Pertanyaan
3 : Tentang Ketunggalan Allah (Delapan Artikel)
Ketika keberadaan suatu hal
telah dipastikan masih ada pertanyaan lebih lanjut tentang cara keberadaannya,
agar kita dapat tahu esensinya. Sekarang, karena kita tidak tahu seperti apakah
Allah itu, melainkan apa yang bukan Allah. Kita tidak memiliki sarana untuk
mempertimbangkan bagaimana Allah itu, melainkan bagaimana yang bukan Allah itu.
Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan:
(1) Bagaimana yang bukan
Ia;
(2) Bagaimana Ia dikenal
oleh kita;
(3) Bagaimana Ia disebut.
Sekarang dapat ditunjukkan
bagaimana yang bukan Allah, dengan menyangkal pemahaman apapun yang
bertentangan dengan gagasan tentang-Nya, yaitu pemahaman tentang komposisi,
gerak, dan sejenisnya. Oleh karena itu
(1) Kita harus membahas ketunggalan-Nya,
dimana kita menyangkal adanya komposisi pada-Nya; dan karena apa pun yang tunggal
dalam hal-hal materia adalah tidak sempurna dan merupakan bagian dari sesuatu
yang lain, maka kita akan membahas
(2) Kesempurnaan-Nya;
(3) Kekekalan-Nya;
(4) Kemahakuasaan-Nya;
(5) Kesatuan-nya.
Tentang ketunggalan-Nya,
ada delapan poin penyelidikan:
(1) Apakah Allah adalah
suatu tubuh?
(2) Apakah Ia terdiri dari materia
dan forma?
(3) Apakah dalam diri-Nya
ada komposisi hakekat, esensi atau sifat, dan subjek?
(4) Apakah Ia terdiri dari
esensi dan keberadaan?
(5) Apakah Ia terdiri dari
genus dan perbedaan?
(6) Apakah Ia terdiri dari
subjek dan aksiden?
(7) Apakah Ia dengan cara
apapun adalah komposit, atau sepenuhnya tunggal?
(8) Apakah Ia berkomposisi
dengan hal-hal lain?
Artikel 1 : Apakah
Allah adalah Suatu Zat?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah adalah
suatu zat karena zat adalah sesuatu yang memiliki tiga dimensi. Tetapi Kitab
Suci mengatribusikan tiga dimensi kepada Allah, sebab ada tertulis: "
Tingginya seperti langit--apa yang dapat kaulakukan? Dalamnya melebihi dunia
orang mati--apa yang dapat kauketahui? Lebih panjang dari pada bumi ukurannya,
dan lebih luas dari pada samudera"(Ayub 11: 8, 9). Oleh karena itu Allah
adalah suatu zat.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, segala
sesuatu yang memiliki bentuk adalah suatu zat, karena bentuk adalah kualitas
dari suatu kuantitas. Tetapi Allah tampaknya memiliki bentuk, sebab ada
tertulis: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
kita" (Kej. 1: 26). Sekarang, bentuk disebut sebagai gambar, menurut teks:
" Yang menjadi kecemerlangan kemuliaan dan wujud-Nya" yaitu gambaran,
"dari substansi-Nya" (Ibrani 1: 3)[1].
Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa pun
memiliki bagian jasmani adalah suatu zat. Sekarang, Kitab Suci mengatribusikan
bagian jasmani kepada Allah. " Apakah lenganmu seperti lengan Allah?"
(Ayub 40:4); dan " Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar"
(Mazmur 33:16); dan " tangan kanan TUHAN berkuasa meninggikan"
(Mazmur 117:16). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.
Keberatan 4 : Lebih lanjut, postur
hanyalah milik dari zat. Tetapi dalam Kitab Suci Allah diandaikan memiliki
postur : "Aku melihat Tuhan duduk" (Yes 6: 1), dan " TUHAN
mengambil tempat untuk menuntut dan berdiri untuk mengadili bangsa-bangsa"
(Yes 3: 13). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.
Keberatan 5 : Lebih lanjut, hanya zat
atau benda jasmani yang dapat menggunakan istilah yang berhubungan dengan
lokasi "darimana" atau "kemana" Tapi dalam Kitab Suci
Allah disebut menggunakan istilah-istilah local “pada” menurut kata-kata,
" Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri"
(Mazmur 33:6), dan sebagai istilah "dari": orang-orang yang
menyimpang dari pada-Mu akan dilenyapkan di negeri" (Yeremia 17: 13). Oleh
karena itu Allah adalah suatu zat.
Sebaliknya, Ada ditulis dalam Injil
Yohanes (Yoh 4: 24): "Allah adalah Roh."
Aku menjawab, Adalah sungguh benar
bahwa Allah bukanlah suatu zat; dan ini akan ditampilkan dalam tiga cara.
Pertama, karena zat tidak bergerak kecuali itu digerakkan, sebagaimana jelas
dalam hal induksi. Sekarang telah sudah terbukti (P[2],
A[3]),
bahwa Allah adalah Penggerak pertama, dan Ia tak tergerakkan. Oleh karena itu
sangat jelas bahwa Allah bukanlah suatu zat. Kedua, karena keberadaan yang
pertama harus ada dalam aktualitas, bukannya potesialitas. Karena walaupun
dalam setiap hal yang berproses dari potensialitas menuju aktualitas,
potensialitas selalu mendahului aktualitas, tetapi, tepatnya, aktualitas ada
sebelum potensialitas, karena apapun yang ada dalam potensialitas dapat
direduksi menjadi aktualitas hanya oleh suatu keberadaan yang berada dalam
aktulitas. Sekarang telah dibuktikan bahwa Allah adalah Keberadaan yang
pertama. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa Tuhan harus ada dalam
potensialitas apapun. Tapi setiap zat ada dalam potensialitas karena ia terus
berada dalam potensialitas yang tak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin
bahwa Allah harus berupa zat. Ketiga, karena Allah adalah yang paling mulia
dari segala keberadaan. Sekarang tidaklah mungkin bagi zat untuk menjadi yang
paling mulia dari segala keberadaan karena zat harus selalu dalam keadaan dapat
bergerak ataupun tidak dapat bergerak; dan zat yang dapat bergerak adalah lebih
mulia dari zat yang tak dapat bergerak. Tapi zat yang dapat bergerak tidak
secara tepat bergerak sebagai satu zat, karena jika demikian maka seluruh zat
pada saat yang bersamaan akan bergerak. Oleh karena gerakannya tergantung dari
benda lain, seperti tubuh kita bergerak tergantung dari jiwa kita. Maka sesuatu
yang menggerakkan zat adalah lebih mulia dari zat. Dengan demikian tidaklah
mungkin bahwa Allah adalah suatu zat.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Seperti yang telah kita
bahas di atas (P [1], A[9]), Kitab Suci menjelaskan
bagi kita hal-hal spiritual dan Ilahi dalam perbandingan dengan hal-hal
jasmani. Oleh karena itu, ketika hal-hal tiga dimensi tentang makhluk jasmani
itu diatribusikan kepada Allah, ini menyiratkan kuantitas-Nya yang
sesungguhnya. Dengan demikian, tentang kedalaman, hal itu menandakan
kekuatan-Nya untuk mengetahui hal-hal tersembunyi; tentang ketinggian, adalah
tentang kekuasaan-Nya yang teramat luar biasa; tentang panjang, adalah tentang
durasi keberadaan-Nya; tentang luas, adalah tentang tindakannya cinta-Nya untuk
semua. Atau, seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. ix), dengan kedalaman
Allah yang dimaksudkan adalah ketidakdapatdimengertian tentang esensi-Nya;
dengan panjang, adalah prosesi semua kuasa-Nya; dengan luas, adalah Ia
menjangkau segala sesuatu, sebab segala sesuatu berada di bawah perlindungan-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Manusia dikatakan sebagai
gambar Allah, tidak mengenai tubuhnya, tetapi sehubungan dengan bagaimana ia
mengungguli hewan lainnya. Oleh karena itu, ketika dikatakan, "Baiklah
kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita", ada ditambahkan,
"dan biarkan Dia berkuasa atas ikan di laut" (Kej. 1: 26). Sekarang
manusia unggul atas semua hewan oleh nalar dan akalnya; maka dalam hal memiliki
akal dan nalar, yang bukan merupakan hal-hal jasmani, manusia dikatakan serupa
dengan gambar Allah.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal jasmani
diatribusikan kepada Allah dalam Kitab Suci untuk menyatakan tindakan-Nya, dan
ini adalah karena paralel tertentu. Misalnya tindakan mata adalah untuk
melihat; maka mata yang dikaitkan dengan Allah menandakan kekuasaan melihat
melalui akal, bukannya indrawi; dan seterusnya dengan hal-hal lain.
Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Apapun yang berkenaan
dengan postur, juga, hanya diatribusikan kepada Allah dengan semacam paralel.
Ia disebut duduk karena ketaktergerakkan-Nya dan dominasi-Nya; dan sebagai
berdiri, karena kekuasaan-Nya melampaui apa pun yang ada dihadapan-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Kita menghampiri Allah
bukan melalui langkah jasmani, karena ia ada di mana-mana, tetapi dengan jiwa
kita, dan dengan tindakan jiwa yang sama kita undur dari-Nya; dengan demikian,
untuk mendekat atau undur dari-Nya hanya menandakan tindakan rohani,
berdasarkan metafora terhadap tindakan bergerak.
Artikel 2 : Apakah Allah Terdiri dari
Materia dan Forma?
Keberatan 1 : Tampaknya bahwa Allah
terdiri dari materia dan forma karena apa pun yang memiliki jiwa selalu terdiri
dari materia dan forma[2];
sebab jiwa adalah bentuk dari tubuh[3].
Tetapi Kitab Suci mengatribusikan jiwa kepada Allah; karena disebutkan dalam
Surat kepada Jemaat di Ibrani (Ibrani 10: 38), dimana Allah menyatakan:
"Tetapi orang-orang-Ku yang benar hidup oleh iman, tetapi jika dia menarik
dirinya, ia tidak akan memuaskan jiwa-Ku"[4].
Oleh karena itu Allah terdiri dari materia dan forma.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, kemarahan,
sukacita dan sejenisnya adalah gairah dari suatu komposit. Tapi hal-hal
tersebut diatribusikan kepada Allah dalam Kitab Suci: "Tuhan sungguh murka
pada umat-Nya" (Mazmur 105:40). Oleh karena itu Allah terdiri dari materia
dan forma.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, materia
adalah principal dari individualisasi. Tetapi Allah tampaknya individual,
karena Ia tidak ada banyak. Oleh karena itu ia terdiri dari material dan
forma.
Sebaliknya, Apa pun yang terdiri dari
materia dan forma adalah suatu tubuh; karena sifat dimensional dari suatu
kuantitas adalah ciri pertama dari materia. Tetapi Allah bukanlah suatu tubuh
seperti telah dibuktikan dalam artikel sebelumnya. Oleh karena itu Allah tidak
terdiri dari materia dan forma.
Aku menjawab bahwa, Adalah mustahil bahwa
dalam Allah ada materia. Pertama, karena materia selalu berada dalam
potensialitas. Tapi kita telah menunjukkan (P [2],
A[3])
bahwa Allah adalah aktualitas murni, tanpa ada potensialitas di dalam-Nya.
Karena itu mustahil bahwa Allah terdiri dari materia dan forma. Kedua, karena
segala sesuatu yang terdiri dari materia dan forma mengandalkan kesempurnaannya
pada forma; oleh karena itu kebaikannya adalah kebaikan karena keikutsertaan,
sejauh materia ikut serta dalam bentuk. Sekarang sesuatu yang pertama dan
terbaik---yaitu Allah---bukanlah kebaikan karena keikutsertaan, karena kebaikan
yang utama telah ada sebelum kebaikan karena keikutsertaan. Karena itu mustahil
bahwa Allah terdiri dari materia dan forma.
Ketiga, karena setiap agen
bertindak melalui formanya; oleh karena itu caranya memiliki forma adalah
caranya berada sebagai agen. Oleh karena itu jika suatu agen bersifat utama dan
pokok dalam hal apapun, ia juga harus utama dan pokok dalam formanya. Sekarang,
Allah adalah agen pertama, karena Ia adalah Penyebab efisien pertama. Karena
itu, Ia dalam esensi-Nya adalah suatu forma, dan tidak terdiri dari materia dan
forma.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Jiwa diatribusikan kepada
Allah karena perbuatan-perbuatan-Nya yang menyerupai tindakan jiwa; bahwa kita
menghendaki sesuatu, adalah karena jiwa kita. Oleh karena itu apa berkenan
kepada kehendak-Nya dikatakan menyenangkan untuk jiwa-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kemarahan dan sejenisnya
diatribusikan kepada Allah karena kesamaan efek. Dengan demikian, karena untuk
menghukum adalah tindakan dari orang yang marah, hukuman Tuhan adalah secara
metaforis disebut sebagai kemarahan-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Forma yang dapat diterima
dalam materia menjadi terindividualisasi oleh materia, yang tidak dapat berada
di sesuatu lainnya sebagai subjek karena forma tersebut adalah subjek dari
materia itu sendiri; meskipun forma itu sendiri dapat diterima oleh banyak
materia lainnya, kecuali sesuatu yang lain mencegah hal tersebut. Tapi forma
yang tidak bisa diterima dalam materia, tetapi dalam dan dari dirinya sendiri
ada, menjadi sungguh terindividualisasi karena forma tersebut tidak bisa
diterima dalam suatu subjek, dan forma semacam itu adalah Allah. Maka tidak
berarti bahwa Allah harus memiliki materia.
Artikel 3 : Apakah
Tuhan Sama dengan Esensi atau Hakikat-Nya?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak
sama dengan esensi atau hakikat-Nya, karena tidak ada yang bisa ada dalam
dirinya sendiri. Tetapi substansi atau hakikat Allah---yaitu
Ke-Allahan---dikatakan ada dalam Allah. Oleh karena itu tampaknya Allah tidak
sama dengan esensi atau hakikat-Nya.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, efek
dihubungkan dengan penyebabnya; karena setiap agen menghasilkan sesuatu yang
serupa dengan dirinya. Tapi dalam ciptaan, "suppositum"[5]
tidaklah identik dengan hakikatnya; karena manusia tidaklah sama dengan
kemanusiaannya. Oleh karena itu Allah tidak sama dengan ke-Allahan-Nya.
Sebaliknya, Dikatakan mengenai Allah
bahwa Ia adalah kehidupan itu sendiri, dan tidak hanya sekedar bahwa Ia adalah
sesuatu yang hidup: "Akulah jalan, kebenaran, dan hidup" (Yohanes 14:
6). Sekarang hubungan antara ke-Allahan dan Allah adalah sama seperti hubungan
antara kehidupan dan makhluk hidup. Oleh karena itu Allah adalah sungguh
ke-Allahan-Nya.
Aku menjawab bahwa, Tuhan adalah sama dengan
esensi atau hakikat-Nya. Untuk memahami hal ini, harus diperhatikan bahwa dalam
hal-hal yang terdiri dari materia dan forma, hakikat atau esensi harus berbeda
dari "suppositum," karena esensi atau hakikat menjelaskan hanya apa
yang termasuk dalam definisi tentang spesies; seperti kemanusiaan menjelaskan
semua yang termasuk dalam definisi tentang manusia, karena adalah dengan
kemanusiaan maka manusia menjadi manusia, dan tentang manusia inilah yang
dijelaskan dalam kemanusiaan, yaitu, bahwa manusia adalah manusia. Sekarang
materia individual, dengan segala aksiden[6]
yang mengindividualisasikannya, tidak termasuk dalam definisi tentang spesies,
karena daging tertentu ini, tulang tertentu ini, hitam atau putihnya individu
ini, dll, tidak termasuk dalam definisi tentang manusia. Oleh karena itu daging
ini , tulang ini dan kualitas aksidental yang membedakan materia tertentu ini,
tidak termasuk dalam kemanusiaan; namun mereka termasuk dalam hal-hal tentang
manusia. Oleh karena itu hal yang ada dalam seorang manusia adalah lebih dari
sekedar kemanusiaannya. Akibatnya kemanusiaan dan manusia tidak sepenuhnya
sama; tetapi kemanusiaan diambil untnuk mengartikan bagian formal dari seorang
manusia, karena prinsip-prinsip yang mendefinisikan suatu hal adalah unsur
formal yang pokok dalam suatu materia yang terindividualisasi. Di lain pihak,
dalam hal-hal yang tidak terdiri dari materia dan forma, di mana
individualisasi bukan tentang materia individual---katakanlah, materia
“ini”---maka forma terindividualisasi oleh dirinya sendiri ---sehingga forma
itu sendiri menjadi “supposita”. Maka “suppositum” dan hakikat mereka menjadi
teridentifikasi. Karena Allah tidak terdiri dari materia dan forma, maka
ke-Allahan-Nya adalah Ia sendiri, kehidupan-Nya sendiri, dan hal apa pun yang
diperdikasikan pada-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kita dapat berbicara tentang
hal-hal sederhana hanya seolah-olah mereka merupakan hal-hal komposit yang
menyusun pengetahuan kita. Oleh karena itu dalam berbicara tentang Allah, kita
menggunakan kata benda konkrit untuk menandakan subsistensi-Nya, karena bagi
kita, hanya hal-hal kompositlah yang ada; dan kita menggunakan kata benda
abstrak untuk menandakan kesederhanaan-Nya. Dalam mengatakan bahwa
ke-Allahan, kehidupan atau sejenisnya yang ada dalam Allah, kita
menggunakan cara komposit yang dipahami oleh akal kita, tetapi tidak berarti
bahwa ada komposisi dalam Allah[7].
Tanggapa terhadap Keberatan 2 : Efek dari Allah tidak
mengimitasi diri-Nya secara sempurna, tapi hanya sejauh yang mereka dapat; dan
imitasi di sini tidak sempurna justru karena apa yang sederhana dan satu, hanya
dapat diwakili oleh beberapa hal; Akibatnya, komposisi menjadi aksiden untuk
hal-hal tersebut, dan oleh karena itu, dalam diri mereka,
"suppositum" tidaklah sama dengan hakikat.[8]
Artikel 4 : Apakah
dalam Allah Esensi dan Keberadaan adalah Sama?
Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah
esensi dan keberadaan tidaklah sama[9].
Jika menjadi demikian, maka terhadap keberadaan ilahi tidak ada sesuatu pun
yang dapat di ditambahkan. Sekarang suatu keberadaan yang tidak ditambahi
apapun padanya adalah suatu keberadaan universal yang dipredikasikan kepada
segala hal. Jika demikian maka Allah adalah suatu keberadaan dalam arti umum
yang dapat dipredikasikan pada segala sesuatu. Tapi ini keliru : "Karena
manusia memberikan nama dengan pemahaman tertentu pada kayu dan batu" (Keb
14: 21). Oleh karena itu keberadaan Allah tidak sama dengan esensi-Nya.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, kita dapat
mengetahui apakah Allah ada seperti yang dikatakan di atas (P
[2], A[2]);
Tapi kita tidak tahu "apa" Allah itu. Oleh karena itu keberadaan
Allah adalah tidak sama dengan esensi-Nya---yaitu sebagai hakekat atau
inti-Nya.
Sebaliknya, Hilary mengatakan (Trin.
vii): "Dalam Allah keberadaan bukanlah suatu kualitas aksidental, tetapi
merupakan kebenaran yang menjadikan ada (subsisting
truth)." Oleh karena itu apa yang ada dalam Allah adalah
keberadaan-Nya.
Aku menjawab bahwa, Allah bukan hanya
esensi-Nya sendiri, seperti yang ditunjukkan dalam artikel sebelumnya, tetapi
juga keberadaan-Nya sendiri. Ini dapat ditunjukkan dalam beberapa cara.
Pertama, apa pun yang dimiliki oleh sesuatu selain esensinya, harus disebabkan
oleh principal pokok dari esensi tersebut (seperti sebuah kelayakan yang selalu
menyertai spesies---contohnya hal tertawa adalah hal yang layak bagi seorang
manusia---dan disebabkan oleh principal pokok dari spesies tersebut). Yang
kedua adalah disebabkan oleh agen eksterior---seperti air yang menjadi panas
karena disebabkan oleh api. Oleh karena itu, jika keberadaan dari sesuatu
berbeda dari esensinya, keberadaan tersebut harus disebabkan oleh agen
eksterior atau oleh principal pokoknya. Sekarang tidak mungkin keberadaan
sesuatu hal adalah karena disebabkan oleh principal pokoknya, karena tidak ada
yang dapat menjadi penyebab dari keberadaannya sendiri, jika keberadaannya itu
adalah merupakan suatu akibat. Oleh karena itu, pada suatu keberadaan yang
berbeda dari esensinya, keberadaannya tersebut harus disebabkan oleh suatu
keberadaan lain. Tapi keberadaan Allah tidak seperti itu; karena Allah kita sebut
sebeagai kausa efisien pertama. Oleh karena itu mustahil bahwa keberadaan Allah
berbeda dari esensi-Nya[10].
Kedua, keberadaan adalah sesuatu yang membuat setiap bentuk atau hakikat
menjadi aktual; karena kebaikan dan kemanusiaan dikatakan aktual, hanya jika
dibicarakan tentang keberadaannya. Oleh karena itu keberadaan harus
dibandingkan dengan esensi, jika esensi adalah sebuah realitas yang berbeda
dari keberadaan, seperti aktualitas dibandingkan dengan potensialitas. Oleh
karena itu, karena dalam Allah tidak ada potensialitas, seperti yang
ditunjukkan di atas (A[1]), maka di dalam Dia esensi
tidak berbeda dari keberadaan. Oleh karena itu esensi-Nya adalah keberadaan-Nya[11].
Ketiga, karena, seperti yang telah terbakar oleh api, tetapi tidak api itu
sendiri, adalah ada dalam api karena keikutsertaan; sehingga ikut ada tetapi
bukan keberadaan itu sendiri, adalah suatu keberadaan karena keikutsertaan.
Tetapi Allah adalah esensi-Nya sendiri, seperti yang ditunjukkan di atas (A[3]) oleh karena itu, jika Ia
bukan keberadaan-Nya sendiri maka Ia bukan ada secara esensial, tapi ada karena
ikut serta. Jika demikian, maka Ia bukanlah keberadaan yang pertama---yang
adalah absurd. Oleh karena itu Allah adalah keberadaan-Nya sendiri, dan bukan
hanya sekedar esensi-Nya sendiri.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sesuatu yang tidak
tertambahi apapun ke dalamnya dapat menjadi dua jenis. Yang pertama adalah
sesuatu yang esensinya memang tidak bisa ditambahi, contohnya, adalah esensi
dari binatang irasional yang kedalamnya tidak bisa ditambahi sifat rasional.
Jenis yang kedua adalah suatu esensi yang tidak memerlukan apapun untuk
ditambahkan padanya, jadi genus binatang adalah tanpa sifat rasional, karena
secara umum bukanlah esensi dari binatang untuk memiliki sifat rasional. Maka
ke dalam keberadaan ilahi tidak dapat ditambahi apapun, sedangkan dalam
keberadaan universal tidak perlu ditambahi apapun.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : "Ada" dapat
berarti salah satu dari dua hal. Ini mungkin berarti tindakan dari esensi, atau
mungkin berarti komposisi proposisi yang dilakukan oleh pikiran dalam
mengenakan suatu predikat pada suatu subyek. Dalam artian “ada” yang pertama,
kita tidak dapat memahami keberadaan Allah ataupun esensi-Nya; tapi kita hanya
memahaminya dalam pengertian kedua. Kita tahu bahwa proposisi “Allah ada”
adalah benar, dan ini kita ketahui dari efek-Nya (P [2], A
[2]).
Artikel 5 : Apakah
Allah Termasuk dalam Suatu Genus?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah termasuk
dalam suatu genus, karena suatu substansi adalah suatu keberadaan yang ada pada
dirinya sendiri.[12] Tetapi Allah ada dalam
diri-Nya sendiri. Oleh karena itu Allah ada dalam genus substansi.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, tidak
suatupun dapat diukur kecuali oleh genusnya sendiri; seperti panjang diukur
dengan panjang dan angka oleh angka. Tetapi Allah adalah ukuran dari segala
substasnsi, seperti ditunjukkan oleh Komentator (Metaph. x). Oleh karena itu
Allah termasuk dalam genus substansi.
Sebaliknya, Dalam pikiran, genus
telah ada sebelum sesuatu yang terkandung di dalamnya ada. Tapi tidak ada
sesuatupun yang ada, baik secara nyata maupun hanya dalam pikiran. Oleh
karena itu Allah tidak terkandung dalam genus apapun.
Aku menjawab bahwa, Sesuatu dapat ada dalam
suatu genus dengan dua cara; secara absolute dan secara tatanan, seperti suatu
spesies yang terkandung dalam suatu genus[13];
atau seperti sesuatu yang direduksi hingga menuju suatu genus, seperti suatu principal
dan suatu kekurangan. Sebagai contoh, suatu titik dan suatu kesatuan direduksi
ke dalam genus kuantitas sebagai prinsipalnya; Sementara kebutaan dan semua
kekurangan lain yang dimasukkan dalam untuk genus kondisi. Tapi dalam cara
apapun Allah tidak termasuk dalam suatu genus. Bahwa Ia tidak dapat menjadi
suatu spesies dari suatu genus dapat ditunjukkan dalam tiga cara. Pertama,
spesies dihasilkan dari genus dan perbedaan. Sekarang, perbedaan yang darinya
suatu spesies diketahui, selalu berhubungan dengan sesuatu yang darinya suatu
genus berasal, seperti aktualitas yang dihubungkan dengan potensialitas[14].
Karena binatang berasal dari suatu hakikat yang mampu mengindera, sebagai suatu
perwujudan dari hakikat tersebut, karena binatang adalah sesuatu yang mempunyai
kemampuan untuk mengindera. Makhluk rasional, di sisi lain, dikelompokkan dalam
hakikat berakal, karena sesuatu disebut rasional, jika memiliki akal, dan akal
dibandingkan dengan rasa, seperti aktualitas dibandingkan dengan potensialitas.
Argumen yang sama berlaku baik dalam hal-hal lain. Maka karena dalam Allah
tidak terdapat potensialitas yang berubah menjadi aktualitas, adalah mustahil
bahwa Allah harus berada di bawah genus sebagai suatu spesies. Kedua, karena
keberadaan Allah adalah sekaligus esensi-Nya. Jika Allah berada di bawah suatu
genus, Ia seharusnya berada di bawah genus "keberadaan". Karena genus
dipredikasikan sebagai suatu hal yang esensial, maka genus berhubungan dengan
esensi dari suatu hal. Tapi sang Filsuf telah menunjukkan (Metaph. iii) bahwa
“keberadaan” tidak dapat menjadi suatu genus, karena setiap genus memiliki
esensi yang berbeda. Sekarang, keberadaan tidak memilik pembeda dengan hal
lain, karena ketidakberadaan tidak dapat dijadikan suatu pembeda[15].
Dengan demikian Allah yang tidak termasuk dalam genus apapun. Ketiga, karena
hal-hal yang berada dalam satu genus memiliki kesamaan hakekat atau esensi dari
genus yang dipredikasikan pada mereka, tetapi hal-hal tersebut saling berbeda
dalam keberadaan mereka, karena keberadaan manusia dan kuda tidaklah sama; juga
keberadaan orang ini dan orang itu tidaklah sama. Maka dalam setiap anggota
genus, keberadaan harus berbeda dengan hakekat---yaitu esensinya. Tapi dalam
Allah keberadaan dan esensi tidaklah berbeda, seperti yang telah ditunjukkan
dalam artikel sebelumnya. Oleh karena itu jelas bahwa Allah tidak termasuk
dalam genus apapun, seolah-olah Ia adalah suatu spesies. Dari ini juga jelas
bahwa Ia tidak memiliki genus atau pembeda, tidak juga ada definisi
tentang-Nya; tidak juga ada pembuktian tentang-Nya, kecuali lewat
efek-efek-Nya, karena suatu definisi berhubungan dengan genus dan pembeda, dan
suatu pembuktian hanya bisa terjadi melalui definisi. Bahwa Allah tidak
memiliki suatu genus sebagai principal-Nya,adalah jelas dari hal berikut,
bahwa suatu principal yang dapat direduksi ke dalam suatu genus tidak akan
menjangkau hal-hal di luar genus tersebut, seperti suatu titik hanya merupakan
principal dari kuantitas berkesinambungan, sedangkan untuk kuantitas tak
berkesinambungan ada di bawah principal kesatuan. Tetapi Allah adalah principal
dari segala sesuatu. Oleh karena itu Ia tidak terdapat dalam genus apapun
sebagai principal-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kata “substansi” tidak
hanya mengacu pada cara keberadaan sesuatu---karena keberadaan sendiri tidak
dapat menjadi suatu genus, seperti yang ditunjukkan dalam tubuh artikel ini;
Tapi, kata itu juga menandakan esensi yang memiliki cara keberadaan yang
demikian---yaitu, ada dalam dirinya sendiri; Namun, keberadaan ini bukanlah
esensinya. Dengan demikian jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam genus
substansi.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Keberatan ini mengacu
pada sarana ukur proporsional yang harus homogen dengan apa yang diukur.
Sekarang, Allah bukanlah sarana ukur yang sebanding dengan apapun. Namun, Ia
tetap disebut sebagai sarana ukur terhadap segala sesuatu, dalam pemahaman
bahwa segala sesuatu memiliki keberadaan dalam cara menyerupai keberadaan-Nya[16].
Artikel 6 : Apakah
dalam Allah Terdapat Aksiden?
Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah ada
aksiden, karena suatu substansi tidak bisa menjadi akesiden, sebagaimana
dikatakan Aristoteles (Phys. i). Oleh karena itu apa yang menjadi aksiden di
suatu tempat, tidak bisa menjadi substansi di tempat lain. Dengan demikian terbukti
bahwa panas tidak dapat menjadi bentuk substatnsial dari api, karena panas
adalah aksiden dalam hal lain. TApi kebijaksanaan, kebajikan dan sejenisnya,
yang merupakan aksiden pada diri kita, diatribusikan pada Allah. Maka dalam
Allah ada aksiden.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, dalam
setiap genus ada prinsipal pertama. Tetapi ada banyak "genera" [cat. : bentuk jamak dari genus]
untuk banyak aksiden. Maka, jika tiap principal pertama tersebut tidak ada
dalam Allah, maka aka nada keberadaan prima lainnya selain Allah—yang adalah
absurd.
Sebaliknya, Setiap aksiden ada dalam
suatu subjek. Tetapi Allah tidak dapat menjadi subjek, karena "suatu forma
sederhana tidak dapat menjadi suatu subjek ", sebagai dikatakan Boethius
(De Trin.). Oleh karena itu dalam Allah tidak ada aksiden.
Aku menjawab bahwa, Dari semua yang telah
kita katakan, adalah jelas bahwa dalam Allah tidak ada aksiden. Pertama, karena
suatu subjek dibandingkan dengan aksidennya sebagai suatu potensialitas menuju
kepada aktualitas, karena suatu subjek dalam pengertian tertentu dijadikan
actual oleh aksiden-aksidennya. Tapi tidak ada potensialitas dalam Allah,
sebagaimana telah ditunjukkan (P[2], A[3]). Kedua, karena Allah
adalah keberadaan-Nya sendiri; dan sebagaimana dikatakan Boethius
(Hebdom.), meskipun setiap esensi mungkin punya sesuatu yang ditambahkan
padanya, ini tidak berlaku untuk keberadaan yang absolut: dengan demikian suatu
substansi yang menerima panas dapat menerima sesuatu selain panas, sebagaimana
warna putih, namun panas yang absolute tidak memiliki apapun selain panas di
dalamnya[17].
Ketiga, karena esensi telah ada terlebih dahulu daripada aksiden. Karena Allah
adalah keberadaan prima yang absolute, maka tidak ada aksiden di dalam-Nya.
Tidak pula Ia memiliki aksiden esensial apapun (sebagaimana kemampuan untuk
tertawa adalah suatu aksiden esensial dalam manusia) , karena aksiden semacam
itu disebabkan oleh principal pokok suatu subjek. Sekarang, tidak ada penyebab
dalam Allah, karena Ia sendiri adalah Penyebab pertama. Maka tidak ada aksiden
dalam Allah.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kebajikan dan
kebijaksanaan tidak dipredikasikan pada Allah dan pada diri kita dalam cara
yang sama. Maka tidak berarti ada aksiden dalam Allah seperti yang ada pada
kita.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Karena substansi ada
terlebih dahulu daripada aksiden, principal-prinsipal dari aksiden ditarik
mundur sampai pada principal-prinsipal substansi tersebut sebagai sesuatu yang
telah ada terlebih dahulu, seolah-olah terkandung dalam genus substansi
tersebut. Namun Allah adalah yang keberadaan yang pertama, dan berada di luar
genus apapun.
Artikel 7 : Apakah
Allah Sepenuhnya Tunggal?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak sepenuhnya
tunggal, karena apa pun yang berasal dari Allah harus mengimitasi dia. Dengan
demikian keberadaan yang pertama adalah asal dari segala keberadaan; dan dari
kebaikan yang pertama muncul segala kebaikan. Tapi dalam hal-hal yang
diciptakan Allah, tidak ada satupun yang sepenuhnya tunggal. Oleh karena itu
Allah juga tidak sepenuhnya tunggal.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, apa pun
terbaik harus dikaitkan kepada Allah. Tetapi kita melihat bahwa suatu komposit
lebih baik daripada sesuatu yang sepenuhnya tunggal; dengan demikian, senyawa
kimia lebih baik daripada sekedar unsur-unsur yang sepenuhnya tunggal, dan
hewan lebih baik daripada bagian-bagian yang membentuk mereka. Oleh karena itu
tidak dapat dikatakan bahwa Allah sama sekali sepenuhnya tunggal.
Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De
Trin. iv, 6,7): "Allah sungguh dan secara absolut tunggal."
Aku menjawab bahwa, Ketunggalan absolut Allah
dapat ditampilkan dalam banyak cara. Pertama, dari artikel sebelumnya dalam
pertanyaan ini. Karena ada tidak komposisi kuantitatif yang menjadi bagian
dalam Allah, karena Ia bukanlah suatu zat; juga bukan komposisi materia dan
forma; juga tidak hakikat-Nya yang berbeda dari "suppositum"-Nya;
maupun esensi dari keberadaan-Nya; tidak ada pula di dalam-Nya komposisi dari
genus dan perbedaan, maupun dari subjek dan aksiden. Oleh karena itu, jelas
bahwa Allah bukanlah suatu komposit, tapi sama sekali tunggal. Kedua, karena
setiap komposit ada setelah disusun oleh komponen-komponennya, dan bergantung
pada mereka; tetapi Allah adalah keberadaan yang pertama, seperti yang
ditunjukkan di atas (P [2], A[3]). Ketiga, karena setiap
komposit memiliki suatu penyebab, karena hal-hal yang berbeda tidak bisa
bersatu kecuali ada sesuatu yang menyebabkan mereka bersatu. Tetapi Allah tidak
disebabkan oleh apapun, seperti yang ditunjukkan di atas (P
[2], A[3]),
karena Ia adalah penyebab efisien pertama. Keempat, karena dalam setiap
komposit harus ada potensialitas dan aktualitas; Tapi ini tidak berlaku untuk
Allah; karena dalam komposit salah satu bagian mengaktualisasikan yang lain,
atau setidaknya semua bagian memiliki potensialitas bagi keseluruhan komposit.
Kelima, karena tidak ada komposit yang dapat dipredikasikan pada salah satu
bagiannya. Dan ini jelas dalam suatu keseluruhan yang terdiri dari
bagian-bagian yang berbeda; karena tidak ada bagian dari seorang laki-laki yang
adalah sekaligus seorang laki-laki, atau salah satu bagian kaki adalah
keseluruhan kaki. Tetapi dalam suatu keseluruhan yang terdiri dari
bagian-bagian yang sama, meskipun sesuatu yang dipredikasikan pada keseluruhan,
dapat dipredikasikan pada bagian (sebagaimana bagian dari udara adalah udara,
dan bagian dari air adalah air), namun demikian terdapat hal-hal tertentu yang
dapat dipredikasikan pada keseluruhan namun tidak bisa dipredikasikan pada
bagian; misalnya, jika seluruh volume air adalah dua cubit, maka dua hasta
tidak bisa dipredikasikan pada bagian-bagian air itu. Dengan demikian dalam
setiap komposit terdapat sesuatu yang bukan merupakan dirinya sendiri. Namun,
bahkan jika hal ini bisa dikatakan pada apa pun yang memiliki forma, yaitu
bahwa ia memiliki sesuatu yang bukan dirinya sendiri, seperti dalam objek
berwarna putih ada sesuatu yang bukan merupakan esensi dari putih; Namun
demikian dalam forma sendiri, tidak ada apapun selain dirinya sendiri. Dengan
demikian, karena Allah adalah suatu forma absolut, atau keberadaan absolut, Ia
bisa ada tanpa melalui komposit. Hilary menyiratkan argumen ini, ketika ia
berkata (De Trin. vii): "Allah, yang adalah kekuatan, tidak terdiri dari
hal-hal yang lemah; juga tidak bahwa Ia yang adalah cahaya, terdiri dari
hal-hal yang redup."
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Apa pun yang dari Allah
adalah meniru Dia, seperti hal-hal yang disebabkan meniru sebab pertama. Tetapi
esensi dari hal-hal tersebut harus ada dalam semacam komposit; karena
setidaknya keberadaannya berbeda dari esensinya, seperti yang akan ditunjukkan
selanjutnya, (P [4], A[3]).
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Pada kita, hal-hal
komposit lebih baik daripada hal-hal tunggal, karena kesempurnaan dari kebaikan
dalam ciptaan tidak ditemukan dalam satu hal yang tunggal, tetapi dalam banyak
hal. Tapi kesempurnaan kebaikan Ilahi ditemukan dalam satu hal yang tunggal(P
[4], [1]
dan P [6], A[2]).
Artikel 8 : Apakah
Allah Masuk ke Dalam Komposisi dengan Hal-hal Lain?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah masuk ke
dalam komposisi hal-hal lain, karena Dionysius mengatakan (Coel. Hier. IV):
"Ke-Allah-an adalah keberadaan dari segala sesuatu yang mengatasi semua
keberadaan." Tetapi keberadaan segala sesuatu masuk ke dalam komposisi
dari segala sesuatu. Oleh karena itu Allah masuk ke dalam komposisi dengan
hal-hal lain.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, Tuhan
adalah suatu forma; karena Agustinus mengatakan (De Verb. Dom., [* Serm.
xxxviii]) bahwa, "Firman Allah, yang adalah Allah, merupakan suatu forma
yang tak terciptakan." Tapi forma merupakan bagian dari suatu senyawa.
Oleh karena itu Allah adalah bagian dari beberapa senyawa.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, segala
sesuatu yang ada, yang dalam cara apapun tidak memiliki perbedaan dari sesuatu
lainnya, adalah sama satu dengan lainnya. Tetapi Allah dan materia utama ada,
dan dalam cara apapun tidak saling berbeda. Oleh karena itu mereka adalah
benar-benar sama. Tetapi materia utama masuk ke dalam komposisi. Oleh karena
itu Allah masuk ke dalam komposisi. Bukti dari premis minor tersebut adalah
bahwa hal-hal apa pun yang berbeda, mereka dibedakan dengan beberapa perbedaan,
dan oleh karena itu harus merupakan suatu komposit. Tetapi Allah dan materia
utama sama sekali sederhana. Oleh karena itu mereka sama sekali sama satu
dengan yang lain.
Sebaliknya, Dionysius mengatakan
(Div. Nom. ii): "Tak ada yang dapat menyentuh-Nya," yaitu Allah,
"dan tidak ada persatuan apapun dengan Dia melalui pembauran bagian dengan
bagian."[18]
Lebih lanjut, suatu sebab pertama mengatur segala sesuatu tanpa bercampur
dengan mereka, seperti dikatakan oleh sang Filsuf (De Causis).
Aku menjawab bahwa, Pada titik ini ada tiga
kesalahan. Beberapa telah menegaskan bahwa Allah adalah jiwa dari dunia,
seperti yang dijelaskan oleh Augustine (De Civ. Dei vii, 6). Ini adalah hampir
sama dengan pendapat mereka yang menegaskan bahwa Allah adalah jiwa dari surga
yang paling tinggi. Juga, orang lain telah mengatakan bahwa Allah adalah
prinsip formal dari segala sesuatu; dan ini adalah teori Almaricians. Kesalahan
ketiga adalah David Dinant, yang dengan sangat absurd mengajarkan bahwa Allah
adalah materia utama. Sekarang semuanya ini berisi ketidakbenaran yang jelas;
karena tidak mungkin bagi Allah untuk masuk ke dalam komposisi dari apa pun,
baik sebagai prinsip forma atau materia. Pertama, karena Allah adalah penyebab
efisien pertama. Sekarang penyebab efisien tidak identik dalam hal jumlah
dengan forma yang disebabkannya, tetapi hanya secara khusus: seperti manusia
melahirkan manusia. Tetapi materia utama dapat tidak identik dalam hal jumlah
maupun secara spesifik dengan dengan suatu penyebab efisien; karena materia
utama hanya sekedar suatu potensialitas, sedangkan suatu penyebab efisien
berada dalam aktualitas. Kedua, karena Allah adalah penyebab efisien pertama,
maka Allah bertindak secara primer dan melalui esensi-Nya. Namun sesuatu yang
masuk ke dalam suatu komposisi dengan sesuatu lainnya, tidak bertindak secara
primer dan esensial, melainkan komposit itulah yang bergerak; seperti tangan
tidak bertindak, tetapi manusialah yang bertindak melalui tangannya; dan, api
menghangatkan sesuatu melalui panasnya. Maka Allah tidak dapat menjadi bagian
dari suatu senyawa. Ketiga, karena tidak ada bagian dari senyawa dapat
benar-benar bersifat primal dalam suatu keberadaan ---bahkan materia atau forma
sekalipun, meskipun mereka adalah bagian primal dari setiap senyawa. Karena
materia hanya bersifat potensial; dan potensialitas secara absolute ada setelah
aktualitas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (P [3], A[1]): saat suatu forma yang
merupakan bagian dari senyawa adalah bersifat ikut serta, dan karena sesuatu
yang berpartisipasi ada setelah sesuatu yang esensial ada, maka begitulah
sesuatu yang ada karena keikutsertaan; seperti api dalam objek yang menyala ada
setelah sebelumnya ada api secara esensial. Sekarang sudah terbukti bahwa Allah
adalah benar-benar keberadaan primal (P [2],
A[3]).
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Ke-Allah-an disebut
sebagai keberadaan dari segala sesuatu, sebagai kausa efisien dan contohnya,
namun tidak menjadi esensi dari segala keberadaan tersebut.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Sabda merupakan suatu
forma eksemplar; tapi bukan merupakan suatu forma yang menjadi bagian
dari suatu senyawa[19].
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal sederhana tidak
dibedakan melalui tambahan-tambahannya, karena tambahan tersebut adalah milik
dari suatu senyawa. Dengan demikian manusia dan kuda berbeda dalam perbedaan
mereka, rasional dan tidak rasional; namun pembedaan tersebut, tidak menjadi
berbeda satu sama lain karena hal-hal tambahan lainnya. Oleh karena itu, untuk
menjadi cukup akurat, lebih baik untuk mengatakan bahwa manusia dan kuda tidak
berbeda, tetapi beragam. Oleh karena itu, menurut sang Filsuf (Metaph. x),
"hal-hal yang beragam benar-benar berbeda, tetapi hal-hal yang berbeda
dibedakan karena sesuatu lainnya." Oleh karena itu, secara tegas
dikatakan, materia primer dan Allah tidaklah berbeda, tapi beragam melalui
keberadaan masing-masing. Maka dengan demikian Allah dan materia primer
tidaklah sama.
[1] Duoay-Rheims : “Who being the brightness of his glory,
and the figure of his substance”; (http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_PZT.HTM )
KJV
: “Who being the brightness of his glory,
and the express image of his person”.
Textus Receptus : “ὃς ὢν ἀπαύγασμα τῆς
δόξης καὶ χαρακτὴρ τῆς ὑποστάσεως αὐτοῦ” (hos ōn apaugasma tēs doxēs kai
charaktēr tēs hypostaseōs autou) (bdk. http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=1&v=3&t=KJV#conc/3, http://biblos.com/hebrews/1-3.htm)
TB
LAI : “Ia
adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”
Tampaknya
TB LAI mengabaikan kata hypostaseōs dan tidak menerjemahkannya, padahal
keberatan 2 di atas berangkat dari situ yaitu bahwa hypostaseōs Allah mempunyai gambaran sehingga
Allah disangka memiliki bentuk. KJV menerjemahkannya sebagai person.
Dalam Konsili Nikea 325, hypostaseōs adalah sama artinya dengan ousia (http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ), yaitu esensi (http://www.newadvent.org/cathen/07449a.htm ). Kata hypostaseōs ini muncul dalam Surat-surat Rasul
Paulus (2 Kor 9:4; 11:17; Ibr 1:3-3:14) tapi tidak dalam pemahaman sebagai person.
Perbedaan pemahaman ini menimbulkan heresy dalam Kristologi (http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ).
[2] Materia :
elemen yang membentuk atau menyusun sesuatu
( Catholic Encyclopedia, Matter, http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm )
Forma
: sesuatu yang terlihat, yang tampak
( Catholoc Encyclopedia, Form, http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm )
[3] Jiwa
adalah forma substansial dari tubuh manusia (ajaran St. Thomas ini ditetapkan
sebagai harus diimani oleh Konsili Vienne) (http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm ). Forma substansial adalah suatu
principal dari tindakan, dan karenanya sesuatu ada sebagaimana ia ada. Jiwa
sebagai forma substantial membedakan tubuh hidup dengan tubuh mati, dan ia
membedakan antara tubuh hidup satu dengan lainnya.
[4] Duoay-Rhimes : “But my just man liveth by faith; but if he withdraw himself, he
shall not please my soul.”
(http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P102.HTM
)
KJV
: “Now the just shall live by faith: but
if any man draw back, my soul shall have no pleasure in
him”
Textus Receptus : “ὁ δὲ δίκαιός ἐκ
πίστεως ζήσεται καὶ ἐὰν ὑποστείληται οὐκ εὐδοκεῖ ἡ ψυχή μου ἐν
αὐτῷ” (ho de dikaios mou ek pisteōs zēsetai kai ean
hyposteilētai ouk eudokei hē psychē mou
en autō)
(http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=10&v=38&t=KJV#conc/38 , http://biblos.com/hebrews/10-38.htm )
TB
LAI
: “Tetapi
orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri,
maka Aku tidak berkenan kepadanya.”
Berhubung
dengan banyaknya kata yang hilang dalam TB LAI, maka teks-teks Kitab Suci
berikutnya akan langsung diterjemahkan dari apa yang ditulis oleh St. Thomas,
karena tulisan-tulisan St. Thomas lebih sesuai dengan Textus Receptus maupun
terjemahannya dalam bahasa Inggris, terutama Duoay-Rheims.
[5] Suppositum adalah sesuatu yang
terindividualisasi, yang memiliki sesuatu yang membedakannya dengan yang lain
(bdk. Catholic Encyclopedia Person, http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm,
dan Individual, Individuality, http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm ). Istilah tersebut digunakan baik
untuk makhluk berakal maupun tak berakal (rasional dan irasional). Untuk
makhluk berakal terdapat istilah sendiri yaitu “pribadi”.
[6] “Aksiden”
adalah suatu sifat tidak khusus yang melekat pada genus atau species sehingga
bukan merupakan bagian yang hakiki. Contoh : buku yang berwarna hijau, rambut
pada manusia, dan sejenisnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran
Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, h.21).
[7]Permasalahan
di sini adalah pemahaman tentang “keberadaan” (to be) dan “kepemilikan” (to have). Allah tidak
memiliki “ke-Allahan”, kasih dan hidup, tapi Allah-lah ke-Allahan, kasih dan
hidup itu sendiri. Dengan demikian tidak ada komposisi dalam Allah, karena
suatu komposit akan selalu berada dalam potensialitas, sedangkan dalam Allah tidak
ada potensialitas (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The
One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa ,http://www.thesumma.info/one/one39.php,
dan St. Thomas Aquinas, Contra Gentiles I, ch.21, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21 )
[8]Suppositum disini berarti
hakikat ditambah dengan beberapa komposisi lainnya, seperti manusia adalah
kemanusiaannya ditambah beberapa hal lain (bdk. St. Thomas Aquinas, Contra
Gentiles I, ch.21, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21 )
[9]Keberadaan
: Keberadaan dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah keberadaan
yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa kategori (bdk. St. Thomas Aquinas, De
Ente et Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.4, dan Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 1996, h.19). Yang kedua adalah keberadaan yang menandakan kebenaran
suatu proposisi. Di sini suatu “privasi” (privation)
atau ketiadaan/kekurangan dan negasi (penyangkalan), dapat menjadi suatu
keberadaan. Contohnya adalah “kebutaan”. Kebutaan adalah sifat dari kurang atau
tiadanya kemampuan melihat dan negasi dari “bisa melihat” (buta=tidak bisa
melihat). Di sini proposisi “Kebutaan adalah sifat dari kurang atau tiadanya
kemampuan melihat” adalah benar, sehingga “kebutaan” adalah suatu keberadaan.
Namun demikian, “kebutaan” sebagai suatu keberadaan tidaklah memiliki esensi,
karena ia ada sebagai negasi atau privasi (privation).
Sedangkan keberadaan jenis pertama di atas adalah keberadaan yang memiliki
esensi, karena merupakan keberadaan nyata, dan bukan hanya sekedar suatu
proposisi.
Esensi :
Esensi dipahami sebagai sesuatu yang menjadikan sesuatu lainnya menjadi ada dan
dapat dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tersendiri (bdk. St. Thomas
Aquinas, De Ente et Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.6). Sebagai contoh,
“kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan berbeda dengan kelompok binatang
lainnya.
Esensi
hanya ada dalam keberadaan jenis pertama, karena keberadaan ini adalah
keberadaan nyata, bukan hanya sekedar suatu proposisi (ibid. art.5).
[10] Sesuatu
diluar esensi menjadi ada karena dua hal, yaitu dijadikan ada oleh esensi itu
sendiri (seperti tertawa yang ada karena merupakan bagian dari kemanusiaan),
atau disebabkan oleh agen eksterior. Sekarang, Allah tidak dijadikan ada oleh
agen eksterior karena Allah adalah Penyebab pertama, dan esensi Allah (yaitu
ke-Allahan-Nya) tidak bisa menjadi sebab dari keberadaan-Nya, karena untuk
menjadi sebab maka sesuatu harus ada terlebih dahulu. Maka keberadaan Allah
adalah sama dengan esensi-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St
Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one39.php)
[11]Esensi
(contohnya : kemanusiaan) berada dalam potensialitas, dan hanya menjadi actual
jika ia berada dalam suatu keberadaan (contohnya : manusia). Tapi dalam Allah
tidak ada potensialitas. Maka esensi Allah (ke-Allahan-Nya) tidak muncul dari
aktualitas keberadaan-Nya, tapi selalu ada dalam aktualitas. Ini berarti esensi
Allah adalah identik dengan keberadaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald,
O. P., The One God — A Commentary on the
First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one40.php).
[12]Substansi
: adalah suatu keberadaan yang tinggal di dalam dirinya sendiri, dan menjadi
subjek dari segala aksiden dan perubahan aksidental (Catholic Encyclopedia, Substance, http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm ). Contohnya adalah kayu. Kayu dapat
utuh, terpotong-potong, kering ataupun basah, dan semuanya itu adalah kayu
dengan segala aksiden dan perubahan aksidentalnya. Tapi jika kayu terbakar
habis sehingga hanya menyisakan abu, maka substansi kayu sudah tida ada dalam
abu tersebut.
Sebagai
perbandingan dengan suppositum, maka suppositum adalah substansi yang
terindividualisasi (bdk. Catholic Encyclopedia Personhttp://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm ). Misalnya kayu ini dan kayu itu
masing-masing adalah suppositum sedangkan substansinya adalah kayu.
[13] Genus dan
species :
Genus
adalah jenis yang merupakan himpunan benda, perorangan atau hal lainnya yang
meliputi kelompok-kelompok terbatas yang berada di bawahnya (bdk. Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran
Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).
Species
adalah kelompok-kelompok terbatas di bawah genus (ibid.). Hubungan
genus-species adalah genus selalu meliputi species, sedangkan species tersebut
dapat menjadi genus bagi kelompok-kelompok di bawahnya. Contoh (Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/:
Substansi :
- Tak tergerakkan
- Tergerakkan :
- Bersifat kekal
- Bersifat tidak kekal :
- Mati
- Hidup :
- Rasional
- Irasional
[14]Suatu
genus ditentukan oleh perbedaannya dengan genus lainnya. Jadi genus selalu
berada dalam potensialitas untuk ditentukan oleh factor pembedanya. Maka Allah
yang adalah aktualitas murni tidak dapat dimasukkan dalam suatu genus (bdk.
Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the
First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php).
[15] Jika “keberadaan” adalah suatu genus, maka ia harus memiliki pembeda
dengan genus lain. Namun “ketidakberadaan” tidak dapat digunakan sebagai
pembanding terhadap “keberadaan” karena hal tersebut adalah absurd (bdk. Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/ ). Maka “keberadaan” bukanlah genus.
[16] Allah
bukanlah sarana ukur yang homogen, tetapi heterogen, karena Ia adalah
keberadaan yang sempurna, yang mana segala keberadaan berusaha mendekati
kesempurnaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St
Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php)
[17]Kepada
suatu keberadaan yang absolute dan tidak menerima keberadaannya dari apapun
tidak dapat ditambahkan apapun ke dalamnya. Tapi Allah adalah keberadaan
semacam itu. Maka dalam Allah tidak dapat ditambahkan aksiden apapun (bdk.
Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the
First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one42.php).
[18]Artikel 8
ini adalah untuk menjawab pandangan bahwa Allah dapat bersatu dengan sesuatu
lainnya dan secara terpisah menjadi jiwa dari sesuatu tersebut, suatu pandangan
yang dianut dalam Pantheism. Paham ini mengimani bahwa Allah adalah jiwa dari
seluruh dunia (bdk. Catholic Encyclopedia Pantheism, http://www.newadvent.org/cathen/11447b.htm ). Namun ini tidak mungkin karena jika
Allah adalah jiwa dari seluruh dunia, maka Ia menjadi bagian dari esensi
seluruh dunia. Hal ini tidak mungkin karena jika menjadi bagian, itu berarti
Allah membentuk sesuatu yang lebih sempurna, lebih utama dari-Nya, yang adalah
tidak mungkin.
Namun
di lain pihak, dalam pribadi Kristus terdapat hypostatic union (persatuan hakikat, nature).
Ini bukan berarti hakikat (nature)
Ilahi menjadi bagian dari keseluruhan pribadi Kristus, melainkan semacam
mengikat hakikat manusia. Dengan demikian dalam Inkarnasi, Sabda tidak menjadi
bagian dari pribadi Kristus, tapi mengambil alih jiwa dan raga manusia Yesus
(bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the
First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one43.php,
dan Glenn, Paul Joseph, Mgr., A Tour of the Summa, http://www.catholictheology.info/summa-theologica/summa-part3.php?q=46 ).
[19]Seperti
dijelaskan di P.3, Art.2 di atas, Allah terdiri dari forma tapi tanpa materia
sehingga tidak merupakan bagian dari suatu komposit.
Forma
eksemplar : suatu forma yang melahirkan forma serupa lainnya. Keserupaan ini
bisa ada dua jenis yaitu secara esensi alami, seperti manusia melahirkan
manusia dan api menghasilkan api, atau secara esensi intelek, seperti rancangan
dalam pikiran seorang arsitek melahirkan rumah yang serupa dengan rancangannya
(bdk. Catholic Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#fn-c ). Sabda sebagai forma eksemplar ini
akan lebih jelas pembahasannya dalam Risalah tentang Tritunggal Maha Kudus.
No comments:
Post a Comment