Source: https://sanctamissa.org
|
Kristus
telah memilih Gereja sebagai mempelai-Nya. Dalam ikatan kasih perkawinan,
Mempelai Kristus menatap mata Sang Mempelai Pria dan berkata, “Keagungan dan
semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan kehormatan ada di tempat
kudus-Nya.”(Mzm. 96:6)
Pesta Pernikahan Anak Domba yang
dinyatakan dalam Kitab Wahyu sesungguhnya menjelaskan Liturgi Kudus Gereja.
Pada puncak ibadat surgawinya, Mempelai Wanita merefleksikan rupa Sang Mempelai
Pria – rupa dari Sabda yang menjadi daging, Keindahan yang berinkarnasi.
Bagi dunia, peribahasa “keindahan ada di
mata yang melihat” adalah pernyataan subyektif. Bagi Mempelai Kristus, inilah
realitas sesungguhnya dari Inkarnasi.
Tetapi secara menyedihkan di masa kita
ini, hal-hal yang dangkal dan vulgar menerobos masuk ke tempat kudus kita,
mengikuti “citarasa kreativitas dan adaptasi yang salah arah” (Paus Yohanes
Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 51). Tidak ada yang lebih
penting di masa sekarang ini dibandingkan pemeliharaan keindahan Liturgi Kudus,
pemeliharaan kekudusan.
Hans Urs von Balthasar, penulis
terkemuka di abad ke-20 mengenai theologi keindahan, mengatakan, “Kita dapat
memastikan bahwa siapa saja yang mencemoohkan Keindahan…tidak dapat berdoa dan
sesudahnya tidak akan dapat mengasihi.”
Dalam perayaan Liturgi Kudus untuk
penghormatan dan keindahan, Gereja harus dapat “membedakan antara hal yang
kudus dengan hal duniawi.” Ketika jenis “inkulturasi” yang keliru mencemari
ibadat yang liturgis kita harus sadar bahwa “itu tidak valid, itu tidak sah,
itu tidak indah.” Hal yang sekuler dan tidak indah seharusnya “tidak memasuki
bait Allah.”
Untuk “memelihara sesuatu yang kudus”
kita pertama kali harus mengkontemplasikan keindahan Kristus dalam Liturgi
Kudus – “suatu tindakan kudus yang melampaui segala hal.” Ini dimulai dari luar
dengan tindakan ketaatan terhadap rubrik, dan menuju pada persatuan internal
bersama Kristus, karena “barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam
roh dan kebenaran.” (Yoh 4:24). Keindahan spiritual dari Liturgi Kudus mengubah
kehidupan umat Katolik. Sungguh, “perjumpaan dengan keindahan dapat menyerupai
luka dari anak panah yang mengenai hati dan membuka mata.” Keindahan spiritual
ini membentuk hati yang menyerupai Kristus dalam hal keindahan moral. Dan
ketika keindahan spiritual dari Liturgi Kudus telah mengubah suatu jiwa,
manusia kemudian dapat mengkreasikan hal-hal yang indah, seperti seni rupa,
arsitektur, puisi dan musik.
Keindahan buatan manusia ini, dibentuk
oleh keindahan Kristus dalam Liturgi Kudus, meneladani kreatif genius dari
Allah yang telah membuat dunia ini memiliki keindahan internal. Ketika Wajah
Kristus penyelamat kita yang indah dan semarak menjadi pusat ibadat suci,
seluruh ciptaan berseru bersama dengan pemazmur : “Agung dan bersemaraklah
pekerjaan-Nya,” (Mzm 111:3).
Jika keindahan Misa Kudus tidak
bergantung pada keindahan yang mengagumkan dari ikonografi, jubah yang berhias,
Gregorian chant ataupun arsitektur Baroque, mengapa Gereja selama berabad-abad
telah mengembangkan seni kudus tersebut? Allah telah meletakkan hasrat pada
jiwa manusia untuk mengkreasikan keindahan karena Ia menginginkan manusia untuk
berperan serta dalam masterpiece ciptaan-Nya, suatu ciptaan yang baik dan
indah.
Keindahan dalam liturgi adalah hasil
dari aturan. Inilah mengapa liturgi, sesuai sifat dasarnya, menghendaki aturan,
dan liturgi tidak dapat ada tanpa rubrik ataupun seremoni. Keindahan bersinar
melalui gestur dalam Liturgi Kudus. Maka, gerakan dalam peribadatan, seperti
membuat Tanda Salib, berlutut dan membungkuk, merupakan cara untuk menghayati penghormatan
dan keindahan dalam kehidupan manusiawi kita.
“Setiap gestur liturgis, yang merupakan
gestur Kristus, disebut ekspresi keindahan.” Maka keindahan liturgi meresap
dalam hati manusia dan membentuk kita untuk memiliki hubungan yang patut, tidak
hanya dengan Allah, tetapi juga dengan tetangga kita, sehingga memberi
menyemangati kita untuk menjelmakan budaya manusia. Inilah arti sesungguhnya
dari inkulturasi. Jika kita umat Katolik ingin keindahan liturgi mengubah “culture
of death”, kita harus mengijinkan Litugi Kudus membentuk kita melalui
rohnya, yaitu Roh Kristus.
Ini berarti bahwa, dalam kerendahan
hati, kita harus menjauhkan keinginan untuk membuat Liturgi mengubah tata
lakunya. Konsekuensinya, marilah kita menjauhkan inovasi yang tidak sah,
impovisasi rubrik serta kreatifitas yang keliru dan dangkal.
Maka, “…Ritus lama menjadi suatu harta
karun yang hidup bagi Gereja dan juga menyediakan suatu standar peribadatan,
tentang misteri, dan tentang katekesis ke arah mana seharusnya perayaan Novus
Ordo menuju. Dengan kata lain, Misa Tridentine adalah suatu missing
link. Dan kecuali mencoba menemukan kembali seluruh kebenaran iman dan
keindahannya, maka Novus Ordo tidak tanggap terhadap pertumbuhan dan perubahan
yang telah menjadi karakteristik liturgi sejak awal.”
------------
oleh Fr. Scott A. Haynes, S.J.C
The Canons Regular of St. John Cantius
No comments:
Post a Comment