St. Elias The Prophet Ukrainian Catholic Church, Canada
sumber: https://www.trekearth.com
Mengapa Saya Tidak Menjadi Anggota
Gereja Orthodox
(Part I)
Pater Brian W. Harrison, O.S.
"Saya menemukan diri saya berada
dalam konfrontasi antara dua komunio besar – dua terbesar di antara Kekristenan
– yang masing-masing menampilkan diri sebagai pihak yang menerima anugerah
infalibilitas."
Perjalanan saya menjadi seorang Katolik
mungkin agak unik karena perjalanan spiritual saya menuju Roma melibatkan
bagian lain Kekristenan yang cukup besar, yaitu Protestantisme dan Orthodox.
Sebagai seorang mahasiswa yang dibimbing oleh pandangan filsafat klasik tentang
Sabda (logos) yang hidup (yang oleh Paus Benediktus XVI ditekankan sebagai satu
atribut dari Allah di Regensburg 2006), saya melihat ada suatu inkonsistensi
yang mendasar dalam logika Kristen Reformasi : Sola scriptura yang menjadi prinsip
dasarnya tidak ditemukan di manapun di Alkitab sehingga pandangan tersebut
dalam dirinya sendiri adalah kontradiktif.
Saya juga tumbuh dalam keyakinan bahwa
jika ada suatu pewahyuan yang benar dan definitive dari Allah kepada manusia,
maka karena Allah jelas tidak memutuskan untuk menyatakan pewahyuan ini secara
langsung kepada masing-masing individu, Ia mengambil suatu sarana yang dapat
dipercaya dan dapat diakses secara terus menerus oleh seluruh manusia sepanjang
jaman. Singkatnya, suatu otoritas mengajar yang tidak mungkin keliru. Namun,
setelah melalui beberapa bacaan, saya menemukan diri saya berada dalam
konfrontasi antara dua komunio besar – dua terbesar di antara Kekristenan –
yang masing-masing menampilak diri sebagai pihak yang menerima anugerah
infalibilitas. Saya telah lama tahu bahwa Gereja Katolik mengklaim dirinya
sebagai pihak yang secara ilahi telah ditunjuk untuk menerima charisma
tersebut. Tapi pada tahun 1971, saya menemukan klaim yang sama oleh
Keorthodoxan Timur. Saya tiba-tiba melihat Konstantinopel sebagai pihak yang
mampu menentang Roma. Mana yang harus saya ikuti?
Tidak Sungguh “Katolik”
Satu hal yang menarik dari Keorthodoxan
Timur saat itu adalah bahwa bagi saya imagenya tetap tak ternoda oleh
tudingan-tudingan para Calvinist yang telah saya kenal sejak masa muda saya.
Tak seorangpun sejauh yang saya tahu menuduh Istanbul sebagai “Babilon
Misterius”. Saya juga belum pernah mendengar Keorthodoxan Timur dikaitkan
dengan perempuan yang duduk di atas binatang berwarna merah ungu yang penuh
hujat. Saya juga tidak pernah melihat tudingan terhadap para Patriarkh
Konstantinopel sebagai “si pendusta” – sang anti-Kristus yang memasuki bait
Allah dan mengeluarkan kata-kata hujat terhadap Allah dan orang-orang
pilihan-Nya.
Namun, setelah mengikuti beberapa
liturgy Orthodox Yunani di Sydney (saya seorang warga negara Australia), di
mana saya telah berusaha pula bercakap-cakap dengan seorang imamnya, suatu hal
baru membuat timbangan berayun ke arah lainnya. Dengan bahasa Inggris yang
sangat minim, sangatlah sulit bagi imam untuk berbincang dengan saya tentang
hal-hal doctrinal ataupun theologis. Bahkan, ia terlihat heran bahwa saya,
seorang “Anglo”, tertarik untuk mengikuti liturginya. Seluruh umat parokinya,
di sana di pusat kota besar dan cosmopolitan, adalah etnis Yunani.
Saya dengan segera menyadari bahwa
Keorthodoxan dalam kenyataannya tidak sungguh “katolik”. Ia tidak memiliki
keterbukaan dan universisalitas cultural, suatu kapasitas yang diperlukan untuk
menyediakan rumah yang penuh penerimaan dan nyata bagi seluruh bangsa dan suku
bangsa, yang merupakan satu dari empat tanda Gereja yang benar : satu, kudus,
katolik dan apostolik. Setiap kata dalam liturgy yang saya hadiri di Sydney,
termasuk bacaan Kitab Suci dan khotbahnya, adalah bahasa Yunani, yang sama
sekali tidak saya pahami. Thesis bahwa Keorthodoxan Timur adalah agama yang
benar telah berubah secara praktis bahwa untuk berbagi hidup yang penuh dan
berbuah dalam Tubuh Kristus, seseorang hampir harus berubah menjadi seorang
Yunani (dalam beberapa kasus mungkin Rusia, Serbia, Syria – tapi pilihan
etnisnya sungguh terbatas). Dan tambahan yang secara de facto membebani ini
bertentangan dengan Perjanjian Baru. Di pihak lain, Keorthodoxan menekankan
bahwa dalam Kristus tidak ada Yahudi, bangsa asing ataupun Yunani.
Apakah Keorthodoxan Masuk Akal?
Singkatnya, sejauh yang saya lihat saat
itu, Keorthodoxan memiliki beberapa kelebihan disbanding Kekatolikan, tetapi
juga memiliki beberapa kekurangan. Jadi saya masih sangat belum yakin mana yang
hendak saya tuju. Saya merasa mengalami konfrontasi terhadap hal yang sama yang
saya hadapi saat saya mencoba memutuskan apakah Protestantisme adalah benar
atau salah, yaitu masalah untuk menegosiasikan segunung pemahaman yang bias
memakan waktu pembelajaran seumur hidup, jika saya ingin sampai pada jawaban
yang definitive. Jika pertanyaan-pertanyaan teologis, eksegesis dan sejarah ini
telah mengundang perdebatan dan menghabiskan banyak tinta selama berabad-abad,
siapakah saya sehingga beranggapan mampu untuk mencapai jawaban yang pasti
tentang pihak mana yang benar? Perdebatan utama yang muncul adalah tentang
supremasi Petrus, sebagaimana yang telah diungkapkan dalam Alkitab dan
dimanifestasikan dalam tradisi kuno Gereja. Perdebatan ini sungguh terlihat
menggunung – dan hasilnya sungguh sangat membingungkan – bagi jiwa muda yang
ingin mencari jawaban yang jelas dan pasti ini.
Tak bisa dihindarkan, dalam doa dan
usaha pembelajaran saya, saya mulai meragukan apakah ada suatu argument “peluru
perak” yang ampuh seperti yang telah saya temukan dalam melihat kefatalan
teologi Protestan? Dapatkah suatu jawaban yang jelas muncul saat mempelajari
ada tidaknya inkonsistensi logika dasar dari klaim Orthodox? Atau haruskah saya
berusaha mengakumulasikan, mengartikan dan mengevaluasi data-data biblical dan
historis yang menumpuk tiada batas? Akhirnya saya menemukan apa yang saya
yakini sebagai jawaban itu : saya menemukan bahwa Keorthodoxan sungguh fatal
dalam menentukan bagaimana kita tahu apa yang telah diwahyukan oleh Allah.
Dalam penjelasan selanjutnya saya akan menggunakan serangkaian proposisi
sederhana untuk menyatakan bahwa pemahaman Keorthodoxan Timur tentang bagaimana
Gereja meneruskan pewahyuan adalah lemah dan menggunakan argument berputar, sehingga
menjadi tidak benar.
Pertama, jika Allah memang
menganugerahkan karunia infalibilitas kepada Gereja-Nya, maka harus ada suatu
otoritas atau suatu agen yang bisa dikenali yang ada dalam Gereja yang
digunakan untuk melaksanakan karunia tersebut. Sekarang, Katolik meyakini bahwa
Sinode Para Uskup – penerus para rasul yang dipimpin oleh Paus sebagai penerus
St. Petrus – memiliki otoritas tersebut. Para uskup dapat melaksanakan karunia
tersebut dalam beberapa cara (sebagaimana dijelaskan oleh Konsili Vatikan II
dalam Lumen Gentium artikel 25). Seluruh grup (Sinode Para Uskup) dapat
mengajar secara infallible, entah tergabung bersama dalam suatu konsili yang
ditetapkan sebagai ekumenikal (mewakili seluruh Gereja) oleh Paus, pemimpin
Sinode, atau dalam kondisi tertentu, secara tersebar di seluruh dunia. Akhrnya,
meskipun berbicara seorang diri, Paus dapat melaksanakan charisma infalibilitas
jika melakukannya dalam pernyataan yang paling formal (ex cathedra).
Sekarang, apa pemahaman Orthodox Timur
terhadap agen infalibilitas? Keorthodoxan hanya mengenal satu bentuk agen
infalibilitas. Mari kita lihat pemahamannya :
Proposisi 1 : Infalibilitas ada dalam
keputusan doctrinal meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili
ekumenis
Namun, apakah Orthodox mengakui otoritas
semua konsili ekumenis seperti yang diakui oleh Katolik? Ternyata tidak. Saat
saudara terpisah kita yang berada di Timur itu mengklaim bahwa secara prinsip
segala konsili ekumenis antara kenaikan Kristus ke surga dan kedatangan-Nya
yang kedua memiliki charisma untuk menyatakan ajaran dogmatic yang infallible,
mereka hanya mengakui tujuh konsili pertama sebagai ekumenis, yaitu
konsili-konsili yang terjadi dalam millennium pertama kekristenan, sebelum
terjadi perpisahan antara Timur dan Barat. Dan sungguh, meskipun mereka
menganggap diri mereka sebagai Gereja yang benar, sejak perpisahan di abad
pertengahan itu mereka tidak pernah berusaha mengadakan atau merayakan konsili
ekumenis apapun di lingkungan mereka sendiri, karena mereka tetap mengakui
bahwa menurut tradisi kuno Tahta Petrus memiliki suatu primasi tertentu –
paling tidak memiliki martabat atau presedensi – bersama pusat kekristenan kuno
lainnya (Konstantinopel, Antiokia, Yerusalem dan Alexandria).
Jadi, tholog mainstream Ortodox, sejauh
yang saya pahami, akan berkata bahwa selama ribuan tahun kita mengalami situasi
infalibilitas yang terhenti. Interupsi terhadap infalibilitas ini, menurut
mereka, disebabkan oleh “ambisi”, kengototan”, “keangkuhan” dari para Uskup
dala Tahta Petrus, yang mereka sebut telah melampaui batas-batas kelayakan dari
kewenangan rendah hati yang telah dianugerahkan kepada Gereja oleh Kristus.
Namun mereka juga berkata, bahwa jika Paus Roma mengakui kesalahan fatal ini
dan membuang klaim tentang infalibilitas personal serta kewenangannya terhadap
Gereja universal, maka skisma yang sungguh tercela tersebut akan tersembuhkan.
Seluruh Gereja Timur dan Barat akan kembali dapat melaksanakan konsili ekumenis
yang infalibel.
Suatu Proposal tentang Ketidakcukupan
Namun, posisi semacam itu memiliki
bermacam permasalahan serius. Saudara terpisah kita di Timur menyatakan bahwa
konsili ekumenis yang benar tidak hanya memerlukan kehadiran wakil mereka
sendiri, namun juga wakil dari Roma, yang konfirmasinya terhadap dekrit-dekrit
konsili akan diperlukan, sebagaimana yang terjadi dalam tujuh konsili ekumenis
kuno. Sejauh ini tampaknya bagus. Tapi apakah ini berarti Orthodox menyatakan
bahwa konfirmasi Paus terhadap suatu konsili tidak hanya perlu, tapi juga cukup,
agar suatu konsili disebut sebagai ekumenis? Sayangnya, jawaban mereka adalah
tidak. Dan sejarah Keorthodoxan Timurlah yang membentuk teologi mereka tentang
hal tersebut sepanjang paruh millennium terakhir, sebagaimana yang akan kita
lihat.
Setelah perpisahan Timur dan Barat
diperburuk oleh saling mengekskomunikasi pada tahun 1054 dan penjarahan brutal
Konstantinopel oleh para pejuang salib dari Latin di tahun 1204, dua konsili
ekumenis diprakarsai oleh Roma dengan tujuan untuk menyatukan perpecahan. Konsili-konsili
tersebut diadakan di Lyons pada tahun 1274 dan di Florence pada tahun 1439,
dengan Keorthodoxan Timur diwakili oleh para Uskup dan theology yang dikirim
dari Konstantinopel. Dan dalam dua konsili tersebut para representative
menyetujui secara penuh, termasuk dari Gereja Timur, dekrit-dekrit yang
dipromulgasikan oleh konsili-konsili tersebut, yang mengakui kebenaran dan
keilahian jurisdiksi para suksesor St. Petrus terhadap Gereja universal Kristus
– sesuatu yang lebih dari sekedar gelar kehormatan. Dan dekrit-dekrit tersebut
dikuatkan oleh para Paus selanjutnya.
Lalu mengapa kedua konsili ini tidak
mengakhiri skisma yang panjang dan tragis? Pada dasarnya adalah karena para
delegasi Timur yang hadir di Lyons dan Florence, setelah kembali ke Gereja
Timur, tidak mampu melaksanakan dekrit-dekrit tersebut. Di Konstantinopel,
pusat dari Kekaisaran Byzantine, sikap penuh curiga bahkan rasa permusuhan
terhadap “musuh” Latin mereka tetap tertanam kuat dalam hati dan pikiran dari
penduduk mereka – pada semua golongan. Hasilnya adalah bahwa politik dan opini
public mengalahkan hasil konsili. Keorthodoxan Timur menolak untuk menerima
gagasan agar manusia itu – Uskup Roma yang ditakuti dan dibenci secara luas –
memegang jurisdiksi apapun atas hal-hal spiritual dan Gereja mereka.
Sebagai hasilnya, untuk melanjutkan
katerpisahan mereka dari Roma, Orthodox harus memperjelas pemahaman mereka
terhadap infalibilitas suatu konsili ekumenis. Mereka harus berpegang pada
anggapan bahwa partisipasi para Uskuk yang mewakili seluruh Gereja serta
konfirmasi hasil konsili oleh Uskup Roma, meskipun sungguh perlu, tapi tidaklah
cukup untuk menjamin status ekumenis yang benar pada suatu konsili. Lebih dari
itu, mereka juga beranggapan (seperti yang mereka katakan selama beberapa abad
terakhir ini) bahwa adalah perlu agar seluruh umat beriman baik di Timur maupun
Barat menerima hasil-hasil konsili sebagai pernyataan iman yang benar – tidak
cukup pernyataan Uskup Roma beserta para Uskup lainnya, bahkan tidak cukup
pernyataan dari seluruh hirarki Gereja. Jadi proposisi pertama diubah menjadi
proposisi kedua berikut :
Proposisi 2 : Infalibilitas ada dalam
keputusan doctrinal meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili
ekumenis yang tidak cukup hanya disetujui oleh Kepausan secara ekumenis, tapi
juga perlu penerimaan dari seluruh Gereja.
Dalam dunia Barat pasca Pencerahan, di
mana oposisi terhadap hirarki, ide-ide tentang demokrasi dan kedaulatan public
telah lama menikmati kepopulerannya, eklesiologi Othodox Timur, dengan
penekanannya terhadap peran awam, secara alami terdengar menarik bagi banyak
orang. Tapi dalam pemahaman lebih lanjut, kekeliruan fatal dalam Keorthodoxan
mulai muncul.
Mari kita lihat lebih dekat. Jika factor
penting yang menentukan apakah hasil suatu konsili infallible atau tidak adalah
tergantung dari penerimaan seluruh Gereja, maka sungguhlah penting untuk
mengetahui siapakah “seluruh Gereja” itu? Bagaimana mengidentifikasi
anggotanya? Anggota yang mana yang bisa ikut berperan dalam menetapkan apakah
suatu hasil konsili infallible atau tidak?
Pertanyaan tentang Keanggotaan
Untuk menjawab pertanyaan ini,
teman-teman Orthodox Timur kita tidak bisa (dan memang tidak) mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan “seluruh Gereja” adalah semua orang yang memiliki iman
terhadap Kristus, atau semua orang yang telah dibaptis. Jika mengatakan
demikian, maka ketujuh konsili pertama harus dinyatakan sebagai tidak ekumenis
sekaligus tidak infallible, karena dalam masing-masing konsili tersebut
terdapat beberapa penolakan dari orang-orang yang telah terbaptis (pengikut
Arius, Nestorius serta kaum Monophysite), yang juga mengimani Kristus.
Orthodox juga tidak bisa menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “seluruh Gereja” adalah mereka yang berada dalam
persatuan dengan Roma, Tahta Petrus, sang Batu Karang, karena mereka sendiri
tidak dalam persatuan dengan Roma sejak abad pertengahan. Dapatkah mereka
menyatakan bahwa “seluruh Gereja” adalah mereka yang berada dalam persatuan
dengan Tahta Konstantinopel? Tidak bisa. Sejauh yang saya tahu, tak ada
seorangpun theology Orthodox yang berani menyatakan bahwa keharusan bersatu
dengan Konstatntinopel adalah bagian dari wahyu ataupun hukum ilahi, karena
Tahta ini sendiri pernah berada dalam heresy untuk beberapa waktu, dan bahkan
Tahta ini belum ada selama beberapa abad setelah pewahyuan selesai pada masa
para Rasul.
Singkatnya, usaha apapun dari Orthodox
untuk menjelaskan siapa itu “seluruh Gereja” akan menempatkan saudara Timur
kita itu pada absurditas. Jadi satu-satunya pemahaman logis yang bisa mereka
pegang, dan sesungguhnya masih mereka pegang saat ini, adalah bahwa yang
dimaksud sebagai “seluruh Gereja” adalah mereka yang berpegang pada doktrin
yang orthodox dan benar, suatu kriteria yang sulit untuk diukur. Tidak seperti
misalnya kota, perkataan dan sakramen, keorthodoxan suatu doktrin tidak bisa
dikenali oleh indera manusia. Hal tersebut hanya bisa dilihat dengan pikiran
dan hati. Jadi, jika kita bertanya pada Orthodox mengapa mereka tidak
menganggap para pengikut Arius, Nestorius dsb, sebagai bagiand dari “seluruh
Gereja” padahal mereka juga mengimani Kristus dan dibaptis, maka mereka akan
menjawab, “Karena mereka tidak orthodox. Mereka jatuh dalam heresy sedangkan
kami – juga Gereja Roma untuk beberapa waktu – tetap memelihara iman yang
benar.”
Sekarang karena posisi Orthodox tentang
infalibilitas dan ekuimenisitas suatu konsili telah lebih jelas, kita dapat
merumuskan suatu proposisi selanjutnya, dengan mengganti istilah “seluruh
Gereja” dengan kata-kata yang lebih jelas, sebagaimana dinyatakan dalam
proposisi 3 berikut :
Proposisi 3 : Infalibilitas ada dalam
keputusan doctrinal meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili
ekumenis yang tidak cukup hanya disetujui oleh Kepausan secara ekumenis, tapi
juga perlu penerimaan dari seluruh komunitas Kristiani yang memegang doktrin
yang benar.
Tapi di sini, saya khawatir kita akan
berhadapan secara langsung dengan kekeliruan mendasar dalam logika Orthodox
sehubungan dengan bagaimana kita bisa tahu apa yang telah diwahyukan oleh
Allah. Karena Kristus mendirikan Gereja-Nya di bumi sebagai suatu komunitas
yang tampak, kita tidak dapat menjelaskan siapa Gereja itu dengan suatu
criteria yang tidak tampak tanpa jatuh dalam suatu absurditas. Kesalahan ini
melibatkan suatu argument berputar, termasuk istilah yang harus dijelaskan
dalam penjelasan itu sendiri. Ini berakibat pada suatu tautology : suatu
pengulangan preposisi tanpa menyediakan penjelasan sama sekali.
Kita bisa melihat ini secara lebih jelas
jika kita mengingat bahwa seluruh tujuan dari suatu kewenangan Gereja yang
infallible adalah untuk membimbing umat Kristen dalam membedakan dengan jelas
dan pasti antara wahyu yang benar dan kekeliruan serta heresy. Berpegang pada
hal tersebut, kita dapat sekali lagi merumuskan proposisi Orthodox Timur,
dengan lebih menguraikan apa itu infalibilitas :
Pproposisi 4 : Umat Kristen dapat tahu
dengan pasti mana doktrin yang benar dengan berpegang pada keputusan doctrinal
meriah (solemn doctrinal decision) dari suatu konsili ekumenis yang tidak cukup
hanya disetujui oleh Kepausan secara ekumenis, tapi juga perlu penerimaan dari
seluruh komunitas Kristiani yang memegang doktrin yang benar.
Kata-kata yang dicetak miring di atas
secara jelas menunjukkan suatu logika berputar – suatu tautology – yang
melemahkan logika kristianitas Orthodox Timur. Kita ingin mengidentifikasi
dengan pasti mana doktrin Kristen yang benar, tapi solusi yang diberikan adalah
kita dianggap sudah tahu mana doktrin Kristen yang benar. Kita diberi penjelasan
bahwa “Untuk menemukan mana doktrin Kristen yang benar, kamu harus mendengarkan
ajaran mereka yang memegang doktrin Kristen yang benar.”
Tak lama setelah saya sampai pada
kesimpulan yang teguh bahwa pendirian Keorthodoxan Timur adalah tidak logis,
sehingga tidak bisa mendukung pemahamannya tentang infalibilitas, saya diterima
dalam Gereja Katolik dalam Misa Vigili Paskah tahun 1972.
…………
Sumber :
No comments:
Post a Comment