Tuesday, 18 September 2018

Pertanyaan 2 : Keberadaan Allah (Tiga Artikel)



Karena tujuan utama dari Doktrin Suci adalah untuk mengajarkan pengetahuan tentang Allah, bukan hanya tentang Ia dalam diri-Nya sendiri, tetapi juga tentang Ia sebagai awal dan akhir dari segala hal, dan terutama dari makhluk-makhluk rasional, sebagaimana jelas dari apa yang telah dikatakan sebelumnya. Karena itu, dalam usaha kita untuk menjelaskan ilmu ini, kita akan membahas :
1. Tentang Allah;
2. Tentang langkah makhluk rasional menuju Allah;
3. Tentang Kristus, yang sebagai manusia, adalah jalan kita menuju Allah.

Dalam pembahasan tentang Allah akan terdapat tiga bagian, karena kami akan mempertimbangkan :
1. Hal-hal yang berhubungan dengan Esensi Ilahi;
2. Hal-hal yang berhubungan dengan pembedaan Pribadi;
3. Hal-hal yang berhubungan dengan prosesi ciptaan dari-Nya.

Tentang Esensi Ilahi, kita harus mempertimbangkan:

1. Apakah Tuhan ada?
2. Sifat keberadaan-Nya, atau lebih tepatnya, apa yang bukan merupakan sifat dari keberadaan-Nya;
3. Hal-hal tentang tindakan-Nya ---yaitu, pengetahuan, kehendak, dan kekuatan-Nya.

Mengenai hal pertama di atas, ada tiga poin penyelidikan

1.  Apakah proposisi "Allah ada" adalah self-evident [cat. penerj. : terbukti-dengan-sendirinya, yaitu dapat dipahami melalui istilah itu sendiri]?
2.  Apakah keberadaan  Allah dapat ditunjukkan?
3.  Apakah Allah ada?


Artikel 1: Apakah Keberadaan Allah Self-Evident?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa keberadaan Allah adalah self-evident . Sekarang hal-hal disebut self-evident adalah jika pemahaman tentangnya telah secara alami ada dalam diri kita, yang kita pahami sebagai prinsip utama. Tetapi sebagaimana dikatakan Damaskus (De Fide Orth. i, 1,3), "pengetahuan tentang Allah secara alami telah ditanamkan di semua orang." Oleh karena itu keberadaan Allah adalah self-evident.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, hal-hal disebut self-evident jika diketahui segera setelah istilah tersebut dipahami, yang oleh Sang Filsuf (1 Poster. iii) dikatakan dengan benar mengenai prinsip-prinsip pertama tentang suatu demonstrasi. Dengan demikian, ketika sifat dari suatu keseluruhan dan suatu bagian diketahui, segera diakui bahwa setiap keseluruhan adalah lebih besar daripada bagiannya. Tapi segera setelah makna kata "Allah" dipahami, saat itu juga dapat dilihat bahwa Allah ada, karena dengan kata-kata tersebut dimaknai bahwa tidak ada sesuatu yang dapat lebih besar lagi dari-Nya. Tapi hal-hal yang secara actual ada dan diakui oleh pikiran adalah lebih besar daripada keberadaan yang ada hanya dalam pikiran. Oleh karena itu, karena kata "Allah" segera dipahami maknanya, keberadaannya ada dalam pikiran, sekaligus diakui bahwa ia ada secara aktual. Oleh karena itu proposisi "Allah ada" adalah self-evident.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, keberadaan kebenaran adalah self-evident, karena siapapun yang menyangkal keberadaan kebenaran mengakui bahwa kebenaran tidak ada: dan, jika kebenaran tidak ada, maka proposisi "bahwa kebenaran tidak ada" adalah benar: dan jika ada sesuatu yang benar, harus ada kebenaran. Tetapi Allah adalah kebenaran itu sendiri: "Akulah jalan, kebenaran, dan hidup" (Yohanes 14: 6). Karena itu "Allah ada" adalah self-evident.

Sebaliknya, Tak seorang pun dapat dalam pikirannya mengakui kebalikan dari sesuatu yang self-evident; sebagaimana dinyatakan oleh Sang Filsuf (Metaph. iv, lect. vi) tentang prinsip-prinsip utama tentang demonstrasi. Tetapi kebalikan dari proposisi "Allah ada" dapat diakui oleh pikiran : "Orang bebal berkata dalam hatinya : Tidak ada Tuhan" (Mazmur 53:1). Oleh karena itu, bahwa Allah ada bukanlah self-evident.

Aku menjawab bahwa, Suatu hal dapat menjadi self-evident dalam dua cara : di satu sisi, jelas dalam dirinya sendiri, meskipun tidak bagi kita; di sisi lain, jelas dalam dirinya sendiri, dan juga bagi kita. Suatu proposisi menjadi self-evident karena predikat tersebut termasuk dalam esensi dari subjek, seperti dalam "Manusia adalah binatang," karena binatang terkandung dalam esensi manusia. Jika esensi dari subjek dan predikat dikenal oleh semua, proposisi tersebut akan self-evident bagi semua; seperti jelas berkenaan dengan prinsip-prinsip pertama demonstrasi, syarat-syarat dimana hal-hal yang umum tidaklah tidak diketahui oleh siapapun, seperti tentang ada dan tiada, perbedaan antara keseluruhan dan bagian, dan hal lain semacam itu. Tetapi, jika ada hal-hal yang esensi predikat dan subjeknya tidak diketahui, proposisi tersebut akan menjadi jelas dalam dirinya sendiri, tetapi tidak bagi orang-orang yang tidak tahu arti dari predikat dan subjek proposisi tersebut. Oleh karena itu, hal itu terjadi, seperti dikatakan Boethius (Hebdom., dengan judul : "Apakah semua yang memiliki keberadaan, adalah baik"), "bahwa ada beberapa konsep dalam pikiran yang jelas hanya untuk yang belajar, sebagaimana tentang sosok rohani yang tidak berada dalam ruang."  Oleh karena itu saya mengatakan bahwa proposisi "Allah ada," itu sendiri self-evident, karena predikatnya adalah sama dengan subjeknya, karena Allah adalah keberadaan-Nya itu sendiri sebagaimana akan dibahas selanjutnya (Pertanyaan 3, Artikel 4). Sekarang karena kita tidak tahu esensi Allah, maka proposisi tersebut tidaklah self-evident bagi kita; tapi perlu dibuktikan melalui hal-hal yang lebih dikenal oleh kita, walaupun secara alami kurang dikenal ---yaitu, melalui efek.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Secara umum dan tidak jelas, pemahaman bahwa Allah ada dalam diri kita secara alami, sebab Allah adalah kebahagiaan manusia. Karena manusia secara alami menginginkan kebahagiaan, dan apa yang secara alami diinginkan oleh manusia harus secara alami dikenal olehnya. Namun, Ini bukan berarti manusia secara mutlak tahu bahwa Allah ada, seperti saat seseorang tahu ada orang lain yang mendekat bukan berarti ia tahu bahwa yang mendekat adalah Peter, meskipun memang Peter yang mendekat, karena ada banyak orang yang membayangkan kesempurnaan kebahagiaan manusia terletak pada kekayaan, dan yang lainnya mengira ada dalam kepuasan, dan lainnya ada dalam hal lain.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Mungkin tidak semua orang yang mendengar kata "Allah" memahami bahwa kata itu memiliki arti tentang sesuatu yang tidak ada yang melebihinya, karena beberapa orang memahami Allah sebagai suatu makhluk ragawi. Namun, seandainyapun semua orang memahami bahwa kata "Allah" menandakan sesuatu yang tidak ada yang lebih besar darinya, bukan dengan sendirinya berarti bahwa sesuatu yang ditandakan oleh kata itu sungguh ada secara aktual, tapi dipahami hanya melalui pikirannya saja. Tidak bisa juga dinyatakan bahwa sesuatu yang ditandakan oleh kata “Allah” tersebut sungguh ada secara actual, kecuali juga diakui [oleh mereka yang tidak percaya - penerjemah][1] bahwa secara actual ada sesuatu yang tidak dapat dilampaui kebesarannya oleh apapun, Tetapi inilah yang tidak diakui oleh mereka yang beranggapan bahwa Allah tidak ada.

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Keberadaan kebenaran secara umum adalah self-evident tetapi keberadaan Kebenaran Utama tidaklah self-evident bagi kita.


Artikel 2 :  Apakah Dapat Ditunjukkan bahwa Allah Ada?

Keberatan 1 : Tampaknya keberadaan Allah tidak dapat ditunjukkan, karena keberadaan Allah adalah suatu artikel iman. Tapi segala sesuatu yang berasal dari iman tidak dapat dibuktikan, karena pembuktian menghasilkan pengetahuan ilmiah; sedangkan iman adalah tentang sesuatu yang tak terlihat (Ibrani 11: 1). Oleh karena itu tidak dapat dibuktikan bahwa Allah ada.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, esensi adalah term tengah[2] dari suatu pembuktian. Tapi kita tidak tahu terdiri dari apa esensi Allah, tetapi hanya tahu tentang apa yang tidak merupakan bagian dari esensi Allah, seperti dikatakan Damaskus (De Fide Orth. i, 4). Oleh karena itu kita tidak dapat membuktikan bahwa Tuhan ada.

Keberatan 3 : Lebih lanjut, jika keberadaan Allah dapat dibuktikan, maka hanya berdasarkan efek-Nya. Tapi efek-Nya tidak sebanding dengan esensi-Nya, karena Ia adalah tak terbatas sedangkan efek-Nya terbatas; dan antara tak terbatas dengan terbatas tidak dapat diperbandingkan. Oleh karena itu, karena suatu sebab tidak dapat dibuktikan melalui efeknya yang tidak sebanding, maka sepertinya keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan.

Sebaliknya, Sang Rasul mengatakan: " Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, " (Roma 1: 20). Tapi hal tersebut tidak akan terjadi kecuali keberadaan Allah dapat dibuktikan melalui ciptaan; karena hal pertama yang harus kita ketahui dari sesuatu apapun adalah apakah sesuatu tersebut ada.[3]

Aku menjawab bahwa, Pembuktian dapat dilakukan dalam dua cara: satu adalah melalui penyebab, dan disebut "a priori", dan ini adalah berargumen dari apa yang sebelumnya secara mutlak telah ada. Yang lain adalah melalui efek, dan disebut pembuktian "a posteriori"; ini adalah berargumen dari apa yang dari sisi kita dipandang secara relative telah ada. Ketika suatu efek lebih kita ketahui daripada penyebabnya, maka dari efek tersebut kita berproses menuju pada pengetahuan tentang penyebabnya. Dan dari setiap efek, keberadaan dari penyebabnya dapat dibuktikan, asalkan efek tersebut lebih kita ketahui; karena setiap efek tergantung pada penyebabnya. Jika ada efek, maka sebelumnya harus ada penyebab. Maka keberadaan Tuhan, karena hal tersebut tidak jelas bagi kita, dapat dibuktikan dari hal-hal yang membuat kita tahu tentang efek-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Keberadaan Allah dan kebenaran lainnya tentang Allah, yang bisa diketahui melalui nalar alami, bukanlah artikel iman, tetapi merupakan dasar bagi artikel-artikel iman[4]; karena iman mempresuposisikan (mengandaikan, mendasarkan) pada pengetahuan alami, sebagaimana rahmat mempresuposisikan keberadaan suatu sifat [tamb. : yang akan diberi rahmat], dan kesempurnaan mempresuposisikan sesuatu yang dapat disempurnakan. Namun, tidak ada yang dapat mencegah manusia, yang tidak dapat memahami suatu bukti, menerima sesuatu yang dalam dirinya sendiri dapat diketahui dan dibuktikan secara ilmiah, sebagai sesuatu yang [hanya bisa diterima] melalui iman.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Ketika keberadaan suatu penyebab dibuktikan dari suatu efek, efek ini mengambil definisi dari penyebab dalam upaya pembuktian keberadaan penyebab. Hal ini terutama dalam kaitannya dengan Allah, karena, untuk membuktikan keberadaan apa pun, adalah perlu untuk menerima arti kata-kata sebagai  term tengahnya, bukan esensinya, karena pertanyaan tentang esensi mengikuti pertanyaan tentang eksistensi. Sekarang nama yang diberikan kepada Allah berasal dari efek-Nya; Akibatnya, dalam membuktikan keberadaan Allah dari efek-Nya, kita dapat mengambil term tengah makna dari kata "Allah".

Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Dari efek-efek yang tidak sebanding dengan penyebab, tidak ada pengetahuan yang sempurna yang dapat diperoleh tentang penyebab. Namun dari setiap efek, keberadaan penyebab dapat dengan jelas dibuktikan, maka kita dapat menunjukkan keberadaan Allah dari efek-Nya; meskipun dari efek-efek tersebut kita tidak dapat dengan sempurna mengetahui Allah sebagaimana Ia ada dalam esensi-Nya.


Artikel 3 : Apakah Allah Ada?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah tidak ada; karena jika salah satu dari dua hal yang saling berlawanan adalah tak terbatas, maka yang lain akan sama sekali hancur. Tapi kata "Allah" berarti bahwa Ia adalah kebaikan yang tak terbatas. Oleh karena itu, jika Allah ada, tidak akan ada kejahatan; Tapi kejahatan ada di dunia. Oleh karena itu Allah tidak ada.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah berlebihan untuk beranggapan bahwa apa yang dapat dijelaskan oleh sedikit prinsip adalah merupakan produk dari banyak prinsip. Sekarang, seandainya Allah tidak ada, tampaknya segala sesuatu yang kita lihat di dunia dapat dijelaskan oleh prinsip-prinsip lain, karena semua hal alami dapat dirunut menuju satu prinsip yaitu prinsip alami; dan setiap tindakan dapat dirunut menuju satu prinsip yaitu akal maupun kehendak manusia. Oleh karena itu, tidak perlu berandai-andai tentang keberadaan Allah.

Sebaliknya, Dikatakan bahwa dalam Pribadi Allah: "Aku adalah Yang Ada"[5] (Keluaran 3: 14).

Aku menjawab bahwa, Keberadaan Allah dapat dibuktikan dalam lima cara. Yang pertama dan lebih nyata adalah argumen dari gerak. Pasti, dan jelas untuk indra kita, bahwa di dunia, beberapa hal bergerak. Sekarang apa pun yang bergerak adalah digerakkan oleh hal lain, karena tidak ada yang bisa bergerak kecuali dalam potensialitas untuk menjadi bergerak; sedangkan hal yang bergerak karena ia berada dalam kenyataan bergerak, karena gerak tak lain daripada perubahan sesuatu dari potensialitas menuju aktualitas (kenyataan). Tetapi tidak yang dapat berubah dari potensialitas menuju aktualitas, kecuali oleh sesuatu yang berada dalam aktualitas. Jadi apa yang secara aktual panas, seperti api, membuat kayu, yang berpotensi panas, untuk menjadi panas secara aktual, dan dengan demikian api menggerakkan dan mengubah kayu. Sekarang tidak mungkin bahwa hal yang sama dapat sekaligus berada dalam keadaan aktual dan potensial dalam hal yang sama, tetapi hanya dalam hal yang berbeda. Karena apa yang secara aktual panas tidak dapat secara bersamaan berpotensi panas; tetapi secara bersamaan bisa berpotensi dingin [atau lebih panas]. Karena itu mustahil bahwa dalam hal yang sama dan dengan cara yang sama, sesuatu menjadi penggerak sekaligus yang digerakkan, dalam arti bahwa sesuatu tersebut bergerak sendiri. Oleh karena itu, apa pun yang bergerak harus digerakkan oleh sesuatu lainnya. Jika sesuatu yang menggerakkan tersebut menjadi bergerak, maka sesuatu tersebut harus digerakkan oleh sesuatu lainnya, dan terus berlanjut demikian. Tapi ini tidak dapat berlanjut sampai tak terbatas, karena jika demikian maka tidak akan ada penggerak pertama, dan akibatnya, tidak ada penggerak lagi; karena penggerak berikutnya bergerak hanya sejauh mereka digerakkan oleh penggerak pertama; sebagaimana batang bergerak hanya jika digerakkan oleh tangan. Oleh karena itu sangat diperlukan untuk sampai pada penggerak pertama, yang tidak digerakkan oleh apapun, dan ini dipahami sebagai Allah[6].

Cara kedua adalah dari sifat tentang kausa efisien[7]. Dalam dunia indera, kita menemukan adanya aturan tentang kausa efisien. Tidak ada kasus yang pernah dikenal (dan sungguh, hal itu memang tidak mungkin) di mana suatu hal merupakan kausa efisien bagi dirinya sendiri, karena itu berarti sesuatu itu ada di luar dirinya sendiri, yang adalah tidak mungkin. Sekarang dalam suatu kausa efisien tidak mungkin untuk terus berlanjut sampai tak berhingga, karena dalam semua kausa efisien berada dalam urutan, yaitu bahwa yang pertama menjadi penyebab dari kausa intermediate, dan kausa intermediate  menjadi penyebab dari kausa akhir, entah kausa intermediate tersebut berjumlah banyak atau hanya ada satu. Sekarang dengan menghilangkan penyebab maka berarti juga menghilangkan efek. Oleh karena itu, jika tidak ada penyebab pertama di antara kausa efisien, tidak akan ada kausa akhir ataupun kausa intermediate setelahnya. Tapi jika kausa efisien dapat berlanjut hingga tak terbatas, maka tidak aka nada kausa pertama, sehingga tidak aka nada kausa akhir ataupun kausa intermediate, yang semua itu telah nyata keliru. Maka adalah perlu untuk mengakui adanya satu kausa efisien yang pertama, yang disebut Allah.

Cara ketiga diambil dari hal tentang kemungkinan dan kebutuhan, dan berjalan dengan demikian. Kita menemukan di alam hal-hal yang mungkin dan tidak mungkin untuk terjadi, karena mereka ada dengan cara diperanakkan, dan dapat rusak, dan konsekuensinya, mereka dapat mungkin ada atau dapat mungkin tidak ada. Tapi kedua kemungkinan tersebut tidak selalu ada, karena suatu saat sesuatu mungkin ada, di saat lain ia tidak dapat mungkin tidak ada. Oleh karena itu, jika segala sesuatu mungkin ada, di saat lain adalah mungkin bagi segala sesuatu untuk tidak ada. Sekarang, jika hal tersebut benar, maka saat ini tidak ada apapun yang memiliki keberadaan karena hal yang tidak memiliki keberadaan akan ada hanya jika melalui sesuatu yang telah ada. Oleh karena itu, jika suatu saat tidak ada satupun yang ada, maka tidak mungkin bagi segala sesuatu untuk menjadi ada, sehingga saat ini akan tidak ada apapun – dan hal tersebut adalah absurd. Oleh karena itu, bukan hanya mungkin, tapi harus ada sesuatu yang keberadaannya diperlukan. Tetapi segala sesuatu yang diperlukan tersebut dapat tergantung dari suatu penyebab ataupun tidak. Sekarang ketergantungan terhadap lainnya tersebut tidak mungkin untuk menuju pada ketakberhinggaan, seperti yang sudah dibuktikan dalam hal kausa efisien. Oleh karena itu kita tidak bisa berkata lain kecuali mendalilkan keberadaan sesuatu yang tergantung pada dirinya sendiri, dan tidak tergantung pada hal lain, tapi justru menjadi sebab ketergantungan mereka. Ini yang disebut Allah.

Cara keempat diambil dari gradasi yang ditemukan dalam keberadaan. Di antara keberadaan-keberadaan, ada beberapa yang lebih dan beberapa kurang baik, benar, mulia dan sejenisnya. Tetapi "lebih" dan "kurang" dipredikatkan pada hal-hal yang berbeda, berdasarkan kemiripan mereka terhadap sesuatu yang maksimum, seperti sesuatu dikatakan lebih panas karena sesuatu tersebut lebih menyerupai sesuatu yang terpanas; sehingga ada sesuatu yang paling benar, sesuatu yang terbaik, sesuatu yang paling mulia, dan, akibatnya, sesuatu yang sepenuhnya ada; karena hal-hal yang terbesar dalam kebenaran adalah terbesar dalam keberadaan, sebagaimana ditulis dalam Metaph. ii. Sekarang yang maksimum dalam genus apapun adalah penyebab dari segala sesuatu dalam genus itu; seperti api, yang merupakan maksimum dalam panas, adalah penyebab dari segala sesuatu yang panas. Oleh karena itu juga harus ada sesuatu yang merupakan penyebab dari segala keberadaan, segala kebaikan dan segala kesempurnaan. Ini yang kita sebut Allah.

Cara kelima diambil dari bagaimana dunia ada dalam keteraturannya. Kita melihat bahwa keberadaan yang tidak memiliki akal, seperti tubuh, bertindak menuju suatu akhir, dan ini jelas dari cara mereka bertindak yang selalu, atau hampir selalu, dalam cara yang sama, seolah untuk mencapai hasil yang terbaik. Karena jelas bahwa hal tersebut bukanlah suatu kebetulan, tetapi terdesain, tentang cara mereka menuju suatu akhir. Sekarang apapun yang tidak berakal tidak dapat bergerak menuju suatu akhir tanpa diarahkan oleh sesuatu yang memiliki pengetahuan dan akal, sebagaimana anak panah ditembakkan menuju sasarannya oleh seorang pemanah. Oleh karena itu ada suatu keberadaan yang memiliki akal yang mengarahkan segala benda alami menuju akhir mereka. Dan keberadaan ini disebut Allah[8].

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Sebagaimana dikatakan Agustinus (Enchiridion xi): "Karena Allah merupakan kebaikan tertinggi, Ia tidak akan membiarkan setiap kejahatan ada dalam karya-karya-Nya, kecuali kemahakuasaan dan kebaikan-Nya dapat membawa kebaikan muncul dari kejahatan." Ini adalah bagian dari kebaikan Allah yang tak berhingga, yaitu bahwa Ia mengijinkan kejahatan ada, dan darinya memunculkan kebaikan.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Karena alam bekerja untuk suatu akhir yang pasti di bawah arahan dari agen lebih tinggi, apapun yang dilakukan oleh alam harus perlu ditelusuri kembali sampai kepada Allah, sebagai penyebabnya yang pertama. Begitu juga apa pun dilakukan secara bebas harus juga ditelusuri kembali kepada  suatu sebab yang lebih tinggi dari akal atau kehendak manusia, karena hal-hal yang ada pada manusia tersebut dapat berubah ataupun gagal. Sedangkan segala sesuatu yang dapat berubah ataupun dapat rusak harus ditelusuri kembali sampai pada suatu sebab pertama yang tak tergerakkan dan tergantung pada dirinya sedniri, sebagaimana telah ditunjukkan pada bagian utama artikel ini.



[1] Reginald Garrigou-Lagrange, O. P.,  A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one26.php
[2] Term tengah adalah salah satu dari tiga term yang menyusun suatu silogisme yang benar (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 48). Contohnya : 
Premis mayor : Semua manusia akan mati.
Premis minor : Orang Yunani adalah manusia.
Kesimpulan :  Orang Yunani akan mati.
Manusia adalah term tengah yang menghubungkan antara premis mayor dan premis minor.

[3] Ayat dalam Roma 1:20 tersebut menjadi tidak benar jika keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan melalui ciptaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one28.php). Jadi teks tersebut menyangkal pernyataan bahwa keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan melalui ciptaan-Nya.
[4]Suatu hal tidak bisa sekaligus diimani dan diketahui oleh orang yang sama. Contohnya : seseorang tidak mengimani, tapi mengetahui keberadaan pensil yang ada dalam genggamannya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one31.php).

[5]Duoay-Rheims Bible : “I AM WHO AM” , http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P1H.HTM.

[6]Tentang gerak ini St. Thomas menjelaskan secara lebih jelas dalam Summa Contra Gentiles Bab 13 ( http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#13 ). Dikatakan bahwa segala sesuatu bergerak karena digerakkan. Jika sesuatu digerakkan oleh dirinya sendiri, maka penggeraknya haruslah ada dalam dirinya, bukan bagian dari dirinya. Sebagai contoh, binatang yang bergerak karena digerakkan oleh kakinya tidak dapat disebut digerakkan oleh dirinya sendiri karena yang menggerakkan adalah bagian dari dirinya yaitu kakinya. Dengan demikian, jika sesuatu dikatakan digerakkan oleh dirinya sendiri, maka ia secara keseluruhan harus bergerak saat itu juga, bukan per bagian.

Dijelaskan juga bahwa harus ada penggerak pertama, karena jika proses penggerak dan yang digerakkan ini dirunut hingga tak berhingga, maka semua penggerak adalah penggerak antara. Keadaan ini tidak mungkin karena penggerak antara hanya meneruskan gerak dari penggerak sebelumnya. Jika semua adalah penggerak antara dan tidak ada penggerak pertama, maka tidak ada sesuatupun yang bergerak, dan ini adalah absurd.

[7] Kausa efisien adalah penyebab yang menghasilkan efek yang berbeda dari dirinya sendiri ( Catholic Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm )
[8]Tentang lima cara pembuktian ini, Rm. Reginald Garrigou-Lagrange, O.P. (http://www.thesumma.info/one/one32.php) memberi tabel sebagai berikut :

Setiap ciptaan
a.) Bergerak                               
dan tergantung pada Penggerak pertamanya yang tak tergerakkan
b.) Menyebabkan dan disebabkan   
dan tergantung pada Penyebab pertama yang tak memiliki penyebab
c.) Memiliki ketergantungan            
dan tergantung pada Keberadaan yang Pertama
d.) Terdiri dari beberapa bagian dan tidak sempurna    
dan tergantung pada Keberadaan yang paling sempurna dan sederhana
e.) Mengarah pada sesuatu           
dan tergantung dari Pengarah tertingginya

Lima pembuktian St. Thomas ini sering diserang oleh para atheis, salah satunya oleh Richard Dawkins, seorang professor di Oxford sekaligus ahli biologi evolusioner. Tapi pendapat Dawkins telah ditunjukkan sebagai pendapat yang tidak memahami ajaran St. Thomas Aquinas. Salah satu tulisan yang menunjukkan hal tersebut adalah artikel berjudul Who’s Deluded, An Atheist Just Doesn’t Get Aquinas oleh Christopher Kaczor yang dimuat di majalah “This Rock” volume 20 nomor 3, Maret 2009 (http://www.catholic.com/magazine/articles/who%E2%80%99s-deluded ). Buku Dawkins The God Delusion banyak mendapat sanggahan antara lain dari Rm. Thomas Crean, O.P. dan Scott Hahn. Untuk lebih lengkapnya tentang sumber-sumber yang menunjukkan kekeliruan Dawkins tersebut silakan kunjungi https://www.catholic.com/magazine/print-edition/dawkins-debunkers.

No comments:

Post a Comment