Monday, 10 September 2018

MENGEMBALIKAN KEINDAHAN LITURGI




Kristus telah memilih Gereja sebagai mempelai-Nya. Dalam ikatan kasih perkawinan, Mempelai Kristus menatap mata Sang Mempelai Pria dan berkata, “Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya, kekuatan dan kehormatan ada di tempat kudus-Nya.”(Mzm. 96:6)

Pesta Pernikahan Anak Domba yang dinyatakan dalam Kitab Wahyu sesungguhnya menjelaskan Liturgi Kudus Gereja. Pada puncak ibadat surgawinya, Mempelai Wanita merefleksikan rupa Sang Mempelai Pria – rupa dari Sabda yang menjadi daging, Keindahan yang berinkarnasi.

Bagi dunia, peribahasa “keindahan ada di mata yang melihat” adalah pernyataan subyektif. Bagi Mempelai Kristus, inilah realitas sesungguhnya dari Inkarnasi.

Tetapi secara menyedihkan di masa kita ini, hal-hal yang dangkal dan vulgar menerobos masuk ke tempat kudus kita, mengikuti “citarasa kreativitas dan adaptasi yang salah arah” (Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 51). Tidak ada yang lebih penting di masa sekarang ini dibandingkan pemeliharaan keindahan Liturgi Kudus, pemeliharaan kekudusan.

Hans Urs von Balthasar, penulis terkemuka di abad ke-20 mengenai theologi keindahan, mengatakan, “Kita dapat memastikan bahwa siapa saja yang mencemoohkan Keindahan…tidak dapat berdoa dan sesudahnya tidak akan dapat mengasihi.”

Dalam perayaan Liturgi Kudus untuk penghormatan dan keindahan, Gereja harus dapat “membedakan antara hal yang kudus dengan hal duniawi.” Ketika jenis “inkulturasi” yang keliru mencemari ibadat yang liturgis kita harus sadar bahwa “itu tidak valid, itu tidak sah, itu tidak indah.” Hal yang sekuler dan tidak indah seharusnya “tidak memasuki bait Allah.”

Untuk “memelihara sesuatu yang kudus” kita pertama kali harus mengkontemplasikan keindahan Kristus dalam Liturgi Kudus – “suatu tindakan kudus yang melampaui segala hal.” Ini dimulai dari luar dengan tindakan ketaatan terhadap rubrik, dan menuju pada persatuan internal bersama Kristus, karena “barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yoh 4:24). Keindahan spiritual dari Liturgi Kudus mengubah kehidupan umat Katolik. Sungguh, “perjumpaan dengan keindahan dapat menyerupai luka dari anak panah yang mengenai hati dan membuka mata.” Keindahan spiritual ini membentuk hati yang menyerupai Kristus dalam hal keindahan moral. Dan ketika keindahan spiritual dari Liturgi Kudus telah mengubah suatu jiwa, manusia kemudian dapat mengkreasikan hal-hal yang indah, seperti seni rupa, arsitektur, puisi dan musik.

Keindahan buatan manusia ini, dibentuk oleh keindahan Kristus dalam Liturgi Kudus, meneladani kreatif genius dari Allah yang telah membuat dunia ini memiliki keindahan internal. Ketika Wajah Kristus penyelamat kita yang indah dan semarak menjadi pusat ibadat suci, seluruh ciptaan berseru bersama dengan pemazmur : “Agung dan bersemaraklah pekerjaan-Nya,” (Mzm 111:3).

Jika keindahan Misa Kudus tidak bergantung pada keindahan yang mengagumkan dari ikonografi, jubah yang berhias, Gregorian chant ataupun arsitektur Baroque, mengapa Gereja selama berabad-abad telah mengembangkan seni kudus tersebut? Allah telah meletakkan hasrat pada jiwa manusia untuk mengkreasikan keindahan karena Ia menginginkan manusia untuk berperan serta dalam masterpiece ciptaan-Nya, suatu ciptaan yang baik dan indah.

Keindahan dalam liturgi adalah hasil dari aturan. Inilah mengapa liturgi, sesuai sifat dasarnya, menghendaki aturan, dan liturgi tidak dapat ada tanpa rubrik ataupun seremoni. Keindahan bersinar melalui gestur dalam Liturgi Kudus. Maka, gerakan dalam peribadatan, seperti membuat Tanda Salib, berlutut dan membungkuk, merupakan cara untuk menghayati penghormatan dan keindahan dalam kehidupan manusiawi kita.

“Setiap gestur liturgis, yang merupakan gestur Kristus, disebut ekspresi keindahan.” Maka keindahan liturgi meresap dalam hati manusia dan membentuk kita untuk memiliki hubungan yang patut, tidak hanya dengan Allah, tetapi juga dengan tetangga  kita, sehingga memberi menyemangati kita untuk menjelmakan budaya manusia. Inilah arti sesungguhnya dari inkulturasi. Jika kita umat Katolik ingin keindahan liturgi mengubah “culture of death”, kita harus mengijinkan Litugi Kudus membentuk kita melalui rohnya, yaitu Roh Kristus.

Ini berarti bahwa, dalam kerendahan hati, kita harus menjauhkan keinginan untuk membuat Liturgi mengubah tata lakunya. Konsekuensinya, marilah kita menjauhkan inovasi yang tidak sah, impovisasi rubrik serta kreatifitas yang keliru dan dangkal.

Maka, “…Ritus lama menjadi suatu harta karun yang hidup bagi Gereja dan juga menyediakan suatu standar peribadatan, tentang misteri, dan tentang katekesis ke arah mana seharusnya perayaan Novus Ordo menuju. Dengan kata lain, Misa Tridentine adalah suatu missing link. Dan kecuali mencoba menemukan kembali seluruh kebenaran iman dan keindahannya, maka Novus Ordo tidak tanggap terhadap pertumbuhan dan perubahan yang telah menjadi karakteristik liturgi sejak awal.”

------------

oleh Fr. Scott A. Haynes, S.J.C
The Canons Regular of St. John Cantius



No comments:

Post a Comment