Pertanyaan 6 : Kebaikan Allah
(Empat Artikel)
Selanjutnya kita mempertimbangkan kebaikan Allah,
yang mana terdapat empat poin pertimbangan :
(1) Apakah hal baik menjadi milik Allah?
(2) Apakah Allah adalah kebaikan utama?
(3) Apakah hanya Allah saja yang baik secara
esensial?
(4) Apakah segala sesuatu baik oleh kebaikan ilahi?
Artikel 1 : Apakah Allah Baik[1]?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak baik, karena hal baik
terdiri dari moda, spesies dan urutan. Tapi ketiga hal tersebut tidak tepat
dikatakan pada Allah, karena Allah tak terbagi dan tidak diurutkan dalam hal
apapun. Maka Allah tidak baik.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, kebaikan adalah sesuatu yang
diinginkan, tapi Allah tidak diinginkan oleh segala sesuatu, karena Ia tidak
diketahui, dan sesuatu tidak diinginkan kecuali ia diketahui. Maka Allah tidak
baik.
Sebaliknya, Ada tertulis (Rat 3:25) : “Allah baik
terhadap mereka yang berharap pada-Nya, terhadap jiwa yang mencari-Nya.”
Aku menjawab bahwa, Allah sangat baik, karena sesuatu disebut
baik menurut keterdiinginkannya. Sekarang, segala sesuatu mencari
kesempurnaannya, dan kesempurnaan serta forma dari suatu efek terdiri dari
semacam keserupaan terhadap suatu agen, karena setiap agen memunculkan yang
serupa dengannya, sehingga agen itu sendiri diinginkan dan memiliki hakikat
kebaikan. Karena hal yang sangat diinginkan adalah ikut berpartisipasi dalam
keserupaan. Maka, karena Allah adalah kausa efektif pertama, nyatalah bahwa
aspek kebaikan dan keterdiinginkanan adalah milik Allah. Maka Dionisius (Div.
Nom. iv) mengatribusikan kebaikan kepada Allah sebagai kausa efektif pertama,
dengan mengatakan bahwa Allah disebut baik “karena oleh-Nya segala sesuatu
menjadi ada.”
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Memiliki moda, spesies dan urutan adalah sifat dari
esensi sesuatu yang dijadikan baik, tapi Allah baik sebagai penyebab, maka
Allah adalah yang mengakibatkan [munculnya] moda, spesies dan urutan pada
hal-hal lainnya. Karena itu ketiga hal tersebut ada dalam Allah sebagai
penyebab mereka.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Segala sesuatu, dengan menginginkan
kesempurnaannya masing-masing, menginginkan Allah sendiri, karena kesempurnaan
dari segala sesuatu sungguh menyerupai keberadaan ilahi, sebagaimana yang
dikatakan di atas (Pertanyaan 4, Artikel 3). Maka segala sesuatu yang mengingnikan Allah,
sebagian mengetahui-Nya sebagaimana Diri-Nya, dan ini tepat bagi ciptaan
rasional, sebagian lain mengetahui-Nya dari partisipasi terhadap kebaikan-Nya,
dan ini ada pada pengetahuan inderawi, lainnya memiliki keinginan alami tanpa
pengetahuan, karena diarahkan menuju akhir oleh akal yang lebih tinggi.
Artikel 2 : Apakah
Allah adalah Kebaikan Utama?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah bukanlah kebaikan utama, karena
dalam kebaikan utama berarti ada sesuatu yang ditambahkan pada kebaikan secara
umum, karena jika tidak maka semua kebaikan umum adalah kebaikan utama. Namun,
segala sesuatu yang ditambahi adalah suatu komposit, maka kebaikan utama adalah
suatu komposit. Tapi Allah adalah sederhana sama sekali [tamb. penerj. tidak
ada komposit dalam Allah], sebagaimana ditunjukkan dalam Pertanyaan
3 Artikel 7. Maka,
Allah bukanlah kebaikan utama.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, “Kebaikan adalah yang diinginkan
segala sesuatu,” kata Sang Filsuf (Ethic. i, 1). Sekarang, segala sesuatu
menginginkan Allah, sebagai akhir dari segala sesuatu. Maka tidak ada kebaikan
lain selain Allah. Ini tampak dari yang dikataakn (Luk 18:19) : “Tidak ada yang
baik selain Allah.” Namun kita menggunakan kata “utama” untuk membandingkan
dengan hal lain, misalnya “panas utama” digunakan untuk membandingkan dengan
panas lainnya. Maka Allah tidak bisa disebut sebagai kebaikan utama.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, keutamaan menyiratkan perbandingan.
Tapi sesuatu yang tidak dalam jenis yang sama tidak bisa dibandingkan, seperti
rasa manis tidak bisa disebut lebih baik atau kurang baik terhadap suatu garis.
Maka, karena Allah tidak digabungkan dalam jenis yang sama terhaadp segala kebaikan
lainnya, sebagaimana ditunjukkan di Pertanyaan 3 Artikel 5 dan Pertanyaan 4 Artikel 3, tampaknya Allah tidak dapat disebut sebagai
kebaikan utama dalam hubungannya dengan hal-hal lain.
Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Trin. ii) bahwa, Trinitas
dari Pribadi-pribadi ilahi adalah “kebaikan utama, yang dibedakan oleh pikiran
yang termurnikan.”
Aku menjawab bahwa, Allah adalah kebaikan utama, dan tidak hanya berupa
kebaikan yang ada dalam jenis atau hal apapun, karena kebaikan diatribusikan
pada Allah, seperti yang telah dikatakan dalam artikel sebelumnya, dalam hal
segala keinginan terhadap kesempurnaan mengalir dari-Nya sebagai kausa pertama.
Namun, segala keinginan itu tidak mengalir dari-Nya seolah sebagai suatu hal
yang sama dengan agen asalnya, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya (Pertanyaan
4 Artikel 2), tapi
dari suatu agen yang tidak dapat disamakan dengan efek yang dihasilkannya baik
dalam hal jenis maupun spesies. Sekarang, keserupaan dari suatu efek dalam
suatu sebab-akibat yang sejenis adalah tentang keseragaman, tapi dalam hubungan
sebab-akibat yang tidak sejenis, keserupaan itu adalah tentang keunggulan,
sebagaimana panas matahari lebih unggul dari pada panas api. Maka, sebagaimana
kebaikan ada dalam Allah sebagai penyebab pertama segala hal tapi tidak dalam
hubugnan sebab-akibat yang sejenis, kebaikan seharusnya ada dala Dia sebagai
sesuatu yang paling unggul, dan dengan demikian Ia disebut kebaikan utama.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kebaikan utama tidak berarti sesuatu yang
absolut ditambahkan pada kebaikan, tapi hanya menambahkan relasi. Sekarang,
relasi Allah terhadap ciptaan bukanlah sesuatu yang nyata dalam Allah, tapi
dalam ciptaan, karena [gagasan] bahwa hubungan itu [seolah] ada dalam Allah
hanya ada dalam pikiran kita saja, seperti sesuatu yang diketahui disebut
berhubungan dengan pengetahuan tidak berarti bahwa sesuatu itu tergantung
terhadap pengetahuan tapi karena pengetahuan tergantung padanya [tamb.
Penerj. Seperti pengetauhan tentang cara kerja alam tergantung pada
alam itu sendiri, bukan alam tergantung pada pengetahuan kita tentangnya.].
Maka tidaklah perlu ada komposisi dalam kebaikan utama, tapi hanya bahwa segala
sesuatu lainnya terlihat kurang jika disandingkan dengannya.
Tangagpan terhadap Keberatan 2 : Ketika kita mengatakan bahwa kebaikan adalah
yang diinginkan segala sesuatu, hal tersebut tidak berarti bahwa segala jenis
kebaikan diinginkan oleh segala sesuatu, tapi segala sesuatu yang diinginkan
memiliki hakikat kebaikan. Dan ketika dikatakan bahwa “Tak ada yang baik selain
Allah,” ini bukan tentang kebaikan esensial, sebagaimana akan dijelaskan dalam
artikel selanjutnya.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal yang tidak dalam jenis yang sama
tidak mungkin dibandingkan satu dengan lainnya jika mereka sungguh-sungguh
berbeda jenis [genus]. Sekarang kita mengatakan bahwa Allah tidak dalam
jenis yang sama dengan kebaikan lainnya. Ini bukan berarti Ia ada dalam satu
jenis [genus] tertentu, tapi bahwa Ia di luar segala jenis, dan Ia
adalah prinsipal dari setiap jenis, dan dengan demikian Ia dibandingkan dengan
hal lain dalam hal keunggulan, dan dalam perbandingan inilah tersirat kebaikan
utama.
Artikel 3 : Apakah Menjadi Secara
Esensial Baik Hanya Bisa Terjadi Pada Allah Saja?
Keberatan 1 : Tampaknya menjadi secara esensial baik hanya bisa
terjadi pada Allah saja, karena “satu benda” searti dengan “keberadaan”,
demikian juga “kebaikan”, sebagaimana kita bahas sebelumnya (Pertanyaan
5 Artikel 1). Tapi
setiap keberadaan secara esensial adalah “satu benda”, maka setiap keberadaan
secara esensial adalah baik.
Keberatan 2: Lebih lanjut, jika kebaikan adalah hal yang dituju
oleh semua benda dan karena menjadi ada adalah hal yang diinginkan oleh semua
benda, maka keberadaan setiap benda adalah hal baik yang ada pada dirinya. Tapi
setiap benda secara esensial adalah suatu keberadaan, maka setiap keberadaan
secara esensial adalah baik.
Keberatan 3: Lebih lanjut, setiap benda adalah baik dengan
kebaikannya masing-masing. Maka jika ada sesuatu yang secara esensial tidak
baik, dapat dikatakan bahwa kebaikan bukanlah esensi1nya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebaikannya, yang adalah suatu
keberadaan (keberadaan lain di luar esensi – penerjemah), harus baik
(agar bisa menjadikan suatu esensi menjadi baik –penerjemah). Tapi
karena dikatakan sesuatu menjadi baik karena hal lain di luar esensinya,
kebaikan tersebut (yang adalah suatu keberadaan dan dengan demikian memiliki
esensi – penerjemah) harus dijadikan baik oleh sesuatu lainnya. Ini bisa
menjadi suatu proses tanpa ujung, atau sampai pada satu kebaikan yang menjadi
baik bukan karena dijadikan baik oleh apapun. Maka anggapan bahwa setiap benda
adalah baik karena kebaikannya masing-masing adalah benar. Dengan demikian
setiap benda secara esensial adalah baik.
Sebaliknya, Boethius mengatakan (De Hebdom), bahwa “segala
sesuatu selain Allah menjadi baik karena keikutsertaan.” Maka mereka tidak
secara esensial baik.
Aku menjawab bahwa, Allah sendirilah yang secara esensial baik, kerena
setiap sesuatu disebut baik berdasar kesempurnaannya. Sekarang, kesempurnaan
suatu benda ada tiga macam: pertama, berdasar keutuhan keberadaannya; kedua,
berhubungan dengan aksiden apapun yang ada padanya untuk kesempurnaan
operasionalnya; dan ketiga, kesempurnaan terkandung dalam pencapainnya terhadap
sesuatu sebagai tujuan akhirnya. Sebagai contoh, kesempurnaan pertama dari api
terkandung dalam keberadaannya, yang diperolehnya dalam wujud substansialnya;
kesempurnaan keduanya terkandung dalam panas, terang dan kering, dan hal-hal
sejenis, yang dimilikinya; kesempurnaan ketiga adalah ia ada di suatu tempat
(yang dibakarnya – penerjemah). Kesempurnaan triple ini tidak dimiliki
oleh ciptaan apapun melalui esensinya sendiri; kesempurnaan triple ini hanya
ada pada Allah, yang hanya pada Diri-Nya saja esensi adalah keberadaan-Nya;
yang pada-Nya tidak ada aksiden, karena apapun yang ada pada segala sesuatu
lainnya secara aksidental, padanya ada secara esensial, sebagai contoh menjadi
kuat, baik dan sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Pertanyaan
3 Artikel 6); dan Ia
tidak menjadikan apapun sebagai akhir-Nya, melainkan Ia-lah yang menjadi tujuan
akhir dari segala sesuatu. Maka nyatalah bahwa hanya Allahlah yang memiliki
segala jenis kesempurnaan melalui esensi-Nya sendiri. Dengan demikian hanya
Allah-lah yang baik dalam esensi-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 1: “Satu benda” tidak berbicara tentang kesempurnaan,
tapi tentang ketidakterbagian, yang menjadi milik setiap benda berdasarkan
esensinya. Sekarang, esensi dari benda-benda tunggal tak terbagi secara actual
maupun potensial, tapi esensi benda-benda senyawa hanya tak terbagi secara
aktual2.
Dengan demikian setiap benda secara esensial memang satu, namun tidak secara
esensial baik, sebagaimana ditunjukkan dalam jawaban di atas.
Tanggapan terhadap Keberatan 2: Meskipun segala sesuatu baik dalam hal bahwa ia
memiliki keberadaan, namun esensi suatu benda bukanlah dengan menjadi ada,
sehingga dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa suatu ciptaan secara
esensial baik.
Tanggapan terhadap Keberatan 3: Kebaikan dari suatu ciptaan bukanlah inti dari
esensinya, melainkan sesuatu tambahan, entah itu karena keberadaannya, atau
aksiden tambahan atau capaiannya terhadap tujuan akhirnya. Namun, kebaikan yang
berupa tambahan tersebut tetap saja baik, karena ia ada. Justru karena alasan
inilah kebaikan itu olehnya sesuatu menjadi ada, bukan karena kebaikan itu
dijadikan ada oleh sesuatu. Juga karena alasan itulah kebaikan itu disebut baik
karena olehnya sesuatu menjadi baik, bukan karena kebaikan itu dijadikan baik
oleh sesuatu.
Artikel 4 : Apakah Segala Sesuatu
Menjadi Baik oleh Kebaikan Ilahi?
Keberatan 1: Tampaknya segala sesuatu menjadi baik oleh
kebaikan ilahi, karena Agustinus berkata (De Trin. Viii), “Ini dan itu baik,
ambillah ini dan itu, dan apakah kamu melihat kebaikan itu sendiri? Dan kamu
akan melihat Allah, baik bukan karena kebaikan lain, melainkan kebaikan dari
setiap kebaikan.” Tapi segala sesuatu baik oleh kebaikannya sendiri, maka
segala sesuatu baik oleh kebaikan utama itu yang adalah Allah.
Keberatan 2: Lebih jauh, Boethius mengatakan (De Hebdom.),
segala sesuatu disebut baik karena mereka menuju Allah, dan ini karena kebaikan
ilahi3.
Maka segala sesuatu menjadi baik karena kebaikan ilahi.
Sebaliknya, segala sesuatu baik karena mereka memiliki
keberadaan. Tapi mereka tidak disebut sebagai suatu keberadaan karena adanya
keberadaan ilahi, melainkan mereka ada melalui keberadaan mereka sendiri. Maka
segala sesuatu disebut baik bukan oleh kebaikan ilahi, tapi karena kebaikan
mereka sendiri.
Aku menjawab bahwa, Berkaitan dengan hal-hal relative, kita harus
mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh pengaruh luar, sebagai
contoh, sesuatu yang ditempatkan berbeda dengan sesuatu yang menempatkan,
sesuatu yang diukur berbeda dengan sesuatu yang mengukur. Tetapi ini berbeda
jika berkaitan dengan sesuatu yang absolut. Plato berpegang pada keberadaan
adanya gagasan khusus (Pertanyaan 84 Artikel 4) tentang segala sesuatu, dan
bahwa individu-individu dibeda-bedakan oleh gagasan khusus tersebut melalui kemiripannya
dengan gagasan khusus tersebut. Sebagai contoh, Socrates disebut manusia
berdasarkan gagasan khusus tentang manusia. Sekarang, sebagaimana ia membedakan
gagasan khusus tentang manusia dan seekor kuda, yang ia sebut sebagai manusia
yang absolut dan kuda yang absolut, demikian juga ia mengemukakan gagasan
tentang “keberadaan” dan “sesuatu”, dan ini ia sebut sebagai keberadaan yang
absolut dan kesesuatuan yang absolut. Dan dengan kemiripan terhadap hal-hal
tersebut, segala sesuatu disebut sebagai “keberadaan” atau “sesuatu”, dan juga
tentang keberadaan yang absolut dan kesesuatuan yang absolut, yang ia sebut
sebagai kebaikan utama. Dan karena “kebaikan” dapat digunakan secara bergantian
dengan “keberadaan”, demikian juga dengan “kesesuatuan”, ia menyebut Allah
sebagai kebaikan absolut, yang dari-Nya segala sesuatu disebut baik berdasar
kemiripan dengan-Nya.
Meskipun pendapat ini tampak tak masuk akal untuk
menyatakan bahwa gagasan khusus tentang hal-hal natural ada dari dirinya
sendiri – sebagaimana Aristoteles berargumen dalam berbagai hal – tetap saja,
adalah benar secara absolut bahwa ada keberadaan pertama yang merupakan
keberadaan esensial dan kebaikan esensial, yang kita sebut Allah, sebagaimana
ditunjukkan dalam Pertanyaan 2 Artikel 3, dan Aristoteles setuju dengan hal
ini. Maka dari keberadaan pertama, yang secara esensial dan baik merupakan yang
pertama, segala sesuatu disebut sebagai baik dan sebagai suatu keberadaan,
karena ia menyerupai keberadaan pertama itu dengan cara kemiripan tertentu walaupun
derajad kemiripannya kecil dan jauh dari kesempurnaan, sebagaimana ditunjukkan
pada Pertanyaan
4 Artikel 3.
Maka segala sesuatu menjadi baik karena kebaikan
ilahi, sebagai awal dan akhir dari segala kebaikan. Namun, segala sesuatu
disebut baik karena memiliki kemiripan dengan kebaikan ilahi, yang secara
formal disebut sebagai kebaikan dari sesuatu itu sendiri, yang merupakan
kebaikan yang berbeda dengan kebaikan ilahi. Dengan demikian dalam segala
sesuatu terdapat satu kebaikan sekaligus banyak kebaikan.
Ini merupakan tanggapan yang cukup untuk
keberatan-keberatan.
[1]“Baik” di sini lebih berarti “sempurna, tidak bercacat”, bukan “baik hati”.
No comments:
Post a Comment