Karena tujuan utama dari
Doktrin Suci adalah untuk mengajarkan pengetahuan tentang Allah, bukan hanya
tentang Ia dalam diri-Nya sendiri, tetapi juga tentang Ia sebagai awal dan
akhir dari segala hal, dan terutama dari makhluk-makhluk rasional, sebagaimana
jelas dari apa yang telah dikatakan sebelumnya. Karena itu, dalam usaha kita
untuk menjelaskan ilmu ini, kita akan membahas :
1. Tentang Allah;
2. Tentang langkah makhluk
rasional menuju Allah;
3. Tentang Kristus, yang
sebagai manusia, adalah jalan kita menuju Allah.
Dalam pembahasan tentang
Allah akan terdapat tiga bagian, karena kami akan mempertimbangkan :
1. Hal-hal yang berhubungan
dengan Esensi Ilahi;
2. Hal-hal yang berhubungan
dengan pembedaan Pribadi;
3. Hal-hal yang berhubungan
dengan prosesi ciptaan dari-Nya.
Tentang Esensi Ilahi, kita
harus mempertimbangkan:
1. Apakah Tuhan ada?
2. Sifat keberadaan-Nya,
atau lebih tepatnya, apa yang bukan merupakan sifat dari keberadaan-Nya;
3. Hal-hal tentang
tindakan-Nya ---yaitu, pengetahuan, kehendak, dan kekuatan-Nya.
Mengenai hal pertama di
atas, ada tiga poin penyelidikan
1. Apakah proposisi
"Allah ada" adalah self-evident [cat. penerj. :
terbukti-dengan-sendirinya, yaitu dapat dipahami melalui istilah itu sendiri]?
2. Apakah keberadaan
Allah dapat ditunjukkan?
3. Apakah Allah ada?
Artikel 1: Apakah Keberadaan Allah Self-Evident?
Keberatan 1 : Tampaknya bahwa
keberadaan Allah adalah self-evident . Sekarang hal-hal disebut self-evident adalah jika pemahaman tentangnya telah
secara alami ada dalam diri kita, yang kita pahami sebagai prinsip utama.
Tetapi sebagaimana dikatakan Damaskus (De Fide Orth. i, 1,3), "pengetahuan
tentang Allah secara alami telah ditanamkan di semua orang." Oleh karena
itu keberadaan Allah adalah self-evident.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, hal-hal
disebut self-evident jika diketahui segera setelah
istilah tersebut dipahami, yang oleh Sang Filsuf (1 Poster. iii) dikatakan
dengan benar mengenai prinsip-prinsip pertama tentang suatu demonstrasi. Dengan
demikian, ketika sifat dari suatu keseluruhan dan suatu bagian diketahui,
segera diakui bahwa setiap keseluruhan adalah lebih besar daripada bagiannya.
Tapi segera setelah makna kata "Allah" dipahami, saat itu juga dapat
dilihat bahwa Allah ada, karena dengan kata-kata tersebut dimaknai bahwa tidak
ada sesuatu yang dapat lebih besar lagi dari-Nya. Tapi hal-hal yang secara
actual ada dan diakui oleh pikiran adalah lebih besar daripada keberadaan yang
ada hanya dalam pikiran. Oleh karena itu, karena kata "Allah" segera
dipahami maknanya, keberadaannya ada dalam pikiran, sekaligus diakui bahwa ia
ada secara aktual. Oleh karena itu proposisi "Allah ada" adalah self-evident.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, keberadaan
kebenaran adalah self-evident, karena
siapapun yang menyangkal keberadaan kebenaran mengakui bahwa kebenaran tidak
ada: dan, jika kebenaran tidak ada, maka proposisi "bahwa kebenaran tidak
ada" adalah benar: dan jika ada sesuatu yang benar, harus ada kebenaran.
Tetapi Allah adalah kebenaran itu sendiri: "Akulah jalan, kebenaran, dan
hidup" (Yohanes 14: 6). Karena itu "Allah ada" adalah self-evident.
Sebaliknya, Tak seorang pun dapat
dalam pikirannya mengakui kebalikan dari sesuatu yang self-evident;
sebagaimana dinyatakan oleh Sang Filsuf (Metaph. iv, lect. vi) tentang
prinsip-prinsip utama tentang demonstrasi. Tetapi kebalikan dari proposisi
"Allah ada" dapat diakui oleh pikiran : "Orang bebal berkata
dalam hatinya : Tidak ada Tuhan" (Mazmur 53:1). Oleh karena itu, bahwa
Allah ada bukanlah self-evident.
Aku menjawab bahwa, Suatu hal dapat menjadi self-evident dalam dua cara : di satu sisi, jelas
dalam dirinya sendiri, meskipun tidak bagi kita; di sisi lain, jelas dalam
dirinya sendiri, dan juga bagi kita. Suatu proposisi menjadi self-evident karena predikat tersebut termasuk
dalam esensi dari subjek, seperti dalam "Manusia adalah binatang,"
karena binatang terkandung dalam esensi manusia. Jika esensi dari subjek dan
predikat dikenal oleh semua, proposisi tersebut akan self-evident bagi semua; seperti jelas
berkenaan dengan prinsip-prinsip pertama demonstrasi, syarat-syarat dimana
hal-hal yang umum tidaklah tidak diketahui oleh siapapun, seperti tentang ada
dan tiada, perbedaan antara keseluruhan dan bagian, dan hal lain semacam itu.
Tetapi, jika ada hal-hal yang esensi predikat dan subjeknya tidak diketahui,
proposisi tersebut akan menjadi jelas dalam dirinya sendiri, tetapi tidak bagi
orang-orang yang tidak tahu arti dari predikat dan subjek proposisi tersebut.
Oleh karena itu, hal itu terjadi, seperti dikatakan Boethius (Hebdom., dengan
judul : "Apakah semua yang memiliki keberadaan, adalah baik"),
"bahwa ada beberapa konsep dalam pikiran yang jelas hanya untuk yang
belajar, sebagaimana tentang sosok rohani yang tidak berada dalam
ruang." Oleh karena itu saya mengatakan bahwa proposisi "Allah ada,"
itu sendiri self-evident, karena
predikatnya adalah sama dengan subjeknya, karena Allah adalah keberadaan-Nya
itu sendiri sebagaimana akan dibahas selanjutnya (Pertanyaan
3, Artikel 4).
Sekarang karena kita tidak tahu esensi Allah, maka proposisi tersebut tidaklah self-evident bagi kita; tapi perlu
dibuktikan melalui hal-hal yang lebih dikenal oleh kita, walaupun secara alami
kurang dikenal ---yaitu, melalui efek.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Secara umum dan tidak
jelas, pemahaman bahwa Allah ada dalam diri kita secara alami, sebab Allah
adalah kebahagiaan manusia. Karena manusia secara alami menginginkan
kebahagiaan, dan apa yang secara alami diinginkan oleh manusia harus secara
alami dikenal olehnya. Namun, Ini bukan berarti manusia secara mutlak tahu
bahwa Allah ada, seperti saat seseorang tahu ada orang lain yang mendekat bukan
berarti ia tahu bahwa yang mendekat adalah Peter, meskipun memang Peter yang
mendekat, karena ada banyak orang yang membayangkan kesempurnaan kebahagiaan
manusia terletak pada kekayaan, dan yang lainnya mengira ada dalam kepuasan,
dan lainnya ada dalam hal lain.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Mungkin tidak semua orang
yang mendengar kata "Allah" memahami bahwa kata itu memiliki arti
tentang sesuatu yang tidak ada yang melebihinya, karena beberapa orang memahami
Allah sebagai suatu makhluk ragawi. Namun, seandainyapun semua orang memahami
bahwa kata "Allah" menandakan sesuatu yang tidak ada yang lebih besar
darinya, bukan dengan sendirinya berarti bahwa sesuatu yang ditandakan oleh
kata itu sungguh ada secara aktual, tapi dipahami hanya melalui pikirannya
saja. Tidak bisa juga dinyatakan bahwa sesuatu yang ditandakan oleh kata
“Allah” tersebut sungguh ada secara actual, kecuali juga diakui [oleh mereka yang tidak percaya - penerjemah][1]
bahwa secara actual ada sesuatu yang tidak dapat dilampaui kebesarannya oleh
apapun, Tetapi inilah yang tidak diakui oleh mereka yang beranggapan bahwa
Allah tidak ada.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keberadaan kebenaran
secara umum adalah self-evident tetapi keberadaan Kebenaran
Utama tidaklah self-evident bagi kita.
Artikel
2 : Apakah Dapat Ditunjukkan bahwa Allah Ada?
Keberatan 1 : Tampaknya keberadaan
Allah tidak dapat ditunjukkan, karena keberadaan Allah adalah suatu artikel iman.
Tapi segala sesuatu yang berasal dari iman tidak dapat dibuktikan, karena
pembuktian menghasilkan pengetahuan ilmiah; sedangkan iman adalah tentang
sesuatu yang tak terlihat (Ibrani 11: 1). Oleh karena itu tidak dapat
dibuktikan bahwa Allah ada.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, esensi
adalah term tengah[2]
dari suatu pembuktian. Tapi kita tidak tahu terdiri dari apa esensi Allah,
tetapi hanya tahu tentang apa yang tidak merupakan bagian dari esensi Allah,
seperti dikatakan Damaskus (De Fide Orth. i, 4). Oleh karena itu kita tidak
dapat membuktikan bahwa Tuhan ada.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, jika
keberadaan Allah dapat dibuktikan, maka hanya berdasarkan efek-Nya. Tapi
efek-Nya tidak sebanding dengan esensi-Nya, karena Ia adalah tak terbatas
sedangkan efek-Nya terbatas; dan antara tak terbatas dengan terbatas tidak
dapat diperbandingkan. Oleh karena itu, karena suatu sebab tidak dapat
dibuktikan melalui efeknya yang tidak sebanding, maka sepertinya keberadaan
Tuhan tidak dapat dibuktikan.
Sebaliknya, Sang Rasul mengatakan:
" Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal
dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia
diciptakan, " (Roma 1: 20). Tapi hal tersebut tidak akan terjadi kecuali
keberadaan Allah dapat dibuktikan melalui ciptaan; karena hal pertama yang
harus kita ketahui dari sesuatu apapun adalah apakah sesuatu tersebut ada.[3]
Aku menjawab bahwa, Pembuktian dapat
dilakukan dalam dua cara: satu adalah melalui penyebab, dan disebut "a
priori", dan ini adalah berargumen dari apa yang sebelumnya secara mutlak
telah ada. Yang lain adalah melalui efek, dan disebut pembuktian "a
posteriori"; ini adalah berargumen dari apa yang dari sisi kita dipandang
secara relative telah ada. Ketika suatu efek lebih kita ketahui daripada
penyebabnya, maka dari efek tersebut kita berproses menuju pada pengetahuan
tentang penyebabnya. Dan dari setiap efek, keberadaan dari penyebabnya dapat
dibuktikan, asalkan efek tersebut lebih kita ketahui; karena setiap efek
tergantung pada penyebabnya. Jika ada efek, maka sebelumnya harus ada penyebab.
Maka keberadaan Tuhan, karena hal tersebut tidak jelas bagi kita, dapat
dibuktikan dari hal-hal yang membuat kita tahu tentang efek-Nya.
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Keberadaan Allah dan
kebenaran lainnya tentang Allah, yang bisa diketahui melalui nalar alami,
bukanlah artikel iman, tetapi merupakan dasar bagi artikel-artikel iman[4];
karena iman mempresuposisikan (mengandaikan, mendasarkan) pada pengetahuan
alami, sebagaimana rahmat mempresuposisikan keberadaan suatu sifat [tamb. : yang akan diberi rahmat],
dan kesempurnaan mempresuposisikan sesuatu yang dapat disempurnakan. Namun,
tidak ada yang dapat mencegah manusia, yang tidak dapat memahami suatu bukti,
menerima sesuatu yang dalam dirinya sendiri dapat diketahui dan dibuktikan secara
ilmiah, sebagai sesuatu yang [hanya bisa diterima] melalui iman.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Ketika keberadaan suatu
penyebab dibuktikan dari suatu efek, efek ini mengambil definisi dari penyebab
dalam upaya pembuktian keberadaan penyebab. Hal ini terutama dalam kaitannya
dengan Allah, karena, untuk membuktikan keberadaan apa pun, adalah perlu untuk
menerima arti kata-kata sebagai term tengahnya, bukan esensinya, karena
pertanyaan tentang esensi mengikuti pertanyaan tentang eksistensi. Sekarang nama
yang diberikan kepada Allah berasal dari efek-Nya; Akibatnya, dalam membuktikan
keberadaan Allah dari efek-Nya, kita dapat mengambil term tengah makna dari
kata "Allah".
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Dari efek-efek yang tidak
sebanding dengan penyebab, tidak ada pengetahuan yang sempurna yang dapat
diperoleh tentang penyebab. Namun dari setiap efek, keberadaan penyebab dapat
dengan jelas dibuktikan, maka kita dapat menunjukkan keberadaan Allah dari
efek-Nya; meskipun dari efek-efek tersebut kita tidak dapat dengan sempurna
mengetahui Allah sebagaimana Ia ada dalam esensi-Nya.
Artikel 3 : Apakah
Allah Ada?
Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak
ada; karena jika salah satu dari dua hal yang saling berlawanan adalah tak
terbatas, maka yang lain akan sama sekali hancur. Tapi kata "Allah"
berarti bahwa Ia adalah kebaikan yang tak terbatas. Oleh karena itu, jika Allah
ada, tidak akan ada kejahatan; Tapi kejahatan ada di dunia. Oleh karena itu
Allah tidak ada.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah
berlebihan untuk beranggapan bahwa apa yang dapat dijelaskan oleh sedikit
prinsip adalah merupakan produk dari banyak prinsip. Sekarang, seandainya Allah
tidak ada, tampaknya segala sesuatu yang kita lihat di dunia dapat dijelaskan
oleh prinsip-prinsip lain, karena semua hal alami dapat dirunut menuju satu
prinsip yaitu prinsip alami; dan setiap tindakan dapat dirunut menuju satu
prinsip yaitu akal maupun kehendak manusia. Oleh karena itu, tidak perlu
berandai-andai tentang keberadaan Allah.
Sebaliknya, Dikatakan bahwa dalam
Pribadi Allah: "Aku adalah Yang Ada"[5]
(Keluaran 3: 14).
Aku menjawab bahwa, Keberadaan Allah dapat
dibuktikan dalam lima cara. Yang pertama dan lebih nyata adalah argumen dari
gerak. Pasti, dan jelas untuk indra kita, bahwa di dunia, beberapa hal
bergerak. Sekarang apa pun yang bergerak adalah digerakkan oleh hal lain,
karena tidak ada yang bisa bergerak kecuali dalam potensialitas untuk menjadi
bergerak; sedangkan hal yang bergerak karena ia berada dalam kenyataan
bergerak, karena gerak tak lain daripada perubahan sesuatu dari potensialitas
menuju aktualitas (kenyataan). Tetapi tidak yang dapat berubah dari
potensialitas menuju aktualitas, kecuali oleh sesuatu yang berada dalam
aktualitas. Jadi apa yang secara aktual panas, seperti api, membuat kayu, yang
berpotensi panas, untuk menjadi panas secara aktual, dan dengan demikian api menggerakkan
dan mengubah kayu. Sekarang tidak mungkin bahwa hal yang sama dapat sekaligus
berada dalam keadaan aktual dan potensial dalam hal yang sama, tetapi hanya
dalam hal yang berbeda. Karena apa yang secara aktual panas tidak dapat secara
bersamaan berpotensi panas; tetapi secara bersamaan bisa berpotensi dingin
[atau lebih panas]. Karena itu mustahil bahwa dalam hal yang sama dan dengan
cara yang sama, sesuatu menjadi penggerak sekaligus yang digerakkan, dalam arti
bahwa sesuatu tersebut bergerak sendiri. Oleh karena itu, apa pun yang bergerak
harus digerakkan oleh sesuatu lainnya. Jika sesuatu yang menggerakkan tersebut
menjadi bergerak, maka sesuatu tersebut harus digerakkan oleh sesuatu lainnya,
dan terus berlanjut demikian. Tapi ini tidak dapat berlanjut sampai tak
terbatas, karena jika demikian maka tidak akan ada penggerak pertama, dan
akibatnya, tidak ada penggerak lagi; karena penggerak berikutnya bergerak hanya
sejauh mereka digerakkan oleh penggerak pertama; sebagaimana batang bergerak
hanya jika digerakkan oleh tangan. Oleh karena itu sangat diperlukan untuk
sampai pada penggerak pertama, yang tidak digerakkan oleh apapun, dan ini
dipahami sebagai Allah[6].
Cara kedua adalah dari
sifat tentang kausa efisien[7].
Dalam dunia indera, kita menemukan adanya aturan tentang kausa efisien. Tidak
ada kasus yang pernah dikenal (dan sungguh, hal itu memang tidak mungkin) di
mana suatu hal merupakan kausa efisien bagi dirinya sendiri, karena itu berarti
sesuatu itu ada di luar dirinya sendiri, yang adalah tidak mungkin. Sekarang
dalam suatu kausa efisien tidak mungkin untuk terus berlanjut sampai tak
berhingga, karena dalam semua kausa efisien berada dalam urutan, yaitu bahwa
yang pertama menjadi penyebab dari kausa intermediate, dan kausa intermediate menjadi
penyebab dari kausa akhir, entah kausa intermediate tersebut berjumlah banyak
atau hanya ada satu. Sekarang dengan menghilangkan penyebab maka berarti juga
menghilangkan efek. Oleh karena itu, jika tidak ada penyebab pertama di antara
kausa efisien, tidak akan ada kausa akhir ataupun kausa intermediate
setelahnya. Tapi jika kausa efisien dapat berlanjut hingga tak terbatas, maka
tidak aka nada kausa pertama, sehingga tidak aka nada kausa akhir ataupun kausa
intermediate, yang semua itu telah nyata keliru. Maka adalah perlu untuk
mengakui adanya satu kausa efisien yang pertama, yang disebut Allah.
Cara ketiga diambil dari
hal tentang kemungkinan dan kebutuhan, dan berjalan dengan demikian. Kita
menemukan di alam hal-hal yang mungkin dan tidak mungkin untuk terjadi, karena
mereka ada dengan cara diperanakkan, dan dapat rusak, dan konsekuensinya,
mereka dapat mungkin ada atau dapat mungkin tidak ada. Tapi kedua kemungkinan
tersebut tidak selalu ada, karena suatu saat sesuatu mungkin ada, di saat lain
ia tidak dapat mungkin tidak ada. Oleh karena itu, jika segala sesuatu mungkin
ada, di saat lain adalah mungkin bagi segala sesuatu untuk tidak ada. Sekarang,
jika hal tersebut benar, maka saat ini tidak ada apapun yang memiliki
keberadaan karena hal yang tidak memiliki keberadaan akan ada hanya jika
melalui sesuatu yang telah ada. Oleh karena itu, jika suatu saat tidak ada
satupun yang ada, maka tidak mungkin bagi segala sesuatu untuk menjadi ada,
sehingga saat ini akan tidak ada apapun – dan hal tersebut adalah absurd. Oleh
karena itu, bukan hanya mungkin, tapi harus ada sesuatu yang keberadaannya
diperlukan. Tetapi segala sesuatu yang diperlukan tersebut dapat tergantung
dari suatu penyebab ataupun tidak. Sekarang ketergantungan terhadap lainnya
tersebut tidak mungkin untuk menuju pada ketakberhinggaan, seperti yang sudah
dibuktikan dalam hal kausa efisien. Oleh karena itu kita tidak bisa berkata
lain kecuali mendalilkan keberadaan sesuatu yang tergantung pada dirinya
sendiri, dan tidak tergantung pada hal lain, tapi justru menjadi sebab
ketergantungan mereka. Ini yang disebut Allah.
Cara keempat diambil dari
gradasi yang ditemukan dalam keberadaan. Di antara keberadaan-keberadaan, ada
beberapa yang lebih dan beberapa kurang baik, benar, mulia dan sejenisnya. Tetapi
"lebih" dan "kurang" dipredikatkan pada hal-hal yang
berbeda, berdasarkan kemiripan mereka terhadap sesuatu yang maksimum, seperti
sesuatu dikatakan lebih panas karena sesuatu tersebut lebih menyerupai sesuatu
yang terpanas; sehingga ada sesuatu yang paling benar, sesuatu yang terbaik,
sesuatu yang paling mulia, dan, akibatnya, sesuatu yang sepenuhnya ada; karena
hal-hal yang terbesar dalam kebenaran adalah terbesar dalam keberadaan,
sebagaimana ditulis dalam Metaph. ii. Sekarang yang maksimum dalam genus apapun
adalah penyebab dari segala sesuatu dalam genus itu; seperti api, yang
merupakan maksimum dalam panas, adalah penyebab dari segala sesuatu yang panas.
Oleh karena itu juga harus ada sesuatu yang merupakan penyebab dari segala
keberadaan, segala kebaikan dan segala kesempurnaan. Ini yang kita sebut Allah.
Cara kelima diambil dari
bagaimana dunia ada dalam keteraturannya. Kita melihat bahwa keberadaan yang
tidak memiliki akal, seperti tubuh, bertindak menuju suatu akhir, dan ini jelas
dari cara mereka bertindak yang selalu, atau hampir selalu, dalam cara yang
sama, seolah untuk mencapai hasil yang terbaik. Karena jelas bahwa hal tersebut
bukanlah suatu kebetulan, tetapi terdesain, tentang cara mereka menuju suatu
akhir. Sekarang apapun yang tidak berakal tidak dapat bergerak menuju suatu
akhir tanpa diarahkan oleh sesuatu yang memiliki pengetahuan dan akal,
sebagaimana anak panah ditembakkan menuju sasarannya oleh seorang pemanah. Oleh
karena itu ada suatu keberadaan yang memiliki akal yang mengarahkan segala
benda alami menuju akhir mereka. Dan keberadaan ini disebut Allah[8].
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatakan
Agustinus (Enchiridion xi): "Karena Allah merupakan kebaikan tertinggi, Ia
tidak akan membiarkan setiap kejahatan ada dalam karya-karya-Nya, kecuali
kemahakuasaan dan kebaikan-Nya dapat membawa kebaikan muncul dari
kejahatan." Ini adalah bagian dari kebaikan Allah yang tak berhingga,
yaitu bahwa Ia mengijinkan kejahatan ada, dan darinya memunculkan kebaikan.
Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Karena alam bekerja untuk
suatu akhir yang pasti di bawah arahan dari agen lebih tinggi, apapun yang
dilakukan oleh alam harus perlu ditelusuri kembali sampai kepada Allah, sebagai
penyebabnya yang pertama. Begitu juga apa pun dilakukan secara bebas harus juga
ditelusuri kembali kepada suatu sebab yang lebih tinggi dari akal atau
kehendak manusia, karena hal-hal yang ada pada manusia tersebut dapat berubah
ataupun gagal. Sedangkan segala sesuatu yang dapat berubah ataupun dapat rusak
harus ditelusuri kembali sampai pada suatu sebab pertama yang tak tergerakkan
dan tergantung pada dirinya sedniri, sebagaimana telah ditunjukkan pada bagian
utama artikel ini.
[1] Reginald Garrigou-Lagrange, O.
P., A Commentary on
the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one26.php
[2] Term
tengah adalah salah satu dari tiga term yang menyusun suatu silogisme yang
benar (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran
Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 48).
Contohnya :
Premis mayor : Semua
manusia akan mati.
Premis minor : Orang
Yunani adalah manusia.
Kesimpulan : Orang
Yunani akan mati.
Manusia adalah term tengah
yang menghubungkan antara premis mayor dan premis minor.
[3] Ayat dalam Roma 1:20 tersebut
menjadi tidak benar jika keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan melalui
ciptaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one28.php).
Jadi teks tersebut menyangkal pernyataan bahwa keberadaan Allah tidak dapat
dibuktikan melalui ciptaan-Nya.
[4]Suatu hal
tidak bisa sekaligus diimani dan diketahui oleh orang yang sama. Contohnya :
seseorang tidak mengimani, tapi mengetahui keberadaan pensil yang ada dalam
genggamannya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one31.php).
[5]Duoay-Rheims
Bible : “I AM WHO AM” , http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P1H.HTM.
[6]Tentang
gerak ini St. Thomas menjelaskan secara lebih jelas dalam Summa
Contra Gentiles Bab
13 ( http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#13 ). Dikatakan bahwa segala sesuatu
bergerak karena digerakkan. Jika sesuatu digerakkan oleh dirinya sendiri, maka
penggeraknya haruslah ada dalam dirinya, bukan bagian dari dirinya. Sebagai
contoh, binatang yang bergerak karena digerakkan oleh kakinya tidak dapat
disebut digerakkan oleh dirinya sendiri karena yang menggerakkan adalah bagian
dari dirinya yaitu kakinya. Dengan demikian, jika sesuatu dikatakan digerakkan
oleh dirinya sendiri, maka ia secara keseluruhan harus bergerak saat itu juga,
bukan per bagian.
Dijelaskan
juga bahwa harus ada penggerak pertama, karena jika proses penggerak dan yang
digerakkan ini dirunut hingga tak berhingga, maka semua penggerak adalah
penggerak antara. Keadaan ini tidak mungkin karena penggerak antara hanya
meneruskan gerak dari penggerak sebelumnya. Jika semua adalah penggerak antara
dan tidak ada penggerak pertama, maka tidak ada sesuatupun yang bergerak, dan
ini adalah absurd.
[7] Kausa
efisien adalah penyebab yang menghasilkan efek yang berbeda dari dirinya
sendiri ( Catholic Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm )
[8]Tentang
lima cara pembuktian ini, Rm. Reginald Garrigou-Lagrange, O.P. (http://www.thesumma.info/one/one32.php) memberi
tabel sebagai berikut :
Setiap ciptaan
|
|
a.)
Bergerak
|
dan
tergantung pada Penggerak pertamanya yang tak tergerakkan
|
b.)
Menyebabkan dan disebabkan
|
dan
tergantung pada Penyebab pertama yang tak memiliki penyebab
|
c.)
Memiliki
ketergantungan
|
dan
tergantung pada Keberadaan yang Pertama
|
d.)
Terdiri dari beberapa bagian dan tidak sempurna
|
dan
tergantung pada Keberadaan yang paling sempurna dan sederhana
|
e.)
Mengarah pada
sesuatu
|
dan
tergantung dari Pengarah tertingginya
|
Lima
pembuktian St. Thomas ini sering diserang oleh para atheis, salah satunya oleh
Richard Dawkins, seorang professor di Oxford sekaligus ahli biologi
evolusioner. Tapi pendapat Dawkins telah ditunjukkan sebagai pendapat yang tidak memahami ajaran
St. Thomas Aquinas. Salah satu tulisan yang menunjukkan hal tersebut adalah
artikel berjudul Who’s Deluded, An Atheist Just Doesn’t
Get Aquinas oleh
Christopher Kaczor yang dimuat di majalah “This Rock” volume 20 nomor 3, Maret
2009 (http://www.catholic.com/magazine/articles/who%E2%80%99s-deluded ). Buku Dawkins The
God Delusion banyak
mendapat sanggahan antara lain dari Rm. Thomas Crean, O.P. dan Scott Hahn.
Untuk lebih lengkapnya tentang sumber-sumber yang menunjukkan kekeliruan
Dawkins tersebut silakan kunjungi https://www.catholic.com/magazine/print-edition/dawkins-debunkers.
No comments:
Post a Comment