Saturday, 22 September 2018


Pertanyaan 6 : Kebaikan Allah (Empat Artikel)


Selanjutnya kita mempertimbangkan kebaikan Allah, yang mana terdapat empat poin pertimbangan :


(1) Apakah hal baik menjadi milik Allah?
(2) Apakah Allah adalah kebaikan utama?
(3) Apakah hanya Allah saja yang baik secara esensial?
(4) Apakah segala sesuatu baik oleh kebaikan ilahi?


Artikel 1 : Apakah Allah Baik[1]?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak baik, karena hal baik terdiri dari moda, spesies dan urutan. Tapi ketiga hal tersebut tidak tepat dikatakan pada Allah, karena Allah tak terbagi dan tidak diurutkan dalam hal apapun. Maka Allah tidak baik.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, tapi Allah tidak diinginkan oleh segala sesuatu, karena Ia tidak diketahui, dan sesuatu tidak diinginkan kecuali ia diketahui. Maka Allah tidak baik.

Sebaliknya, Ada tertulis (Rat 3:25) : “Allah baik terhadap mereka yang berharap pada-Nya, terhadap jiwa yang mencari-Nya.”

Aku menjawab bahwa, Allah sangat baik, karena sesuatu disebut baik menurut keterdiinginkannya. Sekarang, segala sesuatu mencari kesempurnaannya, dan kesempurnaan serta forma dari suatu efek terdiri dari semacam keserupaan terhadap suatu agen, karena setiap agen memunculkan yang serupa dengannya, sehingga agen itu sendiri diinginkan dan memiliki hakikat kebaikan. Karena hal yang sangat diinginkan adalah ikut berpartisipasi dalam keserupaan. Maka, karena Allah adalah kausa efektif pertama, nyatalah bahwa aspek kebaikan dan keterdiinginkanan adalah milik Allah. Maka Dionisius (Div. Nom. iv) mengatribusikan kebaikan kepada Allah sebagai kausa efektif pertama, dengan mengatakan bahwa Allah disebut baik “karena oleh-Nya segala sesuatu menjadi ada.”

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Memiliki moda, spesies dan urutan adalah sifat dari esensi sesuatu yang dijadikan baik, tapi Allah baik sebagai penyebab, maka Allah adalah yang mengakibatkan [munculnya] moda, spesies dan urutan pada hal-hal lainnya. Karena itu ketiga hal tersebut ada dalam Allah sebagai penyebab mereka.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Segala sesuatu, dengan menginginkan kesempurnaannya masing-masing, menginginkan Allah sendiri, karena kesempurnaan dari segala sesuatu sungguh menyerupai keberadaan ilahi, sebagaimana yang dikatakan di atas (Pertanyaan 4, Artikel 3). Maka segala sesuatu yang mengingnikan Allah, sebagian mengetahui-Nya sebagaimana Diri-Nya, dan ini tepat bagi ciptaan rasional, sebagian lain mengetahui-Nya dari partisipasi terhadap kebaikan-Nya, dan ini ada pada pengetahuan inderawi, lainnya memiliki keinginan alami tanpa pengetahuan, karena diarahkan menuju akhir oleh akal yang lebih tinggi.


Artikel 2 : Apakah Allah adalah Kebaikan Utama?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah bukanlah kebaikan utama, karena dalam kebaikan utama berarti ada sesuatu yang ditambahkan pada kebaikan secara umum, karena jika tidak maka semua kebaikan umum adalah kebaikan utama. Namun, segala sesuatu yang ditambahi adalah suatu komposit, maka kebaikan utama adalah suatu komposit. Tapi Allah adalah sederhana sama sekali [tamb. penerj. tidak ada komposit dalam Allah], sebagaimana ditunjukkan dalam Pertanyaan 3 Artikel 7. Maka, Allah bukanlah kebaikan utama.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, “Kebaikan adalah yang diinginkan segala sesuatu,” kata Sang Filsuf (Ethic. i, 1). Sekarang, segala sesuatu menginginkan Allah, sebagai akhir dari segala sesuatu. Maka tidak ada kebaikan lain selain Allah. Ini tampak dari yang dikataakn (Luk 18:19) : “Tidak ada yang baik selain Allah.” Namun kita menggunakan kata “utama” untuk membandingkan dengan hal lain, misalnya “panas utama” digunakan untuk membandingkan dengan panas lainnya. Maka Allah tidak bisa disebut sebagai kebaikan utama.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, keutamaan menyiratkan perbandingan. Tapi sesuatu yang tidak dalam jenis yang sama tidak bisa dibandingkan, seperti rasa manis tidak bisa disebut lebih baik atau kurang baik terhadap suatu garis. Maka, karena Allah tidak digabungkan dalam jenis yang sama terhaadp segala kebaikan lainnya, sebagaimana ditunjukkan di Pertanyaan 3 Artikel 5 dan Pertanyaan 4 Artikel 3, tampaknya Allah tidak dapat disebut sebagai kebaikan utama dalam hubungannya dengan hal-hal lain.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Trin. ii) bahwa, Trinitas dari Pribadi-pribadi ilahi adalah “kebaikan utama, yang dibedakan oleh pikiran yang termurnikan.”

Aku menjawab bahwa, Allah adalah kebaikan utama, dan tidak hanya berupa kebaikan yang ada dalam jenis atau hal apapun, karena kebaikan diatribusikan pada Allah, seperti yang telah dikatakan dalam artikel sebelumnya, dalam hal segala keinginan terhadap kesempurnaan mengalir dari-Nya sebagai kausa pertama. Namun, segala keinginan itu tidak mengalir dari-Nya seolah sebagai suatu hal yang sama dengan agen asalnya, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya (Pertanyaan 4 Artikel 2), tapi dari suatu agen yang tidak dapat disamakan dengan efek yang dihasilkannya baik dalam hal jenis maupun spesies. Sekarang, keserupaan dari suatu efek dalam suatu sebab-akibat yang sejenis adalah tentang keseragaman, tapi dalam hubungan sebab-akibat yang tidak sejenis, keserupaan itu adalah tentang keunggulan, sebagaimana panas matahari lebih unggul dari pada panas api. Maka, sebagaimana kebaikan ada dalam Allah sebagai penyebab pertama segala hal tapi tidak dalam hubugnan sebab-akibat yang sejenis, kebaikan seharusnya ada dala Dia sebagai sesuatu yang paling unggul, dan dengan demikian Ia disebut kebaikan utama.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kebaikan utama tidak berarti sesuatu yang absolut ditambahkan pada kebaikan, tapi hanya menambahkan relasi. Sekarang, relasi Allah terhadap ciptaan bukanlah sesuatu yang nyata dalam Allah, tapi dalam ciptaan, karena [gagasan] bahwa hubungan itu [seolah] ada dalam Allah hanya ada dalam pikiran kita saja, seperti sesuatu yang diketahui disebut berhubungan dengan pengetahuan tidak berarti bahwa sesuatu itu tergantung terhadap pengetahuan tapi karena pengetahuan tergantung padanya [tamb. Penerj. Seperti pengetauhan tentang cara kerja alam tergantung pada alam itu sendiri, bukan alam tergantung pada pengetahuan kita tentangnya.]. Maka tidaklah perlu ada komposisi dalam kebaikan utama, tapi hanya bahwa segala sesuatu lainnya terlihat kurang jika disandingkan dengannya.

Tangagpan terhadap Keberatan 2 : Ketika kita mengatakan bahwa kebaikan adalah yang diinginkan segala sesuatu, hal tersebut tidak berarti bahwa segala jenis kebaikan diinginkan oleh segala sesuatu, tapi segala sesuatu yang diinginkan memiliki hakikat kebaikan. Dan ketika dikatakan bahwa “Tak ada yang baik selain Allah,” ini bukan tentang kebaikan esensial, sebagaimana akan dijelaskan dalam artikel selanjutnya.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal yang tidak dalam jenis yang sama tidak mungkin dibandingkan satu dengan lainnya jika mereka sungguh-sungguh berbeda jenis [genus]. Sekarang kita mengatakan bahwa Allah tidak dalam jenis yang sama dengan kebaikan lainnya. Ini bukan berarti Ia ada dalam satu jenis [genus] tertentu, tapi bahwa Ia di luar segala jenis, dan Ia adalah prinsipal dari setiap jenis, dan dengan demikian Ia dibandingkan dengan hal lain dalam hal keunggulan, dan dalam perbandingan inilah tersirat kebaikan utama.


Artikel 3 : Apakah Menjadi Secara Esensial Baik Hanya Bisa Terjadi Pada Allah Saja?

Keberatan 1 : Tampaknya menjadi secara esensial baik hanya bisa terjadi pada Allah saja, karena “satu benda” searti dengan “keberadaan”, demikian juga “kebaikan”, sebagaimana kita bahas sebelumnya (Pertanyaan 5 Artikel 1). Tapi setiap keberadaan secara esensial adalah “satu benda”, maka setiap keberadaan secara esensial adalah baik.

Keberatan 2: Lebih lanjut, jika kebaikan adalah hal yang dituju oleh semua benda dan karena menjadi ada adalah hal yang diinginkan oleh semua benda, maka keberadaan setiap benda adalah hal baik yang ada pada dirinya. Tapi setiap benda secara esensial adalah suatu keberadaan, maka setiap keberadaan secara esensial adalah baik.

Keberatan 3: Lebih lanjut, setiap benda adalah baik dengan kebaikannya masing-masing. Maka jika ada sesuatu yang secara esensial tidak baik, dapat dikatakan bahwa kebaikan bukanlah esensi1nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebaikannya, yang adalah suatu keberadaan (keberadaan lain di luar esensi – penerjemah), harus baik (agar bisa menjadikan suatu esensi menjadi baik –penerjemah). Tapi karena dikatakan sesuatu menjadi baik karena hal lain di luar esensinya, kebaikan tersebut (yang adalah suatu keberadaan dan dengan demikian memiliki esensi – penerjemah) harus dijadikan baik oleh sesuatu lainnya. Ini bisa menjadi suatu proses tanpa ujung, atau sampai pada satu kebaikan yang menjadi baik bukan karena dijadikan baik oleh apapun. Maka anggapan bahwa setiap benda adalah baik karena kebaikannya masing-masing adalah benar. Dengan demikian setiap benda secara esensial adalah baik.

Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Hebdom), bahwa “segala sesuatu selain Allah menjadi baik karena keikutsertaan.” Maka mereka tidak secara esensial baik.

Aku menjawab bahwa, Allah sendirilah yang secara esensial baik, kerena setiap sesuatu disebut baik berdasar kesempurnaannya. Sekarang, kesempurnaan suatu benda ada tiga macam: pertama, berdasar keutuhan keberadaannya; kedua, berhubungan dengan aksiden apapun yang ada padanya untuk kesempurnaan operasionalnya; dan ketiga, kesempurnaan terkandung dalam pencapainnya terhadap sesuatu sebagai tujuan akhirnya. Sebagai contoh, kesempurnaan pertama dari api terkandung dalam keberadaannya, yang diperolehnya dalam wujud substansialnya; kesempurnaan keduanya terkandung dalam panas, terang dan kering, dan hal-hal sejenis, yang dimilikinya; kesempurnaan ketiga adalah ia ada di suatu tempat (yang dibakarnya – penerjemah). Kesempurnaan triple ini tidak dimiliki oleh ciptaan apapun melalui esensinya sendiri; kesempurnaan triple ini hanya ada pada Allah, yang hanya pada Diri-Nya saja esensi adalah keberadaan-Nya; yang pada-Nya tidak ada aksiden, karena apapun yang ada pada segala sesuatu lainnya secara aksidental, padanya ada secara esensial, sebagai contoh menjadi kuat, baik dan sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Pertanyaan 3 Artikel 6); dan Ia tidak menjadikan apapun sebagai akhir-Nya, melainkan Ia-lah yang menjadi tujuan akhir dari segala sesuatu. Maka nyatalah bahwa hanya Allahlah yang memiliki segala jenis kesempurnaan melalui esensi-Nya sendiri. Dengan demikian hanya Allah-lah yang baik dalam esensi-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: “Satu benda” tidak berbicara tentang kesempurnaan, tapi tentang ketidakterbagian, yang menjadi milik setiap benda berdasarkan esensinya. Sekarang, esensi dari benda-benda tunggal tak terbagi secara actual maupun potensial, tapi esensi benda-benda senyawa hanya tak terbagi secara aktual2. Dengan demikian setiap benda secara esensial memang satu, namun tidak secara esensial baik, sebagaimana ditunjukkan dalam jawaban di atas.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Meskipun segala sesuatu baik dalam hal bahwa ia memiliki keberadaan, namun esensi suatu benda bukanlah dengan menjadi ada, sehingga dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa suatu ciptaan secara esensial baik.

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Kebaikan dari suatu ciptaan bukanlah inti dari esensinya, melainkan sesuatu tambahan, entah itu karena keberadaannya, atau aksiden tambahan atau capaiannya terhadap tujuan akhirnya. Namun, kebaikan yang berupa tambahan tersebut tetap saja baik, karena ia ada. Justru karena alasan inilah kebaikan itu olehnya sesuatu menjadi ada, bukan karena kebaikan itu dijadikan ada oleh sesuatu. Juga karena alasan itulah kebaikan itu disebut baik karena olehnya sesuatu menjadi baik, bukan karena kebaikan itu dijadikan baik oleh sesuatu.


Artikel 4 : Apakah Segala Sesuatu Menjadi Baik oleh Kebaikan Ilahi?

Keberatan 1: Tampaknya segala sesuatu menjadi baik oleh kebaikan ilahi, karena Agustinus berkata (De Trin. Viii), “Ini dan itu baik, ambillah ini dan itu, dan apakah kamu melihat kebaikan itu sendiri? Dan kamu akan melihat Allah, baik bukan karena kebaikan lain, melainkan kebaikan dari setiap kebaikan.” Tapi segala sesuatu baik oleh kebaikannya sendiri, maka segala sesuatu baik oleh kebaikan utama itu yang adalah Allah.

Keberatan 2: Lebih jauh, Boethius mengatakan (De Hebdom.), segala sesuatu disebut baik karena mereka menuju Allah, dan ini karena kebaikan ilahi3. Maka segala sesuatu menjadi baik karena kebaikan ilahi.

Sebaliknya, segala sesuatu baik karena mereka memiliki keberadaan. Tapi mereka tidak disebut sebagai suatu keberadaan karena adanya keberadaan ilahi, melainkan mereka ada melalui keberadaan mereka sendiri. Maka segala sesuatu disebut baik bukan oleh kebaikan ilahi, tapi karena kebaikan mereka sendiri.

Aku menjawab bahwa, Berkaitan dengan hal-hal relative, kita harus mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh pengaruh luar, sebagai contoh, sesuatu yang ditempatkan berbeda dengan sesuatu yang menempatkan, sesuatu yang diukur berbeda dengan sesuatu yang mengukur. Tetapi ini berbeda jika berkaitan dengan sesuatu yang absolut. Plato berpegang pada keberadaan adanya gagasan khusus (Pertanyaan 84 Artikel 4) tentang segala sesuatu, dan bahwa individu-individu dibeda-bedakan oleh gagasan khusus tersebut melalui kemiripannya dengan gagasan khusus tersebut. Sebagai contoh, Socrates disebut manusia berdasarkan gagasan khusus tentang manusia. Sekarang, sebagaimana ia membedakan gagasan khusus tentang manusia dan seekor kuda, yang ia sebut sebagai manusia yang absolut dan kuda yang absolut, demikian juga ia mengemukakan gagasan tentang “keberadaan” dan “sesuatu”, dan ini ia sebut sebagai keberadaan yang absolut dan kesesuatuan yang absolut. Dan dengan kemiripan terhadap hal-hal tersebut, segala sesuatu disebut sebagai “keberadaan” atau “sesuatu”, dan juga tentang keberadaan yang absolut dan kesesuatuan yang absolut, yang ia sebut sebagai kebaikan utama. Dan karena “kebaikan” dapat digunakan secara bergantian dengan “keberadaan”, demikian juga dengan “kesesuatuan”, ia menyebut Allah sebagai kebaikan absolut, yang dari-Nya segala sesuatu disebut baik berdasar kemiripan dengan-Nya.

Meskipun pendapat ini tampak tak masuk akal untuk menyatakan bahwa gagasan khusus tentang hal-hal natural ada dari dirinya sendiri – sebagaimana Aristoteles berargumen dalam berbagai hal – tetap saja, adalah benar secara absolut bahwa ada keberadaan pertama yang merupakan keberadaan esensial dan kebaikan esensial, yang kita sebut Allah, sebagaimana ditunjukkan dalam Pertanyaan 2 Artikel 3, dan Aristoteles setuju dengan hal ini. Maka dari keberadaan pertama, yang secara esensial dan baik merupakan yang pertama, segala sesuatu disebut sebagai baik dan sebagai suatu keberadaan, karena ia menyerupai keberadaan pertama itu dengan cara kemiripan tertentu walaupun derajad kemiripannya kecil dan jauh dari kesempurnaan, sebagaimana ditunjukkan pada Pertanyaan 4 Artikel 3.

Maka segala sesuatu menjadi baik karena kebaikan ilahi, sebagai awal dan akhir dari segala kebaikan. Namun, segala sesuatu disebut baik karena memiliki kemiripan dengan kebaikan ilahi, yang secara formal disebut sebagai kebaikan dari sesuatu itu sendiri, yang merupakan kebaikan yang berbeda dengan kebaikan ilahi. Dengan demikian dalam segala sesuatu terdapat satu kebaikan sekaligus banyak kebaikan.
Ini merupakan tanggapan yang cukup untuk keberatan-keberatan.





[1]“Baik” di sini lebih berarti “sempurna, tidak bercacat”, bukan “baik hati”.

No comments:

Post a Comment