Tuesday, 11 September 2018

Mengapa Saya Tidak Menjadi Anggota Gereja Orthodox


St. Elias The Prophet Ukrainian Catholic Church, Canada


Mengapa Saya Tidak Menjadi Anggota Gereja Orthodox
(Part I)
Pater Brian W. Harrison, O.S.


"Saya menemukan diri saya berada dalam konfrontasi antara dua komunio besar – dua terbesar di antara Kekristenan – yang masing-masing menampilkan diri sebagai pihak yang menerima anugerah infalibilitas."




Perjalanan saya menjadi seorang Katolik mungkin agak unik karena perjalanan spiritual saya menuju Roma melibatkan bagian lain Kekristenan yang cukup besar, yaitu Protestantisme dan Orthodox. Sebagai seorang mahasiswa yang dibimbing oleh pandangan filsafat klasik tentang Sabda (logos) yang hidup (yang oleh Paus Benediktus XVI ditekankan sebagai satu atribut dari Allah di Regensburg 2006), saya melihat ada suatu inkonsistensi yang mendasar dalam logika Kristen Reformasi : Sola scriptura yang menjadi prinsip dasarnya tidak ditemukan di manapun di Alkitab sehingga pandangan tersebut dalam dirinya sendiri adalah kontradiktif.

Saya juga tumbuh dalam keyakinan bahwa jika ada suatu pewahyuan yang benar dan definitive dari Allah kepada manusia, maka karena Allah jelas tidak memutuskan untuk menyatakan pewahyuan ini secara langsung kepada masing-masing individu, Ia mengambil suatu sarana yang dapat dipercaya dan dapat diakses secara terus menerus oleh seluruh manusia sepanjang jaman. Singkatnya, suatu otoritas mengajar yang tidak mungkin keliru. Namun, setelah melalui beberapa bacaan, saya menemukan diri saya berada dalam konfrontasi antara dua komunio besar – dua terbesar di antara Kekristenan – yang masing-masing menampilak diri sebagai pihak yang menerima anugerah infalibilitas. Saya telah lama tahu bahwa Gereja Katolik mengklaim dirinya sebagai pihak yang secara ilahi telah ditunjuk untuk menerima charisma tersebut. Tapi pada tahun 1971, saya menemukan klaim yang sama oleh Keorthodoxan Timur. Saya tiba-tiba melihat Konstantinopel sebagai pihak yang mampu menentang Roma. Mana yang harus saya ikuti?

Tidak Sungguh “Katolik”

Satu hal yang menarik dari Keorthodoxan Timur saat itu adalah bahwa bagi saya imagenya tetap tak ternoda oleh tudingan-tudingan para Calvinist yang telah saya kenal sejak masa muda saya. Tak seorangpun sejauh yang saya tahu menuduh Istanbul sebagai “Babilon Misterius”. Saya juga belum pernah mendengar Keorthodoxan Timur dikaitkan dengan perempuan yang duduk di atas binatang berwarna merah ungu yang penuh hujat. Saya juga tidak pernah melihat tudingan terhadap para Patriarkh Konstantinopel sebagai “si pendusta” – sang anti-Kristus yang memasuki bait Allah dan mengeluarkan kata-kata hujat terhadap Allah dan orang-orang pilihan-Nya.

Namun, setelah mengikuti beberapa liturgy Orthodox Yunani di Sydney (saya seorang warga negara Australia), di mana saya telah berusaha pula bercakap-cakap dengan seorang imamnya, suatu hal baru membuat timbangan berayun ke arah lainnya. Dengan bahasa Inggris yang sangat minim, sangatlah sulit bagi imam untuk berbincang dengan saya tentang hal-hal doctrinal ataupun theologis. Bahkan, ia terlihat heran bahwa saya, seorang “Anglo”, tertarik untuk mengikuti liturginya. Seluruh umat parokinya, di sana di pusat kota besar dan cosmopolitan, adalah etnis Yunani.

Saya dengan segera menyadari bahwa Keorthodoxan dalam kenyataannya tidak sungguh “katolik”. Ia tidak memiliki keterbukaan dan universisalitas cultural, suatu kapasitas yang diperlukan untuk menyediakan rumah yang penuh penerimaan dan nyata bagi seluruh bangsa dan suku bangsa, yang merupakan satu dari empat tanda Gereja yang benar : satu, kudus, katolik dan apostolik. Setiap kata dalam liturgy yang saya hadiri di Sydney, termasuk bacaan Kitab Suci dan khotbahnya, adalah bahasa Yunani, yang sama sekali tidak saya pahami. Thesis bahwa Keorthodoxan Timur adalah agama yang benar telah berubah secara praktis bahwa untuk berbagi hidup yang penuh dan berbuah dalam Tubuh Kristus, seseorang hampir harus berubah menjadi seorang Yunani (dalam beberapa kasus mungkin Rusia, Serbia, Syria – tapi pilihan etnisnya sungguh terbatas). Dan tambahan yang secara de facto membebani ini bertentangan dengan Perjanjian Baru. Di pihak lain, Keorthodoxan menekankan bahwa dalam Kristus tidak ada Yahudi, bangsa asing ataupun Yunani.

Apakah Keorthodoxan Masuk Akal?

Singkatnya, sejauh yang saya lihat saat itu, Keorthodoxan memiliki beberapa kelebihan disbanding Kekatolikan, tetapi juga memiliki beberapa kekurangan. Jadi saya masih sangat belum yakin mana yang hendak saya tuju. Saya merasa mengalami konfrontasi terhadap hal yang sama yang saya hadapi saat saya mencoba memutuskan apakah Protestantisme adalah benar atau salah, yaitu masalah untuk menegosiasikan segunung pemahaman yang bias memakan waktu pembelajaran seumur hidup, jika saya ingin sampai pada jawaban yang definitive. Jika pertanyaan-pertanyaan teologis, eksegesis dan sejarah ini telah mengundang perdebatan dan menghabiskan banyak tinta selama berabad-abad, siapakah saya sehingga beranggapan mampu untuk mencapai jawaban yang pasti tentang pihak mana yang benar? Perdebatan utama yang muncul adalah tentang supremasi Petrus, sebagaimana yang telah diungkapkan dalam Alkitab dan dimanifestasikan dalam tradisi kuno Gereja. Perdebatan ini sungguh terlihat menggunung – dan hasilnya sungguh sangat membingungkan – bagi jiwa muda yang ingin mencari jawaban yang jelas dan pasti ini.

Tak bisa dihindarkan, dalam doa dan usaha pembelajaran saya, saya mulai meragukan apakah ada suatu argument “peluru perak” yang ampuh seperti yang telah saya temukan dalam melihat kefatalan teologi Protestan? Dapatkah suatu jawaban yang jelas muncul saat mempelajari ada tidaknya inkonsistensi logika dasar dari klaim Orthodox? Atau haruskah saya berusaha mengakumulasikan, mengartikan dan mengevaluasi data-data biblical dan historis yang menumpuk tiada batas? Akhirnya saya menemukan apa yang saya yakini sebagai jawaban itu : saya menemukan bahwa Keorthodoxan sungguh fatal dalam menentukan bagaimana kita tahu apa yang telah diwahyukan oleh Allah. Dalam penjelasan selanjutnya saya akan menggunakan serangkaian proposisi sederhana untuk menyatakan bahwa pemahaman Keorthodoxan Timur tentang bagaimana Gereja meneruskan pewahyuan adalah lemah dan menggunakan argument berputar, sehingga menjadi tidak benar.

Pertama, jika Allah memang menganugerahkan karunia infalibilitas kepada Gereja-Nya, maka harus ada suatu otoritas atau suatu agen yang bisa dikenali yang ada dalam Gereja yang digunakan untuk melaksanakan karunia tersebut. Sekarang, Katolik meyakini bahwa Sinode Para Uskup – penerus para rasul yang dipimpin oleh Paus sebagai penerus St. Petrus – memiliki otoritas tersebut. Para uskup dapat melaksanakan karunia tersebut dalam beberapa cara (sebagaimana dijelaskan oleh Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium artikel 25). Seluruh grup (Sinode Para Uskup) dapat mengajar secara infallible, entah tergabung bersama dalam suatu konsili yang ditetapkan sebagai ekumenikal (mewakili seluruh Gereja) oleh Paus, pemimpin Sinode, atau dalam kondisi tertentu, secara tersebar di seluruh dunia. Akhrnya, meskipun berbicara seorang diri, Paus dapat melaksanakan charisma infalibilitas jika melakukannya dalam pernyataan yang paling formal (ex cathedra).

Sekarang, apa pemahaman Orthodox Timur terhadap agen infalibilitas? Keorthodoxan hanya mengenal satu bentuk agen infalibilitas. Mari kita lihat pemahamannya :

Proposisi 1 : Infalibilitas ada dalam keputusan doctrinal meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili ekumenis

Namun, apakah Orthodox mengakui otoritas semua konsili ekumenis seperti yang diakui oleh Katolik? Ternyata tidak. Saat saudara terpisah kita yang berada di Timur itu mengklaim bahwa secara prinsip segala konsili ekumenis antara kenaikan Kristus ke surga dan kedatangan-Nya yang kedua memiliki charisma untuk menyatakan ajaran dogmatic yang infallible, mereka hanya mengakui tujuh konsili pertama sebagai ekumenis, yaitu konsili-konsili yang terjadi dalam millennium pertama kekristenan, sebelum terjadi perpisahan antara Timur dan Barat. Dan sungguh, meskipun mereka menganggap diri mereka sebagai Gereja yang benar, sejak perpisahan di abad pertengahan itu mereka tidak pernah berusaha mengadakan atau merayakan konsili ekumenis apapun di lingkungan mereka sendiri, karena mereka tetap mengakui bahwa menurut tradisi kuno Tahta Petrus memiliki suatu primasi tertentu – paling tidak memiliki martabat atau presedensi – bersama pusat kekristenan kuno lainnya (Konstantinopel, Antiokia, Yerusalem dan Alexandria).

Jadi, tholog mainstream Ortodox, sejauh yang saya pahami, akan berkata bahwa selama ribuan tahun kita mengalami situasi infalibilitas yang terhenti. Interupsi terhadap infalibilitas ini, menurut mereka, disebabkan oleh “ambisi”, kengototan”, “keangkuhan” dari para Uskup dala Tahta Petrus, yang mereka sebut telah melampaui batas-batas kelayakan dari kewenangan rendah hati yang telah dianugerahkan kepada Gereja oleh Kristus. Namun mereka juga berkata, bahwa jika Paus Roma mengakui kesalahan fatal ini dan membuang klaim tentang infalibilitas personal serta kewenangannya terhadap Gereja universal, maka skisma yang sungguh tercela tersebut akan tersembuhkan. Seluruh Gereja Timur dan Barat akan kembali dapat melaksanakan konsili ekumenis yang infalibel.

Suatu Proposal tentang Ketidakcukupan

Namun, posisi semacam itu memiliki bermacam permasalahan serius. Saudara terpisah kita di Timur menyatakan bahwa konsili ekumenis yang benar tidak hanya memerlukan kehadiran wakil mereka sendiri, namun juga wakil dari Roma, yang konfirmasinya terhadap dekrit-dekrit konsili akan diperlukan, sebagaimana yang terjadi dalam tujuh konsili ekumenis kuno. Sejauh ini tampaknya bagus. Tapi apakah ini berarti Orthodox menyatakan bahwa konfirmasi Paus terhadap suatu konsili tidak hanya perlu, tapi juga cukup, agar suatu konsili disebut sebagai ekumenis? Sayangnya, jawaban mereka adalah tidak. Dan sejarah Keorthodoxan Timurlah yang membentuk teologi mereka tentang hal tersebut sepanjang paruh millennium terakhir, sebagaimana yang akan kita lihat.

Setelah perpisahan Timur dan Barat diperburuk oleh saling mengekskomunikasi pada tahun 1054 dan penjarahan brutal Konstantinopel oleh para pejuang salib dari Latin di tahun 1204, dua konsili ekumenis diprakarsai oleh Roma dengan tujuan untuk menyatukan perpecahan. Konsili-konsili tersebut diadakan di Lyons pada tahun 1274 dan di Florence pada tahun 1439, dengan Keorthodoxan Timur diwakili oleh para Uskup dan theology yang dikirim dari Konstantinopel. Dan dalam dua konsili tersebut para representative menyetujui secara penuh, termasuk dari Gereja Timur, dekrit-dekrit yang dipromulgasikan oleh konsili-konsili tersebut, yang mengakui kebenaran dan keilahian jurisdiksi para suksesor St. Petrus terhadap Gereja universal Kristus – sesuatu yang lebih dari sekedar gelar kehormatan. Dan dekrit-dekrit tersebut dikuatkan oleh para Paus selanjutnya.

Lalu mengapa kedua konsili ini tidak mengakhiri skisma yang panjang dan tragis? Pada dasarnya adalah karena para delegasi Timur yang hadir di Lyons dan Florence, setelah kembali ke Gereja Timur, tidak mampu melaksanakan dekrit-dekrit tersebut. Di Konstantinopel, pusat dari Kekaisaran Byzantine, sikap penuh curiga bahkan rasa permusuhan terhadap “musuh” Latin mereka tetap tertanam kuat dalam hati dan pikiran dari penduduk mereka – pada semua golongan. Hasilnya adalah bahwa politik dan opini public mengalahkan hasil konsili. Keorthodoxan Timur menolak untuk menerima gagasan agar manusia itu – Uskup Roma yang ditakuti dan dibenci secara luas – memegang jurisdiksi apapun atas hal-hal spiritual dan Gereja mereka.

Sebagai hasilnya, untuk melanjutkan katerpisahan mereka dari Roma, Orthodox harus memperjelas pemahaman mereka terhadap infalibilitas suatu konsili ekumenis. Mereka harus berpegang pada anggapan bahwa partisipasi para Uskuk yang mewakili seluruh Gereja serta konfirmasi hasil konsili oleh Uskup Roma, meskipun sungguh perlu, tapi tidaklah cukup untuk menjamin status ekumenis yang benar pada suatu konsili. Lebih dari itu, mereka juga beranggapan (seperti yang mereka katakan selama beberapa abad terakhir ini) bahwa adalah perlu agar seluruh umat beriman baik di Timur maupun Barat menerima hasil-hasil konsili sebagai pernyataan iman yang benar – tidak cukup pernyataan Uskup Roma beserta para Uskup lainnya, bahkan tidak cukup pernyataan dari seluruh hirarki Gereja. Jadi proposisi pertama diubah menjadi proposisi kedua berikut :

Proposisi 2 : Infalibilitas ada dalam keputusan doctrinal meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili ekumenis yang tidak cukup hanya disetujui oleh Kepausan secara ekumenis, tapi juga perlu penerimaan dari seluruh Gereja.

Dalam dunia Barat pasca Pencerahan, di mana oposisi terhadap hirarki, ide-ide tentang demokrasi dan kedaulatan public telah lama menikmati kepopulerannya, eklesiologi Othodox Timur, dengan penekanannya terhadap peran awam, secara alami terdengar menarik bagi banyak orang. Tapi dalam pemahaman lebih lanjut, kekeliruan fatal dalam Keorthodoxan mulai muncul.

Mari kita lihat lebih dekat. Jika factor penting yang menentukan apakah hasil suatu konsili infallible atau tidak adalah tergantung dari penerimaan seluruh Gereja, maka sungguhlah penting untuk mengetahui siapakah “seluruh Gereja” itu? Bagaimana mengidentifikasi anggotanya? Anggota yang mana yang bisa ikut berperan dalam menetapkan apakah suatu hasil konsili infallible atau tidak?

Pertanyaan tentang Keanggotaan

Untuk menjawab pertanyaan ini, teman-teman Orthodox Timur kita tidak bisa (dan memang tidak) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “seluruh Gereja” adalah semua orang yang memiliki iman terhadap Kristus, atau semua orang yang telah dibaptis. Jika mengatakan demikian, maka ketujuh konsili pertama harus dinyatakan sebagai tidak ekumenis sekaligus tidak infallible, karena dalam masing-masing konsili tersebut terdapat beberapa penolakan dari orang-orang yang telah terbaptis (pengikut Arius, Nestorius serta kaum Monophysite), yang juga mengimani Kristus.

Orthodox juga tidak bisa menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “seluruh Gereja” adalah mereka yang berada dalam persatuan dengan Roma, Tahta Petrus, sang Batu Karang, karena mereka sendiri tidak dalam persatuan dengan Roma sejak abad pertengahan. Dapatkah mereka menyatakan bahwa “seluruh Gereja” adalah mereka yang berada dalam persatuan dengan Tahta Konstantinopel? Tidak bisa. Sejauh yang saya tahu, tak ada seorangpun theology Orthodox yang berani menyatakan bahwa keharusan bersatu dengan Konstatntinopel adalah bagian dari wahyu ataupun hukum ilahi, karena Tahta ini sendiri pernah berada dalam heresy untuk beberapa waktu, dan bahkan Tahta ini belum ada selama beberapa abad setelah pewahyuan selesai pada masa para Rasul.

Singkatnya, usaha apapun dari Orthodox untuk menjelaskan siapa itu “seluruh Gereja” akan menempatkan saudara Timur kita itu pada absurditas. Jadi satu-satunya pemahaman logis yang bisa mereka pegang, dan sesungguhnya masih mereka pegang saat ini, adalah bahwa yang dimaksud sebagai “seluruh Gereja” adalah mereka yang berpegang pada doktrin yang orthodox dan benar, suatu kriteria yang sulit untuk diukur. Tidak seperti misalnya kota, perkataan dan sakramen, keorthodoxan suatu doktrin tidak bisa dikenali oleh indera manusia. Hal tersebut hanya bisa dilihat dengan pikiran dan hati. Jadi, jika kita bertanya pada Orthodox mengapa mereka tidak menganggap para pengikut Arius, Nestorius dsb, sebagai bagiand dari “seluruh Gereja” padahal mereka juga mengimani Kristus dan dibaptis, maka mereka akan menjawab, “Karena mereka tidak orthodox. Mereka jatuh dalam heresy sedangkan kami – juga Gereja Roma untuk beberapa waktu – tetap memelihara iman yang benar.”

Sekarang karena posisi Orthodox tentang infalibilitas dan ekuimenisitas suatu konsili telah lebih jelas, kita dapat merumuskan suatu proposisi selanjutnya, dengan mengganti istilah “seluruh Gereja” dengan kata-kata yang lebih jelas, sebagaimana dinyatakan dalam proposisi 3 berikut :

Proposisi 3 : Infalibilitas ada dalam keputusan doctrinal meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili ekumenis yang tidak cukup hanya disetujui oleh Kepausan secara ekumenis, tapi juga perlu penerimaan dari seluruh komunitas Kristiani yang memegang doktrin yang benar.

Tapi di sini, saya khawatir kita akan berhadapan secara langsung dengan kekeliruan mendasar dalam logika Orthodox sehubungan dengan bagaimana kita bisa tahu apa yang telah diwahyukan oleh Allah. Karena Kristus mendirikan Gereja-Nya di bumi sebagai suatu komunitas yang tampak, kita tidak dapat menjelaskan siapa Gereja itu dengan suatu criteria yang tidak tampak tanpa jatuh dalam suatu absurditas. Kesalahan ini melibatkan suatu argument berputar, termasuk istilah yang harus dijelaskan dalam penjelasan itu sendiri. Ini berakibat pada suatu tautology : suatu pengulangan preposisi tanpa menyediakan penjelasan sama sekali.

Kita bisa melihat ini secara lebih jelas jika kita mengingat bahwa seluruh tujuan dari suatu kewenangan Gereja yang infallible adalah untuk membimbing umat Kristen dalam membedakan dengan jelas dan pasti antara wahyu yang benar dan kekeliruan serta heresy. Berpegang pada hal tersebut, kita dapat sekali lagi merumuskan proposisi Orthodox Timur, dengan lebih menguraikan apa itu infalibilitas :

Pproposisi 4 : Umat Kristen dapat tahu dengan pasti mana doktrin yang benar dengan berpegang pada keputusan doctrinal meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili ekumenis yang tidak cukup hanya disetujui oleh Kepausan secara ekumenis, tapi juga perlu penerimaan dari seluruh komunitas Kristiani yang memegang doktrin yang benar.

Kata-kata yang dicetak miring di atas secara jelas menunjukkan suatu logika berputar – suatu tautology – yang melemahkan logika kristianitas Orthodox Timur. Kita ingin mengidentifikasi dengan pasti mana doktrin Kristen yang benar, tapi solusi yang diberikan adalah kita dianggap sudah tahu mana doktrin Kristen yang benar. Kita diberi penjelasan bahwa “Untuk menemukan mana doktrin Kristen yang benar, kamu harus mendengarkan ajaran mereka yang memegang doktrin Kristen yang benar.”

Tak lama setelah saya sampai pada kesimpulan yang teguh bahwa pendirian Keorthodoxan Timur adalah tidak logis, sehingga tidak bisa mendukung pemahamannya tentang infalibilitas, saya diterima dalam Gereja Katolik dalam Misa Vigili Paskah tahun 1972.

…………

Sumber :



No comments:

Post a Comment