Tuesday, 18 September 2018


Pertanyaan 3 : Tentang Ketunggalan Allah (Delapan Artikel)


Ketika keberadaan suatu hal telah dipastikan masih ada pertanyaan lebih lanjut tentang cara keberadaannya, agar kita dapat tahu esensinya. Sekarang, karena kita tidak tahu seperti apakah Allah itu, melainkan apa yang bukan Allah. Kita tidak memiliki sarana untuk mempertimbangkan bagaimana Allah itu, melainkan bagaimana yang bukan Allah itu. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan:

(1) Bagaimana yang bukan Ia;
(2) Bagaimana Ia dikenal oleh kita;
(3) Bagaimana Ia disebut.

Sekarang dapat ditunjukkan bagaimana yang bukan Allah, dengan menyangkal pemahaman apapun yang bertentangan dengan gagasan tentang-Nya, yaitu pemahaman tentang komposisi, gerak, dan sejenisnya. Oleh karena itu
(1) Kita harus membahas ketunggalan-Nya, dimana kita menyangkal adanya komposisi pada-Nya; dan karena apa pun yang tunggal dalam hal-hal materia adalah tidak sempurna dan merupakan bagian dari sesuatu yang lain, maka kita akan membahas
(2) Kesempurnaan-Nya;
(3) Kekekalan-Nya;
(4) Kemahakuasaan-Nya;
(5) Kesatuan-nya.


Tentang ketunggalan-Nya, ada delapan poin penyelidikan:

(1) Apakah Allah adalah suatu tubuh?
(2) Apakah Ia terdiri dari materia dan forma?
(3) Apakah dalam diri-Nya ada komposisi hakekat, esensi atau sifat, dan subjek?
(4) Apakah Ia terdiri dari esensi dan keberadaan?
(5) Apakah Ia terdiri dari genus dan perbedaan?
(6) Apakah Ia terdiri dari subjek dan aksiden?
(7) Apakah Ia dengan cara apapun adalah komposit, atau sepenuhnya tunggal?
(8) Apakah Ia berkomposisi dengan hal-hal lain?


Artikel 1 : Apakah Allah adalah Suatu Zat?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah adalah suatu zat karena zat adalah sesuatu yang memiliki tiga dimensi. Tetapi Kitab Suci mengatribusikan tiga dimensi kepada Allah, sebab ada tertulis: " Tingginya seperti langit--apa yang dapat kaulakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati--apa yang dapat kauketahui? Lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas dari pada samudera"(Ayub 11: 8, 9). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, segala sesuatu yang memiliki bentuk adalah suatu zat, karena bentuk adalah kualitas dari suatu kuantitas. Tetapi Allah tampaknya memiliki bentuk, sebab ada tertulis: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita" (Kej. 1: 26). Sekarang, bentuk disebut sebagai gambar, menurut teks: " Yang menjadi kecemerlangan kemuliaan dan wujud-Nya" yaitu gambaran, "dari substansi-Nya" (Ibrani 1: 3)[1]. Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa pun memiliki bagian jasmani adalah suatu zat. Sekarang, Kitab Suci mengatribusikan bagian jasmani kepada Allah. " Apakah lenganmu seperti lengan Allah?" (Ayub 40:4); dan " Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar" (Mazmur 33:16); dan " tangan kanan TUHAN berkuasa meninggikan" (Mazmur 117:16). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Keberatan 4 : Lebih lanjut, postur hanyalah milik dari zat. Tetapi dalam Kitab Suci Allah diandaikan memiliki postur : "Aku melihat Tuhan duduk" (Yes 6: 1), dan " TUHAN mengambil tempat untuk menuntut dan berdiri untuk mengadili bangsa-bangsa" (Yes 3: 13). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Keberatan 5 : Lebih lanjut, hanya zat atau benda jasmani yang dapat menggunakan istilah yang berhubungan dengan lokasi  "darimana" atau "kemana" Tapi dalam Kitab Suci Allah disebut menggunakan istilah-istilah local “pada” menurut kata-kata, " Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri" (Mazmur 33:6), dan sebagai istilah "dari": orang-orang yang menyimpang dari pada-Mu akan dilenyapkan di negeri" (Yeremia 17: 13). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.

Sebaliknya, Ada ditulis dalam Injil Yohanes (Yoh 4: 24): "Allah adalah Roh."

Aku menjawab, Adalah sungguh benar bahwa Allah bukanlah suatu zat; dan ini akan ditampilkan dalam tiga cara. Pertama, karena zat tidak bergerak kecuali itu digerakkan, sebagaimana jelas dalam hal induksi. Sekarang telah sudah terbukti (P[2], A[3]), bahwa Allah adalah Penggerak pertama, dan Ia tak tergerakkan. Oleh karena itu sangat jelas bahwa Allah bukanlah suatu zat. Kedua, karena keberadaan yang pertama harus ada dalam aktualitas, bukannya potesialitas. Karena walaupun dalam setiap hal yang berproses dari potensialitas menuju aktualitas, potensialitas selalu mendahului aktualitas, tetapi, tepatnya, aktualitas ada sebelum potensialitas, karena apapun yang ada dalam potensialitas dapat direduksi menjadi aktualitas hanya oleh suatu keberadaan yang berada dalam aktulitas. Sekarang telah dibuktikan bahwa Allah adalah Keberadaan yang pertama. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa Tuhan harus ada dalam potensialitas apapun. Tapi setiap zat ada dalam potensialitas karena ia terus berada dalam potensialitas yang tak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa Allah harus berupa zat. Ketiga, karena Allah adalah yang paling mulia dari segala keberadaan. Sekarang tidaklah mungkin bagi zat untuk menjadi yang paling mulia dari segala keberadaan karena zat harus selalu dalam keadaan dapat bergerak ataupun tidak dapat bergerak; dan zat yang dapat bergerak adalah lebih mulia dari zat yang tak dapat bergerak. Tapi zat yang dapat bergerak tidak secara tepat bergerak sebagai satu zat, karena jika demikian maka seluruh zat pada saat yang bersamaan akan bergerak. Oleh karena gerakannya tergantung dari benda lain, seperti tubuh kita bergerak tergantung dari jiwa kita. Maka sesuatu yang menggerakkan zat adalah lebih mulia dari zat. Dengan demikian tidaklah mungkin bahwa Allah adalah suatu zat.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Seperti yang telah kita bahas di atas (P [1], A[9]), Kitab Suci menjelaskan bagi kita hal-hal spiritual dan Ilahi dalam perbandingan dengan hal-hal jasmani. Oleh karena itu, ketika hal-hal tiga dimensi tentang makhluk jasmani itu diatribusikan kepada Allah, ini menyiratkan kuantitas-Nya yang sesungguhnya. Dengan demikian, tentang kedalaman, hal itu menandakan kekuatan-Nya untuk mengetahui hal-hal tersembunyi; tentang ketinggian, adalah tentang kekuasaan-Nya yang teramat luar biasa; tentang panjang, adalah tentang durasi keberadaan-Nya; tentang luas, adalah tentang tindakannya cinta-Nya untuk semua. Atau, seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. ix), dengan kedalaman Allah yang dimaksudkan adalah ketidakdapatdimengertian tentang esensi-Nya; dengan panjang, adalah prosesi semua kuasa-Nya; dengan luas, adalah Ia menjangkau segala sesuatu, sebab segala sesuatu berada di bawah perlindungan-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Manusia dikatakan sebagai gambar Allah, tidak mengenai tubuhnya, tetapi sehubungan dengan bagaimana ia mengungguli hewan lainnya. Oleh karena itu, ketika dikatakan, "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita", ada ditambahkan, "dan biarkan Dia berkuasa atas ikan di laut" (Kej. 1: 26). Sekarang manusia unggul atas semua hewan oleh nalar dan akalnya; maka dalam hal memiliki akal dan nalar, yang bukan merupakan hal-hal jasmani, manusia dikatakan serupa dengan gambar Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal jasmani diatribusikan kepada Allah dalam Kitab Suci untuk menyatakan tindakan-Nya, dan ini adalah karena paralel tertentu. Misalnya tindakan mata adalah untuk melihat; maka mata yang dikaitkan dengan Allah menandakan kekuasaan melihat melalui akal, bukannya indrawi; dan seterusnya dengan hal-hal lain.

Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Apapun yang berkenaan dengan postur, juga, hanya diatribusikan kepada Allah dengan semacam paralel. Ia disebut duduk karena ketaktergerakkan-Nya dan dominasi-Nya; dan sebagai berdiri, karena kekuasaan-Nya melampaui apa pun yang ada dihadapan-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Kita menghampiri Allah bukan melalui langkah jasmani, karena ia ada di mana-mana, tetapi dengan jiwa kita, dan dengan tindakan jiwa yang sama kita undur dari-Nya; dengan demikian, untuk mendekat atau undur dari-Nya hanya menandakan tindakan rohani, berdasarkan metafora terhadap tindakan bergerak.


Artikel 2 : Apakah Allah Terdiri dari Materia dan Forma?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa Allah terdiri dari materia dan forma karena apa pun yang memiliki jiwa selalu terdiri dari materia dan forma[2]; sebab jiwa adalah bentuk dari tubuh[3]. Tetapi Kitab Suci mengatribusikan jiwa kepada Allah; karena disebutkan dalam Surat kepada Jemaat di Ibrani (Ibrani 10: 38), dimana Allah menyatakan: "Tetapi orang-orang-Ku yang benar hidup oleh iman, tetapi jika dia menarik dirinya, ia tidak akan memuaskan jiwa-Ku"[4]. Oleh karena itu Allah terdiri dari materia dan forma.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, kemarahan, sukacita dan sejenisnya adalah gairah dari suatu komposit. Tapi hal-hal tersebut diatribusikan kepada Allah dalam Kitab Suci: "Tuhan sungguh murka pada umat-Nya" (Mazmur 105:40). Oleh karena itu Allah terdiri dari materia dan forma. 

Keberatan 3 : Lebih lanjut, materia adalah principal dari individualisasi. Tetapi Allah tampaknya individual, karena Ia tidak ada banyak. Oleh karena itu ia terdiri dari material dan forma. 

Sebaliknya, Apa pun yang terdiri dari materia dan forma adalah suatu tubuh; karena sifat dimensional dari suatu kuantitas adalah ciri pertama dari materia. Tetapi Allah bukanlah suatu tubuh seperti telah dibuktikan dalam artikel sebelumnya. Oleh karena itu Allah tidak terdiri dari materia dan forma.

Aku menjawab bahwa, Adalah mustahil bahwa dalam Allah ada materia. Pertama, karena materia selalu berada dalam potensialitas. Tapi kita telah menunjukkan (P [2], A[3]) bahwa Allah adalah aktualitas murni, tanpa ada potensialitas di dalam-Nya. Karena itu mustahil bahwa Allah terdiri dari materia dan forma. Kedua, karena segala sesuatu yang terdiri dari materia dan forma mengandalkan kesempurnaannya pada forma; oleh karena itu kebaikannya adalah kebaikan karena keikutsertaan, sejauh materia ikut serta dalam bentuk. Sekarang sesuatu yang pertama dan terbaik---yaitu Allah---bukanlah kebaikan karena keikutsertaan, karena kebaikan yang utama telah ada sebelum kebaikan karena keikutsertaan. Karena itu mustahil bahwa Allah terdiri dari materia dan forma.

Ketiga, karena setiap agen bertindak melalui formanya; oleh karena itu caranya memiliki forma adalah caranya berada sebagai agen. Oleh karena itu jika suatu agen bersifat utama dan pokok dalam hal apapun, ia juga harus utama dan pokok dalam formanya. Sekarang, Allah adalah agen pertama, karena Ia adalah Penyebab efisien pertama. Karena itu, Ia dalam esensi-Nya adalah suatu forma, dan tidak terdiri dari materia dan forma.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Jiwa diatribusikan kepada Allah karena perbuatan-perbuatan-Nya yang menyerupai tindakan jiwa; bahwa kita menghendaki sesuatu, adalah karena jiwa kita. Oleh karena itu apa berkenan kepada kehendak-Nya dikatakan menyenangkan untuk jiwa-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Kemarahan dan sejenisnya diatribusikan kepada Allah karena kesamaan efek. Dengan demikian, karena untuk menghukum adalah tindakan dari orang yang marah, hukuman Tuhan adalah secara metaforis disebut sebagai kemarahan-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Forma yang dapat diterima dalam materia menjadi terindividualisasi oleh materia, yang tidak dapat berada di sesuatu lainnya sebagai subjek karena forma tersebut adalah subjek dari materia itu sendiri; meskipun forma itu sendiri dapat diterima oleh banyak materia lainnya, kecuali sesuatu yang lain mencegah hal tersebut. Tapi forma yang tidak bisa diterima dalam materia, tetapi dalam dan dari dirinya sendiri ada, menjadi sungguh terindividualisasi karena forma tersebut tidak bisa diterima dalam suatu subjek, dan forma semacam itu adalah Allah. Maka tidak berarti bahwa Allah harus memiliki materia.


Artikel 3 : Apakah Tuhan Sama dengan Esensi atau Hakikat-Nya?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak sama dengan esensi atau hakikat-Nya, karena tidak ada yang bisa ada dalam dirinya sendiri. Tetapi substansi atau hakikat Allah---yaitu Ke-Allahan---dikatakan ada dalam Allah. Oleh karena itu tampaknya Allah tidak sama dengan esensi atau hakikat-Nya.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, efek dihubungkan dengan penyebabnya; karena setiap agen menghasilkan sesuatu yang serupa dengan dirinya. Tapi dalam ciptaan, "suppositum"[5] tidaklah identik dengan hakikatnya; karena manusia tidaklah sama dengan kemanusiaannya. Oleh karena itu Allah tidak sama dengan ke-Allahan-Nya.

Sebaliknya, Dikatakan mengenai Allah bahwa Ia adalah kehidupan itu sendiri, dan tidak hanya sekedar bahwa Ia adalah sesuatu yang hidup: "Akulah jalan, kebenaran, dan hidup" (Yohanes 14: 6). Sekarang hubungan antara ke-Allahan dan Allah adalah sama seperti hubungan antara kehidupan dan makhluk hidup. Oleh karena itu Allah adalah sungguh ke-Allahan-Nya.

Aku menjawab bahwa, Tuhan adalah sama dengan esensi atau hakikat-Nya. Untuk memahami hal ini, harus diperhatikan bahwa dalam hal-hal yang terdiri dari materia dan forma, hakikat atau esensi harus berbeda dari "suppositum," karena esensi atau hakikat menjelaskan hanya apa yang termasuk dalam definisi tentang spesies; seperti kemanusiaan menjelaskan semua yang termasuk dalam definisi tentang manusia, karena adalah dengan kemanusiaan maka manusia menjadi manusia, dan tentang manusia inilah yang dijelaskan dalam kemanusiaan, yaitu, bahwa manusia adalah manusia. Sekarang materia individual, dengan segala aksiden[6] yang mengindividualisasikannya, tidak termasuk dalam definisi tentang spesies, karena daging tertentu ini, tulang tertentu ini, hitam atau putihnya individu ini, dll, tidak termasuk dalam definisi tentang manusia. Oleh karena itu daging ini , tulang ini dan kualitas aksidental yang membedakan materia tertentu ini, tidak termasuk dalam kemanusiaan; namun mereka termasuk dalam hal-hal tentang manusia. Oleh karena itu hal yang ada dalam seorang manusia adalah lebih dari sekedar kemanusiaannya. Akibatnya kemanusiaan dan manusia tidak sepenuhnya sama; tetapi kemanusiaan diambil untnuk mengartikan bagian formal dari seorang manusia, karena prinsip-prinsip yang mendefinisikan suatu hal adalah unsur formal yang pokok dalam suatu materia yang terindividualisasi. Di lain pihak, dalam hal-hal yang tidak terdiri dari materia dan forma, di mana individualisasi bukan tentang materia individual---katakanlah, materia “ini”---maka forma terindividualisasi oleh dirinya sendiri ---sehingga forma itu sendiri menjadi “supposita”. Maka “suppositum” dan hakikat mereka menjadi teridentifikasi. Karena Allah tidak terdiri dari materia dan forma, maka ke-Allahan-Nya adalah Ia sendiri, kehidupan-Nya sendiri, dan hal apa pun yang diperdikasikan pada-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kita dapat berbicara tentang hal-hal sederhana hanya seolah-olah mereka merupakan hal-hal komposit yang menyusun pengetahuan kita. Oleh karena itu dalam berbicara tentang Allah, kita menggunakan kata benda konkrit untuk menandakan subsistensi-Nya, karena bagi kita, hanya hal-hal kompositlah yang ada; dan kita menggunakan kata benda abstrak untuk menandakan kesederhanaan-Nya. Dalam mengatakan bahwa ke-Allahan,  kehidupan atau sejenisnya yang ada dalam Allah, kita menggunakan cara komposit yang dipahami oleh akal kita, tetapi tidak berarti bahwa ada komposisi dalam Allah[7].

Tanggapa terhadap Keberatan 2 : Efek dari Allah tidak mengimitasi diri-Nya secara sempurna, tapi hanya sejauh yang mereka dapat; dan imitasi di sini tidak sempurna justru karena apa yang sederhana dan satu, hanya dapat diwakili oleh beberapa hal; Akibatnya, komposisi menjadi aksiden untuk hal-hal tersebut, dan oleh karena itu, dalam diri mereka, "suppositum" tidaklah sama dengan hakikat.[8]


Artikel 4 : Apakah dalam Allah Esensi dan Keberadaan adalah Sama?

Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah esensi dan keberadaan tidaklah sama[9]. Jika menjadi demikian, maka terhadap keberadaan ilahi tidak ada sesuatu pun yang dapat di ditambahkan. Sekarang suatu keberadaan yang tidak ditambahi apapun padanya adalah suatu keberadaan universal yang dipredikasikan kepada segala hal. Jika demikian maka Allah adalah suatu keberadaan dalam arti umum yang dapat dipredikasikan pada segala sesuatu. Tapi ini keliru : "Karena manusia memberikan nama dengan pemahaman tertentu pada kayu dan batu" (Keb 14: 21). Oleh karena itu keberadaan Allah tidak sama dengan esensi-Nya.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, kita dapat mengetahui apakah Allah ada seperti yang dikatakan di atas (P [2], A[2]); Tapi kita tidak tahu "apa" Allah itu. Oleh karena itu keberadaan Allah adalah tidak sama dengan esensi-Nya---yaitu sebagai hakekat atau inti-Nya.

Sebaliknya, Hilary mengatakan (Trin. vii): "Dalam Allah keberadaan bukanlah suatu kualitas aksidental, tetapi merupakan kebenaran yang menjadikan ada (subsisting truth)." Oleh karena itu apa yang ada dalam Allah adalah keberadaan-Nya.

Aku menjawab bahwa, Allah bukan hanya esensi-Nya sendiri, seperti yang ditunjukkan dalam artikel sebelumnya, tetapi juga keberadaan-Nya sendiri. Ini dapat ditunjukkan dalam beberapa cara. Pertama, apa pun yang dimiliki oleh sesuatu selain esensinya, harus disebabkan oleh principal pokok dari esensi tersebut (seperti sebuah kelayakan yang selalu menyertai spesies---contohnya hal tertawa adalah hal yang layak bagi seorang manusia---dan disebabkan oleh principal pokok dari spesies tersebut). Yang kedua adalah disebabkan oleh agen eksterior---seperti air yang menjadi panas karena disebabkan oleh api. Oleh karena itu, jika keberadaan dari sesuatu berbeda dari esensinya, keberadaan tersebut harus disebabkan oleh agen eksterior atau oleh principal pokoknya. Sekarang tidak mungkin keberadaan sesuatu hal adalah karena disebabkan oleh principal pokoknya, karena tidak ada yang dapat menjadi penyebab dari keberadaannya sendiri, jika keberadaannya itu adalah merupakan suatu akibat. Oleh karena itu, pada suatu keberadaan yang berbeda dari esensinya, keberadaannya tersebut harus disebabkan oleh suatu keberadaan lain. Tapi keberadaan Allah tidak seperti itu; karena Allah kita sebut sebeagai kausa efisien pertama. Oleh karena itu mustahil bahwa keberadaan Allah berbeda dari esensi-Nya[10]. Kedua, keberadaan adalah sesuatu yang membuat setiap bentuk atau hakikat menjadi aktual; karena kebaikan dan kemanusiaan dikatakan aktual, hanya jika dibicarakan tentang keberadaannya. Oleh karena itu keberadaan harus dibandingkan dengan esensi, jika esensi adalah sebuah realitas yang berbeda dari keberadaan, seperti aktualitas dibandingkan dengan potensialitas. Oleh karena itu, karena dalam Allah tidak ada potensialitas, seperti yang ditunjukkan di atas (A[1]), maka di dalam Dia esensi tidak berbeda dari keberadaan. Oleh karena itu esensi-Nya adalah keberadaan-Nya[11]. Ketiga, karena, seperti yang telah terbakar oleh api, tetapi tidak api itu sendiri, adalah ada dalam api karena keikutsertaan; sehingga ikut ada tetapi bukan keberadaan itu sendiri, adalah suatu keberadaan karena keikutsertaan. Tetapi Allah adalah esensi-Nya sendiri, seperti yang ditunjukkan di atas (A[3]) oleh karena itu, jika Ia bukan keberadaan-Nya sendiri maka Ia bukan ada secara esensial, tapi ada karena ikut serta. Jika demikian, maka Ia bukanlah keberadaan yang pertama---yang adalah absurd. Oleh karena itu Allah adalah keberadaan-Nya sendiri, dan bukan hanya sekedar esensi-Nya sendiri.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sesuatu yang tidak tertambahi apapun ke dalamnya dapat menjadi dua jenis. Yang pertama adalah sesuatu yang esensinya memang tidak bisa ditambahi, contohnya, adalah esensi dari binatang irasional yang kedalamnya tidak bisa ditambahi sifat rasional. Jenis yang kedua adalah suatu esensi yang tidak memerlukan apapun untuk ditambahkan padanya, jadi genus binatang adalah tanpa sifat rasional, karena secara umum bukanlah esensi dari binatang untuk memiliki sifat rasional. Maka ke dalam keberadaan ilahi tidak dapat ditambahi apapun, sedangkan dalam keberadaan universal tidak perlu ditambahi apapun.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : "Ada" dapat berarti salah satu dari dua hal. Ini mungkin berarti tindakan dari esensi, atau mungkin berarti komposisi proposisi yang dilakukan oleh pikiran dalam mengenakan suatu predikat pada suatu subyek. Dalam artian “ada” yang pertama, kita tidak dapat memahami keberadaan Allah ataupun esensi-Nya; tapi kita hanya memahaminya dalam pengertian kedua. Kita tahu bahwa proposisi “Allah ada” adalah benar, dan ini kita ketahui dari efek-Nya (P [2], A [2]).


Artikel 5 : Apakah Allah Termasuk dalam Suatu Genus?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah termasuk dalam suatu genus, karena suatu substansi adalah suatu keberadaan yang ada pada dirinya sendiri.[12] Tetapi Allah ada dalam diri-Nya sendiri. Oleh karena itu Allah ada dalam genus substansi.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, tidak suatupun dapat diukur kecuali oleh genusnya sendiri; seperti panjang diukur dengan panjang dan angka oleh angka. Tetapi Allah adalah ukuran dari segala substasnsi, seperti ditunjukkan oleh Komentator (Metaph. x). Oleh karena itu Allah termasuk dalam genus substansi.

Sebaliknya, Dalam pikiran, genus telah ada sebelum sesuatu yang terkandung di dalamnya ada. Tapi tidak ada sesuatupun  yang ada, baik secara nyata maupun hanya dalam pikiran. Oleh karena itu Allah tidak terkandung dalam genus apapun.

Aku menjawab bahwa, Sesuatu dapat ada dalam suatu genus dengan dua cara; secara absolute dan secara tatanan, seperti suatu spesies yang terkandung dalam suatu genus[13]; atau seperti sesuatu yang direduksi hingga menuju suatu genus, seperti suatu principal dan suatu kekurangan. Sebagai contoh, suatu titik dan suatu kesatuan direduksi ke dalam genus kuantitas sebagai prinsipalnya; Sementara kebutaan dan semua kekurangan lain yang dimasukkan dalam untuk genus kondisi. Tapi dalam cara apapun Allah tidak termasuk dalam suatu genus. Bahwa Ia tidak dapat menjadi suatu spesies dari suatu genus dapat ditunjukkan dalam tiga cara. Pertama, spesies dihasilkan dari genus dan perbedaan. Sekarang, perbedaan yang darinya suatu spesies diketahui, selalu berhubungan dengan sesuatu yang darinya suatu genus berasal, seperti aktualitas yang dihubungkan dengan potensialitas[14]. Karena binatang berasal dari suatu hakikat yang mampu mengindera, sebagai suatu perwujudan dari hakikat tersebut, karena binatang adalah sesuatu yang mempunyai kemampuan untuk mengindera. Makhluk rasional, di sisi lain, dikelompokkan dalam hakikat berakal, karena sesuatu disebut rasional, jika memiliki akal, dan akal dibandingkan dengan rasa, seperti aktualitas dibandingkan dengan potensialitas. Argumen yang sama berlaku baik dalam hal-hal lain. Maka karena dalam Allah tidak terdapat potensialitas yang berubah menjadi aktualitas, adalah mustahil bahwa Allah harus berada di bawah genus sebagai suatu spesies. Kedua, karena keberadaan Allah adalah sekaligus esensi-Nya. Jika Allah berada di bawah suatu genus, Ia seharusnya berada di bawah genus "keberadaan". Karena genus dipredikasikan sebagai suatu hal yang esensial, maka genus berhubungan dengan esensi dari suatu hal. Tapi sang Filsuf telah menunjukkan (Metaph. iii) bahwa “keberadaan” tidak dapat menjadi suatu genus, karena setiap genus memiliki esensi yang berbeda. Sekarang, keberadaan tidak memilik pembeda dengan hal lain, karena ketidakberadaan tidak dapat dijadikan suatu pembeda[15]. Dengan demikian Allah yang tidak termasuk dalam genus apapun. Ketiga, karena hal-hal yang berada dalam satu genus memiliki kesamaan hakekat atau esensi dari genus yang dipredikasikan pada mereka, tetapi hal-hal tersebut saling berbeda dalam keberadaan mereka, karena keberadaan manusia dan kuda tidaklah sama; juga keberadaan orang ini dan orang itu tidaklah sama. Maka dalam setiap anggota genus, keberadaan harus berbeda dengan hakekat---yaitu esensinya. Tapi dalam Allah keberadaan dan esensi tidaklah berbeda, seperti yang telah ditunjukkan dalam artikel sebelumnya. Oleh karena itu jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam genus apapun, seolah-olah Ia adalah suatu spesies. Dari ini juga jelas bahwa Ia tidak memiliki genus atau pembeda, tidak juga ada definisi tentang-Nya; tidak juga ada pembuktian tentang-Nya, kecuali lewat efek-efek-Nya, karena suatu definisi berhubungan dengan genus dan pembeda, dan suatu pembuktian hanya bisa terjadi melalui definisi. Bahwa Allah tidak memiliki suatu  genus sebagai principal-Nya,adalah jelas dari hal berikut, bahwa suatu principal yang dapat direduksi ke dalam suatu genus tidak akan menjangkau hal-hal di luar genus tersebut, seperti suatu titik hanya merupakan principal dari kuantitas berkesinambungan, sedangkan untuk kuantitas tak berkesinambungan ada di bawah principal kesatuan. Tetapi Allah adalah principal dari segala sesuatu. Oleh karena itu Ia tidak terdapat dalam genus apapun sebagai principal-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kata “substansi” tidak hanya mengacu pada cara keberadaan sesuatu---karena keberadaan sendiri tidak dapat menjadi suatu genus, seperti yang ditunjukkan dalam tubuh artikel ini; Tapi, kata itu juga menandakan esensi yang memiliki cara keberadaan yang demikian---yaitu, ada dalam dirinya sendiri; Namun, keberadaan ini bukanlah esensinya. Dengan demikian jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam genus substansi.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Keberatan ini mengacu pada sarana ukur proporsional yang harus homogen dengan apa yang diukur. Sekarang, Allah bukanlah sarana ukur yang sebanding dengan apapun. Namun, Ia tetap disebut sebagai sarana ukur terhadap segala sesuatu, dalam pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki keberadaan dalam cara menyerupai keberadaan-Nya[16].

Artikel 6 : Apakah dalam Allah Terdapat Aksiden?

Keberatan 1 : Tampaknya dalam Allah ada aksiden, karena suatu substansi tidak bisa menjadi akesiden, sebagaimana dikatakan Aristoteles (Phys. i). Oleh karena itu apa yang menjadi aksiden di suatu tempat, tidak bisa menjadi substansi di tempat lain. Dengan demikian terbukti bahwa panas tidak dapat menjadi bentuk substatnsial dari api, karena panas adalah aksiden dalam hal lain. TApi kebijaksanaan, kebajikan dan sejenisnya, yang merupakan aksiden pada diri kita, diatribusikan pada Allah. Maka dalam Allah ada aksiden.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, dalam setiap genus ada prinsipal pertama. Tetapi ada banyak "genera" [cat. : bentuk jamak dari genus] untuk banyak aksiden. Maka, jika tiap principal pertama tersebut tidak ada dalam Allah, maka aka nada keberadaan prima lainnya selain Allah—yang adalah absurd.

Sebaliknya, Setiap aksiden ada dalam suatu subjek. Tetapi Allah tidak dapat menjadi subjek, karena "suatu forma sederhana tidak dapat menjadi suatu subjek ", sebagai dikatakan Boethius (De Trin.). Oleh karena itu dalam Allah tidak ada aksiden.

Aku menjawab bahwa, Dari semua yang telah kita katakan, adalah jelas bahwa dalam Allah tidak ada aksiden. Pertama, karena suatu subjek dibandingkan dengan aksidennya sebagai suatu potensialitas menuju kepada aktualitas, karena suatu subjek dalam pengertian tertentu dijadikan actual oleh aksiden-aksidennya. Tapi tidak ada potensialitas dalam Allah, sebagaimana telah ditunjukkan (P[2], A[3]). Kedua, karena Allah adalah keberadaan-Nya sendiri; dan sebagaimana dikatakan  Boethius (Hebdom.), meskipun setiap esensi mungkin punya sesuatu yang ditambahkan padanya, ini tidak berlaku untuk keberadaan yang absolut: dengan demikian suatu substansi yang menerima panas dapat menerima sesuatu selain panas, sebagaimana warna putih, namun panas yang absolute tidak memiliki apapun selain panas di dalamnya[17]. Ketiga, karena esensi telah ada terlebih dahulu daripada aksiden. Karena Allah adalah keberadaan prima yang absolute, maka tidak ada aksiden di dalam-Nya. Tidak pula Ia memiliki aksiden esensial apapun (sebagaimana kemampuan untuk tertawa adalah suatu aksiden esensial dalam manusia) , karena aksiden semacam itu disebabkan oleh principal pokok suatu subjek. Sekarang, tidak ada penyebab dalam Allah, karena Ia sendiri adalah Penyebab pertama. Maka tidak ada aksiden dalam Allah.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kebajikan dan kebijaksanaan tidak dipredikasikan pada Allah dan pada diri kita dalam cara yang sama. Maka tidak berarti ada aksiden dalam Allah seperti yang ada pada kita.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Karena substansi ada terlebih dahulu daripada aksiden, principal-prinsipal dari aksiden ditarik mundur sampai pada principal-prinsipal substansi tersebut sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, seolah-olah terkandung dalam genus substansi tersebut. Namun Allah adalah yang keberadaan yang pertama, dan berada di luar genus apapun.



Artikel 7 : Apakah Allah Sepenuhnya Tunggal?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak sepenuhnya tunggal, karena apa pun yang berasal dari Allah harus mengimitasi dia. Dengan demikian keberadaan yang pertama adalah asal dari segala keberadaan; dan dari kebaikan yang pertama muncul segala kebaikan. Tapi dalam hal-hal yang diciptakan Allah, tidak ada satupun yang sepenuhnya tunggal. Oleh karena itu Allah juga tidak sepenuhnya tunggal.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, apa pun terbaik harus dikaitkan kepada Allah. Tetapi kita melihat bahwa suatu komposit lebih baik daripada sesuatu yang sepenuhnya tunggal; dengan demikian, senyawa kimia lebih baik daripada sekedar unsur-unsur yang sepenuhnya tunggal, dan hewan lebih baik daripada bagian-bagian yang membentuk mereka. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Allah sama sekali sepenuhnya tunggal.

Sebaliknya, Agustinus mengatakan (De Trin. iv, 6,7): "Allah sungguh dan secara absolut tunggal."

Aku menjawab bahwa, Ketunggalan absolut Allah dapat ditampilkan dalam banyak cara. Pertama, dari artikel sebelumnya dalam pertanyaan ini. Karena ada tidak komposisi kuantitatif yang menjadi bagian dalam Allah, karena Ia bukanlah suatu zat; juga bukan komposisi materia dan forma; juga tidak hakikat-Nya yang berbeda dari "suppositum"-Nya; maupun esensi dari keberadaan-Nya; tidak ada pula di dalam-Nya komposisi dari genus dan perbedaan, maupun dari subjek dan aksiden. Oleh karena itu, jelas bahwa Allah bukanlah suatu komposit, tapi sama sekali tunggal. Kedua, karena setiap komposit ada setelah disusun oleh komponen-komponennya, dan bergantung pada mereka; tetapi Allah adalah keberadaan yang pertama, seperti yang ditunjukkan di atas (P [2], A[3]). Ketiga, karena setiap komposit memiliki suatu penyebab, karena hal-hal yang berbeda tidak bisa bersatu kecuali ada sesuatu yang menyebabkan mereka bersatu. Tetapi Allah tidak disebabkan oleh apapun, seperti yang ditunjukkan di atas (P [2], A[3]), karena Ia adalah penyebab efisien pertama. Keempat, karena dalam setiap komposit harus ada potensialitas dan aktualitas; Tapi ini tidak berlaku untuk Allah; karena dalam komposit salah satu bagian mengaktualisasikan yang lain, atau setidaknya semua bagian memiliki potensialitas bagi keseluruhan komposit. Kelima, karena tidak ada komposit yang dapat dipredikasikan pada salah satu bagiannya. Dan ini jelas dalam suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda; karena tidak ada bagian dari seorang laki-laki yang adalah sekaligus seorang laki-laki, atau salah satu bagian kaki adalah keseluruhan kaki. Tetapi dalam suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang sama, meskipun sesuatu yang dipredikasikan pada keseluruhan, dapat dipredikasikan pada bagian (sebagaimana bagian dari udara adalah udara, dan bagian dari air adalah air), namun demikian terdapat hal-hal tertentu yang dapat dipredikasikan pada keseluruhan namun tidak bisa dipredikasikan pada bagian; misalnya, jika seluruh volume air adalah dua cubit, maka dua hasta tidak bisa dipredikasikan pada bagian-bagian air itu. Dengan demikian dalam setiap komposit terdapat sesuatu yang bukan merupakan dirinya sendiri. Namun, bahkan jika hal ini bisa dikatakan pada apa pun yang memiliki forma, yaitu bahwa ia memiliki sesuatu yang bukan dirinya sendiri, seperti dalam objek berwarna putih ada sesuatu yang bukan merupakan esensi dari putih; Namun demikian dalam forma sendiri, tidak ada apapun selain dirinya sendiri. Dengan demikian, karena Allah adalah suatu forma absolut, atau keberadaan absolut, Ia bisa ada tanpa melalui komposit. Hilary menyiratkan argumen ini, ketika ia berkata (De Trin. vii): "Allah, yang adalah kekuatan, tidak terdiri dari hal-hal yang lemah; juga tidak bahwa Ia yang adalah cahaya, terdiri dari hal-hal yang redup."

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Apa pun yang dari Allah adalah meniru Dia, seperti hal-hal yang disebabkan meniru sebab pertama. Tetapi esensi dari hal-hal tersebut harus ada dalam semacam komposit; karena setidaknya keberadaannya berbeda dari esensinya, seperti yang akan ditunjukkan selanjutnya, (P [4], A[3]).

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Pada kita, hal-hal komposit lebih baik daripada hal-hal tunggal, karena kesempurnaan dari kebaikan dalam ciptaan tidak ditemukan dalam satu hal yang tunggal, tetapi dalam banyak hal. Tapi kesempurnaan kebaikan Ilahi ditemukan dalam satu hal yang tunggal(P [4], [1] dan P [6], A[2]).


Artikel 8 : Apakah Allah Masuk ke Dalam Komposisi dengan Hal-hal Lain?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah masuk ke dalam komposisi hal-hal lain, karena Dionysius mengatakan (Coel. Hier. IV): "Ke-Allah-an adalah keberadaan dari segala sesuatu yang mengatasi semua keberadaan." Tetapi keberadaan segala sesuatu masuk ke dalam komposisi dari segala sesuatu. Oleh karena itu Allah masuk ke dalam komposisi dengan hal-hal lain.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, Tuhan adalah suatu forma; karena Agustinus mengatakan (De Verb. Dom., [* Serm. xxxviii]) bahwa, "Firman Allah, yang adalah Allah, merupakan suatu forma yang tak terciptakan." Tapi forma merupakan bagian dari suatu senyawa. Oleh karena itu Allah adalah bagian dari beberapa senyawa.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, segala sesuatu yang ada, yang dalam cara apapun tidak memiliki perbedaan dari sesuatu lainnya, adalah sama satu dengan lainnya. Tetapi Allah dan materia utama ada, dan dalam cara apapun tidak saling berbeda. Oleh karena itu mereka adalah benar-benar sama. Tetapi materia utama masuk ke dalam komposisi. Oleh karena itu Allah masuk ke dalam komposisi. Bukti dari premis minor tersebut adalah bahwa hal-hal apa pun yang berbeda, mereka dibedakan dengan beberapa perbedaan, dan oleh karena itu harus merupakan suatu komposit. Tetapi Allah dan materia utama sama sekali sederhana. Oleh karena itu mereka sama sekali sama satu dengan yang lain.

Sebaliknya, Dionysius mengatakan (Div. Nom. ii): "Tak ada yang dapat menyentuh-Nya," yaitu Allah, "dan tidak ada persatuan apapun dengan Dia melalui pembauran bagian dengan bagian."[18] Lebih lanjut, suatu sebab pertama mengatur segala sesuatu tanpa bercampur dengan mereka, seperti dikatakan oleh sang Filsuf (De Causis).

Aku menjawab bahwa, Pada titik ini ada tiga kesalahan. Beberapa telah menegaskan bahwa Allah adalah jiwa dari dunia, seperti yang dijelaskan oleh Augustine (De Civ. Dei vii, 6). Ini adalah hampir sama dengan pendapat mereka yang menegaskan bahwa Allah adalah jiwa dari surga yang paling tinggi. Juga, orang lain telah mengatakan bahwa Allah adalah prinsip formal dari segala sesuatu; dan ini adalah teori Almaricians. Kesalahan ketiga adalah David Dinant, yang dengan sangat absurd mengajarkan bahwa Allah adalah materia utama. Sekarang semuanya ini berisi ketidakbenaran yang jelas; karena tidak mungkin bagi Allah untuk masuk ke dalam komposisi dari apa pun, baik sebagai prinsip forma atau materia. Pertama, karena Allah adalah penyebab efisien pertama. Sekarang penyebab efisien tidak identik dalam hal jumlah dengan forma yang disebabkannya, tetapi hanya secara khusus: seperti manusia melahirkan manusia. Tetapi materia utama dapat tidak identik dalam hal jumlah maupun secara spesifik dengan dengan suatu penyebab efisien; karena materia utama hanya sekedar suatu potensialitas, sedangkan suatu penyebab efisien berada dalam aktualitas. Kedua, karena Allah adalah penyebab efisien pertama, maka Allah bertindak secara primer dan melalui esensi-Nya. Namun sesuatu yang masuk ke dalam suatu komposisi dengan sesuatu lainnya, tidak bertindak secara primer dan esensial, melainkan komposit itulah yang bergerak; seperti tangan tidak bertindak, tetapi manusialah yang bertindak melalui tangannya; dan, api menghangatkan sesuatu melalui panasnya. Maka Allah tidak dapat menjadi bagian dari suatu senyawa. Ketiga, karena tidak ada bagian dari senyawa dapat benar-benar bersifat primal dalam suatu keberadaan ---bahkan materia atau forma sekalipun, meskipun mereka adalah bagian primal dari setiap senyawa. Karena materia hanya bersifat potensial; dan potensialitas secara absolute ada setelah aktualitas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (P [3], A[1]): saat suatu forma yang merupakan bagian dari senyawa adalah bersifat ikut serta, dan karena sesuatu yang berpartisipasi ada setelah sesuatu yang esensial ada, maka begitulah sesuatu yang ada karena keikutsertaan; seperti api dalam objek yang menyala ada setelah sebelumnya ada api secara esensial. Sekarang sudah terbukti bahwa Allah adalah benar-benar keberadaan primal (P [2], A[3]).

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Ke-Allah-an disebut sebagai keberadaan dari segala sesuatu, sebagai kausa efisien dan contohnya, namun tidak menjadi esensi dari segala keberadaan tersebut.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Sabda merupakan suatu forma eksemplar; tapi bukan merupakan suatu  forma yang menjadi bagian dari suatu senyawa[19].

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal sederhana tidak dibedakan melalui tambahan-tambahannya, karena tambahan tersebut adalah milik dari suatu senyawa. Dengan demikian manusia dan kuda berbeda dalam perbedaan mereka, rasional dan tidak rasional; namun pembedaan tersebut, tidak menjadi berbeda satu sama lain karena hal-hal tambahan lainnya. Oleh karena itu, untuk menjadi cukup akurat, lebih baik untuk mengatakan bahwa manusia dan kuda tidak berbeda, tetapi beragam. Oleh karena itu, menurut sang Filsuf (Metaph. x), "hal-hal yang beragam benar-benar berbeda, tetapi hal-hal yang berbeda dibedakan karena sesuatu lainnya." Oleh karena itu, secara tegas dikatakan, materia primer dan Allah tidaklah berbeda, tapi beragam melalui keberadaan masing-masing. Maka dengan demikian Allah dan materia primer tidaklah sama.




[1]    Duoay-Rheims       :      Who being the brightness of his glory, and the figure of his substance”; (http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_PZT.HTM )
     KJV                             :       Who being the brightness of his glory, and the express image of his person”.
     Textus Receptus    :      “ὃς ὢν ἀπαύγασμα τῆς δόξης καὶ χαρακτὴρ τῆς ὑποστάσεως αὐτοῦ” (hos ōn apaugasma tēs doxēs kai charaktēr tēs hypostaseōs autou) (bdk. http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=1&v=3&t=KJV#conc/3, http://biblos.com/hebrews/1-3.htm)
     TB LAI                   :      “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”

Tampaknya TB LAI mengabaikan kata hypostaseōs dan tidak menerjemahkannya, padahal keberatan 2 di atas berangkat dari situ yaitu bahwa hypostaseōs Allah mempunyai gambaran sehingga Allah disangka memiliki bentuk. KJV menerjemahkannya sebagai person. Dalam Konsili Nikea 325, hypostaseōs adalah sama artinya dengan ousia (http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ), yaitu esensi (http://www.newadvent.org/cathen/07449a.htm ). Kata hypostaseōs ini muncul dalam Surat-surat Rasul Paulus (2 Kor 9:4; 11:17; Ibr 1:3-3:14) tapi tidak dalam pemahaman sebagai person. Perbedaan pemahaman ini menimbulkan heresy dalam Kristologi (http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ).
[2] Materia : elemen yang membentuk atau menyusun sesuatu
        ( Catholic Encyclopedia, Matter, http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm )
   Forma : sesuatu yang terlihat, yang tampak
        ( Catholoc Encyclopedia, Form, http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm )

[3] Jiwa adalah forma substansial dari tubuh manusia (ajaran St. Thomas ini ditetapkan sebagai harus diimani oleh Konsili Vienne) (http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm ). Forma substansial adalah suatu principal dari tindakan, dan karenanya sesuatu ada sebagaimana ia ada. Jiwa sebagai forma substantial membedakan tubuh hidup dengan tubuh mati, dan ia membedakan antara tubuh hidup satu dengan lainnya.

[4]    Duoay-Rhimes       :      But my just man liveth by faith; but if he withdraw himself, he shall not please my soul.” 
                                        (http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P102.HTM )
     KJV                      :      “Now the just shall live by faith: but if any man draw back, my soul shall have no pleasure in him”
     Textus Receptus    :      “ὁ δὲ δίκαιός ἐκ πίστεως ζήσεται καὶ ἐὰν ὑποστείληται οὐκ εὐδοκεῖ ἡ ψυχή μου ἐν αὐτῷ” (ho de dikaios mou ek pisteōs zēsetai kai ean hyposteilētai ouk eudokei hē psychē mou en autō) (http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=10&v=38&t=KJV#conc/38 http://biblos.com/hebrews/10-38.htm )
     TB LAI                   :      “Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.”

Berhubung dengan banyaknya kata yang hilang dalam TB LAI, maka teks-teks Kitab Suci berikutnya akan langsung diterjemahkan dari apa yang ditulis oleh St. Thomas, karena tulisan-tulisan St. Thomas lebih sesuai dengan Textus Receptus maupun terjemahannya dalam bahasa Inggris, terutama Duoay-Rheims.
[5] Suppositum adalah sesuatu yang terindividualisasi, yang memiliki sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (bdk. Catholic Encyclopedia Person, http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm, dan Individual, Individuality, http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm ). Istilah tersebut digunakan baik untuk makhluk berakal maupun tak berakal (rasional dan irasional). Untuk makhluk berakal terdapat istilah sendiri yaitu “pribadi”.

[6] “Aksiden” adalah suatu sifat tidak khusus yang melekat pada genus atau species sehingga bukan merupakan bagian yang hakiki. Contoh : buku yang berwarna hijau, rambut pada manusia, dan sejenisnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, h.21).

[7]Permasalahan di sini adalah pemahaman tentang “keberadaan” (to be) dan “kepemilikan” (to have). Allah tidak memiliki “ke-Allahan”, kasih dan hidup, tapi Allah-lah ke-Allahan, kasih dan hidup itu sendiri. Dengan demikian tidak ada komposisi dalam Allah, karena suatu komposit akan selalu berada dalam potensialitas, sedangkan dalam Allah tidak ada potensialitas (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa ,http://www.thesumma.info/one/one39.php, dan St. Thomas Aquinas, Contra Gentiles I, ch.21, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21 )

[8]Suppositum disini berarti hakikat ditambah dengan beberapa komposisi lainnya, seperti manusia adalah kemanusiaannya ditambah beberapa hal lain (bdk. St. Thomas Aquinas, Contra Gentiles I, ch.21, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21 )

[9]Keberadaan : Keberadaan dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah keberadaan yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa kategori (bdk. St. Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.4, dan Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, h.19). Yang kedua adalah keberadaan yang menandakan kebenaran suatu proposisi. Di sini suatu “privasi” (privation) atau ketiadaan/kekurangan dan negasi (penyangkalan), dapat menjadi suatu keberadaan. Contohnya adalah “kebutaan”. Kebutaan adalah sifat dari kurang atau tiadanya kemampuan melihat dan negasi dari “bisa melihat” (buta=tidak bisa melihat). Di sini proposisi “Kebutaan adalah sifat dari kurang atau tiadanya kemampuan melihat” adalah benar, sehingga “kebutaan” adalah suatu keberadaan. Namun demikian, “kebutaan” sebagai suatu keberadaan tidaklah memiliki esensi, karena ia ada sebagai negasi atau privasi (privation). Sedangkan keberadaan jenis pertama di atas adalah keberadaan yang memiliki esensi, karena merupakan keberadaan nyata, dan bukan hanya sekedar suatu proposisi.

Esensi : Esensi dipahami sebagai sesuatu yang menjadikan sesuatu lainnya menjadi ada dan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tersendiri (bdk. St. Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.6). Sebagai contoh, “kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan berbeda dengan kelompok binatang lainnya.

Esensi hanya ada dalam keberadaan jenis pertama, karena keberadaan ini adalah keberadaan nyata, bukan hanya sekedar suatu proposisi (ibid. art.5).

[10] Sesuatu diluar esensi menjadi ada karena dua hal, yaitu dijadikan ada oleh esensi itu sendiri (seperti tertawa yang ada karena merupakan bagian dari kemanusiaan), atau disebabkan oleh agen eksterior. Sekarang, Allah tidak dijadikan ada oleh agen eksterior karena Allah adalah Penyebab pertama, dan esensi Allah (yaitu ke-Allahan-Nya) tidak bisa menjadi sebab dari keberadaan-Nya, karena untuk menjadi sebab maka sesuatu harus ada terlebih dahulu. Maka keberadaan Allah adalah sama dengan esensi-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one39.php)

[11]Esensi (contohnya : kemanusiaan) berada dalam potensialitas, dan hanya menjadi actual jika ia berada dalam suatu keberadaan (contohnya : manusia). Tapi dalam Allah tidak ada potensialitas. Maka esensi Allah (ke-Allahan-Nya) tidak muncul dari aktualitas keberadaan-Nya, tapi selalu ada dalam aktualitas. Ini berarti esensi Allah adalah identik dengan keberadaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one40.php).

[12]Substansi : adalah suatu keberadaan yang tinggal di dalam dirinya sendiri, dan menjadi subjek dari segala aksiden dan perubahan aksidental (Catholic Encyclopedia, Substance, http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm ). Contohnya adalah kayu. Kayu dapat utuh, terpotong-potong, kering ataupun basah, dan semuanya itu adalah kayu dengan segala aksiden dan perubahan aksidentalnya. Tapi jika kayu terbakar habis sehingga hanya menyisakan abu, maka substansi kayu sudah tida ada dalam abu tersebut.

Sebagai perbandingan dengan suppositum, maka suppositum adalah substansi yang terindividualisasi (bdk. Catholic Encyclopedia Personhttp://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm ). Misalnya kayu ini dan kayu itu masing-masing adalah suppositum sedangkan substansinya adalah kayu.

[13] Genus dan species :
Genus adalah jenis yang merupakan himpunan benda, perorangan atau hal lainnya yang meliputi kelompok-kelompok terbatas yang berada di bawahnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).

Species  adalah kelompok-kelompok terbatas di bawah genus (ibid.). Hubungan genus-species adalah genus selalu meliputi species, sedangkan species tersebut dapat menjadi genus bagi kelompok-kelompok di bawahnya. Contoh (Stanford Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/:

Substansi :
         - Tak tergerakkan
         - Tergerakkan :
                      - Bersifat kekal
                      - Bersifat tidak kekal :
                                - Mati
                                - Hidup :
                                           - Rasional
                                           - Irasional


[14]Suatu genus ditentukan oleh perbedaannya dengan genus lainnya. Jadi genus selalu berada dalam potensialitas untuk ditentukan oleh factor pembedanya. Maka Allah yang adalah aktualitas murni tidak dapat dimasukkan dalam suatu genus (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php).

[15] Jika “keberadaan” adalah suatu genus, maka ia harus memiliki pembeda dengan genus lain. Namun “ketidakberadaan” tidak dapat digunakan sebagai pembanding terhadap “keberadaan” karena hal tersebut adalah absurd (bdk. Stanford Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/ ). Maka “keberadaan” bukanlah genus.

[16] Allah bukanlah sarana ukur yang homogen, tetapi heterogen, karena Ia adalah keberadaan yang sempurna, yang mana segala keberadaan berusaha mendekati kesempurnaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php)

[17]Kepada suatu keberadaan yang absolute dan tidak menerima keberadaannya dari apapun tidak dapat ditambahkan apapun ke dalamnya. Tapi Allah adalah keberadaan semacam itu. Maka dalam Allah tidak dapat ditambahkan aksiden apapun (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one42.php).

[18]Artikel 8 ini adalah untuk menjawab pandangan bahwa Allah dapat bersatu dengan sesuatu lainnya dan secara terpisah menjadi jiwa dari sesuatu tersebut, suatu pandangan yang dianut dalam Pantheism. Paham ini mengimani bahwa Allah adalah jiwa dari seluruh dunia (bdk. Catholic Encyclopedia Pantheism, http://www.newadvent.org/cathen/11447b.htm ). Namun ini tidak mungkin karena jika Allah adalah jiwa dari seluruh dunia, maka Ia menjadi bagian dari esensi seluruh dunia. Hal ini tidak mungkin karena jika menjadi bagian, itu berarti Allah membentuk sesuatu yang lebih sempurna, lebih utama dari-Nya, yang adalah tidak mungkin.

Namun di lain pihak, dalam pribadi Kristus terdapat hypostatic union (persatuan hakikat, nature). Ini bukan berarti hakikat (nature) Ilahi menjadi bagian dari keseluruhan pribadi Kristus, melainkan semacam mengikat hakikat manusia. Dengan demikian dalam Inkarnasi, Sabda tidak menjadi bagian dari pribadi Kristus, tapi mengambil alih jiwa dan raga manusia Yesus (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one43.php, dan Glenn, Paul Joseph, Mgr., A Tour of the Summa, http://www.catholictheology.info/summa-theologica/summa-part3.php?q=46 ).

[19]Seperti dijelaskan di P.3, Art.2 di atas, Allah terdiri dari forma tapi tanpa materia sehingga tidak merupakan bagian dari suatu komposit.

Forma eksemplar : suatu forma yang melahirkan forma serupa lainnya. Keserupaan ini bisa ada dua jenis yaitu secara esensi alami, seperti manusia melahirkan manusia dan api menghasilkan api, atau secara esensi intelek, seperti rancangan dalam pikiran seorang arsitek melahirkan rumah yang serupa dengan rancangannya (bdk. Catholic Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#fn-c ). Sabda sebagai forma eksemplar ini akan lebih jelas pembahasannya dalam Risalah tentang Tritunggal Maha Kudus.

No comments:

Post a Comment