrawi,
serta banyak kualitas yang berbeda. Secara “a fortiori”[1]
seharusnya segala jenis kesatuan alami telah ada dalam kausa dari segala
sesuatu, dan dengan demikian hal-hal yang berbeda dan dalam diri mereka sendiri
saling bertentangan, telah ada dalam Allah sebagai suatu kesatuan, tanpa
mencederai kesederhanaan-Nya. Ini cukup unutk menanggapi Keberatan 2.[2]
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Dionysius juga menyatakan
(Div.Nom.v) bahwa, meskipun ada adalah lebih sempurna dari hidup, dan hidup
lebih sempurna dari kebijaksanaan, jika hal-hal tersebut dianggap sebagai
gagasan-gagasan yang berbeda, namun, suatu makhluk hidup adalah lebih sempurna
dari apa yang hanya sekedar ada, karena makhluk hidup selain ada juga hidup,
sedangkan makhluk berakal lebih sempurna dari makhluk hidup karena selain hidup
ia juga berakal. Maka meskipun dalam keberadaan tidak terkandung di dalamnya
kehidupan dan kebijaksanaan, karena apa yang ada tidak harus memiliki segala
mode dari keberadaan, namun dalam keberadaan Allah terkandung hidup dan
kebijaksanaan, karena dalam Allah sebagai keberadaan yang ada dari diri-Nya
sendiri telah terkandung segala kesempurnaan keberadaan.
Artikel 3 : Apakah
Ciptaan dapat Menyerupai Allah?
Keberatan 1 : Tampaknya tidak ada
ciptaan yang dapat menyerupai Allah, karena ada tertulis (Mzm 85:8) ;”Tidak ada
apapun di antara ilah-ilah yang serupa dengan-Mu, ya Tuhan.” Tapi dari segala
ciptaan, yang paling unggul adalah mereka yang dianggap sebagai ilah-ilah. Oleh
karena itu tidak ada ciptaan yang dapat menyerupai Allah.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, keserupaan
secara tidak langsung menyatakan perbandingan. Tapi tak ada yang dapat
dibandingkan antara hal-hal yang berbeda “genus”. Maka tidak mungkin dapat ada
keserupaan. Jadi kita tidak mengatakan bahwa manis adalah serupa dengan putih.
Tapi tidak ada ciptaan yang berada dalam “genus” yang sama dengan Allah, karena
Allah tidak berada dalam “genus” apapun, sebagaimana telah ditunjukkan di atas
(P[3], A[5]). Oleh karena itu tidak ada ciptaan
yang dapat menyerupai Allah.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, kita
berbicara tentang hal-hal tersebut dalam lingkup keserupaan forma. Tapi tidak
ada yang serupa dengan forma Allah, karena hanya dalam Allah esensi dan
keberadaan adalah sama. Maka tidak ada ciptaan apapun yang dapat menyerupai
Allah.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, di antara hal-hal
yang serupa terdapat saling keserupaan, karena serupa adalah cenderung menjadi
sama. Jika ada ciptaan yang menyerupai Allah, maka Allah akan serupa dengan
ciptaan, yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Yesaya : “Dengan siapakah
engkau menyerupakan Allah?” (Yes 40:18).
Sebaliknya, Ada tertulis : “Baiklah
kita jadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kej 1:26), dan : “Saat Ia
akan muncul, kita akan serupa dengan-Nya” (1 Yoh 3:2).
Aku menjawab bahwa, Karena keserupaan
didasarkan pada persetujuan atau komunikasi dalam forma, maka keserupaan
bervariasi menurut berbagai cara mengkomunikasikan forma. Beberapa hal
dikatakan serupa karena saling mengkomunikasikan forma yang sama berdasarkan
formalitas dan cara yang sama, dan ini tidak disebut sekedar serupa, tapi
sederajad dalam keserupaannya, sebagaimana dua hal yang memiliki warna putih
yang sama disebut serupa dalam keputihannya, dan ini adalah keserupaan yang
paling sempurna. Dalam cara lain, kita menyatakan hal-hal sebagai serupa karena
mereka mengkomunikasikan forma dalam formalitas yang sama, meskipun tidak dalam
ukuran yang sama, tapi berdasarkan kurang lebih, seperti sesuatu yanag kurang
putih disebut serupa dengan sesuatu yang lebih putih, dan ini adalah keserupaan
yang tidak sempurna. Dalam cara ketiga, beberapa hal disebut serupa karena
mengkomunikasikan forma yang sama, tapi tidak dalam formalitas yang sama,
seperti kita lihat dalam agen yang tidak sama (non-univocal). Maka karena
setiap agen bereproduksi sebagai suatu agen, dan segala sesuatu bertindak
sesuai dengan perilaku dari forma agen tersebut, efek yang dihasilkan harus
dalam beberapa cara serupa dengan forma dari agen tersebut. Maka jika suatu
agen berada dalam spesies yang sama dengan efeknya, aka nada suatu keserupaan
dalam forma antara yang membuat dan yang dibuat, berdasarkan formalitas yang
sama dari spesies tersebut, seperti manusia mereproduksi manusia. Namun, jika
suatu agen beserta efeknya tidak ada dalam spesies yang sama, maka aka nada
keserupaan, tapi bukan berdasar keserupaan formal dari suatu spesies, seperti
segala sesuatu yang keluar dari matahari dikatakan mirip matahari, bukan karena
mereka dalam keserupaan khusus menerima forma yang sama dengan matahari, tapi
lebih dalam keserupaan generic. Maka jika ada suatu agen yang tidak berada
dalam “genus” apapun, efeknya akan tetap mereproduksi forma yang sama dari agen
tersebut, tidak dalam formalitas khusus maupun generic terhadap keserupaan
forma agen tersebut, tapi hanya menurut sejenis analogy, sebagaimana keberadaan
adalah suatu yang dimiliki oleh segala hal. Dalam hal inilah segala sesuatu,
selama mereka memiliki keberadaan, disebut serupa dengan Allah yang adalah
principal dan keberadaan pertama dari segala keberadaan.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatakan
Dionysius (Div. Nom. Ix), saat Kitab Suci menyatakan bahwa tak ada sesuatupun
yang dapat menyerupai Allah, itu tidak berarti ia menyangkal segala jenis
keserupaan dengan-Nya, karena, “hal yang sama dapat menjadi serupa sekaligus
tidak serupa dengan Allah, seperti sesuatu mengimitasi-Nya sejauh Ia yang tak
dapat diimitasi, dapat diimitasi, namun bukan berarti ini adalah karena hal-hal
tersebut gagal dalam usahanya untuk mencapai keserupaan tersebut,” bukan
sekedar dalam hal intensitas ataupun kekurangan, seperti sesuatu yang kurang
putih gagal mencapai keserupaan dengan yang lebih putih, namun karena hal-hal
tersebut tidak dalam formalitas yang sama, baik secara khusus maupun generic.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Allah tidak dihubungkan
dengan ciptaan seolah masing-masing ada dalam “genus” yang berbeda, tapi dalam
cara bahwa Allah mengatasi segala ‘genus”, dan sebagai principal dari segala
“genera”.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keserupaan segala ciptaan
terhadap Allah bukan karena keserupaan forma menurut formalitas dari genus atau
spesies yang sama, tapi berdasarkan analogi, karena Allah adalah keberadaan
esensial, sedangkan segala sesuatu adalah keberadaan yang berpartisipasi.
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Meskipun diakui bahwa
ciptaan dalam cara tertentu serupa dengan Allah, tidak dengan sendirinya diakui
bahwa Allah serupa dengan ciptaan, karena, sebagaimana dikatakan Dionysius
(Div. Nom. ix) : “Suatu keserupaan yang saling serupa dapat ditemukan di antara
hal-hal yang berada dalam tingkatan yang sama, tapi tidak antara suatu penyebab
dan yang disebabkan.” Karena kita mengatakan bahwa suatu patung mirip dengan
seseorang, tapi tidak sebaliknya. Demikian juga suatu ciptaan dapat disebut
dalam hal tertentu serupa dengan Allah, tapi bukan bahwa Allah serupa dengan
ciptaan.
[1]“argumentum
a fortiori” adalah suatu argument berdasarkan alasan yang lebih kuat. Contohnya
jika manusia dinyatakan meninggal, maka seseorang dapat menyatakan bahwa orang
yang meninggal tersebut tidak lagi bernafas (
http://en.m.wikipedia.org/wiki/A_fortiori_argument )
[2] Segala kesempurnaan ada dalam
Allah tanpa mengganggu kesederhanaan-Nya. Ini seperti cahaya putih yang di
dalamnya terdapat kesempurnaan warna-warna pelangi. Juga bahwa hal-hal yang
lebih rendah selalu ditemukan sebagai satu kesatuan dalam hal yang lebih tinggi,
seperti jiwa manusia yang meskipun sederhana sekaligus di dalamnya terkandung
hidup, indera dan intelek (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St
Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one45.php )
No comments:
Post a Comment