Pertanyaan
5 : Tentang Hal Baik secara Umum (Enam Artikel)
Kita selanjutnya akan
mempertimbangkan hal baik. Pertama, hal baik secara umum. Kedua, hal baik dari
Allah. Tentang hal baik secara umum terdapat enam pokok pembahasan :
1. Apakah hal baik dan
keberadaan adalah sama?
2. Dengan beranggapan bahwa
keduanya hanya berbeda dalam hal gagasan, manakah dari keduanya yang lebih dulu
ada dalam pikiran?
3. Dengan beranggapan bahwa
keberadaan ada lebih dulu, apakah segala jenis keberadaan adalah baik?
4. Dalam kasus apa
sebaiknya hal baik direduksi?
5. Apakah hal baik terdiri
dari mode, species dan urutan?
6. Apakah hal baik dibagi
dalam kebajikan, kegunaan dan kepuasan?
Artikel 1 : Apakah
Hal Baik Berbeda dengan Keberadaan?
Keberatan 1 : Tampaknya hal baik
berbeda dari keberadaan, karena seperti dikatakan Boethius (De Hebdom.) : “Aku
mengamati dalam alam fakta bahwa kebaikan dari sesuatu adalah satu hal, dan
keberadaannya adalah hal lain.” Maka hal baik dan keberadaan sungguh berbeda.
Keberatan 2 : Lebih lanjut tak ada yang
bisa menjadi formanya sendiri. “Tapi sesuatu disebut baik jika memiliki forma
keberadaan”, menurut komntar dalam De Causis. Maka hal baik berbeda dari
keberadaan.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, sesuatu
dapat menjadi lebih baik atau kurang baik, tapi tidak dapat menjadi lebih ada
atau kurang ada. Maka hal baik berbeda dari keberadaan.
Sebaliknya, Augustine mengatakan (De
Doctr. Christ. i, 42) bahwa, “selama kita ada maka kita baik.”
Aku menjawab bahwa, Hal baik dan keberadaan
adalah sungguh sama, dan hanya berbeda dalam hal pikiran, seperti jelas dalam
argument berikut : Esensi dari hal baik ada dalam ini, yaitu bahwa ia dalam
cara tertentu adalah sesuatu yang diinginkan. Maka sang Filsuf berkata (Ethic.
i) : “Hal baik adalah apa yang diinginkan.” Sekarang adalah jelas bahwa suatu
hal diinginkan hanya sejauh ia sempurna, karena segala sesuatu mengingini
kesempurnaannya masing-masing. Tapi segala sesuatu adalah sempurna sejauh ia
ada dalam keadaan actual. Maka jelas bahwa suatu hal adalah sempurna selama ia
ada, karena keberadaannya menjadikannya actual, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya (P[3], A[4]; P[4],
A[1]).
Maka adalah jelas bahwa hal baik dan keberadaan sungguh sama. Tapi hal baik
menghadirkan aspek keinginan, sedangkan keberadaan tidak.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun hal baik dan
keberadaan sungguh sama, namun karena mereka beda dalam pikiran, mereka tidak
dipredikasikan pada suatu hal dalam cara yang sama secara absolute, karena
keberadaan lebih tepatnya menandakan bahwa sesuatu ada secara actual, dan
aktualitas lebih tepatnya berhubungan dengan potensialitas. Konsekuensinya,
sesuatu dikatakan memiliki keberadaan karena ia berbeda dengan sesuatu yang
hanya ada dalam potensialitas. Dan ini adalah keberadaan substansial dari
segala hal. Maka melalui keberadaan substansialnya, segala sesuatu dikatakan
memiliki keberadaan dalam artian sebenarnya. Tapi melalui aktualitas lebih
lanjut ia dikatakan memiliki keberadaan dalam artian relative. Dengan demikian
menjadi putih menunjukkan keberadaan relative, karena menjadi putih tidak bisa
dikenakan kepada keberadaan potensial, sebab hanya sesuatu yang memiliki
keberadaan secara actual dapat menerima jenis keberadaan semacam itu. Tapi hal
baik menunjukkan kesempurnaan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga
menandakan kesempurnaan utama. Maka sesuatu yang memiliki kesempurnaan utama
dikatakan sebagai baik begitu saja (simply good). Tapi sesuatu yang tidak
memiliki kesempurnaan yang seharusnya dimiliki (meskipun, selama ia berada
dalam keadaan actual, ia memiliki kesempurnaan), tidak dikatakan sempurna
begitu saja (simply perfect) atau baik begitu saja (simply good), tapi keduanya
dinyatakan hanya secara relative. Maka, dalam cara ini, dilihat dalam
keberadaan primal (substansial) nya, sesuatu dikatakan ada (simply be) dan baik
secara relative (yaitu karena ia memiliki keberadaan). Tapi dilihat dari
kepenuhan aktualitasnya, ia dikatakan ada secara relative dan baik begitu saja
(simply good). Oleh karena itu perkataan Boethius (De Hebrom.), “Aku mengamati
dalam alam fakta bahwa kebaikan dari sesuatu adalah satu hal, dan keberadaannya
adalah hal lain,” harus merujuk apa adanya (simply referred) pada hal baik dari
sesuatu dan pada keberadaannya. Karena, sehubungan dengan aktualitas primernya,
sesuatu menjadi ada begitu saja (simply exist), dan sehubungan dengan kepenuhan
aktualitasnya, sesuatu menjadi baik begitu saja (simply good) – dengan demikian
bahkan jika sesuatu ada dalam aktualitas primernya, ia sekaligus ada dalam
sejenis keadaan baik, dan bahkan jika ia ada dalam kepenuhan aktualitasnya, ia
dikatakan berada dalam sejenis keberadaan[1].
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hal baik adalah suatu
forma selama ia ada dalam keadaan absolute dan menandakan kepenuhan aktualitas.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Lebih lanjut, hal baik
dikatakan kurang atau lebih menurut aktualitas yang ditambahkan pada sesuatu,
contohnya dalam pengetahuan ataupun kebajikan.
Artikel 2 : Apakah Hal Baik Dalam
Bentuk Gagasan Ada Lebih Dahulu daripada Keberadaan?
Keberatan 1 : Tampaknya hal baik
dipahami lebih dulu oleh pikiran daripada keberadaan, karena Dionysius
(Div.Nom.iii) menempatkan pada tempat pertama, di antara nama-nama Allah
lainnya, kebaikan-Nya lebih dahulu daripada keberadaan-Nya, padahal nama-nama
disusun berdasarkan urutan. Maka, pemahaman tentang hal baik ada terlebih
dahulu dibanding keberadaan.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, sesuatu
yang lebih luas dipahami terlebih dahulu dalam pikiran. Tapi hal baik lebih
luas daripada keberadaan, karena Dionysisu mencatat (Div.Nom.v), “hal baik
menjangkau kepada yang ada maupun yang tiada, sedangkan keberadaan hanya
menjangkau hal yang ada saja.” Maka hal baik dipahami terlebih dalam pikiran
daripada keberadaan.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa yang
bersifat lebih universal dipahami lebih dahulu dalam pikiran. Tapi hal baik
tampaknya merupakan sesuatu yang lebih universal dibandingkan keberadaan,
karena hal baik memiliki aspek untuk diinginkan, sedangkan suatu ketiadaan juga
diinginkan, seperti dikatakan tentang Yudas : “Adalah lebih baik baginya jika
ia tidak dilahirkan” (Mat. 26:24). Maka hal baik dipahami lebih dahulu dalam
pikiran dibandingkan keberadaan.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, keberadaan
bukanlah satu-satunya yang diinginkan, tetapi juga kehidupan, pengetauhan dan
banyak hal lagi. Maka tampak bahwa keberadaan adalah suatu hal yang diinginkan
secara khusus, sedangkan hal baik diinginkan secara universal. Maka, secara
absolute, hal baik dipahami lebih dahulu dalam pikiran dibandingkan keberadaan.
Sebaliknya, dikatakan oleh
Aristoteles (De Causis) bahwa “hal pertama dari segala ciptaan adalah
keberadaan.”
Aku menjawab bahwa : Dalam pikiran, keberadaan
dipahami lebih dahulu daripada hal baik, karena arti yang ditandakan oleh nama
suatu benda merupakan apa yang diterima oleh akal mengenai benda tersebut dan
benda tersebut dimaksudkan melalui nama tersebut. Maka, yang dipahami pertama
kali dalam pikiran adalah yang pertama kali diterima oleh akal. Sekarang hal
pertama yang diterima oleh pikiran adalah keberadaan, karena segala sesuatu
dapat diketahui hanya jika ia ada dalam aktualitas. Oleh karena itu, keberadaan
adalah objek yang sesungguhnya dari akal, dan merupakan hal yang secara utama
dapat dipikirkan, seperti suara adalah sesuatu yang secara utama dapat
didengar. Maka dalam pikiran, keberadaan dipahami lebih dahulu daripada hal
baik.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Dionysius membahas
nama-nama Ilahi (Div. Nom. i, iii) dengan menyiratkan hubungan kausal dalam
Allah; karena kita menamai Allah dari [sudut pandang] ciptaan, sebagai penyebab
dari efek yang ada pada ciptaan. Tapi kebaikan, karena ia memiliki aspek
diinginkan, menyiratkan gagasan tentang suatu final cause (suatu akhir), suatu
kausalitas yang pertama di antara kausa-kausa lainnya, karena suatu agen tidak
bertindak kecuali untuk suatu akhir; dan oleh agen suatu materia digerakkan
menuju formanya. Oleh karena itu, suatu akhir disebut sebagai suatu penyebab
dari penyebab. Dengan demikian kebaikan, sebagai suatu penyebab, ada lebih
dahulu sebelum suatu keberadaan, yang merupakan suatu akhir dari suatu forma.
Oleh karena itu di antara nama-nama yang menandakan sebab-sebab ilahi, kebaikan
mendahului keberadaan. Juga, menurut para Platonis - yang dengan tidak
membedakan materia utama dengan ketiadaan mengatakan bahwa materia adalah
ketidakberadaan - kebaikan berpartisipasi secara lebih luas daripada
keberadaan; karena materia utama berpartisipasi dalam kebaikan dengan memiliki
kecenderungan terhadapnya, karena segala sesuatu mencari yang serupa dengan
diri mereka; tapi materia utama tidak berpartisipasi dalam keberadaan, karena
materia utama dipreasumsikan sebagai ketidakberadaan. Oleh karena itu Dionysius
mengatakan bahwa "kebaikan menjangkau ketidakberadaan” (Div.Nom.v)
Tanggapan terhadap Keberatan 2: Solusi yang sama
diterapkan untuk keberatan ini. Atau dapat dikatakan bahwa kebaikan meluas ke
yang ada dan non-ada, bukan untuk dipredikasikan pada mereka, tapi sebagai
penyebab---jika, memang, dengan non-eksistensi kita memahami tidak hanya
hal-hal yang tidak ada, tetapi juga hal-hal yang potensial, dan tidak aktual.
Karena kebaikan memiliki aspek sebagai suatu akhir, di mana tidak hanya hal-hal
yang aktual menemukan akhir mereka, tetapi juga menjadi tujuan bahkan hal-hal
yang tidak actual (yang hanya memiliki potensialitas). Sekarang, keberadaan
menyiratkan sifat dari suatu penyebab resmi saja, baik melekat atau bersifat
eksemplar; dan sifat kepenyebabannya hanya menjangkau pada hal-hal yang actual.
Tanggapan terhadap Keberatan 3: Ketiadaan diinginkan,
bukan tentang ketiadaan itu sendiri sendiri, tetapi hanya bersifat
relatif---yaitu sejauh penghapusan suatu hal buruk, yang hanya dapat dihapus
jika ia tiada, diinginkan. Sekarang penghapusan hal buruk tidak diinginkan,
kecuali hal buruk ini menghilangkan sesuatu dari suatu keberadaan. Oleh karena
itu keberadaan pada dirinya sendiri adalah diinginkan; dan ketiadaan hanya
bersifat relatif, sejauh sesuatu mencari suatu cara keberadaan yang tidak
tercela; dengan demikian bahkan ketiadaan dapat dikatakan sebagai relatif baik.
Tanggapan terhadap Keberatan 4: Kehidupan, kebijaksanaan,
dan sejenisnya, adalah diinginkan sejauh mereka bersifat aktual. Oleh karena
itu, dalam setiap satu dari mereka, suatu jenis keberadaan diinginkan. Dengan
demikian tidak ada yang dapat diinginkan kecuali keberadaan; dan akibatnya
tidak ada yang baik kecuali keberadaan.
Artikel 3 : Apakah Setiap Keberadaan
adalah Baik?
Keberatan 1: Tampaknya bahwa tidak
setiap keberadaan adalah baik, karena hal baik adalah sesuatu yang ditambahkan
kepada keberadaan, sebagaimana jelas dari Artikel
[1].
Tapi apa pun yang ditambahkan kepada keberadaan berarti membatasinya;
sebagaimana substansi, kuantitas, kualitas, dll. Oleh karena itu hal baik
membatasi keberadaan. Maka tidak setiap keberadaan baik.
Keberatan 2: Lebih lanjut,
tidak-ada-kejahatan adalah baik: "Celakalah kamu, yang menyebut jahat
adalah baik dan baik adalah jahat" (Yes 5: 20). Tetapi ada hal-hal yang
disebut jahat. Oleh karena itu tidak setiap keberadaan adalah baik.
Keberatan 3: Lebih lanjut, hal baik
menyiratkan kediinginan. Sekarang materia utama tidak menyiratkan kediinginan,
melainkan yang menginginkan. Oleh karena itu materia utama tidak mengadung
formalitas hal baik. Maka tidak setiap keberadaan adalah baik.
Keberatan 4: Lebih lanjut, Sang Filsuf
mencatat (Metaph. iii) bahwa "dalam matematika tidak ada hal baik."
Tetapi matematika adalah suatu entitas; kalau tidak maka tidak akan ada ilmu
matematika. Oleh karena itu tidak setiap keberadaan adalah baik.
Sebaliknya, Setiap keberadaan yang
bukan Allah adalah ciptaan Allah. Sekarang setiap ciptaan Allah adalah baik (1
Timotius 4: 4): dan Allah adalah kebaikan utama. Karenanya setiap keberadaan
adalah baik.
Aku menjawab bahwa, Setiap keberadaan,
sebagai suatu keberadaan, adalah baik, karena segala keberadaan, sebagai suatu
keberadaan, memiliki aktualitas dan dalam beberapa cara adalah sempurna; karena
setiap aktualitas menyiratkan semacam kesempurnaan; dan kesempurnaan
menyiratkan kediinginan dan hal baik, sebagaimana jelas dari Artikel
[1].
Oleh karena itu setiap keberadaan semacam itu adalah baik.
Tanggapan terhadap Keberatan 1: Substansi, kuantitas,
kualitas, dan segala sesuatu yang termasuk di dalamnya, membatasi keberadaan
dengan memberinya beberapa esensi, atau sifat. Sekarang dalam pengertian ini,
hal baik tidak menambahkan apapun kepada keberadaan melampaui aspek kediinginan
dan kesempurnaan, yang juga tepat untuk keberadaan, apa pun jenisnya. Oleh
karena itu kebaikan tidak membatasi keberadaan.
Tanggapan terhadap Keberatan 2: Ketidakberadaan dapat
dianggap sebagai hal buruk secara formal terhadap keberadaan, tetapi hanya
sejauh hal tersebut adalah tentang ketiadaan. Dengan demikian seseeorang
dikatakan jahat, karena ia tidak memiliki kebajikan; dan mata dikatakan buruk,
karena mata tidak memiliki kemampuan untuk melihat dengan baik.
Tanggapan terhadap Keberatan 3: Sebagaimana materia utama
hanya memiliki keberadaan potensial, maka ia hanya berpotensi baik. Walaupun,
menurut Platonists, materia utama dapat dikatakan sebagai bukan-keberadaan
karena ketiadaan yang melekat padanya, namun demikian, ia berpartisipasi sampai
batas tertentu dalam hal baik, yaitu oleh hubungannya dengan, atau
kecenderungannya kepada, hal baik. Akibatnya, menjadi diinginkan bukanlah
sifatnya, tapi menginginkan[2].
Tanggapan terhadap Keberatan 4: Entitas-entitas
matematika bukanlah suatu realitas; karena mereka akan memiliki semacam hal
baik jika mereka pada dirinya sendiri ada secara nyata; tetapi mereka hanya
memiliki keberadaan logis, sebab mereka diabstraksikan dari gerakan dan materi;
dengan demikian mereka tidak memiliki aspek dari suatu akhir, dimana suatu
akhir itu sendiri memiliki aspek untuk menggerakkan lainnya. Juga tidak aneh
bahwa dalam entitas logis tidak terdapat hal baik ataupun forma dari hal baik,
karena pemahaman tentang keberadaan ada terlebih dahulu sebelum pemahaman
tentang hal baik, seperti yang dikatakan dalam artikel sebelumnya[3].
Artikel 4 : Apakah Hal
Baik Memiliki Aspek sebagai Suatu Final Cause?
Keberatan 1 : Tampaknya hal baik tidak memiliki aspek
sebagai suatu final cause[4],
tetapi lebih sebagai kausa lainnya, karena sebagaimana dikatakan Dionysius
(Div. Nom. Iv), “Hal baik dipuji sebagai keindahan.” Tapi keindahan adalah
aspek dari suatu formal cause. Maka hal baik adalah aspek dari formal cause.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, hal baik memiliki sifat menyebar
dengan sendirinya, seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. Iv) bahwa hal
baik adalah dimana segala sesuatu berada dan menjadi ada. Tapi sifat memberi
diri sendiri adalah aspek dari suatu efficient cause. Maka hal baik adalah
aspek dari efficient cause.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, Agustinus mengatakan (De Doctr.
Christ. I, 31) bahwa “kita ada karena Allah baik.” Tapi kita menerima
keberadaan kita dari Allah sebagai efficient cause kita. Maka hal baik adalah
aspek dari efficient cause.
Sebaliknya, Sang Filsuf mengatakan (Phys. Ii) bahwa
“sesuatu yang menjadi tujuan dari suatu keberadaan adalah merupakan akhir dan
kebaikan dari segala hal.” Maka hal baik adalah aspek dari final cause.
Aku menjawab bahwa, karena hal baik adalah sesuatu yang menjadi tujuan
dari segala sesuatu, dan karena dengan menjadi demikian adalah aspek dari suatu
akhir, jelaslah bahwa hal baik merupakan aspek dari suatu akhir. Namun, gagasan
tentang hal baik mendahului gagasan tentang efficient cause, dan juga tentang
formal cause, karena kita melihat bahwa semakin sesuatu berada dalam urutan
awal dalam kepenyebaban, semakin ia berada dalam urutan akhir sebagai hal yang
disebabkan. Contohnya adala api. Api terlebih dahulu memanaskan sesuatu
sebelum ia mereproduksikan api lain, meskipun panas itu berasal dari
substansinya. Sekarang dalam hal kepenyebaban, hal baik dan akhir dari sesuatu
muncul terlebih dahulu, yang mana keduanya menggerakkan suatu agen untuk
beraksi; selanjutnya, aksi dari agen tersebut perlahan berubah menuju suatu
forma, dan akhirnya menjadi sesuatu forma.
Maka, dalam diri sesuatu yang disebabkan, terjadi
perubahan, sehingga forma yang menjadi tujuannya harus ada lebih dahulu; lalu
kita memperhatikan effective power yang ada padanya, yang menjadikannya sempurna,
karena sesuatu disebut sempurna jika ia dapat mereproduksi sesuatu lain yang
serupa, sebagaimana dikatakan Sang Filsuf (Meteor. Iv); dan yang terakhir,
muncullah hal baik yang merupakan prinsip dasar dari kesempurnaan.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Keindahan dan hal baik dalam diri sesuatu adalah
identikal secara mendasar, karena mereka didasarkan pada hal yang sama, yaitu
suatu forma. Maka konsekuensinya hal baik dipuji sebagai keindahan. Namun,
mereka berbeda secara logika, karena hal baik berhubungan dengan suatu yang
diinginkan (hal baik adalah hal yang diinginkan segala sesuatu), dan dengan
demikian ia memiliki aspek dari suatu akhir (keinginan adalah pergerakan
sesuatu menuju sesuatu lainnya). Di lain pihak, keindahan berhubungan dengan kemampuan
kognitif, karena hal indah adalah sesuatu yang memuaskan saat dilihat. Maka
keindahan terdiri dari proporsi, karena indera menyukai hal-hal yang ada dalam
proporsi yang tepat yang mampu dipahaminya, karena bahkan indera adalah suatu
kumpulan penalaran, yang menjadi bagian dari kemampuan kognitif. Sekarang
karena memahami adalah dengan menggabungkan, dan keserupaan berhubungan dengan
forma, maka keindahan merupakan suatu sifat dari formal cause.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Hal baik dideskripsikan sebagai sesuatu yang
melebur dengan sendirinya dalam indera, di mana indera tersebut digunakan untuk
menentukan suatu akhir.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Seseorang yang memiliki kehendak disebut sebagai
baik, selama ia memiliki kehendak baik, karena melalui kehendaklah seseorang
menggerakkan kekuasaan apapun yang dimilikinya. Maka seseorang disebut sebagai
baik, bukan karena pemahamannya yang baik, tetapi karena ia memiliki kehendak
baik. Sekarang, kehendak berhubungan dengan obyeknya. Maka perkataan “kita ada
karena Allah baik” merujuk pada final cause.
Artikel 5 : Apakah
Esensi Hal Baik terdiri dari Moda, Species dan Urutan?
Keberatan 1 : Tampaknya esensi hal baik tidak terdiri dari
moda [cara berada], species [golongan] dan urutan [tingkatan], karena hal baik
dan keberadaan adalah dua hal yang berbeda secara logis. Namun moda, species
dan urutan tampaknya menjadi sifat dari keberadaan, karena ada tertulis,
“Engkau telah menyusun segala sesuatu menurut ukuran, jumlah dan timbangan”
(Keb. 11:20). Dan tiga hal tersebut dapat direduksi menjadi species, moda dan
urutan, sebagaimana dikatakan Agustinus (Gen.ad lit.iv, 3) : “Ukuran menentukan
moda dari segala sesuatu, jumlah menentukan spesies, dan timbangan menentukan
ketenangan dan stabiblitas.” Maka esensi dari hal baik tidak terkandung dalam
moda, spesies dan urutan.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, moda, spesies dan urutan dalam
dirinya sendiri adalah baik. Maka jika esensi dari hal baik ada dalam moda,
spesies dan urutan, setiap moda harus punya moda, spesies dan ukurannya
sendiri. Ini juga akan berlaku bagi spesies dan urutan. Hal ini akan
menimbulkan sukesi yang tiada henti.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, hal buruk adalah tiadanya moda,
spesies dan urutan. Namun dalam hal buruk, hal baik tidak sama sekali absen.
Maka esensi dari hal baik tidak terdiri dari moda, spesies dan urutan.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, di mana terdapat esensi dari
hal baik, tidak dapat disebut sebagai keburukan. Namun kita dapat melihat moda,
spesies dan urutan dalam keburukan. Maka esensi hal baik tidak terdiri dari
moda, spesies dan urutan.
Keberatan 5 : Lebih lanjut, moda, spesies dan urutan
ditimbulkan oleh bobot, jumlah dan ukuran, sebagaimana dikatakan oleh
Agustinus. Tapi tidak setiap hal baik memiliki bobot, jumlah dan ukuran,
sebagaimana dikatakan Ambrosius (Hexam. i, 9) : “Adalah hakikat dari cahaya
untuk tidak memiliki jumlah, bobot dan ukuran.” Maka esensi hal baik tidak
terdiri dari moda, spesies dan urutan.
Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Nat. Boni. iii) : “Ketiga
hal ini – moda, spesies dan urutan – sebagai hal baik yang umum, ada dalam
segala hal yang diciptakan Allah. Sehingga, di mana terdapat ketiga hal ini,
hal-hal akan sangat baik, sedangkan jika terdapat kekurangan dari ketiganya,
maka hal-hal akan kurang baik, dan jika sama sekali tidak terdapat ketiganya,
maka hal-hal tidak ada yang baik.” Tapi hal tersebut tidak akan mungkin kecuali
esensi hal baik ada dalam ketiga hal tersebut. Maka esensi dari hal baik
terdiri dari moda, spesies dan urutan.
Aku menjawab bahwa, Segala sesuatu disebut sebagaik baik jika ia
sempurna, karena hanya dalam kesempurnaannya ia diinginkan (sebagaimana
ditunjukkan dalam Artikel 3 di atas). Sekarang, sesuatu disebut sebagai
sempurna jika ia tidak kekurangan apapun dalam hal moda kesempurnaannya [tamb.
penerj. : caranya menjadi sempurna]. Tapi karena segala sesuatu
menjadi dirinya sendiri melalui formanya (dan karena forma tersebut menyatakan
sesuatu yang tertentu, dan dari forma tersebut muncul sesuatu tertentu), untuk
menjadi sempurna dan baik sesuatu harus memiliki forma, bersama dengan segala
hal yang mendahului dan mengikuti forma tersebut. Sekarang, forma tersebut
menyatakan ketentuan ataupun kesetaraan dari prinsipal-prinsipalnya, entah
bersifat material ataupun efisien [tamb.penerj.: berhubungan dengan
efek], dan kesetaraan ataupun ketentuan ini ditandakan oleh moda, maka
dikatakan bahwa jumlah menyatakan moda. Tapi forma itu sendiri ditandakan oleh
spesies, karena segala sesuatu ditempatkan dalam spesiesnya masing-masing oleh
formanya. Maka jumlah dikatakan memberikan spesies, karena definisi yang
menandakan spesies adalah mirip dengan jumlah, menurut Sang Filsuf (Metaph. x),
karena sebagaimana suatu unit ditambahkan atau diambil dari suatu jumlah, hal
tersebut mengubah spesiesnya; demikian juga jika suatu perubahan ditambahkan
atau diambil dari suatu definisi, hal tersebut mengubah spesiesnya. Lebih
lanjut, dalam forma terdapat suatu kecenderungan terhadap suatu akhir, atau
terhadap suatu tindakan, atau sesuatu hal, karena segala sesuatu, selama ia ada
dalam aktualtias, bertindak dan cendrung mengarah pada seesuatu sesuatu menurut
formanya, dan kecenderungan ini adalah sifat bobot dan urutan. Dengan demikian,
esensi hal baik, selama esensi itu ada dalam kesempurnaan, terdiri dari moda [tamb.penerj.:
cara berada], spesies [yang membedakan dari yang lain] dan urutan [tingkat
kecenderungannya].
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Ketiga hal ini hanya ada dalam suatu
keberadaan, selama keberadaan tersebut sempurna, dan berdasar kesempurnaannya
tersebut ia baik.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Moda, spesies dan urutan disebut sebagai
baik, dan juga menjadi ada, bukan seolah ketiga hal tersebut adalah penyebab
keberadaan, namun karena melalui ketiganya hal-hal lain menjadi ada sekaligus
baik. Maka, ketiga hal tersebut tidak memerlukan hal-hal lain untuk menjadikan
hal-hal lain tersebut baik, karena ketiga hal tersebut tidak disebut baik
seolah ketiganya dibentuk secara formal menjadi baik oleh hal lain, tapi ketiga
hal itu secara formal membentuk hal laiinya menjadi baik. Maka sifat keputihan
(whiteness) tidak disebut sebagai suatu keberadaan seolah ia dijadikan
ada oleh sesuatu lainnya, namun karena karena melaluinya, sesuatu lain memiliki
keberadaan aksidental, sebagai suatu obyek yang putih.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Segala sesuatu ada dalam suatu forma. Maka,
segala sesuatu memiliki moda, spesies dan urutannya. Jadi, seseorang memiliki
moda, spesies [golongan] dan urutannya sebagaimana ia putih, bijaksana,
terpelajar dan sebagainya, menurut segala sesuatu yang dipredikasikan padanya.
Tapi keburukan menhilangkan satu hal dari sekumpulan keberadaan, sebagaimana
kebutaan menghilangkan penglihatan. Namun keburukan itu tidak menghilangkan
segala moda, spesies dan urutan, hanya seperti yang terjadi pada penglihatan.
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Agustinus mengatakan (De Nat. Boni, xxiii),
“Setiap moda, sebagai suatu moda, adalah baik” (dan hal yang sama dapat
dikatakan pada spesies dan urutan). “Tapi moda, spesies dan urutan hal buruk
disebut sebagai keberadaan yang kurang dari apa yang seharusnya ada, atau tidak
dimiliki oleh sesuatu yang seharusnya memiliki. Maka mereka disebut buruk,
karena mereka tidak ada pada tempatnya dan tidak harmonis.”
Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Hakikat dari cahaya disebut sebagai
keberadaan yang tidak memiliki jumlah, bobot dan ukuran, tidak dalam arti
absolut, tetapi dalam perbandingan dengan hal-hal jasmani, karena cahaya
memiliki sifat yang melampaui sifat-sifat jasmaniah, sebab ia adalah kualitas
aktif dari hal-hal yang mengakibatkan perubahan, yaitu hal-hal surgawi.
Artikel 6 : Apakah Hal
Baik Secara Tepat Dibagi Menjadi Kebajikan*, Kegunaan dan Kepuasan? (*Bonus
honestum adalah kebaikan luhur yang dianggap sebagai ketepatan)
Keberatan 1 : Tampaknya hal baik tidak tepat jika dibagi menjadi
kebajikan, kegunaan dan kepuasan, karena hal baik dibagi menjadi sepuluh
keadaan, sebagaimana dikatakan Sang Filsuf (Ethic. i). Tapi kebajikan, kegunaan
dan kepuasan dapat ditemukan dalam satu keadaan [dari sepuluh keadaan yang
dikatakan Sang Filsuf]. Maka tidak tepat jika hal baik dibagi menjadi tiga hal
tersebut.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, setiap pembagian dibagi menjadi hal
yang berbeda, namun ketiga hal tersebut tampaknya tidak berbeda, karena kebajikan
adalah hal yang memuaskan, dan tidak ada kegunaan dalam kejahatan. Padahal jika
pembagian adalah melalui pembedaan, maka kebajikan dan kegunaan akan berbeda,
dan Tully berbicara tentang hal ini (De Offic. ii). Maka pembagian ini tidaklah
tepat.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, jika suatu hal tergantung pada hal
lainnya, maka masing-masing akan memiliki karakternya masing-masing. Tapi
kegunaan tidak menjadi baik jika ia tidak memuaskan sekaligus bijak. Maka
kegunaan tidak seharusnya dipisahkan dari kepuasan dan kebijakan.
Sebaliknya, Ambrosius menggunakan pembagian tersebut terhadap
hal baik (De Offic. i, 9).
Aku menjawab bahwa, Pembagian ini adalah tentang hal baik pada
manusia. Tapi jika kita memperhatikan hakikat hal baik dari sudut pandang yang
lebih tinggi dan universal, maka kita akan menemukan bahwa pembagian ini tepat
diterapkan pada hal baik, karena segala sesuatu adalah baik selama ia
diinginkan, dan ini merupakan tujuan dari pergerakan keinginan, suatu
tujuan yang pergerakannya dapat dilihat dengan memperhatikan pergerakan natural
suatu tubuh. Sekarang, pergerakan suatu tubuh natural berakhir secara absolut
pada suatu akhir, dan berakhir secara relatif pada sarana yang digunakannya
untuk bergerak menuju akhir. Maka sesuatu disebut sebagai suatu tujuan
pergerakan, selama ia merupakan perhentian dari pergerakan tersebut. Sekarang
tujuan utama dari pergerakan dapat berupa salah satu dari dua hal, entah menuju
sesuatu itu sendiri yang menjadi kecenderungannya, misalnya suatu tempat
ataupun forma, ataupun suatu keadaan dari sesuatu itu. Jadi, dalam pergerakan
suatu keinginan, hal yang diinginkan yang menjadi tujuan dari pergerakan
tersebut secara relatif, sebagai suatu sarana untuk menuju kecenderungan
lainnya, disebut sebagai suatu kegunaan. Tapi sesuatu yang dituju sebagai
tujuan akhir absolut dari pergerakan keinginan, sesuatu yang ingin paling
diinginkan, disebut kebajikan, karena kebajikan adalah sesuatu yang paling
diinginkan. Namun, sesuatu keadaan yang menjadi perhentian dari pergerakan
keinginan, disebut kepuasan.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Hal baik, selama ia identik dengan keberadaan,
dibagi menjadi sepuluh keadaan. Tapi pembagian ini berdasarkan formalitas dari
hal baik.
Tanggapa terhadap Keberatan 2 : Pembagian ini tidak tentang pembedaan suatu
benda dengan benda lain, tapi tentang aspek. Sekarang, segala sesuatu yang
disebut memuaskan adalah mereka yang tidak memiliki formalitas lain yang
diinginkan darinya kecuali kepuasan, meskipun kadang sesuatu itu menyakitkan
dan bertentangan dengan kebajikan. Sedangkan kegunaan merujuk pada hal yang
pada dirinya sendiri tidak memiliki sesuatu yang diinginkan kecuali sifat
bantuannya untuk mencapai sesuatu yang lebih lanjut, sebagaimana obat pahit [tamb.
penerj. Obat pahit diminum bukan karena ingin menikmati obat pahit itu
sendiri tapi melalui obat pahit itu kesembuhan ingin dicapai]. Sedangkan
kebajikan dipredikasikan pada hal-hal yang pada dirinya sendiri diinginkan.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal baik tidak dibagi menjadi tiga hal ini seolah
ketiganya memiliki arti yang sama, tetapi sebagai sesuatu yang analogis yang
dipredikasikan kepada ketiganya menurut urutan [priority dan posteriority].
Maka hal baik pertama kali dipredikasikan pada kebajikan, kemudian kepuasan dan
terakhir pada kegunaan.
[1]Sesuatu
yang hanya sekedar ada (simply be) disebut baik secara relative, karena tingkat
kebaikannya diukur berdasar sesuatu di luar dirinya. Contohnya anggur. Dalam
keberadaannya ia adalah sungguh anggur bukan cuka, tapi dalam kebaikannya ia
diukur berdasar mutunya (tua atau baru saja difermentasi). Demikian juga
sebaliknya, sesuatu yang sekedar baik (simply good), contohnya tentang hal
matang pada buah, dikatakan memiliki keberadaan relative, karena ia merupakan
suatu aksiden dari suatu substansi, jadi keberadaannya tergantung dari
keberadaan substansi (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St
Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one46.php )
[2]Materia
utama (materia prima)
adalah suatu potensialitas murni. Ia tidak memiliki aktualitas, sehingga
disebut “non-being”, karena sesuatu disebut ada jika ia dalam keadaan actual.
Namun materia utama tetap memiliki keberadaan (existence) sebagai keberadaan potensial.
Contohnya adalah “saya ada di samping meja”. Saat saya ada jauh dari meja, maka
saya memiliki potensialitas untuk berada di samping meja. Potensialitas itu
menjadi aktualitas saat saya sungguh ada di samping meja. Dari sini bisa
dilihat bahwa materia utama memiliki kecenderungan terhadap hal baik, yaitu
keberadaan.
[3]Dalam
pikiran, sesuatu bisa ada tanpa harus memiliki sifat baik ataupun tidak baik.
Hal sebaliknya tidaklah bisa terjadi karena sesuatu harus ada terlebih dahulu
baru ia memiliki sifat baik ataupun tidak baik, bahkan dalam pikiran.
(http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#scholastic):
1.
Sesuatu
yang diubah;
2.
Aturan
atau cara perubahannya;
3.
Agen
aktif yang melakukan perubahan;
4.
Alasan
dari perubahan.
Sekarang ambil contoh perubahan dari lilin mainan berbentuk kubus menjadi berbentuk bulatan.
Lilin mainan adalah sesuatu yang diubah. Kubus lilin permainan menjadi ada
secara material karena ada lilin permainan. Maka lilin permainan adalah material cause-nya. Lalu cara
perubahannya adalah dari bentuk satu (kubus) ke bentuk lain (bulatan). Maka bulatan, yang menyebabkannya
berubah/berbeda dari keadaan awalnya, adalah formal cause. Orang yang melakukan perubahan
adalah efficient cause, atau moving cause-nya. Lalu niat orang tersebut untuk menjadikan
lilin plastik dari bentuk kubus ke bentuk bulatan adalah final cause-nya.
No comments:
Post a Comment