Saturday, 22 September 2018


Pertanyaan 5 : Tentang Hal Baik secara Umum (Enam Artikel)


Kita selanjutnya akan mempertimbangkan hal baik. Pertama, hal baik secara umum. Kedua, hal baik dari Allah. Tentang hal baik secara umum terdapat enam pokok pembahasan :
1. Apakah hal baik dan keberadaan adalah sama?
2. Dengan beranggapan bahwa keduanya hanya berbeda dalam hal gagasan, manakah dari keduanya yang lebih dulu ada dalam pikiran?
3. Dengan beranggapan bahwa keberadaan ada lebih dulu, apakah segala jenis keberadaan adalah baik?
4. Dalam kasus apa sebaiknya hal baik direduksi?
5. Apakah hal baik terdiri dari mode, species dan urutan?
6. Apakah hal baik dibagi dalam kebajikan, kegunaan dan kepuasan?


Artikel 1 : Apakah Hal Baik Berbeda dengan Keberadaan?

Keberatan 1 : Tampaknya hal baik berbeda dari keberadaan, karena seperti dikatakan Boethius (De Hebdom.) : “Aku mengamati dalam alam fakta bahwa kebaikan dari sesuatu adalah satu hal, dan keberadaannya adalah hal lain.” Maka hal baik dan keberadaan sungguh berbeda.

Keberatan 2 : Lebih lanjut tak ada yang bisa menjadi formanya sendiri. “Tapi sesuatu disebut baik jika memiliki forma keberadaan”, menurut komntar dalam De Causis. Maka hal baik berbeda dari keberadaan.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, sesuatu dapat menjadi lebih baik atau kurang baik, tapi tidak dapat menjadi lebih ada atau kurang ada. Maka hal baik berbeda dari keberadaan.

Sebaliknya, Augustine mengatakan (De Doctr. Christ. i, 42) bahwa, “selama kita ada maka kita baik.”

Aku menjawab bahwa, Hal baik dan keberadaan adalah sungguh sama, dan hanya berbeda dalam hal pikiran, seperti jelas dalam argument berikut : Esensi dari hal baik ada dalam ini, yaitu bahwa ia dalam cara tertentu adalah sesuatu yang diinginkan. Maka sang Filsuf berkata (Ethic. i) : “Hal baik adalah apa yang diinginkan.” Sekarang adalah jelas bahwa suatu hal diinginkan hanya sejauh ia sempurna, karena segala sesuatu mengingini kesempurnaannya masing-masing. Tapi segala sesuatu adalah sempurna sejauh ia ada dalam keadaan actual. Maka jelas bahwa suatu hal adalah sempurna selama ia ada, karena keberadaannya menjadikannya actual, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (P[3], A[4]; P[4], A[1]). Maka adalah jelas bahwa hal baik dan keberadaan sungguh sama. Tapi hal baik menghadirkan aspek keinginan, sedangkan keberadaan tidak.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun hal baik dan keberadaan sungguh sama, namun karena mereka beda dalam pikiran, mereka tidak dipredikasikan pada suatu hal dalam cara yang sama secara absolute, karena keberadaan lebih tepatnya menandakan bahwa sesuatu ada secara actual, dan aktualitas lebih tepatnya berhubungan dengan potensialitas. Konsekuensinya, sesuatu dikatakan memiliki keberadaan karena ia berbeda dengan sesuatu yang hanya ada dalam potensialitas. Dan ini adalah keberadaan substansial dari segala hal. Maka melalui keberadaan substansialnya, segala sesuatu dikatakan memiliki keberadaan dalam artian sebenarnya. Tapi melalui aktualitas lebih lanjut ia dikatakan memiliki keberadaan dalam artian relative. Dengan demikian menjadi putih menunjukkan keberadaan relative, karena menjadi putih tidak bisa dikenakan kepada keberadaan potensial, sebab hanya sesuatu yang memiliki keberadaan secara actual dapat menerima jenis keberadaan semacam itu. Tapi hal baik menunjukkan kesempurnaan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga menandakan kesempurnaan utama. Maka sesuatu yang memiliki kesempurnaan utama dikatakan sebagai baik begitu saja (simply good). Tapi sesuatu yang tidak memiliki kesempurnaan yang seharusnya dimiliki (meskipun, selama ia berada dalam keadaan actual, ia memiliki kesempurnaan), tidak dikatakan sempurna begitu saja (simply perfect) atau baik begitu saja (simply good), tapi keduanya dinyatakan hanya secara relative. Maka, dalam cara ini, dilihat dalam keberadaan primal (substansial) nya, sesuatu dikatakan ada (simply be) dan baik secara relative (yaitu karena ia memiliki keberadaan). Tapi dilihat dari kepenuhan aktualitasnya, ia dikatakan ada secara relative dan baik begitu saja (simply good). Oleh karena itu perkataan Boethius (De Hebrom.), “Aku mengamati dalam alam fakta bahwa kebaikan dari sesuatu adalah satu hal, dan keberadaannya adalah hal lain,” harus merujuk apa adanya (simply referred) pada hal baik dari sesuatu dan pada keberadaannya. Karena, sehubungan dengan aktualitas primernya, sesuatu menjadi ada begitu saja (simply exist), dan sehubungan dengan kepenuhan aktualitasnya, sesuatu menjadi baik begitu saja (simply good) – dengan demikian bahkan jika sesuatu ada dalam aktualitas primernya, ia sekaligus ada dalam sejenis keadaan baik, dan bahkan jika ia ada dalam kepenuhan aktualitasnya, ia dikatakan berada dalam sejenis keberadaan[1].

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hal baik adalah suatu forma selama ia ada dalam keadaan absolute dan menandakan kepenuhan aktualitas.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Lebih lanjut, hal baik dikatakan kurang atau lebih menurut aktualitas yang ditambahkan pada sesuatu, contohnya dalam pengetahuan ataupun kebajikan.





Artikel 2 : Apakah Hal Baik Dalam Bentuk Gagasan Ada Lebih Dahulu daripada Keberadaan?

Keberatan 1 : Tampaknya hal baik dipahami lebih dulu oleh pikiran daripada keberadaan, karena Dionysius (Div.Nom.iii) menempatkan pada tempat pertama, di antara nama-nama Allah lainnya, kebaikan-Nya lebih dahulu daripada keberadaan-Nya, padahal nama-nama disusun  berdasarkan urutan. Maka, pemahaman tentang hal baik ada terlebih dahulu dibanding keberadaan.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, sesuatu yang lebih luas dipahami terlebih dahulu dalam pikiran. Tapi hal baik lebih luas daripada keberadaan, karena Dionysisu mencatat (Div.Nom.v), “hal baik menjangkau kepada yang ada maupun yang tiada, sedangkan keberadaan hanya menjangkau hal yang ada saja.” Maka hal baik dipahami terlebih dalam pikiran daripada keberadaan.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa yang bersifat lebih universal dipahami lebih dahulu dalam pikiran. Tapi hal baik tampaknya merupakan sesuatu yang lebih universal dibandingkan keberadaan, karena hal baik memiliki aspek untuk diinginkan, sedangkan suatu ketiadaan juga diinginkan, seperti dikatakan tentang Yudas : “Adalah lebih baik baginya jika ia tidak dilahirkan” (Mat. 26:24). Maka hal baik dipahami lebih dahulu dalam pikiran dibandingkan keberadaan.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, keberadaan bukanlah satu-satunya yang diinginkan, tetapi juga kehidupan, pengetauhan dan banyak hal lagi. Maka tampak bahwa keberadaan adalah suatu hal yang diinginkan secara khusus, sedangkan hal baik diinginkan secara universal. Maka, secara absolute, hal baik dipahami lebih dahulu dalam pikiran dibandingkan keberadaan.

Sebaliknya, dikatakan oleh Aristoteles (De Causis) bahwa “hal pertama dari segala ciptaan adalah keberadaan.”

Aku menjawab bahwa : Dalam pikiran, keberadaan dipahami lebih dahulu daripada hal baik, karena arti yang ditandakan oleh nama suatu benda merupakan apa yang diterima oleh akal mengenai benda tersebut dan benda tersebut dimaksudkan melalui nama tersebut. Maka, yang dipahami pertama kali dalam pikiran adalah yang pertama kali diterima oleh akal. Sekarang hal pertama yang diterima oleh pikiran adalah keberadaan, karena segala sesuatu dapat diketahui hanya jika ia ada dalam aktualitas. Oleh karena itu, keberadaan adalah objek yang sesungguhnya dari akal, dan merupakan hal yang secara utama dapat dipikirkan, seperti suara adalah sesuatu yang secara utama dapat didengar. Maka dalam pikiran, keberadaan dipahami lebih dahulu daripada hal baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Dionysius membahas nama-nama Ilahi (Div. Nom. i, iii) dengan menyiratkan hubungan kausal dalam Allah; karena kita menamai Allah dari [sudut pandang] ciptaan, sebagai penyebab dari efek yang ada pada ciptaan. Tapi kebaikan, karena ia memiliki aspek diinginkan, menyiratkan gagasan tentang suatu final cause (suatu akhir), suatu kausalitas yang pertama di antara kausa-kausa lainnya, karena suatu agen tidak bertindak kecuali untuk suatu akhir; dan oleh agen suatu materia digerakkan menuju formanya. Oleh karena itu, suatu akhir disebut sebagai suatu penyebab dari penyebab. Dengan demikian kebaikan, sebagai suatu penyebab, ada lebih dahulu sebelum suatu keberadaan, yang merupakan suatu akhir dari suatu forma. Oleh karena itu di antara nama-nama yang menandakan sebab-sebab ilahi, kebaikan mendahului keberadaan. Juga, menurut para Platonis - yang dengan tidak membedakan materia utama dengan ketiadaan mengatakan bahwa materia adalah ketidakberadaan - kebaikan berpartisipasi secara lebih luas daripada keberadaan; karena materia utama berpartisipasi dalam kebaikan dengan memiliki kecenderungan terhadapnya, karena segala sesuatu mencari yang serupa dengan diri mereka; tapi materia utama tidak berpartisipasi dalam keberadaan, karena materia utama dipreasumsikan sebagai ketidakberadaan. Oleh karena itu Dionysius mengatakan bahwa "kebaikan menjangkau ketidakberadaan” (Div.Nom.v)

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Solusi yang sama diterapkan untuk keberatan ini. Atau dapat dikatakan bahwa kebaikan meluas ke yang ada dan non-ada, bukan untuk dipredikasikan pada mereka, tapi sebagai penyebab---jika, memang, dengan non-eksistensi kita memahami tidak hanya hal-hal yang tidak ada, tetapi juga hal-hal yang potensial, dan tidak aktual. Karena kebaikan memiliki aspek sebagai suatu akhir, di mana tidak hanya hal-hal yang aktual menemukan akhir mereka, tetapi juga menjadi tujuan bahkan hal-hal yang tidak actual (yang hanya memiliki potensialitas). Sekarang, keberadaan menyiratkan sifat dari suatu penyebab resmi saja, baik melekat atau bersifat eksemplar; dan sifat kepenyebabannya hanya menjangkau pada hal-hal yang actual.

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Ketiadaan diinginkan, bukan tentang ketiadaan itu sendiri sendiri, tetapi hanya bersifat relatif---yaitu sejauh penghapusan suatu hal buruk, yang hanya dapat dihapus jika ia tiada, diinginkan. Sekarang penghapusan hal buruk tidak diinginkan, kecuali hal buruk ini menghilangkan sesuatu dari suatu keberadaan. Oleh karena itu keberadaan pada dirinya sendiri adalah diinginkan; dan ketiadaan hanya bersifat relatif, sejauh sesuatu mencari suatu cara keberadaan yang tidak tercela; dengan demikian bahkan ketiadaan dapat dikatakan sebagai relatif baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 4: Kehidupan, kebijaksanaan, dan sejenisnya, adalah diinginkan sejauh mereka bersifat aktual. Oleh karena itu, dalam setiap satu dari mereka, suatu jenis keberadaan diinginkan. Dengan demikian tidak ada yang dapat diinginkan kecuali keberadaan; dan akibatnya tidak ada yang baik kecuali keberadaan.


Artikel 3 : Apakah Setiap Keberadaan adalah Baik?

Keberatan 1: Tampaknya bahwa tidak setiap keberadaan adalah baik, karena hal baik adalah sesuatu yang ditambahkan kepada keberadaan, sebagaimana jelas dari Artikel  [1]. Tapi apa pun yang ditambahkan kepada keberadaan berarti membatasinya; sebagaimana substansi, kuantitas, kualitas, dll. Oleh karena itu hal baik membatasi keberadaan. Maka tidak setiap keberadaan baik.

Keberatan 2: Lebih lanjut, tidak-ada-kejahatan adalah baik: "Celakalah kamu, yang menyebut jahat adalah baik dan baik adalah jahat" (Yes 5: 20). Tetapi ada hal-hal yang disebut jahat. Oleh karena itu tidak setiap keberadaan adalah baik.

Keberatan 3: Lebih lanjut, hal baik menyiratkan kediinginan. Sekarang materia utama tidak menyiratkan kediinginan, melainkan yang menginginkan. Oleh karena itu materia utama tidak mengadung formalitas hal baik. Maka tidak setiap keberadaan adalah baik.

Keberatan 4: Lebih lanjut, Sang Filsuf mencatat (Metaph. iii) bahwa "dalam matematika tidak ada hal baik." Tetapi matematika adalah suatu entitas; kalau tidak maka tidak akan ada ilmu matematika. Oleh karena itu tidak setiap keberadaan adalah baik.

Sebaliknya, Setiap keberadaan yang bukan Allah adalah ciptaan Allah. Sekarang setiap ciptaan Allah adalah baik (1 Timotius 4: 4): dan Allah adalah kebaikan utama. Karenanya setiap keberadaan adalah baik.

Aku menjawab bahwa, Setiap keberadaan, sebagai suatu keberadaan, adalah baik, karena segala keberadaan, sebagai suatu keberadaan, memiliki aktualitas dan dalam beberapa cara adalah sempurna; karena setiap aktualitas menyiratkan semacam kesempurnaan; dan kesempurnaan menyiratkan kediinginan dan hal baik, sebagaimana jelas dari Artikel [1]. Oleh karena itu setiap keberadaan semacam itu adalah baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Substansi, kuantitas, kualitas, dan segala sesuatu yang termasuk di dalamnya, membatasi keberadaan dengan memberinya beberapa esensi, atau sifat. Sekarang dalam pengertian ini, hal baik tidak menambahkan apapun kepada keberadaan melampaui aspek kediinginan dan kesempurnaan, yang juga tepat untuk keberadaan, apa pun jenisnya. Oleh karena itu kebaikan tidak membatasi keberadaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Ketidakberadaan dapat dianggap sebagai hal buruk secara formal terhadap keberadaan, tetapi hanya sejauh hal tersebut adalah tentang ketiadaan. Dengan demikian seseeorang dikatakan jahat, karena ia tidak memiliki kebajikan; dan mata dikatakan buruk, karena mata tidak memiliki kemampuan untuk melihat dengan baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Sebagaimana materia utama hanya memiliki keberadaan potensial, maka ia hanya berpotensi baik. Walaupun, menurut Platonists, materia utama dapat dikatakan sebagai bukan-keberadaan karena ketiadaan yang melekat padanya, namun demikian, ia berpartisipasi sampai batas tertentu dalam hal baik, yaitu oleh hubungannya dengan, atau kecenderungannya kepada, hal baik. Akibatnya, menjadi diinginkan bukanlah sifatnya, tapi menginginkan[2].
Tanggapan terhadap Keberatan 4: Entitas-entitas matematika bukanlah suatu realitas; karena mereka akan memiliki semacam hal baik jika mereka pada dirinya sendiri ada secara nyata; tetapi mereka hanya memiliki keberadaan logis, sebab mereka diabstraksikan dari gerakan dan materi; dengan demikian mereka tidak memiliki aspek dari suatu akhir, dimana suatu akhir itu sendiri memiliki aspek untuk menggerakkan lainnya. Juga tidak aneh bahwa dalam entitas logis tidak terdapat hal baik ataupun forma dari hal baik, karena pemahaman tentang keberadaan ada terlebih dahulu sebelum pemahaman tentang hal baik, seperti yang dikatakan dalam artikel sebelumnya[3].


Artikel 4 : Apakah Hal Baik Memiliki Aspek sebagai Suatu Final Cause?

Keberatan 1 :  Tampaknya hal baik tidak memiliki aspek sebagai suatu final cause[4], tetapi lebih sebagai kausa lainnya, karena sebagaimana dikatakan Dionysius (Div. Nom. Iv), “Hal baik dipuji sebagai keindahan.” Tapi keindahan adalah aspek dari suatu formal cause. Maka hal baik adalah aspek dari formal cause.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, hal baik memiliki sifat menyebar dengan sendirinya, seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. Iv) bahwa hal baik adalah dimana segala sesuatu berada dan menjadi ada. Tapi sifat memberi diri sendiri adalah aspek dari suatu efficient cause. Maka hal baik adalah aspek dari efficient cause.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, Agustinus mengatakan (De Doctr. Christ. I, 31) bahwa “kita ada karena Allah baik.” Tapi kita menerima keberadaan kita dari Allah sebagai efficient cause kita. Maka hal baik adalah aspek dari efficient cause.

Sebaliknya, Sang Filsuf mengatakan (Phys. Ii) bahwa “sesuatu yang menjadi tujuan dari suatu keberadaan adalah merupakan akhir dan kebaikan dari segala hal.” Maka hal baik adalah aspek dari final cause.

Aku menjawab bahwa, karena hal baik adalah sesuatu yang menjadi tujuan dari segala sesuatu, dan karena dengan menjadi demikian adalah aspek dari suatu akhir, jelaslah bahwa hal baik merupakan aspek dari suatu akhir. Namun, gagasan tentang hal baik mendahului gagasan tentang efficient cause, dan juga tentang formal cause, karena kita melihat bahwa semakin sesuatu berada dalam urutan awal dalam kepenyebaban, semakin ia berada dalam urutan akhir sebagai hal yang disebabkan.  Contohnya adala api. Api terlebih dahulu memanaskan sesuatu sebelum ia mereproduksikan api lain, meskipun panas itu berasal dari substansinya. Sekarang dalam hal kepenyebaban, hal baik dan akhir dari sesuatu muncul terlebih dahulu, yang mana keduanya menggerakkan suatu agen untuk beraksi; selanjutnya, aksi dari agen tersebut perlahan berubah menuju suatu forma, dan akhirnya menjadi sesuatu forma.

Maka, dalam diri sesuatu yang disebabkan, terjadi perubahan, sehingga forma yang menjadi tujuannya harus ada lebih dahulu; lalu kita memperhatikan effective power yang ada padanya, yang menjadikannya sempurna, karena sesuatu disebut sempurna jika ia dapat mereproduksi sesuatu lain yang serupa, sebagaimana dikatakan Sang Filsuf (Meteor. Iv); dan yang terakhir, muncullah hal baik yang merupakan prinsip dasar dari kesempurnaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Keindahan dan hal baik dalam diri sesuatu adalah identikal secara mendasar, karena mereka didasarkan pada hal yang sama, yaitu suatu forma. Maka konsekuensinya hal baik dipuji sebagai keindahan. Namun, mereka berbeda secara logika, karena hal baik berhubungan dengan suatu yang diinginkan (hal baik adalah hal yang diinginkan segala sesuatu), dan dengan demikian ia memiliki aspek dari suatu akhir (keinginan adalah pergerakan sesuatu menuju sesuatu lainnya). Di lain pihak, keindahan berhubungan dengan kemampuan kognitif, karena hal indah adalah sesuatu yang memuaskan saat dilihat. Maka keindahan terdiri dari proporsi, karena indera menyukai hal-hal yang ada dalam proporsi yang tepat yang mampu dipahaminya, karena bahkan indera adalah suatu kumpulan penalaran, yang menjadi bagian dari kemampuan kognitif. Sekarang karena memahami adalah dengan menggabungkan, dan keserupaan berhubungan dengan forma, maka keindahan merupakan suatu sifat dari formal cause.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hal baik dideskripsikan sebagai sesuatu yang melebur dengan sendirinya dalam indera, di mana indera tersebut digunakan untuk menentukan suatu akhir.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Seseorang yang memiliki kehendak disebut sebagai baik, selama ia memiliki kehendak baik, karena melalui kehendaklah seseorang menggerakkan kekuasaan apapun yang dimilikinya. Maka seseorang disebut sebagai baik, bukan karena pemahamannya yang baik, tetapi karena ia memiliki kehendak baik. Sekarang, kehendak berhubungan dengan obyeknya. Maka perkataan “kita ada karena Allah baik” merujuk pada final cause.


Artikel 5 : Apakah Esensi Hal Baik terdiri dari Moda, Species dan Urutan?

Keberatan 1 : Tampaknya esensi hal baik tidak terdiri dari moda [cara berada], species [golongan] dan urutan [tingkatan], karena hal baik dan keberadaan adalah dua hal yang berbeda secara logis. Namun moda, species dan urutan tampaknya menjadi sifat dari keberadaan, karena ada tertulis, “Engkau telah menyusun segala sesuatu menurut ukuran, jumlah dan timbangan” (Keb. 11:20). Dan tiga hal tersebut dapat direduksi menjadi species, moda dan urutan, sebagaimana dikatakan Agustinus (Gen.ad lit.iv, 3) : “Ukuran menentukan moda dari segala sesuatu, jumlah menentukan spesies, dan timbangan menentukan ketenangan dan stabiblitas.” Maka esensi dari hal baik tidak terkandung dalam moda, spesies dan urutan.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, moda, spesies dan urutan dalam dirinya sendiri adalah baik. Maka jika esensi dari hal baik ada dalam moda, spesies dan urutan, setiap moda harus punya moda, spesies dan ukurannya sendiri. Ini juga akan berlaku bagi spesies dan urutan. Hal ini akan menimbulkan sukesi yang tiada henti.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, hal buruk adalah tiadanya moda, spesies dan urutan. Namun dalam hal buruk, hal baik tidak sama sekali absen. Maka esensi dari hal baik tidak terdiri dari moda, spesies dan urutan.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, di mana terdapat esensi dari hal baik, tidak dapat disebut sebagai keburukan. Namun kita dapat melihat moda, spesies dan urutan dalam keburukan. Maka esensi hal baik tidak terdiri dari moda, spesies dan urutan.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, moda, spesies dan urutan ditimbulkan oleh bobot, jumlah dan ukuran, sebagaimana dikatakan oleh Agustinus. Tapi tidak setiap hal baik memiliki bobot, jumlah dan ukuran, sebagaimana dikatakan Ambrosius (Hexam. i, 9) : “Adalah hakikat dari cahaya untuk tidak memiliki jumlah, bobot dan ukuran.” Maka esensi hal baik tidak terdiri dari moda, spesies dan urutan.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Nat. Boni. iii) : “Ketiga hal ini – moda, spesies dan urutan – sebagai hal baik yang umum, ada dalam segala hal yang diciptakan Allah. Sehingga, di mana terdapat ketiga hal ini, hal-hal akan sangat baik, sedangkan jika terdapat kekurangan dari ketiganya, maka hal-hal akan kurang baik, dan jika sama sekali tidak terdapat ketiganya, maka hal-hal tidak ada yang baik.” Tapi hal tersebut tidak akan mungkin kecuali esensi hal baik ada dalam ketiga hal tersebut. Maka esensi dari hal baik terdiri dari moda, spesies dan urutan.


Aku menjawab bahwa, Segala sesuatu disebut sebagaik baik jika ia sempurna, karena hanya dalam kesempurnaannya ia diinginkan (sebagaimana ditunjukkan dalam Artikel 3 di atas). Sekarang, sesuatu disebut sebagai sempurna jika ia tidak kekurangan apapun dalam hal moda kesempurnaannya [tamb. penerj. : caranya menjadi sempurna]. Tapi karena segala sesuatu menjadi dirinya sendiri melalui formanya (dan karena forma tersebut menyatakan sesuatu yang tertentu, dan dari forma tersebut muncul sesuatu tertentu), untuk menjadi sempurna dan baik sesuatu harus memiliki forma, bersama dengan segala hal yang mendahului dan mengikuti forma tersebut. Sekarang, forma tersebut menyatakan ketentuan ataupun kesetaraan dari prinsipal-prinsipalnya, entah bersifat material ataupun efisien [tamb.penerj.: berhubungan dengan efek], dan kesetaraan ataupun ketentuan ini ditandakan oleh moda, maka dikatakan bahwa jumlah menyatakan moda. Tapi forma itu sendiri ditandakan oleh spesies, karena segala sesuatu ditempatkan dalam spesiesnya masing-masing oleh formanya. Maka jumlah dikatakan memberikan spesies, karena definisi yang menandakan spesies adalah mirip dengan jumlah, menurut Sang Filsuf (Metaph. x), karena sebagaimana suatu unit ditambahkan atau diambil dari suatu jumlah, hal tersebut mengubah spesiesnya; demikian juga jika suatu perubahan ditambahkan atau diambil dari suatu definisi, hal tersebut mengubah spesiesnya. Lebih lanjut, dalam forma terdapat suatu kecenderungan terhadap suatu akhir, atau terhadap suatu tindakan, atau sesuatu hal, karena segala sesuatu, selama ia ada dalam aktualtias, bertindak dan cendrung mengarah pada seesuatu sesuatu menurut formanya, dan kecenderungan ini adalah sifat bobot dan urutan. Dengan demikian, esensi hal baik, selama esensi itu ada dalam kesempurnaan, terdiri dari moda [tamb.penerj.: cara berada], spesies [yang membedakan dari yang lain] dan urutan [tingkat kecenderungannya].

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Ketiga hal ini hanya ada dalam suatu keberadaan, selama keberadaan tersebut sempurna, dan berdasar kesempurnaannya tersebut ia baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Moda, spesies dan urutan disebut sebagai baik, dan juga menjadi ada, bukan seolah ketiga hal tersebut adalah penyebab keberadaan, namun karena melalui ketiganya hal-hal lain menjadi ada sekaligus baik. Maka, ketiga hal tersebut tidak memerlukan hal-hal lain untuk menjadikan hal-hal lain tersebut baik, karena ketiga hal tersebut tidak disebut baik seolah ketiganya dibentuk secara formal menjadi baik oleh hal lain, tapi ketiga hal itu secara formal membentuk hal laiinya menjadi baik. Maka sifat keputihan (whiteness) tidak disebut sebagai suatu keberadaan seolah ia dijadikan ada oleh sesuatu lainnya, namun karena karena melaluinya, sesuatu lain memiliki keberadaan aksidental, sebagai suatu obyek yang putih.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Segala sesuatu ada dalam suatu forma. Maka, segala sesuatu memiliki moda, spesies dan urutannya. Jadi, seseorang memiliki moda, spesies [golongan] dan urutannya sebagaimana ia putih, bijaksana, terpelajar dan sebagainya, menurut segala sesuatu yang dipredikasikan padanya. Tapi keburukan menhilangkan satu hal dari sekumpulan keberadaan, sebagaimana kebutaan menghilangkan penglihatan. Namun keburukan itu tidak menghilangkan segala moda, spesies dan urutan, hanya seperti yang terjadi pada penglihatan.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Agustinus mengatakan (De Nat. Boni, xxiii), “Setiap moda, sebagai suatu moda, adalah baik” (dan hal yang sama dapat dikatakan pada spesies dan urutan). “Tapi moda, spesies dan urutan hal buruk disebut sebagai keberadaan yang kurang dari apa yang seharusnya ada, atau tidak dimiliki oleh sesuatu yang seharusnya memiliki. Maka mereka disebut buruk, karena mereka tidak ada pada tempatnya dan tidak harmonis.”

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Hakikat dari cahaya disebut sebagai keberadaan yang tidak memiliki jumlah, bobot dan ukuran, tidak dalam arti absolut, tetapi dalam perbandingan dengan hal-hal jasmani, karena cahaya memiliki sifat yang melampaui sifat-sifat jasmaniah, sebab ia adalah kualitas aktif dari hal-hal yang mengakibatkan perubahan, yaitu hal-hal surgawi.


Artikel 6 : Apakah Hal Baik Secara Tepat Dibagi Menjadi Kebajikan*, Kegunaan dan Kepuasan? (*Bonus honestum adalah kebaikan luhur yang dianggap sebagai ketepatan)

Keberatan 1 : Tampaknya hal baik tidak tepat jika dibagi menjadi kebajikan, kegunaan dan kepuasan, karena hal baik dibagi menjadi sepuluh keadaan, sebagaimana dikatakan Sang Filsuf (Ethic. i). Tapi kebajikan, kegunaan dan kepuasan dapat ditemukan dalam satu keadaan [dari sepuluh keadaan yang dikatakan Sang Filsuf]. Maka tidak tepat jika hal baik dibagi menjadi tiga hal tersebut.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, setiap pembagian dibagi menjadi hal yang berbeda, namun ketiga hal tersebut tampaknya tidak berbeda, karena kebajikan adalah hal yang memuaskan, dan tidak ada kegunaan dalam kejahatan. Padahal jika pembagian adalah melalui pembedaan, maka kebajikan dan kegunaan akan berbeda, dan Tully berbicara tentang hal ini (De Offic. ii). Maka pembagian ini tidaklah tepat.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, jika suatu hal tergantung pada hal lainnya, maka masing-masing akan memiliki karakternya masing-masing. Tapi kegunaan tidak menjadi baik jika ia tidak memuaskan sekaligus bijak. Maka kegunaan tidak seharusnya dipisahkan dari kepuasan dan kebijakan.

Sebaliknya, Ambrosius menggunakan pembagian tersebut terhadap hal baik (De Offic. i, 9).

Aku menjawab bahwa, Pembagian ini adalah tentang hal baik pada manusia. Tapi jika kita memperhatikan hakikat hal baik dari sudut pandang yang lebih tinggi dan universal, maka kita akan menemukan bahwa pembagian ini tepat diterapkan pada hal baik, karena segala sesuatu adalah baik selama ia diinginkan, dan ini merupakan tujuan dari  pergerakan keinginan, suatu tujuan yang pergerakannya dapat dilihat dengan memperhatikan pergerakan natural suatu tubuh. Sekarang, pergerakan suatu tubuh natural berakhir secara absolut pada suatu akhir, dan berakhir secara relatif pada sarana yang digunakannya untuk bergerak menuju akhir. Maka sesuatu disebut sebagai suatu tujuan pergerakan, selama ia merupakan perhentian dari pergerakan tersebut. Sekarang tujuan utama dari pergerakan dapat berupa salah satu dari dua hal, entah menuju sesuatu itu sendiri yang menjadi kecenderungannya, misalnya suatu tempat ataupun forma, ataupun suatu keadaan dari sesuatu itu. Jadi, dalam pergerakan suatu keinginan, hal yang diinginkan yang menjadi tujuan dari pergerakan tersebut secara relatif, sebagai suatu sarana untuk menuju kecenderungan lainnya, disebut sebagai suatu kegunaan. Tapi sesuatu yang dituju sebagai tujuan akhir absolut dari pergerakan keinginan, sesuatu yang ingin paling diinginkan, disebut kebajikan, karena kebajikan adalah sesuatu yang paling diinginkan. Namun, sesuatu keadaan yang menjadi perhentian dari pergerakan keinginan, disebut kepuasan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Hal baik, selama ia identik dengan keberadaan, dibagi menjadi sepuluh keadaan. Tapi pembagian ini berdasarkan formalitas dari hal baik.

Tanggapa terhadap Keberatan 2 : Pembagian ini tidak tentang pembedaan suatu benda dengan benda lain, tapi tentang aspek. Sekarang, segala sesuatu yang disebut memuaskan adalah mereka yang tidak memiliki formalitas lain yang diinginkan darinya kecuali kepuasan, meskipun kadang sesuatu itu menyakitkan dan bertentangan dengan kebajikan. Sedangkan kegunaan merujuk pada hal yang pada dirinya sendiri tidak memiliki sesuatu yang diinginkan kecuali sifat bantuannya untuk mencapai sesuatu yang lebih lanjut, sebagaimana obat pahit [tamb. penerj. Obat pahit diminum bukan karena ingin menikmati obat pahit itu sendiri tapi melalui obat pahit itu kesembuhan ingin dicapai]. Sedangkan kebajikan dipredikasikan pada hal-hal yang pada dirinya sendiri diinginkan.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal baik tidak dibagi menjadi tiga hal ini seolah ketiganya memiliki arti yang sama, tetapi sebagai sesuatu yang analogis yang dipredikasikan kepada ketiganya menurut urutan [priority dan posteriority]. Maka hal baik pertama kali dipredikasikan pada kebajikan, kemudian kepuasan dan terakhir pada kegunaan.



[1]Sesuatu yang hanya sekedar ada (simply be) disebut baik secara relative, karena tingkat kebaikannya diukur berdasar sesuatu di luar dirinya. Contohnya anggur. Dalam keberadaannya ia adalah sungguh anggur bukan cuka, tapi dalam kebaikannya ia diukur berdasar mutunya (tua atau baru saja difermentasi). Demikian juga sebaliknya, sesuatu yang sekedar baik (simply good), contohnya tentang hal matang pada buah, dikatakan memiliki keberadaan relative, karena ia merupakan suatu aksiden dari suatu substansi, jadi keberadaannya tergantung dari keberadaan substansi (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one46.php )

[2]Materia utama (materia prima) adalah suatu potensialitas murni. Ia tidak memiliki aktualitas, sehingga disebut “non-being”, karena sesuatu disebut ada jika ia dalam keadaan actual. Namun materia utama tetap memiliki keberadaan (existence) sebagai keberadaan potensial. Contohnya adalah “saya ada di samping meja”. Saat saya ada jauh dari meja, maka saya memiliki potensialitas untuk berada di samping meja. Potensialitas itu menjadi aktualitas saat saya sungguh ada di samping meja. Dari sini bisa dilihat bahwa materia utama memiliki kecenderungan terhadap hal baik, yaitu keberadaan.

[3]Dalam pikiran, sesuatu bisa ada tanpa harus memiliki sifat baik ataupun tidak baik. Hal sebaliknya tidaklah bisa terjadi karena sesuatu harus ada terlebih dahulu baru ia memiliki sifat baik ataupun tidak baik, bahkan dalam pikiran.

[4] Tentang causes : Dalam setiap perubahan, terdapat 4 aspek
(http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#scholastic):
1.     Sesuatu yang diubah;
2.     Aturan atau cara perubahannya;
3.     Agen aktif yang melakukan perubahan;
4.     Alasan dari perubahan.
Sekarang ambil contoh perubahan dari lilin mainan berbentuk kubus menjadi berbentuk bulatan. Lilin mainan adalah sesuatu yang diubah. Kubus lilin permainan menjadi ada secara material karena ada lilin permainan. Maka lilin permainan adalah material cause-nya. Lalu cara perubahannya adalah dari bentuk satu (kubus) ke bentuk lain (bulatan). Maka bulatan, yang menyebabkannya berubah/berbeda dari keadaan awalnya, adalah formal cause. Orang yang melakukan perubahan adalah efficient cause, atau moving cause-nya. Lalu niat orang tersebut untuk menjadikan lilin plastik dari bentuk kubus ke bentuk bulatan adalah final cause-nya.

No comments:

Post a Comment