Monday, 10 September 2018


BAGIAN SATU (PERTANYAAN 1 – 119)



RISALAH TENTANG DOKTRIN SUCI (PERTANYAAN 1)

 

Pertanyaan 1 :  Sifat dan Lingkup dari Doktrin Suci (sepuluh artikel)


Untuk menempatkan tujuan kami dalam batas-batas yang tepat, kami pertama kali berusaha untuk menyelidiki sifat dan lingkup doktrin suci ini. Mengenai ini ada sepuluh poin penyelidikan:


1.            Apakah Doktrin Suci diperlukan?    
2.            Apakah Doktrin Suci adalah suatu ilmu?
3.            Apakah Doktrin Suci ada satu atau banyak?    
4.            Apakah Doktrin Suci spekulatif atau praktis?    
5.            Bagaimana Doktrin Suci dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya?
6.            Apakah Doktrin Suci sama dengan kebijaksanaan?    
7.            Apakah pokok bahasan Doktrin Suci adalah Allah?
8.            Apakah Doktrin Suci adalah tentang argumen?    
9.            Apakah Doktrin Suci dengan benar menggunakan metafora dan kiasan?
10.         Apakah Kitab Suci dari Doktrin ini dapat diuraikan dalam berbagai makna yang berbeda?


Artikel 1 : Apakah, selain filsafat,

diperlukan doktrin lebih lanjut?


Keberatan 1 : Tampaknya bahwa selain ilmu filosofis, kita tidak membutuhkan pengetahuan lebih lanjut karena manusia sebaiknya tidak berusaha untuk mengetahui apa yang melebihi akalnya : "Janganlah menyelidiki hal-hal yang terlalu tinggi untukmu" (Sir 3:22). Tapi segala sesuatu yang tidak melampaui akal telah dibahas sepenuhnya dalam ilmu filosofis. Oleh karena itu pengetahuan lain selain ilmu filosofis adalah berlebihan.

Keberatan 2: Lebih lanjut, pengetahuan hanya dapat berhubungkan dengan keberadaan, karena tak ada yang diketahui, kecuali sesuatu itu nyata; dan segala yang ada, adalah nyata. Tetapi segala sesuatu yang ada, telah dibahas dalam ilmu filosofis ---bahkan Allah sendiri; sehingga ada bagian dari ilmu filosofis yang disebut teologi, atau Sains Ilahi, sebagaimana dibuktikan Aristoteles (Metaph. vi). Oleh karena itu, selain ilmu filosofis, ada tidak perlu ada pengetahuan lebih lanjut.

Sebaliknya, Ada ditulis (2 Timotius 3: 16): "Seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan menguntungkan untuk mengajar, untuk menegur, untuk memperbaiki, untuk mengarahkan kepada keadilan." Sekarang Kitab Suci, diilhami oleh Allah, bukanlah bagian dari ilmu filosofis, yang dibangun oleh akal manusia. Oleh karena itu sangat berguna bahwa selain ilmu filosofis, ada pengetahuan lainnya, yaitu yang diilhami oleh Allah.

Saya menjawab bahwa, Adalah perlu untuk keselamatan manusia bahwa harus ada pengetahuan yang diungkapkan oleh Allah selain ilmu filosofis yang dibangun oleh akal manusia. Pertama, tentu saja, karena manusia diarahkan kepada Allah, sebagai akhir yang melampaui pemahaman akalnya: "dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia" (Yes 64:4)). Tapi pertama-tama, akhir harus diketahui oleh orang-orang yang akan mengarahkan pikiran dan tindakan menuju kepada akhir. Maka itu perlu bagi keselamatan manusia bahwa kebenaran tertentu yang melebihi akal manusia harus diberitahukan kepadanya oleh wahyu ilahi. Bahkan berkaitan dengan kebenaran tentang Allah yang dapat diketahui oleh akal manusia, tetap diperlukan bahwa orang harus diajarkan oleh wahyu ilahi; karena kebenaran tentang Allah yang dapat diketahui oleh akal manusia seperti itu, hanya akan dikenal oleh sedikit orang saja, setelah waktu yang lama, dan dengan campuran banyak kekeliruan. Sedangkan seluruh keselamatan manusia, yang adalah dalam Allah, tergantung pada pengetahuan tentang kebenaran ini. Oleh karena itu, supaya keselamatan manusia dapat disampaikan dengan lebih baik dan lebih pasti, adalah perlu bahwa manusia harus diajarkan kebenaran ilahi oleh wahyu ilahi. Oleh karena itu perlu bahwa selain ilmu filosofis yang dibangun melalui akal manusia, harus ada ilmu suci yang dipelajari melalui pewahyuan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun hal-hal yang berada di luar pengetahuan manusia tidak boleh dicari oleh manusia melalui nalarnya sendiri, namun, setelah hal-hal tersebut dinyatakan oleh Allah, mereka harus diterima melalui iman. Maka teks Suci melanjutkan, "karena hal-hal yang banyak hal ditunjukkan kepadamu di atas pemahaman manusia" (Sir. 3: 25). Dan di sinilah letak ilmu suci.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Ilmu pengetahuan dibedakan menurut berbagai sarana yang melaluinya pengetahuan dapat diperoleh. Astronom dan fisikawan keduanya dapat membuktikan kesimpulan yang sama: bumi, misalnya, adalah bulat: astronom melakukannya melalui matematika (yaitu melakukan abstraksi dari benda), tapi fisikawan melakukannya melalui benda itu sendiri. Oleh karena itu tidak ada alasan mengapa hal-hal yang dapat dipelajari dari ilmu filsafat, sejauh mereka bisa diketahui dengan nalar alami, tidak boleh diajarkan pula melalui ilmu lain sejauh mereka berada dalam pewahyuan. Maka teologi yang termasuk dalam Doktrin Suci berbeda jenisnya dari teologi yang merupakan bagian dari ilmu filsafat.


Artikel 2 :  Apakah Doktrin Suci adalah Ilmu?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci bukanlah ilmu. Karena setiap ilmu berproses dari prinsip-prinsip yang terbukti. Tetapi Doktrin Suci adalah hasil dari artikel iman yang tidak terbukti, karena kebenarannya tidak diterima oleh semua orang: " sebab bukan semua orang beroleh iman" (2 Tes. 3: 2). Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah ilmu.

Keberatan 2: Lebih lanjut, ilmu tidak berkaitan dengan fakta-fakta individu. Tetapi ilmu suci ini membicarakan fakta individu, seperti perbuatan Abraham, Ishak dan Yakub dan lainnya yang serupa. Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah ilmu.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Trin. xiv, 1) "hanya pada ilmu inilah iman yang menyelamatkan dilahirkan, dipelihara, dilindungi dan diperkuat." Tapi hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh ilmu manapun kecuali Doktrin Suci. Oleh karena itu Doktrin Suci adalah ilmu.

Aku menjawab bahwa, Doktrin Suci adalah ilmu. Kita harus mengingat bahwa ada dua jenis ilmu. Ada yang lahir dari sebuah prinsip yang dikenal dalam terang alami dari akal, seperti aritmetika, geometri, dan sejenisnya. Ada beberapa yang lahir dari prinsip-prinsip yang telah diketahui oleh ilmu yang lebih tinggi: Jadi ilmu perspektif lahir dari prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh geometri, dan musik dari prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh aritmetika. Maka Doktrin Suci adalah ilmu karena berasal dari prinsip-prinsip ditetapkan melalui terang ilmu yang lebih tinggi, yaitu, ilmu Allah dan para kudus-Nya. Oleh karena itu, sama seperti musisi menerima otoritas prinsip-prinsip yang diajarkan kepadanya oleh matematikawan, maka Ilmu Suci didirikan di atas prinsip-prinsip yang diungkapkan oleh Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Prinsip-prinsip ilmu adalah entah terbukti dalam diri mereka sendiri, atau dirunut dari ilmu yang lebih tinggi; dan hal seperti ini [yaitu dirunut dari ilmu yang lebih tinggi – penerjemah], seperti yang telah kita katakan, adalah asas-asas dari Doktrin Suci. 

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Fakta-fakta individu dibicarakan dalam Doktrin Suci, bukan terutama karena Doktrin Suci bersangkutan dengan fakta-fakta tersebut, tapi mereka diperkenalkan lebih sebagai contoh untuk diikuti dalam kehidupan kita (seperti dalam ilmu moral) dan untuk menegaskan otoritas orang-orang tersebut yang melalui mereka wahyu ilahi, yang mana merupakan dasar dari Kitab Suci atau doktrin ini, telah diturunkan kepada kita.


Artikel 3 : Apakah Doktrin Suci Terdiri dari Satu Ilmu?

 

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci tidak hanya terdiri dari satu ilmu; karena menurut sang Filsuf (Poster. i) " satu ilmu membahas hanya satu kelas subjek." Tapi pencipta dan ciptaan, yang keduanya dibicarakan dalam Doktrin Suci, tidak dapat dikelompokkan bersama di bawah satu kelas subjek. Oleh karena itu Doktrin Suci tidak hanya terdiri dari  satu ilmu. 

Keberatan 2 : Lebih jauh lagi, dalam Doktrin Suci kita membicarakan tentang para malaikat, makhluk jasmani dan moralitas manusia. Tapi hal-hal ini ini adalah milik ilmu-ilmu filsafat yang terpisah. Oleh karena itu Doktrin Suci tidak mungkin hanya satu ilmu. 

Sebaliknya, Kitab Suci berbicara tentangnya sebagai satu ilmu: "Kebijaksanaan memberinya pengetahuan [scientiam] tentang hal-hal kudus" (Keb. Salomo 10: 10).

Saya menjawab bahwa, Doktrin Suci adalah ilmu yang satu. Suatu kesatuan sifat diukur melalui objeknya. Bukan dalam aspek materialnya, melainkan berhubungan dengan aspek formalnya yang membawahi obyek tersebut. Sebagai contoh, manusia, keledai, batu berada dalam satu aspek formal yaitu memiliki warna; dan warna adalah objek formal dari pandangan. Maka, karena hala-hal yang dibicarakan dalam Kitab Suci berada di bawah satu aspek formal yaitu tentang sesuatu yang diwahyukan oleh Allah. Maka apa pun yang telah diwahyukan secara ilahi memiliki aspek formal sebagai objek dari ilmu ini, sehingga digolongkan dalam satu kesatuan ilmu di bawah Doktrin Suci. 

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Doktrin Suci tidak membahas Allah dan makhluk dalam cara yang sama, tetapi lebih mengutamakan Allah, dan makhluk hanya dibahas sejauh mereka dihubungkan dengan Allah sebagai awal atau akhir mereka. Karena itu  kesatuan ilmu ini tidak terkoyak.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Tidak ada yang menghalangi sifat-sifat yang lebih rendah untuk dikelompokkan oleh sifat-sifat yang lebih tinggi; karena sifat-sifat yang lebih tinggi memandang objek-objek tersebut dalam aspek formal yang lebih universal, sebagaimana objek dari "akal sehat" adalah apa pun yang menggerakkan akal, termasuk apa pun yang dapat dilihat atau didengar. Oleh karena itu "akal sehat", meskipun merupakan satu sifat kemampuan, menjangkau ke semua objek panca indera. Demikian pula, benda-benda yang adalah subjek dari beberapa ilmu filsafat yang berbeda, dapat bahas oleh Ilmu Suci yang tunggal ini di bawah satu aspek sejauh mereka dapat dimasukkan sebagai suatu wahyu. Sehingga dalam cara ini, Doktrin Suci adalah merupakan, seolah-olah, stempel dari Sains Ilahi yang satu dan sederhana, namun meluas ke segala sesuatu.


Artikel 4 :  Apakah Doktrin Suci adalah Ilmu Praktis?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci adalah ilmu praktis; karena ilmu praktis adalah ilmu yang tujuan akhirnya adalah tindakan, menurut sang Filsuf (Metaph. ii). Tetapi Doktrin Suci ditujukan terhadap tindakan: " Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja" (Yak 1: 22). Oleh karena itu Doktrin Suci adalah ilmu praktis.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Doktrin Suci dibagi menjadi Hukum Lama dan Baru. Tapi hukum mengandung suatu ilmu moral yang merupakan ilmu praktis. Oleh karena itu Doktrin Suci adalah ilmu praktis.

Sebaliknya, Setiap ilmu praktis berhubungan dengan tindakan manusia; contohnya seperti ilmu moral yang bersangkutan dengan tindakan manusia, dan arsitektur dengan bangunan. Tetapi Doktrin Suci adalah terutama tentang Allah dengan hasil karya tangan-Nya yang adalah manusia. Oleh karena itu ilmu ini tidaklah bersifat praktis tetapi merupakan ilmu spekulatif[1].

Aku menjawab bahwa, Satu Doktrin Suci dapat meluas ke wilayah-wilayah yang menjadi milik ilmu-ilmu filsafat yang berbeda karena Doktrin Suci mempertimbangkan bahwa dalam setiap ilmu tersebut terkandung aspek formal yang sama, yaitu, mereka dapat dikenal melalui wahyu ilahi. Oleh karena itu, meskipun di antara ilmu-ilmu filsafat terdapat beberapa yang bersifat spekulatif dan yang lain bersifat praktis, namun Doktrin Suci mencakup keduanya; sebagaimana Allah, melalui ilmu-Nya yang satu dan sama, tahu tentang diri-Nya dan karya-karya-Nya. Namun, Doktrin ini lebih bersifat spekulatif daripada praktis karena Doktrin ini lebih menaruh perhatian pada hal-hal ilahi daripada terhadap tindakan manusia. Namun, Doktrin ini tetap membahas tindakan-tindakan manusia tersebut karena manusia diarahkan oleh tindakan-tindakannya tersebut menuju pada pengetahuan sempurna tentang Allah yang di dalamnya terkandung kebahagiaan abadi. Ini adalah jawaban yang cukup untuk keberatan-keberatan yang ada.


Artikel 5: Apakah Doktrin Suci lebih Mulia dari Ilmu-ilmu Lainnya?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin Suci tidak lebih mulia dari ilmu-ilmu lainnya; karena sifat mulia dari suatu ilmu tergantung pada kepastian yang dibentuknya. Tetapi ilmu-ilmu lainnya, yang prinsip-prinsipnya tidak teragukan, tampaknya lebih pasti daripada Doktrin Suci yang prinsip-prinsipnya ---yaitu, artikel iman---dapat diragukan. Oleh karena itu ilmu-ilmu lain tampaknya lebih mulia dari ilmu ini.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah tanda dari suatu ilmu yang lebih rendah untuk bergantung pada ilmu yang lebih tinggi; sebagaimana musik bergantung pada aritmetika. Tetapi Doktrin Suci dalam pemahamannya bergantung pada ilmu filsafat, seperti yang diamati oleh Jerome dalam suratnya kepada Magnus,yaitu bahwa "para Doktor Gereja begitu memperkaya buku-buku mereka dengan ide-ide dan frase-frase para filsuf, sehingga engkau tidak tahu lagi mana yang harus dikagumi dari mereka, pengetahuan profane mereka atau pembelajaran kitab suci mereka." Oleh karena itu Doktrin Suci lebih rendah daripada ilmu-ilmu lainnya.

Sebaliknya,Iilmu-ilmu lainnya disebut pelayan dari satu ini: "Kebijaksanaan mengirim pelayannya untuk berseru-seru dari menara" (Amsal 9: 3).

Aku menjawab bahwa, Karena ilmu ini sebagian bersifat spekulatif [atau kontemplatif] dan sebagian praktis, ilmu ini melampaui semua ilmu spekulatif dan praktis. Sekarang suatu ilmu spekulatif dikatakan lebih mulia dari lainnya karena adanya kepastiannya yang lebih besar, atau karena adanya nilai yang lebih tinggi dari subjeknya. Dalam kedua hal ini Doktrin Suci ini melebihi ilmu spekulatif lain. Dalam hal kepastian yang besar, Doktrin Suci memperoleh kepastiannya dari terang pengetahuan ilahi, yang tidak dapat keliru, sedangkan dalam ilmu lain, kepastian mereka peroleh dari terang alami akal manusia, yang dapat keliru. Dalam hal nilai subjeknya yang lebih tinggi, Doktrin Suci ini membahas terutama tentang hal-hal yang, karena keagungannya, melampaui akal manusia; sedangkan ilmu-ilmu lainnya hanya membahas hal-hal yang ada dalam genggaman nalar. Sedangkan dalam ilmu pengetahuan praktis, satu ilmu lebih mulia jika dimaksudkan untuk tujuan yang lebih luas, seperti ilmu politik lebih mulia dari ilmu militer; karena kebaikan tentara ditujukan bagi kebaikan negara. Tapi tujuan Doktrin Suci ini, dalam hal kepraktisannya, adalah kebahagiaan kekal, yang merupakan tujuan akhir utama dari segala ilmu praktis. Karena itu jelas bahwa dari setiap sudut pandang, Doktrin Suci lebih mulia dari ilmu-ilmu lainnya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Mungkin terjadi bahwa apa yang dalam dirinya merupakan suatu kepastian, bagi kita akan tampak kurang pasti sehubungan dengan kelemahan akal kita, "yang disilaukan oleh hal yang paling jelas; seperti sang burung hantu silau oleh cahaya matahari"(Metaph. ii, lect. i). Oleh karena itu fakta bahwa dalam artikel iman ada beberapa hal yang tampak kurang pasti bukan karena sifat kebenarannya yang tidak pasti, tetapi karena kelemahan akal manusia; Namun pengetahuan yang kurang jelas sekalipun, yang diperoleh dari hal-hal yang tertinggi, lebih diinginkan daripada pengetauan yang pasti tetapi diperoleh dari hal-hal yang lebih rendah, seperti yang dikatakan dalam de Animalibus xi.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Doktrin Suci ini dalam pengertian tertentu bergantung pada ilmu filsafat, bukan seolah-olah itu dalam keadaan membutuhkan mereka, tetapi hanya untuk membuat ajarannya lebih jelas. Karena Doktrin Suci ini menerima prinsip-prinsipnya tidak dari ilmu-ilmu lainnya, tetapi langsung dari Allah melalui pewahyuan. Oleh karena itu Doktrin Suci tidak tergantung pada ilmu-ilmu lainnya seolah tergantung pada ilmu lain yang lebih tinggi, tetapi memanfaatkan mereka sebagai ilmu yang lebih rendah, dan sebagaimana seorang pelayan: meskipun ilmu-ilmu utama menggunakan ilmu-ilmu lain untuk mendukungnya mereka, seperti politik menggunakan ilmu militer. Dengan demikian penggunaan tersebut bukan karena cacat atau kekurangan dalam dirinya sendiri, tetapi karena cacat akal kita, yang lebih mudah dipimpin oleh apa yang dikenal melalui nalar alami (yang dari nalar tersebut lahir ilmu-ilmu lainnya) menuju pada sesuatu yang melampaui nalar, yang adalah ajaran dari Doktrin Suci ini.


Artikel 6 :  Apakah Doktrin Ini Sama dengan Kebijaksanaan?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa doktrin ini tidak sama dengan kebijaksanaan, karena tidak ada doktrin yang prinsip-prinsipnya bukan dari dirinya sendiri, layak menyandang nama kebijaksanaan; dengan memperhatikan bahwa orang yang bijak mengarahkan, dan tidak mengarahkan (Metaph. i). Tetapi prinsip-prinsip Doktrin ini bukan dari ditinya sendiri. Oleh karena itu Ilmu ini bukanlah kebijaksanaan.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah bagian dari kebijaksanaan untuk membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya. Karena itu kebijaksanaan disebut kepala ilmu, seperti yang jelas dalam Ethic. VI. Tetapi Doktrin ini tidak membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama dengan kebijaksanaan.

Keberatan 3: Lebih jauh lagi, doktrin ini diperoleh melalui studi, sedangkan kebijaksanaan diperoleh dari inspirasi Allah, sehingga kebijaksanaan termasuk di antara karunia dari Roh Kudus (Yes. 11: 2). Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama dengan kebijaksanaan.

Sebaliknya, ada tertulis (Ul 4: 6): "sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa."

Aku menjawab bahwa, Doktrin ini adalah kebijaksanaan di atas semua kebijaksanaan manusia; bukan hanya dalam hal urutan, tapi benar-benar secara mutlak. Karena seperti tugas dari orang bijak untuk mengatur dan untuk menilai, dan karena hal-hal yang lebih rendah harus dinilai dalam terang dari beberapa prinsip yang lebih tinggi, dia dikatakan bijaksana dalam urutan tertentu oleh orang yang menganggapnya tertinggi dalam urutan tersebut: dengan demikian dalam tata bangunan, dia yang merencanakan bentuk rumah disebut bijaksana dan perencana, dalam posisi berlawanan terhadap buruh rendah yang memotong kayu dan menyiapkan batu: " aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar" (1 Korintus 3: 10). Sekali lagi, dalam urutan semua kehidupan manusia, seseorang disebut bijaksana, sejauh ia mengarahkan tindakan kepada akhir yang tepat: "Berlaku cemar adalah kegemaran orang bebal, sebagaimana melakukan hikmat bagi orang yang pandai" (Amsal 10: 23). Oleh karena itu dia yang benar-benar mempertimbangkan penyebab tertinggi seluruh alam semesta, yaitu Allah, sebagian besar disebut bijaksana. Maka kebijaksanaan dikatakan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang ilahi, seperti dikatakan Agustinus (De Trin. xii, 14). Tetapi Doktrin Suci pada dasarnya membahas Allah yang dipandang sebagai penyebab tertinggi---tidak hanya sejauh ia dapat diketahui melalui ciptaan sebagaimana para filsuf mengenal-Nya---" Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka" (Roma 1: 19)---tetapi juga sejauh Ia dikenal oleh Diri-Nya sendiri dan diungkapkan kepada ciptaan. Oleh karena itu Doktrin Suci terutama disebut kebijaksanaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Doktrin Suci memperoleh prinsip-prinsipnya tidak dari pengetahuan manusia, tetapi dari pengetahuan ilahi, yang melaluinya, seperti melalui kebijaksanaan tertinggi, semua pengetahuan kita diurutkan.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Prinsip-prinsip ilmu lainnya entah berada dalam posisi jelas ataukah tidak dapat dibuktikan, atau dibuktikan oleh nalar alami melalui beberapa ilmu lainnya. Tapi pengetahuan yang tepat dari Doktrin ini datang melalui Wahyu dan tidak melalui nalar alami. Oleh karena itu Doktirn ini tidak memiliki kepentingan untuk membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya, tapi hanya untuk menilai mereka. Apa pun yang ditemukan dalam ilmu-ilmu lainnya, yang bertentangan dengan kebenaran apapun dari Doktrin ini harus dikutuk sebagai palsu: " yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah" (bdk. 2 Korintus 10: 4, 5).

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Karena tindakan menilai tergolong dalam kebijaksanaan, dua macam cara menilai menghasilkan dua macam kebijaksanaan. Seorang pria dalam satu cara dapat menilai dengan kecenderungan, sebagaimana siapa saja yang terbiasa bergaul dengan kebajikan, menilai dengan benar menurut kecenderungan kebajikannya itu mengarahkannya kesana. Maka, orang yang salehlah, seperti yang kita baca, yang ditempatkan sebagai ukuran dan aturan terhadap tindakan manusia. Di lain pihak, lewat pengetahuan, seperti seseorang yang telah belajar dalam ilmu moral, mungkin mampu menilai dengan benar tindakan-tindakan yang saleh, meskipun ia tidak memiliki kebajikan. Cara pertama di atas dalam menilai hal-hal yang ilahi, berasal dari kebijaksanaan yang diberikan di antara karunia-karunia dari Roh Kudus: "manusia rohani menilai segala sesuatu" (1 Korintus 2: 15). Dan Dionysius mengatakan (Div. Nom. ii): "Hierotheus diajar bukan hanya melalui usaha belajarnya, tetapi melalui pengalaman terhadap hal-hal ilahi." Cara kedua di atas adalah milik dari Doktrin ini yang diperoleh melalui studi, meskipun prinsip-prinsipnya diperoleh melalui pewahyuan.


Artikel 7:  Apakah Allah adalah Obyek dari Ilmu ini?

Keberatan 1: Tampaknya bahwa Allah bukanlah objek dari ilmu ini. Karena dalam setiap ilmu, sifat dari objeknya adalah suatu asumsi. Tetapi ilmu ini tidak bisa mengasumsikan esensi Allah, seperti yang dikatakan Damaskus (De Fide Orth. I, iv): "Adalah mustahil untuk mendefinisikan esensi Allah." Oleh karena itu Allah bukanlah objek dari ilmu ini.

Keberatan 2: Lebih lanjut, apa pun kesimpulan yang dicapai dalam ilmu pengetahuan harus tentang objek ilmu tersebut. Tapi dalam Kitab Suci kita mencapai kesimpulan bukan hanya tentang Allah, tetapi tentang banyak hal lain, seperti tentang ciptaan dan moralitas manusia. Oleh karena itu Allah bukanlah objek dari ilmu ini.

Sebaliknya, Objek dari suatu ilmu adalah sesuatu yang dibahas secara pokok di dalamnya. Namun dalam ilmu ini, pembahasan utama adalah tentang Allah; sehingga ilmu ini disebut teologi, karena membahas tentang Allah. Oleh karena itu Allah adalah obyek dari ilmu ini.

Aku menjawab bahwa, Allah adalah obyek dari ilmu ini. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan objeknya adalah sama dengan hubungan antara suatu tindakan atau keadaan dengan objeknya. Sekarang dengan tepat dikatakan bahwa objek dari suatu tindakan atau keadaan adalah sesuatu yang berada di bawah aspek yang berhubungan dengan tindakan atau keadaan tersebut, seperti manusia dan batu yang berhubungan dengan tindakan memandang sesuatu yang berwarna. Oleh karena itu sesuatu yang berwarna adalah objek yang tepat dari penglihatan. Tapi dalam Ilmu Suci, semua hal dibahas di bawah aspek mengenai Allah : entah tentang Allah sendiri atau tentang hal-hal yang berhubungan dengan Allah sebagai awal dan akhirnya. Oleh karena itu Allah adalah pokok dari objek ilmu ini. Ini jelas juga dari prinsip-prinsip ilmu ini, yaitu, artikel-artikel iman, karena iman adalah tentang Allah. Objek prinsip dan keseluruhan ilmu harus sama, karena sebagian besar ilmu tersebut terkandung dalam prinsip-prinsipnya. Namun, beberapa orang yang melihat pada apa yang dibahas dalam ilmu ini, bukannya pada aspek yang membahasnya, bersikeras bahwa objek dari ilmu ini adalah hal lain selain Allah---yaitu, entah tentang hal-hal atau tanda-tanda, atau tentang karya-karya keselamatan; atau tentang keseluruhan Kristus, sebagai kepala dan anggota. Tentang semuanya itu, sungguh, kita memang membahasnya dalam ilmu ini, tetapi sejauh hal-hal tersebut ada hubungannya dengan pembahasan tentang Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Walaupun kita tidak tahu seperti apa esensi Allah itu, namun dalam ilmu ini kita menggunakan efek-efek yang keluar dari-Nya, entah tentang alam atau tentang rahmat, dalam definisi yang berhubungan dengan apa yang dibahas dalam ilmu ini mengenai Allah; bahkan seperti dalam beberapa ilmu filsafat kita membahas suatu sebab dari efek yang dihasilkannya, dengan meletakkan efeknya ke dalam definisi suatu sebab.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kesimpulan apapun yang dicapai dalam ilmu suci ini adalah difahami di bawah pemahaman tentang Allah, bukan sebagai bagian atau spesies atau aksiden [cat. Penerj. : tentang aksiden ini akan dibahas secara terpisah] yang tersendiri, tetapi dalam suatu pemahaman yang berhubungan dengan Allah.


Artikel 8 :  Apakah Doktrin Suci adalah Tentang Argumen?

Keberatan 1 : Tampaknya Doktrin ini bukan tentang argument karena Ambrosius mengatakan (De Fide 1): "Kesampingkan argument saat iman dicari" Tetapi dalam Doktrin ini, imanlah yang terutama dicari: "Tetapi hal-hal ini dicatat supaya kamu percaya" (Yohanes 20: 31). Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah tentang argumen.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, jika ini adalah tentang argumen, argumen tersebut berasal dari suatu otoritas atau dari nalar. Jika berasal dari otoritas, tampaknya tidak sesuai dengan martabat Doktrin ini, karena menggunakan suatu otoritas sebagai alasan adalah bentuk pembuktian yang paling lemah. Tapi jika berasal dari nalar, ini bertentangan dengan tujuan akhirnya, karena, menurut Gregory (Hom. 26), "iman tidak memiliki pengaruh dalam hal-hal yang dapat dipahami oleh akal manusia." Oleh karena itu Doktrin Suci bukanlah tentang argumen.

Sebaliknya, Kitab Suci mengatakan bahwa seorang Uskup harus " berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya" (Titus 1: 9).

Aku menjawab bahwa, Seperti ilmu-ilmu lainnya yang tidak berargumen tentang bukti-bukti dalam prinsip-prinsipnya, melainkan berargumen melalui prinsip-prinsip tersebut untuk menunjukkan kebenaran-kebenaran lainnya dalam ilmu-ilmu tersebut, maka doktrin ini tidak berargumen mengenai prinsip-prinsipnya, yaitu artikel-artikel iman, tetapi dari prinsip-prinsip tersebut Doktrin ini beranjak untuk membuktikan sesuatu yang lain; seperti para Rasul beranjak dari kebangkitan Kristus untuk berargumen tentang kebangkitan umum (1 Korintus 15). Namun, harus diingat bahwa, dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu yang lebih rendah tidak membuktikan prinsip-prinsip mereka ataupun berdebat dengan mereka yang menolak prinsip-prinsip tersebut, melainkan meninggalkan hal-hal tersebut untuk ilmu pengetahuan yang lebih tinggi. Sedangkan yang tertinggi dari ilmu-ilmu itu, yaitu metafisika, dapat berdebat dengan pihak yang menyangkal prinsip-prinsipnya, hanya jika pihak tersebut memiliki beberapa pemahaman terhadapnya; tetapi jika ia memahami apapun, ilmu tersebut tidak dapat berdebat dengannya, meskipun keberatan-keberatannya dapat dijawab. Oleh karena itu Kitab Suci, karena tidak ada ilmu apapun di atasnya, dapat berdebat dengan pihak yang menyangkal prinsip-prinsip, hanya jika pihak tersebut memahami sedikitnya beberapa kebenaran yang diwahyukan secara ilahi; dengan demikian kita dapat berdebat dengan para bidat dari teks-teks dalam Kitab Suci, dan terhadap mereka yang menolak satu artikel iman, kita bisa berdebat dari artikel yang lain. Jika pihak tersebut tidak mempercayai apapun tentang wahyu ilahi, tidak ada cara lain untuk membuktikan artikel-artikel keimanan lewat penalaran, tetapi hanya menjawab keberatannya---jika ada---terhadap keimanan. Karena iman didasarkan pada kebenaran yang sempurna, dan karena kebalikan dari suatu kebenaran tidak pernah dapat didemonstrasikan, jelas bahwa argumen yang diajukan untuk menentang iman tidak dapat didemonstrasikan, tetapi lebih merupakan kesulitan-kesulitan yang dapat dijawab.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun argument-argumen dari nalar manusia tidak dapat membantu untuk membuktikan apa yang harus diterima melalui iman, namun demikian, Doktrin ini berargumen dari artikel iman untuk kebenaran-kebenaran lain.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Doktrin ini terutama didasarkan pada argumen dari otoritas, sejauh prinsip-prinsip tersebut diperoleh melalui pewahyuan. Jadi kita harus percaya pada otoritas yang kepadanya telah diberikan wahyu. Hal tersebut tidak mengurangi martabat dari Doktrin ini, meskipun argumen berdasarkan otoritas manusia adalah hal yang paling lemah, namun argumen dari otoritas yang didasarkan pada wahyu ilahi adalah yang terkuat. Tetapi, sebenarnya, Doktrin Suci memanfaatkan nalar manusia tidak untuk membuktikan iman (sehingga dengan demikian hal beriman adalah yang akan diperhitungkan di akhir), tetapi untuk membuat jelas hal-hal lain yang diajukan dalam Doktrin ini. Karena itu rahmat tidak merusak alam tetapi menyempurnakannya, nalar alami harus melayani iman sebagai kecenderungan alami seperti kehendak yang melayani kasih. Maka para Rasul mengatakan: " Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus" (2 Korintus 10: 5). Oleh karena itu Doktrin Suci memanfaatkan juga otoritas para filsuf dalam pertanyaan-pertanyaan di mana mereka mampu mengetahui kebenaran melalui nalar alami, sebagaimana Paulus mengutip perkataan Aratus: " seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga" (Kis. 17: 28). Namun demikian, Doktrin Suci memanfaatkan otoritas ini sebagai argumen yang bersifat ekstrinsik dan masuk akal; tetapi dengan tepat menggunakan otoritas Kitab kanonik sebagai bukti yang tak terbantahkan, dan otoritas para Doktor Gereja sebagai salah satu hal yang dapat digunakan namun hanya jika hal tersebut dimungkinkan. Karena iman kita didasarkan pada wahyu yang diberikan pada para rasul dan nabi-nabi yang menulis buku-buku yang kanonik, dan bukan pada wahyu (jika ada yang seperti itu) yang diberikan pada para Doktor tersebut. Maka Agustinus mengatakan (Epis. ad. Hieron. xix, 1): "hanya buku-buku dari Kitab Suci yang disebut kanonik yang telah saya pelajari dengan penghormatan dalam kepercayaan bahwa para penulis tersebut tidak keliru dalam cara apapun saat menulis mereka. Tetapi terhadap penulis lain saya membaca tulisan mereka tidak dalam pertimbangan bahwa segala yang mereka tulis dalam karya-karya mereka adalah benar, hanya dalam pertimbangan bahwa apapun yang telah mereka pikir dan tuliskan dapat merupakan bagian dari kekudusan dan pembelajaran mereka. "


Artikel 9 :  Apakah Tepat jika Kitab Suci Menggunakan Metafora?

Keberatan 1 : Tampaknya Kitab Suci tidak boleh menggunakan metafora karena apa yang tepat untuk ilmu terendah tampaknya tidak cocok untuk ilmu ini, yang memegang tempat tertinggi dari semua ilmu. Tetapi bertindak dengan menggunakan bantuan dari metafora dan penggambaran adalah tepat bagi puisi, yang menduduki tempat paling akhir dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat tidak tepat jika Doktrin Suci menggunakan metafora tersebut.

Keberatan 2 : Lebih jauh lagi, Doktrin ini tampaknya dimaksudkan untuk membuat kebenaran menjadi lebih jelas. Maka upah diberikan pada siapa yang berpegang padanya : "Mereka yang menjelaskan tentang aku akan memiliki hidup yang kekal" (Sir. 24: 31). Tetapi dengan menggunakan metafora, kebenaran menjadi dikaburkan. Oleh karena itu, untuk membahas kebenaran ilahi melalui perbandingan dengan makhluk-makhluk ragawi tidak tepat bagi ilmu ini.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, semakin tinggi suatu makhluk, semakin serupa mereka dengan keilahian. Karena itu, Jika suatu makhluk digunakan untuk merepresentasikan Allah, representasi ini harus terutama diambil dari makhluk-makhluk yang lebih tinggi, dan bukan dari yang rendah, namun hal ini justru sering ditemukan dalam Kitab Suci. 

Sebaliknya, Ada tertulis (Hos 12: 10): " Aku berbicara kepada para nabi dan banyak kali memberi penglihatan dan memberi perumpamaan dengan perantaraan para nabi" Tetapi menerangkan sesuatu dengan menggunakan perumpamaan adalah menggunakan metafora. Oleh karena itu Ilmu suci ini dapat menggunakan metafora.

Aku menjawab bahwa, Adalah tepat bagi Kitab Suci untuk menyampaikan kebenaran ilahi dan spiritual melalui perbandingan dengan hal-hal ragawi, karena Allah menyediakan bagi segala sesuatu sesuai dengan sifat alaminya. Sekarang adalah alami bagi manusia untuk mencapai kebenaran intelektual melalui benda yang dapat diindera, karena semua pengetahuan kita berasal dari indera. Oleh karena itu dalam Kitab Suci, kebenaran-kebenaran rohani tepat jika diajarkan menggunakan perbangingan dengan hal-hal ragawi. Inilah yang dikatakan Dionysius (Coel. Hier. i): "Kami tidak dapat dicerahkan oleh cahaya ilahi kecuali cahaya tersebut tersembunyi dalam selubung suci". Adalah tepat juga bagi Kitab Suci, yang disampaikan untuk semua tanpa perbedaan orang---" Aku berhutang… baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar" (Rm. 1: 14)---bahwa kebenaran-kebenaran rohani diuraikan dengan gambaran-gambaran yang diambil dari hal-hal ragawi, agar dengan demikian mereka yang paling sederhana sekalipun, yang tidak mampu memahami hal-hal intelektual tanpa bantuan, akan mampu memahaminya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Puisi menggunakan metafora untuk menghasilkan representasi, karena merupakan sesuatu yang alami bagi manusia untuk dipuaskan dengan representasi. Tetapi Doktrin Suci menggunakan metafora sebagai sesuatu yang perlu sekaligus bermanfaat.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Cahaya wahyu ilahi tidak dipadamkan oleh penggambaran indrawi yang menyelubunginya, sebagaimana dikatakan Dionysius (Coel. Hier. i); dan kebenarannya tetap utuh karena cahaya tersebut tidak membiarkan pikiran orang-orang yang diberi pewahyuan untuk tetap tinggal dalam metafora-metafora tersebut, tetapi meningkatkannya menuju pada pengetahuan tentang kebenaran; dan melalui orang-orang yang diberi pewahyuan itu maka orang lain juga memperoleh petunjuk-petunjuk tentang wahyu tersebut. Oleh karena itu hal-hal yang diajarkan dengan menggunakan kiasan di salah satu bagian Kitab Suci, diajarkan secara terbuka di bagian lain. Kebenaran yang tersembunyi dalam gambaran-gambaran tersebut berguna untuk melatih pikiran bijaksana dan sebagai pertahanan terhadap ejekan orang tak beriman, menurut kata-kata "Jangan berikan sesuatu yang kudus pada anjing" (Matius 7: 6).

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Sebagaimana dikatakan Dionysius (Coel. Hier. i) adalah lebih tepat bagi kebenaran ilahi untuk diuraikan menggunakan gambaran-gambaran dari sesuatu yang kurang mulia daripada menggunakan gambaran dari sesuatu yang lebih mulia, dan ini karena tiga alasan. Pertama, karena dengan demikian pikiran manusia dapat dipagari dari kesalahan. Maka sangat jelas bahwa hal-hal yang ada dalam Kitab Suci bukanlah deskripsi harafiah tentang kebenaran ilahi, yang dapat menjadi suatu keragu-raguan jika diekspresikan menggunakan gambaran tentang sesuatu yang lebih mulia, terutama bagi mereka yang tidak bisa memikirkan sesuatu yang lebih mulia daripada hal-hal ragawi. Kedua, karena ini adalah lebih tepat bagi pengetahuan tentang Allah yang kita miliki dalam hidup ini, karena seperti apa Allah itu sungguh tidak jelas bagi kita. Oleh karena itu perbandingan yang diambil dari hal-hal yang terjauh dari Allah membentuk dalam diri kita suatu perkiraan yang lebih benar bahwa Allah berada di atas apapun yang dapat kita katakan atau pikirkan. Ketiga, karena dengan demikian kebenaran ilahi dapat tersembunyi dari mereka yang tidak layak.


Artikel 10 :  Apakah dalam Kitab Suci Satu Kata mungkin Memiliki Beberapa Makna?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa dalam Kitab Suci satu kata tidak dapat memiliki sekaligus makna sejarah atau harfiah, alegoris, tropologis atau moral, dan anagogis, karena banyaknya makna yang berbeda dalam satu teks akan menghasilkan kebingungan dan penipuan dan menghancurkan semua kekuatan argumen. Oleh karena itu tidak ada argumen, tetapi hanya kesalahan, yang dapat dirumuskan dari suatu proposisi ganda. Tetapi Kitab Suci harus mampu menyatakan kebenaran tanpa kesalahan apapun. Oleh karena itu di dalamnya tidak bias terdapat beberapa makna dalam satu kata.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Agustinus mengatakan (De util. cred. iii) bahwa "Perjanjian Lama memiliki empat pembagian sebagai sejarah, etiologi, analogi dan alegori." Sekarang keempat hal tersebut tampak sama sekali berbeda dari empat divisi yang disebutkan dalam keberatan pertama. Oleh karena itu tampaknya tidak tepat untuk menjelaskan satu perkataan dari Kitab Suci dengan menggunakan keempat pemahaman yang disebutkan di atas. 

Keberatan 3 : Lebih lanjut, selain makna-makna tersebut, ada makna parabolis, yang bukan merupakan salah satu dari empat makna tersebut.

Sebaliknya, Gregorius mengatakan (Moral. xx, 1): "Kitab Suci, dalam caranya berbicara, melampaui setiap ilmu pengetahuan, karena dalam kalimat yang satu dan sama, saat di satu pihak ia menyatakan suatu fakta, di lain pihak ia mengungkapkan suatu misteri." 

Saya menjawab bahwa, Penulis Kitab Suci adalah Allah, yang dengan kuasa-Nya memberitahukan maksud-Nya, tidak hanya melalui kata-kata (seperti yang juga dilakukan manusia), tetapi juga melalui hal-hal itu sendiri. Jadi, sebagaimana dalam setiap ilmu lain, hal-hal diartikan melalui kata-kata, ilmu ini juga memiliki alat, yaitu bahwa hal-hal yang diartikan oleh kata-kata juga memilki makna. Oleh karena itu tanda pertama yang diberikan oleh kata-kata tersebut adalah makna pertama yaitu historis atau harafiah. Makna dimana hal-hal yang ditandakan oleh kata-kata juga memiliki artinya sendiri, disebut sebagai makna rohani, yang didasarkan pada makna harafiah, dan diisyaratkan dari makna harafiah tersebut. Sekarang makna rohani ini memiliki tiga bagian. Sebagaimana yang dikatakan sang Rasul (Ibrani 10: 1) Hukum Lama adalah gambaran dari Hukum Baru, dan Dionysius mengatakan (Coel. Hier. i) "Hukum Baru itu sendiri adalah gambaran kemuliaan masa depan." Sekali lagi, dalam Hukum Baru, apa pun yang telah dilakukan oleh Kepala kita adalah gambaran apa yang seharusnya kita lakukan. Oleh karena itu, sejauh Hukum Lama menandakan sesuatu dari Hukum Baru, maka di dalamnya terkandung makna alegoris, dan selama hal-hal tersebut dilakukan dalam KRistus, atau selama hal-hal tersebut menandakan Kristus, mereka adalah gambaran tentang apa yang seharusnya kita lakukan, dan di dalamnya terdapat makna moral. Tapi sejauh mereka mengartikan sesuatu yang berkaitan dengan kemuliaan kekal, maka terdapat makna anagogis. Karena makna harafiah adalah makna yang dimaksudkan oleh penulis, dank arena penulis Kitab Suci adalah Allah, yang melalui satu tindakan telah memahami segala sesuatu dalam pengetahuan-Nya, maka bukannya tidak tepat, seperti dikatakan Agustinus (Confess. xii), jika dalam arti harafiahnya sekalipun, suatu kata dalam Kitab Suci dapat memiliki beberapa makna.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Banyaknya makna tersebut tidak menghasilkan pengelakan atau jenis lainnya, dengan memahami bahwa makna-makna tersebut bukannya diartikan lain karena satu kata memiliki beberapa arti, tetapi karena hal-hal yang ditandakan oleh kata-kata dapat dalam dirinya sendiri merupakan gambaran dari hal-hal lainnya. Dengan demikian dalam Kitab Suci tidak ada kebingungan, karena semua makna didasarkan pada satu makna---yaitu makna harfiah---yang hanya darinya suatu argumen dapat ditarik, dan bukan dari makna alegorinya, seperti dikatakan Agustinus (Epis. 48). Namun demikian, tidak ada satupun dalam Kitab Suci yang hilang karena memiliki beberapa makna, karena tidak ada hal yang perlu bagi iman yang terkandung dalam arti rohani, yang tidak ditempatkan dalam makna harafiahnya dalam Kitab Suci.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Tiga hal ini---sejarah, etiologi, analogi---dikelompokkan dalam makna harfiah. Karena disebut sebagai sejarah, seperti diuraikan Agustinus (Epis. 48), setiap kali sesuatu dihubungkan secara langsung; disebut etiologi ketika penyebabnya ditetapkan, sebagaimana ketika Tuhan kita memberi pemahaman mengapa Musa memperbolehkan seorang istri dijauhkan ---yaitu, karena kekerasan hati manusia; Disebut analogi jika kebenaran satu teks dalam Kitab Suci ditampilkan secara tidak bertentangan dengan kebenaran lain. Dari keempatnya, hanya alegori yang berdiri untuk tiga makna rohani. Dengan demikian Hugh St Victor (Sacram. iv, 4 Prolog.) memasukkan makna anagogis sebagai bagian dari makna alegoris, dan memberikan tiga makna saja ---sejarah, alegoris dan tropologis.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Makna parabolis terkandung dalam makna harfiah, karena oleh kata-kata, hal-hal ditandakan dengan tepat dan secara kiasan. Bukan tentang gambarannya itu sendiri, tapi tentang makna yang dikiaskan dalam makna harfiah. Ketika Alkitab berbicara tentang lengan Allah, arti harfiahnya bukanlah bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti itu, tapi hanya apa yang dikiaskan oleh anggota tubuh ini, yaitu kuasa operatif. Karena itu jelas bahwa tidak ada yang dapat keliru dalam pemahaman harafiah tentang Kitab Suci.



[1] Ilmu spekulatif adalah ilmu yang kontemplatif, sebagaimana dijelaskan oleh Reginald Garrigou-Lagrange, O. P, dalam “A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa”, http://www.thesumma.info/one/one17.php

No comments:

Post a Comment