BAGIAN SATU (PERTANYAAN 1 – 119)
RISALAH
TENTANG DOKTRIN SUCI (PERTANYAAN 1)
Pertanyaan
1 : Sifat dan Lingkup dari Doktrin Suci (sepuluh artikel)
Untuk menempatkan tujuan
kami dalam batas-batas yang tepat, kami pertama kali berusaha untuk menyelidiki
sifat dan lingkup
doktrin suci ini. Mengenai ini ada sepuluh poin penyelidikan:
1.
Apakah
Doktrin Suci diperlukan?
2.
Apakah
Doktrin Suci adalah suatu ilmu?
3.
Apakah
Doktrin Suci ada satu atau banyak?
4.
Apakah
Doktrin Suci spekulatif atau praktis?
5.
Bagaimana
Doktrin
Suci dibandingkan
dengan ilmu-ilmu lainnya?
6.
Apakah
Doktrin Suci sama dengan kebijaksanaan?
7.
Apakah
pokok bahasan Doktrin Suci
adalah Allah?
8.
Apakah
Doktrin Suci adalah tentang argumen?
9.
Apakah
Doktrin
Suci dengan benar
menggunakan metafora dan kiasan?
10.
Apakah
Kitab Suci dari
Doktrin ini dapat diuraikan dalam berbagai makna yang berbeda?
Artikel 1 : Apakah, selain filsafat,
diperlukan doktrin
lebih lanjut?
Keberatan 1 : Tampaknya bahwa selain ilmu filosofis, kita tidak membutuhkan
pengetahuan lebih lanjut karena
manusia sebaiknya tidak berusaha untuk mengetahui apa yang melebihi akalnya :
"Janganlah menyelidiki hal-hal yang terlalu tinggi untukmu" (Sir
3:22). Tapi segala sesuatu
yang tidak melampaui akal
telah dibahas sepenuhnya dalam ilmu filosofis. Oleh karena itu pengetahuan lain selain ilmu filosofis adalah berlebihan.
Keberatan 2: Lebih lanjut, pengetahuan
hanya dapat berhubungkan
dengan keberadaan, karena tak ada yang diketahui, kecuali sesuatu itu nyata;
dan segala yang ada, adalah nyata. Tetapi segala sesuatu yang ada, telah
dibahas dalam ilmu filosofis ---bahkan Allah sendiri; sehingga ada bagian dari ilmu filosofis yang disebut
teologi, atau Sains Ilahi, sebagaimana dibuktikan Aristoteles (Metaph. vi).
Oleh karena itu, selain ilmu filosofis, ada tidak perlu ada pengetahuan lebih lanjut.
Sebaliknya, Ada ditulis (2 Timotius
3: 16): "Seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan menguntungkan untuk
mengajar, untuk menegur, untuk memperbaiki, untuk mengarahkan kepada
keadilan." Sekarang Kitab Suci, diilhami oleh Allah, bukanlah bagian dari ilmu filosofis, yang dibangun oleh akal
manusia. Oleh karena itu sangat berguna bahwa selain ilmu filosofis, ada pengetahuan lainnya,
yaitu yang diilhami oleh Allah.
Saya menjawab bahwa, Adalah perlu untuk
keselamatan manusia bahwa harus ada pengetahuan yang diungkapkan oleh Allah
selain ilmu filosofis yang dibangun oleh akal manusia. Pertama, tentu saja, karena manusia diarahkan
kepada Allah, sebagai akhir yang melampaui pemahaman akalnya: "dan tidak
ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang
menanti-nantikan dia" (Yes 64:4)). Tapi pertama-tama, akhir harus
diketahui oleh orang-orang yang akan mengarahkan pikiran dan tindakan
menuju kepada akhir. Maka itu perlu bagi keselamatan manusia bahwa kebenaran
tertentu yang melebihi akal manusia harus diberitahukan kepadanya oleh wahyu
ilahi. Bahkan berkaitan dengan
kebenaran tentang Allah yang dapat diketahui oleh akal manusia, tetap
diperlukan bahwa orang harus diajarkan oleh wahyu ilahi; karena kebenaran tentang
Allah yang dapat diketahui oleh akal manusia seperti itu, hanya akan dikenal
oleh sedikit orang saja, setelah waktu yang lama, dan dengan campuran banyak
kekeliruan. Sedangkan seluruh keselamatan manusia, yang adalah dalam Allah,
tergantung pada pengetahuan tentang kebenaran ini. Oleh karena itu, supaya
keselamatan manusia dapat disampaikan dengan lebih baik dan lebih pasti, adalah
perlu bahwa manusia
harus diajarkan kebenaran ilahi oleh wahyu ilahi. Oleh karena itu perlu bahwa
selain ilmu filosofis yang dibangun melalui akal manusia, harus ada ilmu suci yang dipelajari melalui pewahyuan.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun hal-hal yang
berada di luar pengetahuan manusia tidak boleh dicari oleh manusia melalui
nalarnya sendiri, namun, setelah hal-hal tersebut dinyatakan oleh Allah, mereka harus diterima melalui
iman. Maka teks Suci melanjutkan, "karena hal-hal yang banyak hal ditunjukkan
kepadamu di atas pemahaman manusia" (Sir. 3: 25). Dan di sinilah letak ilmu
suci.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Ilmu pengetahuan
dibedakan menurut berbagai sarana yang melaluinya pengetahuan dapat diperoleh.
Astronom dan fisikawan keduanya dapat membuktikan kesimpulan yang sama: bumi,
misalnya, adalah bulat: astronom melakukannya melalui matematika (yaitu melakukan
abstraksi dari benda), tapi fisikawan melakukannya melalui benda itu sendiri.
Oleh karena itu tidak ada alasan mengapa hal-hal yang dapat dipelajari dari
ilmu filsafat, sejauh mereka bisa diketahui dengan nalar alami, tidak boleh
diajarkan pula melalui ilmu lain sejauh mereka berada dalam pewahyuan. Maka
teologi yang termasuk dalam Doktrin Suci berbeda jenisnya dari teologi yang
merupakan bagian dari ilmu filsafat.
Artikel 2 : Apakah Doktrin
Suci adalah Ilmu?
Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci
bukanlah ilmu. Karena setiap ilmu berproses dari prinsip-prinsip yang terbukti. Tetapi Doktrin Suci
adalah hasil dari artikel iman yang tidak terbukti,
karena kebenarannya tidak diterima oleh semua orang: " sebab bukan semua
orang beroleh iman" (2 Tes. 3: 2). Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah
ilmu.
Keberatan 2: Lebih lanjut, ilmu tidak
berkaitan dengan fakta-fakta individu. Tetapi ilmu suci ini membicarakan fakta
individu, seperti perbuatan Abraham, Ishak dan Yakub dan lainnya yang serupa.
Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah ilmu.
Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De
Trin. xiv, 1) "hanya pada ilmu inilah iman yang menyelamatkan dilahirkan,
dipelihara, dilindungi dan diperkuat." Tapi hal tersebut tidak dapat
dipenuhi oleh ilmu manapun kecuali Doktrin Suci. Oleh karena itu Doktrin Suci
adalah ilmu.
Aku menjawab bahwa, Doktrin Suci adalah ilmu. Kita harus
mengingat bahwa ada dua jenis ilmu. Ada yang lahir dari sebuah prinsip yang
dikenal dalam terang alami dari akal, seperti aritmetika, geometri, dan
sejenisnya. Ada beberapa yang lahir dari prinsip-prinsip yang telah diketahui
oleh ilmu yang lebih tinggi: Jadi ilmu perspektif lahir dari prinsip-prinsip
yang ditetapkan oleh geometri, dan musik dari prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh
aritmetika. Maka Doktrin Suci adalah ilmu karena berasal dari prinsip-prinsip
ditetapkan melalui terang ilmu yang lebih tinggi, yaitu, ilmu Allah dan para
kudus-Nya. Oleh karena itu, sama seperti musisi menerima otoritas
prinsip-prinsip yang diajarkan kepadanya oleh matematikawan, maka Ilmu Suci
didirikan di atas prinsip-prinsip yang diungkapkan oleh Allah.
Tanggapan terhadap Keberatan 1: Prinsip-prinsip ilmu
adalah entah terbukti
dalam diri mereka sendiri, atau dirunut dari ilmu yang lebih tinggi; dan hal
seperti ini [yaitu dirunut dari
ilmu yang lebih tinggi – penerjemah], seperti yang telah kita katakan,
adalah asas-asas dari Doktrin Suci.
Tanggapan terhadap Keberatan 2: Fakta-fakta individu
dibicarakan dalam Doktrin Suci, bukan terutama karena Doktrin Suci bersangkutan dengan fakta-fakta
tersebut, tapi
mereka diperkenalkan lebih sebagai contoh untuk diikuti dalam kehidupan kita
(seperti dalam ilmu moral) dan untuk menegaskan otoritas orang-orang tersebut yang melalui
mereka wahyu ilahi, yang mana merupakan dasar dari Kitab Suci atau doktrin ini,
telah diturunkan kepada kita.
Artikel 3 : Apakah Doktrin Suci
Terdiri dari Satu Ilmu?
Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci
tidak hanya terdiri dari satu ilmu; karena menurut sang Filsuf (Poster. i)
" satu ilmu membahas hanya satu kelas subjek." Tapi pencipta dan
ciptaan, yang keduanya dibicarakan dalam Doktrin Suci, tidak dapat
dikelompokkan bersama di bawah satu kelas subjek. Oleh karena itu Doktrin Suci
tidak hanya terdiri dari satu ilmu.
Keberatan 2 : Lebih jauh lagi, dalam
Doktrin Suci kita membicarakan tentang para malaikat, makhluk jasmani dan
moralitas manusia. Tapi hal-hal ini ini adalah milik ilmu-ilmu filsafat yang
terpisah. Oleh karena itu Doktrin Suci tidak mungkin hanya satu ilmu.
Sebaliknya, Kitab Suci berbicara
tentangnya sebagai satu ilmu: "Kebijaksanaan memberinya pengetahuan
[scientiam] tentang hal-hal kudus" (Keb. Salomo 10: 10).
Saya menjawab bahwa, Doktrin Suci adalah ilmu
yang satu. Suatu kesatuan sifat diukur melalui objeknya. Bukan dalam aspek
materialnya, melainkan berhubungan dengan aspek formalnya yang membawahi obyek
tersebut. Sebagai contoh, manusia, keledai, batu berada dalam satu aspek formal
yaitu memiliki warna; dan warna adalah objek formal dari pandangan. Maka, karena
hala-hal yang dibicarakan dalam Kitab Suci berada di bawah satu aspek formal
yaitu tentang sesuatu yang diwahyukan oleh Allah. Maka apa pun yang telah
diwahyukan secara ilahi memiliki aspek formal sebagai objek dari ilmu ini,
sehingga digolongkan dalam satu kesatuan ilmu di bawah Doktrin Suci.
Tanggapan terhadap Keberatan 1: Doktrin Suci tidak
membahas Allah dan makhluk dalam cara yang sama, tetapi lebih mengutamakan
Allah, dan makhluk hanya dibahas sejauh mereka dihubungkan dengan Allah sebagai
awal atau akhir mereka. Karena itu kesatuan ilmu ini tidak terkoyak.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Tidak ada yang
menghalangi sifat-sifat yang lebih rendah untuk dikelompokkan oleh sifat-sifat
yang lebih tinggi; karena sifat-sifat yang lebih tinggi memandang objek-objek
tersebut dalam aspek formal yang lebih universal, sebagaimana objek dari
"akal sehat" adalah apa pun yang menggerakkan akal, termasuk apa pun
yang dapat dilihat atau didengar. Oleh karena itu "akal sehat",
meskipun merupakan satu sifat kemampuan, menjangkau ke semua objek panca
indera. Demikian pula, benda-benda yang adalah subjek dari beberapa ilmu
filsafat yang berbeda, dapat bahas oleh Ilmu Suci yang tunggal ini di bawah
satu aspek sejauh mereka dapat dimasukkan sebagai suatu wahyu. Sehingga dalam
cara ini, Doktrin Suci adalah merupakan, seolah-olah, stempel dari Sains Ilahi
yang satu dan sederhana, namun meluas ke segala sesuatu.
Artikel 4 : Apakah Doktrin
Suci adalah Ilmu Praktis?
Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci
adalah ilmu praktis; karena ilmu praktis adalah ilmu yang tujuan akhirnya
adalah tindakan, menurut sang Filsuf (Metaph. ii).
Tetapi Doktrin Suci ditujukan terhadap tindakan: " Tetapi hendaklah kamu
menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja" (Yak 1: 22). Oleh
karena itu Doktrin Suci adalah ilmu praktis.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Doktrin
Suci dibagi menjadi Hukum Lama dan Baru. Tapi hukum mengandung suatu ilmu moral
yang merupakan ilmu praktis. Oleh karena itu Doktrin Suci adalah ilmu praktis.
Sebaliknya, Setiap ilmu praktis
berhubungan dengan tindakan manusia; contohnya seperti ilmu moral yang
bersangkutan dengan tindakan manusia, dan arsitektur dengan bangunan. Tetapi
Doktrin Suci adalah terutama tentang Allah dengan hasil karya tangan-Nya yang
adalah manusia. Oleh karena itu ilmu ini tidaklah bersifat praktis tetapi
merupakan ilmu spekulatif[1].
Aku menjawab bahwa, Satu Doktrin Suci dapat
meluas ke wilayah-wilayah yang menjadi milik ilmu-ilmu filsafat yang berbeda
karena Doktrin Suci mempertimbangkan bahwa dalam setiap ilmu tersebut
terkandung aspek formal yang sama, yaitu, mereka dapat dikenal melalui wahyu
ilahi. Oleh karena itu, meskipun di antara ilmu-ilmu filsafat terdapat beberapa
yang bersifat spekulatif dan yang lain bersifat praktis, namun Doktrin Suci mencakup
keduanya; sebagaimana Allah, melalui ilmu-Nya yang satu dan sama, tahu tentang
diri-Nya dan karya-karya-Nya. Namun, Doktrin ini lebih bersifat spekulatif
daripada praktis karena Doktrin ini lebih menaruh perhatian pada hal-hal ilahi
daripada terhadap tindakan manusia. Namun, Doktrin ini tetap membahas
tindakan-tindakan manusia tersebut karena manusia diarahkan oleh
tindakan-tindakannya tersebut menuju pada pengetahuan sempurna tentang Allah
yang di dalamnya terkandung kebahagiaan abadi. Ini adalah jawaban yang cukup
untuk keberatan-keberatan yang ada.
Artikel 5: Apakah Doktrin Suci lebih
Mulia dari Ilmu-ilmu Lainnya?
Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci
tidak lebih mulia dari ilmu-ilmu lainnya; karena sifat mulia dari suatu ilmu
tergantung pada kepastian yang dibentuknya. Tetapi ilmu-ilmu lainnya, yang
prinsip-prinsipnya tidak teragukan, tampaknya lebih pasti daripada Doktrin Suci
yang prinsip-prinsipnya ---yaitu, artikel iman---dapat diragukan. Oleh karena
itu ilmu-ilmu lain tampaknya lebih mulia dari ilmu ini.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah
tanda dari suatu ilmu yang lebih rendah untuk bergantung pada ilmu yang lebih
tinggi; sebagaimana musik bergantung pada aritmetika. Tetapi Doktrin Suci dalam
pemahamannya bergantung pada ilmu filsafat, seperti yang diamati oleh Jerome
dalam suratnya kepada Magnus,yaitu bahwa "para Doktor Gereja begitu
memperkaya buku-buku mereka dengan ide-ide dan frase-frase para filsuf,
sehingga engkau tidak tahu lagi mana yang harus dikagumi dari mereka, pengetahuan
profane mereka atau pembelajaran kitab suci mereka." Oleh karena itu
Doktrin Suci lebih rendah daripada ilmu-ilmu lainnya.
Sebaliknya,Iilmu-ilmu lainnya disebut
pelayan dari satu ini: "Kebijaksanaan mengirim pelayannya untuk
berseru-seru dari menara" (Amsal 9: 3).
Aku menjawab bahwa, Karena ilmu ini sebagian
bersifat spekulatif [atau kontemplatif] dan sebagian praktis, ilmu ini
melampaui semua ilmu spekulatif dan praktis. Sekarang suatu ilmu spekulatif
dikatakan lebih mulia dari lainnya karena adanya kepastiannya yang lebih besar,
atau karena adanya nilai yang lebih tinggi dari subjeknya. Dalam kedua hal ini
Doktrin Suci ini melebihi ilmu spekulatif lain. Dalam hal kepastian yang besar,
Doktrin Suci memperoleh kepastiannya dari terang pengetahuan ilahi, yang tidak
dapat keliru, sedangkan dalam ilmu lain, kepastian mereka peroleh dari terang
alami akal manusia, yang dapat keliru. Dalam hal nilai subjeknya yang lebih
tinggi, Doktrin Suci ini membahas terutama tentang hal-hal yang, karena
keagungannya, melampaui akal manusia; sedangkan ilmu-ilmu lainnya hanya
membahas hal-hal yang ada dalam genggaman nalar. Sedangkan dalam ilmu
pengetahuan praktis, satu ilmu lebih mulia jika dimaksudkan untuk tujuan yang
lebih luas, seperti ilmu politik lebih mulia dari ilmu militer; karena kebaikan
tentara ditujukan bagi kebaikan negara. Tapi tujuan Doktrin Suci ini, dalam hal
kepraktisannya, adalah kebahagiaan kekal, yang merupakan tujuan akhir utama
dari segala ilmu praktis. Karena itu jelas bahwa dari setiap sudut pandang, Doktrin
Suci lebih mulia dari ilmu-ilmu lainnya.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Mungkin terjadi bahwa apa
yang dalam dirinya merupakan suatu kepastian, bagi kita akan tampak kurang
pasti sehubungan dengan kelemahan akal kita, "yang disilaukan oleh hal
yang paling jelas; seperti sang burung hantu silau oleh cahaya
matahari"(Metaph. ii, lect. i). Oleh karena itu fakta bahwa dalam artikel
iman ada beberapa hal yang tampak kurang pasti bukan karena sifat kebenarannya
yang tidak pasti, tetapi karena kelemahan akal manusia; Namun pengetahuan yang
kurang jelas sekalipun, yang diperoleh dari hal-hal yang tertinggi, lebih
diinginkan daripada pengetauan yang pasti tetapi diperoleh dari hal-hal yang
lebih rendah, seperti yang dikatakan dalam de Animalibus xi.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Doktrin Suci ini dalam
pengertian tertentu bergantung pada ilmu filsafat, bukan seolah-olah itu dalam
keadaan membutuhkan mereka, tetapi hanya untuk membuat ajarannya lebih jelas.
Karena Doktrin Suci ini menerima prinsip-prinsipnya tidak dari ilmu-ilmu
lainnya, tetapi langsung dari Allah melalui pewahyuan. Oleh karena itu Doktrin
Suci tidak tergantung pada ilmu-ilmu lainnya seolah tergantung pada ilmu lain
yang lebih tinggi, tetapi memanfaatkan mereka sebagai ilmu yang lebih rendah,
dan sebagaimana seorang pelayan: meskipun ilmu-ilmu utama menggunakan ilmu-ilmu
lain untuk mendukungnya mereka, seperti politik menggunakan ilmu militer.
Dengan demikian penggunaan tersebut bukan karena cacat atau kekurangan dalam
dirinya sendiri, tetapi karena cacat akal kita, yang lebih mudah dipimpin oleh
apa yang dikenal melalui nalar alami (yang dari nalar tersebut lahir ilmu-ilmu
lainnya) menuju pada sesuatu yang melampaui nalar, yang adalah ajaran dari
Doktrin Suci ini.
Artikel 6 : Apakah Doktrin
Ini Sama dengan Kebijaksanaan?
Keberatan 1 : Tampaknya bahwa doktrin
ini tidak sama dengan kebijaksanaan, karena tidak ada doktrin yang
prinsip-prinsipnya bukan dari dirinya sendiri, layak menyandang nama
kebijaksanaan; dengan memperhatikan bahwa orang yang bijak mengarahkan, dan
tidak mengarahkan (Metaph. i). Tetapi prinsip-prinsip Doktrin ini bukan dari
ditinya sendiri. Oleh karena itu Ilmu ini bukanlah kebijaksanaan.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah
bagian dari kebijaksanaan untuk membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya.
Karena itu kebijaksanaan disebut kepala ilmu, seperti yang jelas dalam Ethic.
VI. Tetapi Doktrin ini tidak membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya.
Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama dengan kebijaksanaan.
Keberatan 3: Lebih jauh lagi, doktrin
ini diperoleh melalui studi, sedangkan kebijaksanaan diperoleh dari inspirasi
Allah, sehingga kebijaksanaan termasuk di antara karunia dari Roh Kudus (Yes.
11: 2). Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama dengan kebijaksanaan.
Sebaliknya, ada tertulis (Ul 4: 6):
"sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata
bangsa-bangsa."
Aku menjawab bahwa, Doktrin ini adalah
kebijaksanaan di atas semua kebijaksanaan manusia; bukan hanya dalam hal
urutan, tapi benar-benar secara mutlak. Karena seperti tugas dari orang bijak
untuk mengatur dan untuk menilai, dan karena hal-hal yang lebih rendah harus
dinilai dalam terang dari beberapa prinsip yang lebih tinggi, dia dikatakan
bijaksana dalam urutan tertentu oleh orang yang menganggapnya tertinggi dalam
urutan tersebut: dengan demikian dalam tata bangunan, dia yang merencanakan
bentuk rumah disebut bijaksana dan perencana, dalam posisi berlawanan terhadap
buruh rendah yang memotong kayu dan menyiapkan batu: " aku sebagai seorang
ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar" (1 Korintus 3: 10).
Sekali lagi, dalam urutan semua kehidupan manusia, seseorang disebut bijaksana,
sejauh ia mengarahkan tindakan kepada akhir yang tepat: "Berlaku cemar
adalah kegemaran orang bebal, sebagaimana melakukan hikmat bagi orang yang
pandai" (Amsal 10: 23). Oleh karena itu dia yang benar-benar
mempertimbangkan penyebab tertinggi seluruh alam semesta, yaitu Allah, sebagian
besar disebut bijaksana. Maka kebijaksanaan dikatakan sebagai pengetahuan
tentang hal-hal yang ilahi, seperti dikatakan Agustinus (De Trin. xii, 14).
Tetapi Doktrin Suci pada dasarnya membahas Allah yang dipandang sebagai
penyebab tertinggi---tidak hanya sejauh ia dapat diketahui melalui ciptaan
sebagaimana para filsuf mengenal-Nya---" Karena apa yang dapat mereka
ketahui tentang Allah nyata bagi mereka" (Roma 1: 19)---tetapi juga sejauh
Ia dikenal oleh Diri-Nya sendiri dan diungkapkan kepada ciptaan. Oleh karena
itu Doktrin Suci terutama disebut kebijaksanaan.
Tanggapan terhadap Keberatan 1: Doktrin Suci memperoleh
prinsip-prinsipnya tidak dari pengetahuan manusia, tetapi dari pengetahuan
ilahi, yang melaluinya, seperti melalui kebijaksanaan tertinggi, semua
pengetahuan kita diurutkan.
Tanggapan terhadap Keberatan 2: Prinsip-prinsip ilmu
lainnya entah berada dalam posisi jelas ataukah tidak dapat dibuktikan, atau
dibuktikan oleh nalar alami melalui beberapa ilmu lainnya. Tapi pengetahuan
yang tepat dari Doktrin ini datang melalui Wahyu dan tidak melalui nalar alami.
Oleh karena itu Doktirn ini tidak memiliki kepentingan untuk membuktikan
prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya, tapi hanya untuk menilai mereka. Apa pun
yang ditemukan dalam ilmu-ilmu lainnya, yang bertentangan dengan kebenaran
apapun dari Doktrin ini harus dikutuk sebagai palsu: " yang dibangun oleh
keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah" (bdk. 2 Korintus
10: 4, 5).
Tanggapan terhadap Keberatan 3: Karena tindakan menilai
tergolong dalam kebijaksanaan, dua macam cara menilai menghasilkan dua macam
kebijaksanaan. Seorang pria dalam satu cara dapat menilai dengan kecenderungan,
sebagaimana siapa saja yang terbiasa bergaul dengan kebajikan, menilai dengan
benar menurut kecenderungan kebajikannya itu mengarahkannya kesana. Maka, orang
yang salehlah, seperti yang kita baca, yang ditempatkan sebagai ukuran dan
aturan terhadap tindakan manusia. Di lain pihak, lewat pengetahuan, seperti
seseorang yang telah belajar dalam ilmu moral, mungkin mampu menilai dengan
benar tindakan-tindakan yang saleh, meskipun ia tidak memiliki kebajikan. Cara
pertama di atas dalam menilai hal-hal yang ilahi, berasal dari kebijaksanaan
yang diberikan di antara karunia-karunia dari Roh Kudus: "manusia rohani
menilai segala sesuatu" (1 Korintus 2: 15). Dan Dionysius mengatakan (Div.
Nom. ii): "Hierotheus diajar bukan hanya melalui usaha belajarnya, tetapi
melalui pengalaman terhadap hal-hal ilahi." Cara kedua di atas adalah
milik dari Doktrin ini yang diperoleh melalui studi, meskipun
prinsip-prinsipnya diperoleh melalui pewahyuan.
Artikel 7: Apakah Allah adalah
Obyek dari Ilmu ini?
Keberatan 1: Tampaknya bahwa Allah
bukanlah objek dari ilmu ini. Karena dalam setiap ilmu, sifat dari objeknya
adalah suatu asumsi. Tetapi ilmu ini tidak bisa mengasumsikan esensi Allah,
seperti yang dikatakan Damaskus (De Fide Orth. I, iv): "Adalah mustahil
untuk mendefinisikan esensi Allah." Oleh karena itu Allah bukanlah objek
dari ilmu ini.
Keberatan 2: Lebih lanjut, apa pun
kesimpulan yang dicapai dalam ilmu pengetahuan harus tentang objek ilmu
tersebut. Tapi dalam Kitab Suci kita mencapai kesimpulan bukan hanya tentang
Allah, tetapi tentang banyak hal lain, seperti tentang ciptaan dan moralitas
manusia. Oleh karena itu Allah bukanlah objek dari ilmu ini.
Sebaliknya, Objek dari suatu ilmu
adalah sesuatu yang dibahas secara pokok di dalamnya. Namun dalam ilmu ini,
pembahasan utama adalah tentang Allah; sehingga ilmu ini disebut teologi,
karena membahas tentang Allah. Oleh karena itu Allah adalah obyek dari ilmu
ini.
Aku menjawab bahwa, Allah adalah obyek dari
ilmu ini. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan objeknya adalah sama dengan
hubungan antara suatu tindakan atau keadaan dengan objeknya. Sekarang dengan
tepat dikatakan bahwa objek dari suatu tindakan atau keadaan adalah sesuatu yang
berada di bawah aspek yang berhubungan dengan tindakan atau keadaan tersebut,
seperti manusia dan batu yang berhubungan dengan tindakan memandang sesuatu
yang berwarna. Oleh karena itu sesuatu yang berwarna adalah objek yang tepat
dari penglihatan. Tapi dalam Ilmu Suci, semua hal dibahas di bawah aspek
mengenai Allah : entah tentang Allah sendiri atau tentang hal-hal yang
berhubungan dengan Allah sebagai awal dan akhirnya. Oleh karena itu Allah
adalah pokok dari objek ilmu ini. Ini jelas juga dari prinsip-prinsip ilmu ini,
yaitu, artikel-artikel iman, karena iman adalah tentang Allah. Objek prinsip
dan keseluruhan ilmu harus sama, karena sebagian besar ilmu tersebut terkandung
dalam prinsip-prinsipnya. Namun, beberapa orang yang melihat pada apa yang dibahas
dalam ilmu ini, bukannya pada aspek yang membahasnya, bersikeras bahwa objek
dari ilmu ini adalah hal lain selain Allah---yaitu, entah tentang hal-hal atau
tanda-tanda, atau tentang karya-karya keselamatan; atau tentang keseluruhan
Kristus, sebagai kepala dan anggota. Tentang semuanya itu, sungguh, kita memang
membahasnya dalam ilmu ini, tetapi sejauh hal-hal tersebut ada hubungannya
dengan pembahasan tentang Allah.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Walaupun kita tidak tahu
seperti apa esensi Allah itu, namun dalam ilmu ini kita menggunakan efek-efek
yang keluar dari-Nya, entah tentang alam atau tentang rahmat, dalam definisi
yang berhubungan dengan apa yang dibahas dalam ilmu ini mengenai Allah; bahkan
seperti dalam beberapa ilmu filsafat kita membahas suatu sebab dari efek yang
dihasilkannya, dengan meletakkan efeknya ke dalam definisi suatu sebab.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kesimpulan apapun yang
dicapai dalam ilmu suci ini adalah difahami di bawah pemahaman tentang Allah,
bukan sebagai bagian atau spesies atau aksiden [cat. Penerj. : tentang aksiden ini akan dibahas secara
terpisah] yang tersendiri, tetapi dalam suatu pemahaman yang
berhubungan dengan Allah.
Artikel 8 : Apakah Doktrin
Suci adalah Tentang Argumen?
Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin ini
bukan tentang argument karena Ambrosius mengatakan (De Fide 1):
"Kesampingkan argument saat iman dicari" Tetapi dalam Doktrin ini,
imanlah yang terutama dicari: "Tetapi hal-hal ini dicatat supaya kamu
percaya" (Yohanes 20: 31). Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah tentang
argumen.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, jika ini
adalah tentang argumen, argumen tersebut berasal dari suatu otoritas atau dari
nalar. Jika berasal dari otoritas, tampaknya tidak sesuai dengan martabat
Doktrin ini, karena menggunakan suatu otoritas sebagai alasan adalah bentuk
pembuktian yang paling lemah. Tapi jika berasal dari nalar, ini bertentangan
dengan tujuan akhirnya, karena, menurut Gregory (Hom. 26), "iman tidak
memiliki pengaruh dalam hal-hal yang dapat dipahami oleh akal manusia."
Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah tentang argumen.
Sebaliknya, Kitab Suci mengatakan
bahwa seorang Uskup harus " berpegang kepada perkataan yang benar, yang
sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan
ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya" (Titus 1: 9).
Aku menjawab bahwa, Seperti ilmu-ilmu lainnya
yang tidak berargumen tentang bukti-bukti dalam prinsip-prinsipnya, melainkan
berargumen melalui prinsip-prinsip tersebut untuk menunjukkan
kebenaran-kebenaran lainnya dalam ilmu-ilmu tersebut, maka doktrin ini tidak
berargumen mengenai prinsip-prinsipnya, yaitu artikel-artikel iman, tetapi dari
prinsip-prinsip tersebut Doktrin ini beranjak untuk membuktikan sesuatu yang
lain; seperti para Rasul beranjak dari kebangkitan Kristus untuk berargumen
tentang kebangkitan umum (1 Korintus 15). Namun, harus diingat bahwa, dalam
hubungannya dengan ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu yang lebih rendah tidak
membuktikan prinsip-prinsip mereka ataupun berdebat dengan mereka yang menolak
prinsip-prinsip tersebut, melainkan meninggalkan hal-hal tersebut untuk ilmu
pengetahuan yang lebih tinggi. Sedangkan yang tertinggi dari ilmu-ilmu itu,
yaitu metafisika, dapat berdebat dengan pihak yang menyangkal
prinsip-prinsipnya, hanya jika pihak tersebut memiliki beberapa pemahaman
terhadapnya; tetapi jika ia memahami apapun, ilmu tersebut tidak dapat berdebat
dengannya, meskipun keberatan-keberatannya dapat dijawab. Oleh karena itu Kitab
Suci, karena tidak ada ilmu apapun di atasnya, dapat berdebat dengan pihak yang
menyangkal prinsip-prinsip, hanya jika pihak tersebut memahami sedikitnya
beberapa kebenaran yang diwahyukan secara ilahi; dengan demikian kita dapat
berdebat dengan para bidat dari teks-teks dalam Kitab Suci, dan terhadap mereka
yang menolak satu artikel iman, kita bisa berdebat dari artikel yang lain. Jika
pihak tersebut tidak mempercayai apapun tentang wahyu ilahi, tidak ada cara
lain untuk membuktikan artikel-artikel keimanan lewat penalaran, tetapi hanya
menjawab keberatannya---jika ada---terhadap keimanan. Karena iman didasarkan
pada kebenaran yang sempurna, dan karena kebalikan dari suatu kebenaran tidak
pernah dapat didemonstrasikan, jelas bahwa argumen yang diajukan untuk
menentang iman tidak dapat didemonstrasikan, tetapi lebih merupakan
kesulitan-kesulitan yang dapat dijawab.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun argument-argumen
dari nalar manusia tidak dapat membantu untuk membuktikan apa yang harus
diterima melalui iman, namun demikian, Doktrin ini berargumen dari artikel iman
untuk kebenaran-kebenaran lain.
Tanggapan terhadap Keberatan 2: Doktrin ini terutama
didasarkan pada argumen dari otoritas, sejauh prinsip-prinsip tersebut
diperoleh melalui pewahyuan. Jadi kita harus percaya pada otoritas yang
kepadanya telah diberikan wahyu. Hal tersebut tidak mengurangi martabat dari
Doktrin ini, meskipun argumen berdasarkan otoritas manusia adalah hal yang
paling lemah, namun argumen dari otoritas yang didasarkan pada wahyu ilahi
adalah yang terkuat. Tetapi, sebenarnya, Doktrin Suci memanfaatkan nalar
manusia tidak untuk membuktikan iman (sehingga dengan demikian hal beriman
adalah yang akan diperhitungkan di akhir), tetapi untuk membuat jelas hal-hal
lain yang diajukan dalam Doktrin ini. Karena itu rahmat tidak merusak alam
tetapi menyempurnakannya, nalar alami harus melayani iman sebagai kecenderungan
alami seperti kehendak yang melayani kasih. Maka para Rasul mengatakan: "
Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus" (2 Korintus
10: 5). Oleh karena itu Doktrin Suci memanfaatkan juga otoritas para filsuf
dalam pertanyaan-pertanyaan di mana mereka mampu mengetahui kebenaran melalui
nalar alami, sebagaimana Paulus mengutip perkataan Aratus: " seperti yang
telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan
Allah juga" (Kis. 17: 28). Namun demikian, Doktrin Suci memanfaatkan
otoritas ini sebagai argumen yang bersifat ekstrinsik dan masuk akal; tetapi
dengan tepat menggunakan otoritas Kitab kanonik sebagai bukti yang tak
terbantahkan, dan otoritas para Doktor Gereja sebagai salah satu hal yang dapat
digunakan namun hanya jika hal tersebut dimungkinkan. Karena iman kita
didasarkan pada wahyu yang diberikan pada para rasul dan nabi-nabi yang menulis
buku-buku yang kanonik, dan bukan pada wahyu (jika ada yang seperti itu) yang
diberikan pada para Doktor tersebut. Maka Agustinus mengatakan (Epis. ad.
Hieron. xix, 1): "hanya buku-buku dari Kitab Suci yang disebut kanonik
yang telah saya pelajari dengan penghormatan dalam kepercayaan bahwa para
penulis tersebut tidak keliru dalam cara apapun saat menulis mereka. Tetapi
terhadap penulis lain saya membaca tulisan mereka tidak dalam pertimbangan
bahwa segala yang mereka tulis dalam karya-karya mereka adalah benar, hanya
dalam pertimbangan bahwa apapun yang telah mereka pikir dan tuliskan dapat
merupakan bagian dari kekudusan dan pembelajaran mereka. "
Artikel 9 :
Apakah Tepat jika Kitab Suci Menggunakan Metafora?
Keberatan 1 : Tampaknya Kitab Suci
tidak boleh menggunakan metafora karena apa yang tepat untuk ilmu terendah
tampaknya tidak cocok untuk ilmu ini, yang memegang tempat tertinggi dari semua
ilmu. Tetapi bertindak dengan menggunakan bantuan dari metafora dan
penggambaran adalah tepat bagi puisi, yang menduduki tempat paling akhir dalam
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat tidak tepat jika Doktrin Suci menggunakan
metafora tersebut.
Keberatan 2 : Lebih jauh lagi, Doktrin
ini tampaknya dimaksudkan untuk membuat kebenaran menjadi lebih jelas. Maka
upah diberikan pada siapa yang berpegang padanya : "Mereka yang
menjelaskan tentang aku akan memiliki hidup yang kekal" (Sir. 24: 31).
Tetapi dengan menggunakan metafora, kebenaran menjadi dikaburkan. Oleh karena
itu, untuk membahas kebenaran ilahi melalui perbandingan dengan makhluk-makhluk
ragawi tidak tepat bagi ilmu ini.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, semakin
tinggi suatu makhluk, semakin serupa mereka dengan keilahian. Karena itu, Jika
suatu makhluk digunakan untuk merepresentasikan Allah, representasi ini harus
terutama diambil dari makhluk-makhluk yang lebih tinggi, dan bukan dari yang
rendah, namun hal ini justru sering ditemukan dalam Kitab Suci.
Sebaliknya, Ada tertulis (Hos 12:
10): " Aku berbicara kepada para nabi dan banyak kali memberi penglihatan
dan memberi perumpamaan dengan perantaraan para nabi" Tetapi menerangkan
sesuatu dengan menggunakan perumpamaan adalah menggunakan metafora. Oleh karena
itu Ilmu suci ini dapat menggunakan metafora.
Aku menjawab bahwa, Adalah tepat bagi Kitab
Suci untuk menyampaikan kebenaran ilahi dan spiritual melalui perbandingan
dengan hal-hal ragawi, karena Allah menyediakan bagi segala sesuatu sesuai
dengan sifat alaminya. Sekarang adalah alami bagi manusia untuk mencapai
kebenaran intelektual melalui benda yang dapat diindera, karena semua
pengetahuan kita berasal dari indera. Oleh karena itu dalam Kitab Suci,
kebenaran-kebenaran rohani tepat jika diajarkan menggunakan perbangingan dengan
hal-hal ragawi. Inilah yang dikatakan Dionysius (Coel. Hier. i): "Kami
tidak dapat dicerahkan oleh cahaya ilahi kecuali cahaya tersebut tersembunyi
dalam selubung suci". Adalah tepat juga bagi Kitab Suci, yang disampaikan
untuk semua tanpa perbedaan orang---" Aku berhutang… baik kepada orang
terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar" (Rm. 1: 14)---bahwa
kebenaran-kebenaran rohani diuraikan dengan gambaran-gambaran yang diambil dari
hal-hal ragawi, agar dengan demikian mereka yang paling sederhana sekalipun,
yang tidak mampu memahami hal-hal intelektual tanpa bantuan, akan mampu
memahaminya.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Puisi menggunakan
metafora untuk menghasilkan representasi, karena merupakan sesuatu yang alami
bagi manusia untuk dipuaskan dengan representasi. Tetapi Doktrin Suci
menggunakan metafora sebagai sesuatu yang perlu sekaligus bermanfaat.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Cahaya wahyu ilahi tidak
dipadamkan oleh penggambaran indrawi yang menyelubunginya, sebagaimana
dikatakan Dionysius (Coel. Hier. i); dan kebenarannya tetap utuh karena cahaya
tersebut tidak membiarkan pikiran orang-orang yang diberi pewahyuan untuk tetap
tinggal dalam metafora-metafora tersebut, tetapi meningkatkannya menuju pada
pengetahuan tentang kebenaran; dan melalui orang-orang yang diberi pewahyuan
itu maka orang lain juga memperoleh petunjuk-petunjuk tentang wahyu tersebut.
Oleh karena itu hal-hal yang diajarkan dengan menggunakan kiasan di salah satu
bagian Kitab Suci, diajarkan secara terbuka di bagian lain. Kebenaran yang
tersembunyi dalam gambaran-gambaran tersebut berguna untuk melatih pikiran
bijaksana dan sebagai pertahanan terhadap ejekan orang tak beriman, menurut
kata-kata "Jangan berikan sesuatu yang kudus pada anjing" (Matius 7:
6).
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana dikatakan
Dionysius (Coel. Hier. i) adalah lebih tepat bagi kebenaran ilahi untuk
diuraikan menggunakan gambaran-gambaran dari sesuatu yang kurang mulia daripada
menggunakan gambaran dari sesuatu yang lebih mulia, dan ini karena tiga alasan.
Pertama, karena dengan demikian pikiran manusia dapat dipagari dari kesalahan.
Maka sangat jelas bahwa hal-hal yang ada dalam Kitab Suci bukanlah deskripsi
harafiah tentang kebenaran ilahi, yang dapat menjadi suatu keragu-raguan jika
diekspresikan menggunakan gambaran tentang sesuatu yang lebih mulia, terutama
bagi mereka yang tidak bisa memikirkan sesuatu yang lebih mulia daripada
hal-hal ragawi. Kedua, karena ini adalah lebih tepat bagi pengetahuan tentang
Allah yang kita miliki dalam hidup ini, karena seperti apa Allah itu sungguh
tidak jelas bagi kita. Oleh karena itu perbandingan yang diambil dari hal-hal
yang terjauh dari Allah membentuk dalam diri kita suatu perkiraan yang lebih
benar bahwa Allah berada di atas apapun yang dapat kita katakan atau pikirkan.
Ketiga, karena dengan demikian kebenaran ilahi dapat tersembunyi dari mereka
yang tidak layak.
Artikel 10 : Apakah dalam
Kitab Suci Satu Kata mungkin Memiliki Beberapa Makna?
Keberatan 1 : Tampaknya bahwa dalam
Kitab Suci satu kata tidak dapat memiliki sekaligus makna sejarah atau harfiah,
alegoris, tropologis atau moral, dan anagogis, karena banyaknya makna yang
berbeda dalam satu teks akan menghasilkan kebingungan dan penipuan dan
menghancurkan semua kekuatan argumen. Oleh karena itu tidak ada argumen, tetapi
hanya kesalahan, yang dapat dirumuskan dari suatu proposisi ganda. Tetapi Kitab
Suci harus mampu menyatakan kebenaran tanpa kesalahan apapun. Oleh karena itu
di dalamnya tidak bias terdapat beberapa makna dalam satu kata.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Agustinus
mengatakan (De util. cred. iii) bahwa "Perjanjian Lama memiliki empat
pembagian sebagai sejarah, etiologi, analogi dan alegori." Sekarang keempat
hal tersebut tampak sama sekali berbeda dari empat divisi yang disebutkan dalam
keberatan pertama. Oleh karena itu tampaknya tidak tepat untuk menjelaskan satu
perkataan dari Kitab Suci dengan menggunakan keempat pemahaman yang disebutkan
di atas.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, selain
makna-makna tersebut, ada makna parabolis, yang bukan merupakan salah satu dari
empat makna tersebut.
Sebaliknya, Gregorius mengatakan
(Moral. xx, 1): "Kitab Suci, dalam caranya berbicara, melampaui setiap
ilmu pengetahuan, karena dalam kalimat yang satu dan sama, saat di satu pihak
ia menyatakan suatu fakta, di lain pihak ia mengungkapkan suatu
misteri."
Saya menjawab bahwa, Penulis Kitab Suci adalah
Allah, yang dengan kuasa-Nya memberitahukan maksud-Nya, tidak hanya melalui
kata-kata (seperti yang juga dilakukan manusia), tetapi juga melalui hal-hal
itu sendiri. Jadi, sebagaimana dalam setiap ilmu lain, hal-hal diartikan
melalui kata-kata, ilmu ini juga memiliki alat, yaitu bahwa hal-hal yang
diartikan oleh kata-kata juga memilki makna. Oleh karena itu tanda pertama yang
diberikan oleh kata-kata tersebut adalah makna pertama yaitu historis atau
harafiah. Makna dimana hal-hal yang ditandakan oleh kata-kata juga memiliki
artinya sendiri, disebut sebagai makna rohani, yang didasarkan pada makna
harafiah, dan diisyaratkan dari makna harafiah tersebut. Sekarang makna rohani
ini memiliki tiga bagian. Sebagaimana yang dikatakan sang Rasul (Ibrani 10: 1)
Hukum Lama adalah gambaran dari Hukum Baru, dan Dionysius mengatakan (Coel. Hier.
i) "Hukum Baru itu sendiri adalah gambaran kemuliaan masa depan."
Sekali lagi, dalam Hukum Baru, apa pun yang telah dilakukan oleh Kepala kita
adalah gambaran apa yang seharusnya kita lakukan. Oleh karena itu, sejauh Hukum
Lama menandakan sesuatu dari Hukum Baru, maka di dalamnya terkandung makna
alegoris, dan selama hal-hal tersebut dilakukan dalam KRistus, atau selama
hal-hal tersebut menandakan Kristus, mereka adalah gambaran tentang apa yang
seharusnya kita lakukan, dan di dalamnya terdapat makna moral. Tapi sejauh
mereka mengartikan sesuatu yang berkaitan dengan kemuliaan kekal, maka terdapat
makna anagogis. Karena makna harafiah adalah makna yang dimaksudkan oleh
penulis, dank arena penulis Kitab Suci adalah Allah, yang melalui satu tindakan
telah memahami segala sesuatu dalam pengetahuan-Nya, maka bukannya tidak tepat,
seperti dikatakan Agustinus (Confess. xii), jika dalam arti harafiahnya
sekalipun, suatu kata dalam Kitab Suci dapat memiliki beberapa makna.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Banyaknya makna tersebut
tidak menghasilkan pengelakan atau jenis lainnya, dengan memahami bahwa
makna-makna tersebut bukannya diartikan lain karena satu kata memiliki beberapa
arti, tetapi karena hal-hal yang ditandakan oleh kata-kata dapat dalam dirinya
sendiri merupakan gambaran dari hal-hal lainnya. Dengan demikian dalam Kitab
Suci tidak ada kebingungan, karena semua makna didasarkan pada satu
makna---yaitu makna harfiah---yang hanya darinya suatu argumen dapat ditarik,
dan bukan dari makna alegorinya, seperti dikatakan Agustinus (Epis. 48). Namun
demikian, tidak ada satupun dalam Kitab Suci yang hilang karena memiliki
beberapa makna, karena tidak ada hal yang perlu bagi iman yang terkandung dalam
arti rohani, yang tidak ditempatkan dalam makna harafiahnya dalam Kitab Suci.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Tiga hal ini---sejarah,
etiologi, analogi---dikelompokkan dalam makna harfiah. Karena disebut sebagai
sejarah, seperti diuraikan Agustinus (Epis. 48), setiap kali sesuatu
dihubungkan secara langsung; disebut etiologi ketika penyebabnya ditetapkan,
sebagaimana ketika Tuhan kita memberi pemahaman mengapa Musa memperbolehkan
seorang istri dijauhkan ---yaitu, karena kekerasan hati manusia; Disebut
analogi jika kebenaran satu teks dalam Kitab Suci ditampilkan secara tidak
bertentangan dengan kebenaran lain. Dari keempatnya, hanya alegori yang berdiri
untuk tiga makna rohani. Dengan demikian Hugh St Victor (Sacram. iv, 4 Prolog.)
memasukkan makna anagogis sebagai bagian dari makna alegoris, dan memberikan
tiga makna saja ---sejarah, alegoris dan tropologis.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Makna parabolis
terkandung dalam makna harfiah, karena oleh kata-kata, hal-hal ditandakan
dengan tepat dan secara kiasan. Bukan tentang gambarannya itu sendiri, tapi
tentang makna yang dikiaskan dalam makna harfiah. Ketika Alkitab berbicara
tentang lengan Allah, arti harfiahnya bukanlah bahwa Allah memiliki anggota
tubuh seperti itu, tapi hanya apa yang dikiaskan oleh anggota tubuh ini, yaitu
kuasa operatif. Karena itu jelas bahwa tidak ada yang dapat keliru dalam
pemahaman harafiah tentang Kitab Suci.
[1] Ilmu spekulatif adalah
ilmu yang kontemplatif, sebagaimana dijelaskan oleh Reginald
Garrigou-Lagrange, O. P, dalam “A Commentary on the First Part of St Thomas'
Theological Summa”, http://www.thesumma.info/one/one17.php
No comments:
Post a Comment