PASCENDI
DOMINICI GREGIS
Ensiklik
Paus Pius X
Tentang
Doktrin Para Modernist
Kepada
para Patriarkh, Primat, Uskup Agung, Uskup
Dan
Ordinaria setempat lainnya
Dalam
Damai dan Persatuan dengan Tahta Apostolik,
Berkat
Kerasulan dan Kesehatan bagi Saudara-saudara yang terhormat,
Tugas yang secara Ilahi
telah diberikan kepada Kita untuk memberi makan Umat Allah, yang secara
istimewa memiliki kewajiban yang telah ditugaskan oleh Kristus, antara lain
untuk menjaga dengan kewaspadaan penuh deposit iman yang disampaikan kepada
para kudus, meniadakan ajaran-ajaran baru yang bersifat duniawi serta dan
melakukan oposisi terhadap apa yang secara keliru disebut sebagai pengetahuan.
Tiada henti-hentinya kewaspadaan kegembalaan ini diperlukan bagi tubuh Katolik,
karena melihat usaha dari musuh kemanusiaan, tidak pernah ada kurangnya
“beberapa orang dengan ajaran palsu mereka” (Kis 20:30), “dengan omongan yang
sia-sia” (Tit 1:10), telah “menyesatkan dan disesatkan” (2 Tim 2:13). Harus
diakui bahwa jumlah musuh salib Kristus dalam masa-masa ini meningkat pesat,
mereka yang berusaha sungguh keras, dengan
cara yang sungguh baru dan penuh kehalusan, untuk menghancurkan energi utama
Gereja, dan, jika mampu, mereka ingin menghapuskan sama sekali kerajaan Kristus
itu sendiri. Karena itu Kita tidak dapat lebih lama lagi berdiam diri, karena
jika tidak maka Kita tidak memenuhi tugas suci Kita, dan kita dapat disebut
telah melalaikan tugas Kita.
Arah
dari Situasi yang Ada
2. Bahwa Kita tidak membuat
penundaan dalam masalah ini disebabkan terutama oleh fakta bahwa pengikut
kesesatan tampak tidak hanya terdapat di antara musuh terbuka Gereja : mereka
tersembunyi, suatu hal yang sungguh disesalkan dan dicemaskan, jauh di dalam
pangkuan dan jiwa Gereja, dan semakin kental sifat penentangannya, semakin
tersembunyi mereka. Kami menujukan pernyataan tersebut pada mereka yang menjadi
bagian dari para awam Katolik, dan juga, ini yang sungguh patut diratapi,
kepada berbagai tingkatan keimaman itu sendiri, yang berpura-pura dalam cinta
pada Gereja, telah mengalami kekurangan pegangan yang kuat terhadap filsafat
dan teologi, bahkan lebih lagi, terpengaruh secara menyeluruh oleh
doktrin-doktrin beracun yang diajarkan oleh musuh Gereja; dan kehilangan
seluruh sikap rendah hati, membanggakan diri sebagai pembaharu Gereja, dan,
dengan membangun serangan yang lebih jelas, menyerang seluruh kekudusan karya
Kristus, bahkan terhadap pribadi Penebus Ilahi, yang dengan kenekadan tak
bermoral telah mereka reduksi menjadi hanya sekedar manusia biasa.
3. Meskipun mereka sendiri
menyatakan keheranannya, tak seorangpun dapat dikejutkan, dengan mengabaikan
kecenderungan sifat masing-masing jiwa, yang mana Tuhan sendiri adalah
hakimnya, bahwa Kita menggolongkan orang-orang semacam itu sebagai bagian
dari para musuh Gereja, jika doktrin, tata cara percakapan, serta perilaku
mereka telah ditunjukkan. Juga seseorang tidak akan salah untuk menggolongkan
mereka sebagai musuh Gereja yang paling jahat, karena sebagaimana yang telah
Kami katakan, mereka merencanakan kehancuran Gereja tidak dari luar tetapi dari
dalam, oleh karena itu, bahaya hadir hampir dalam setiap nadi dan jiwa Gereja,
yang mana kerusakan yang ditimbulkan lebih nyata karena pengetahuan mereka yang
cukup dalam mengenai Gereja. Terlebih lagi, mereka mengayunkan kapak tidak pada
cabang dan ranting, tetapi pada akar, yaitu pada iman dan api terdalamnya. Dan
setelah menyerang akar kekekalan ini, mereka mulai menyebarkan racun pada
seluruh pohon, sehingga tidak ada sedikitpun kebenaran Katolik yang mereka genggam
yang tidak mereka usahakan untuk rusak. Lebih lanjut, tidak ada yang lebih
terampil, tidak ada yang lebih cerdik daripada mereka, dalam menggunakan ribuan
cara berbisa, karena mereka memainkan peran ganda sebagai seorang rasionalis
dan seorang Katolik, dan ini begitu lihainya sehingga mereka dapat
menjerumuskan seseorang yang kurang waspada ke dalam kekeliruan, dan karena
kenekadan adalah karakter utama mereka, maka tidak ada kesimpulan dalam bentuk
apapun yang tidak mereka ciutkan artinya, dan tidak ada yang mereka percayai
dengan sepenuh hati dan keyakinan yang teguh. Dalam hal ini harus ditambahkan
fakta, yang sungguh mereka perhitungkan untuk memperdayai jiwa-jiwa, bahwa
mereka memimpin kepada suatu kehidupan yang memiliki aktifitas terhebat, bahwa mereka
bersungguh-sungguh dengan tekun dalam setiap cabang pembelajaran, dan bahwa
mereka memiliki suatu reputasi moral yang paling disiplin sebagai sebuah
aturan. Akhirnya, dan ini yang membuat hampir setiap cara penyembuhan tidak
berguna, doktrin-doktrin pokok mereka telah memberikan suatu kecenderungan
dalam pikiran mereka, untuk mengabaikan semua otoritas dan menghilangkan semua
halangan; dan dengan mempercayakan diri pada suara hati yang keliru, mereka
berusaha untuk mengangap sifat penentangan mereka itu berasal dari kecintaan
terhadap kebenaran, yang kenyataannya adalah hasil dari kesombongan dan
ketegaran hati.
Ada masa dimana Kami
sungguh memiliki harapan untuk mengingatkan dan mengembalikan mereka pada
pengertian dan pemahaman yang lebih baik, dan pada awalnya kami menunjukkan
pada mereka kebaikan hati dengan menganggap mereka anak-anak Kami, kemudian
kami memperlakukan mereka dengan lebih tegas, dan akhirnya, meski dengan
keengganan yang besar, kami menegur mereka secara publik. Tetapi Anda mengetahui,
Saudara-saudara yang terhormat, betapa sia-sianya tindakan Kami. Mereka
menundukkan kepala untuk sementara waktu, tetapi segera mereka mengangkatnya
dengan lebih arogan daripada sebelumnya. Jika ini adalah tentang diri mereka
sendiri, Kami mungkin akan mengabaikannya; tetapi keamanan iman Katolik sedang
dipertaruhkan. Oleh karena itu, karena dengan membiarkannya akan berarti suatu
kekeliruan, Kita tidak boleh tinggal diam untuk menunjukkan kepada seluruh
anggota Gereja sifat mereka yang sesungguhnya, mereka yang telah menjalani
penyamaran yang buruk ini.
Pembagian
Ensiklik
4. Tetapi karena para
Modernis (sebagaimana mereka secara umum dan tepat disebut demikian)
menggunakan suatu tipu daya yang lihai, katakanlah dengan menyajikan
doktrin-doktrin mereka tanpa aturan yang sistematis dalam suatu kesatuan
doktrin, tersebar dan seolah-olah tidak berhubungan satu sama lain, sehingga
terlihat tidak memiliki doktrin tertentu, mereka sebenarnya memiliki doktrin
yang sangat kokoh dan teguh. Akan menjadi suatu keuntungan, Saudara-saudara
yang terhormat, untuk menyajikan ajaran-ajaran mereka secara bersama-sama di
sini sebagai suatu kesatuan, dan menunjukkan hubungan antara ajaran-ajaran
tersebut, dan dengan demikian dapat melakukan pemeriksaan terhadap sumber kekeliruannya,
dan memberikan cara penyembuhan yang berguna untuk mencegah berkembangnya
kejahatan mereka.
ANALISA
TERHADAP AJARAN MODERNIS
5. Untuk melanjutkan dalam
suatu kesinambungan pada subyek yang tersembunyi ini, pertama kali harus
dipahami bahwa setiap Modernis dalam dirinya memiliki dan mendukung beragam
kepribadian : ia adalah seorang filsuf, seorang yang percaya (a believer), seorang
theolog, seorang sejarawan, seorang kritikus, seorang apologist, seorang
pembaharu. Sifat-sifat tersebut harus secara jelas dibedakan antara satu dengan
lainnya oleh siapapun yang ingin mengetahui sistem mereka dan secara menyeluruh
memahami prinsip-prinsip dan konsekuensi dari doktrin-doktrin mereka.
Agnostisisme sebagai
Dasar Filosofinya
6. Kami mulai dengan sifat
mereka sebagai filsuf. Modernis meletakkan dasar filosofi religiusnya pada
doktrin yang biasa disebut Agnostisisme. Menurut ajaran ini, akal manusia
sepenuhnya dibatasi oleh lingkup fenomena, yaitu hal-hal yang dapat diindera
oleh indera manusia. Tidak ada hak dan kemampuan bagi akal untuk melewati
batas-batas indera ini. Dengan hal-hal tersebut, ajaran ini tidak mampu
mengangkat dirinya sendiri kepada pemahaman tentang Tuhan dan pengenalan
terhadap keberadaan-Nya, bahkan melalui hal-hal yang tampak. Dari sini
disimpulkan bahwa
Tuhan tidak akan dapat pernah menjadi obyek dari ilmu pengetahuan. Mengenai
sejarah, Tuhan harus dipertimbangkan bukan sebagai suatu subyek sejarah.
Premis-premis ini menunjuk pada Natural Theology, pada kecenderungan
kepercayaan (motives of
credibility), pada wahyu eksternal, yang oleh Modernis
disederhanakan menjadi satu dalam Intelektualisme, yang mereka sebut sebagai
sistem konyol masa lalu yang sudah tidak berfungsi. Fakta bahwa Gereja telah
secara formal mengutuk kekeliruan yang luar biasa ini mereka
anggap sebagai bentuk pengekangan yang paling ringan. Konsili Vatikan I
menyatakan bahwa, “Jika seseorang mengatakan bahwa Allah benar yang satu, Tuhan
dan Pencipta kita, tidak dapat dikenali dengan pasti oleh terang alami akal
manusia melalui benda-benda yang ada yang merupakan ciptaan, biarlah ia menjadi
terkutuk.” (De Revel., can. I); dan juga, “Jika seseorang mengatakan
bahwa tidaklah mungkin atau tidaklah berguna bahwa seseorang diajar, melalui
media wahyu ilahi, tentang Tuhan dan penyembahan yang harus diberikan pada-Nya,
biarlah ia menjadi terkutuk.” (ibid., can.2); dan akhirnya, “Jika seseorang
mengatakan bahwa wahyu ilahi tidak dapat dipercaya melalui tanda-tanda
eksternal, sehingga manusia seharusnya dituntun hanya oleh imannya sendiri yang
diperoleh melalui pengalaman dalam dirinya sendiri atau melalui inspirasi
pribadi, biarlah ia menjadi terkutuk.” (De Fide, can. 3). Tetapi bagaimana
Modernis melakukan transisi dari Agnostisisme, yang adalah keadaan
ketidaktahuan murni, menjadi Atheisme yang mendasarkan pada ilmu pengetahuan
dan sejarah, yang merupakan doktrin penyangkalan positif; dan kemudian
berlanjut, entah dengan cara penalaran yang bagaimana, mereka mulai berproses
mulai dari ketidaktahuan tentang apakah Tuhan sungguh telah melakukan campur
tangan dalam sejarah manusia atau tidak, kemudian dengan penjelasan mereka
mengenai sejarah yang sama sekali menyangkal Tuhan, mereka menuju pada
pemahaman bahwa Tuhan tidak pernah melakukan campur tangan, seolah-olah bahwa
Tuhan memang benar-benar tidak campur tangan. Biarlah mereka sendiri yang
menjawab bagaimana proses tersebut. Bahwa ilmu pengetahuan dan sejarah harus
bersifat atheis adalah prinsip yang baku dan mendasar bagi mereka; dan dalam
batasan mereka, tidak ada ruang bagi apapun selain fenomena. Tuhan dan segala
yang ilahi dilarang masuk. Kita akan segera melihat dengan jelas apa yang
menurut ajaran paling absurd ini harus dipegang sehubungan dengan pribadi
paling kudus dari Kristus, tentang misteri kehidupan dan kematian-Nya, dan
tentang kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.
Vital Immanence
7. Bagaimanapun,
Agnostisisme ini hanya merupakan sisi negatif [cat: penyangkalan] dari sistem
Modernis. Sisi positif [cat: pengakuan] dari sistem itu berisi tentang apa yang
mereka sebut vital
immanence (keberadaan sejati). Ini adalah kemajuan mereka.
Agama, entah natural atau supernatural, seperti fakta lainnya, harus dapat
dijelaskan. Tetapi ketika Natural Theology telah ditolak, maka jalan menuju
pewahyuan tertutup dengan dibuangnya pandangan mengenai kepercayaan (rejection of the arguments of
credibility), dan ketika semua wahyu eksternal sepenuhnya
disangkal, maka Modernis mencari penjelasan mengenai agama ini dalam kehidupan
manusia. Dengan demikian prinsip tentang keberadaan religius dirumuskan[ cat : yaitu ada dalam diri manusia
itu sendiri]. Lebih lanjut, sebagai langkah pertama dari setiap
fenomena pokok yang berada dalam kategori ini, termasuk agama, disebabkan oleh
kebutuhan tertentu atau suatu impulsi (gerakan hati). Tetapi jika berbicara
secara lebih lanjut, maka [menurut mereka] agama memiliki asal dari suatu
gerakan hati, yang mana gerakan itu disebut sebagai suatu sentimen. Oleh karena
itu, kita harus menyimpulkan bahwa iman, yang merupakan dasar dari semua agama,
terdiri dari suatu sentimen yang berasal dari suatu kebutuhan akan hal yang
ilahi. Kebutuhan akan hal yang ilahi ini, yang dialami dalam keadaan yang
tertentu, tidak dapat dari dirinya sendiri digolongkan ke dalam domain
kesadaran. Itu adalah hal yang paling tersembunyi dalam kesadaran, atau, dengan
meminjam suatu istilah dari filsafat modern, berada dalam subsadar (subconsciousness),
yang mana akarnya juga tersembunyi dan tidak terdeteksi.
Jika seseorang menanyakan
bagaimana kebutuhan akan hal yang ilahi ini, yang dialami oleh seseorang dalam
dirinya sendiri, dapat tumbuh menjadi suatu agama, Modernis akan menjawab
seperti ini : Ilmu pengetahuan dan sejarah, kata mereka, dibatasi oleh dua
batas : satu adalah batas eksternal, katakanlah, suatu dunia yang kelihatan,
yang lain adalah batas internal, yang adalah berupa kesadaran. Ketika satu dari
batas-batas ini telah dicapai, maka tidak dapat pernah ada kemajuan lebih
lanjut, karena diluar batas-batas tersebut adalah apa yang disebut
tak-dapat-diketahui (unknowable).
Dalam hal terdapat kehadiran dari apa yang disebut tak-dapat-diketahui ini,
entah itu berada di luar manusia dan berada di luar dunia yang kelihatan, atau
tersembunyi dalam subsadar, kebutuhan akan yang ilahi ini, menurut
prinsip-prinsip Fideism [cat: paham
yang menyatakan bahwa iman tidak mempunyai dukungan rasional, suatu paham yang
dikutuk Gereja], telah membangkitkan gairah suatu sentimen dalam
suatu jiwa yang memiliki kecenderungan religius, meskipun tidak pernah
terpikirkan sebelumnya oleh pikiran; dan sentimen ini adalah tentang sesuatu
yang ilahi, yang tersirat dalam dirinya sendiri baik sebagai obyeknya maupun
penyebab dari dirinya sendiri, dan dalam suatu cara menyatukan manusia dengan
sesuatu yang ilahi tersebut. Sentimen inilah yang oleh Modernis diberi nama
iman, dan inilah yang mereka anggap sebagai permulaan dari suatu agama. [cat. penerjemah : vital
immanence adalah
penjelasan Modernis mengenai hal-hal ilahi, dimana menurut mereka hal-hal ilahi
tersebut adalah bagian dari suatu sentimen subsadar yang muncul ketika manusia
dihadapkan pada hal-hal yang tidak-dapat-diketahui (unknowable)]
8. Tetapi kita belum sampai
pada akhir dari filosofi mereka, atau, untuk berbicara lebih akurat, kekonyolan
mereka. Karena Modernis menemukan dalam sentimen tersebut tidak hanya iman,
tetapi juga suatu wahyu yang muncul, bersama iman dan dalam iman itu, sebagaimana
yang mereka pahami. Karena apa lagi yang dibutuhkan untuk suatu wahyu? Bukankah
suatu sentimen religius yang dapat ditangkap dalam suatu kesadaran? Tidak,
bukankah jika Tuhan sendiri adalah wahyu, yaitu bahwa Ia telah menyatakan
diri-Nya kepada suatu jiwa, itu adalah mirip dengan perasaan religius tersebut?
Dan mereka menambahkan : Karena Tuhan adalah obyek dan penyebab dari munculnya
iman, wahyu tersebut pada saat yang sama adalah Tuhan itu sendiri dan dari
Tuhan; sehingga, Tuhan adalah pewahyu dan yang diwahyukan.
Oleh karena itu,
Saudara-saudara yang terhormat, muncul dari proposisi konyol Modernis, bahwa
setiap agama harus dipertimbangkan baik natural maupun supernatural. Oleh
karena itulah mereka menganggap bahwa kesadaran [cat : sesuatu yang natural] dan wahyu [cat : sesuatu yang supernatural]
adalah hal yang sama. Oleh karena itu, hukum, yang adalah suatu kesadaran
religius yang diberikan sebagai aturan umum, diletakkan sejajar dengan wahyu,
dan semua hal harus disejajarkan dengan hukum itu, bahkan otoritas tertinggi
Gereja, entah itu kapasitas mengajarnya, atau sebagai pemegang wewenang
tertinggi dalam hal liturgi suci maupun disiplin Gereja.
Perubahan Makna
dalam Sejarah Religius adalah Konsekuensinya
9. Bagaimanapun, dalam
semua proses ini, yang menurut Modernis iman dan wahyu muncul dari proses
tersebut, satu poin dapat dicatat, yang merupakan hal penting utama yang
berhubungan dengan kritik sejarah yang darinya dapat ditarik kesimpulan, yaitu
bahwa yang tak-dapat-diketahui (the
Unknowable) yang mereka bicarakan, tidak menampilkan dirinya kepada
iman sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari hal-hal lain,
tetapi lebih dalam hubungan yang erat dengan beberapa fenomena. Dan walaupun
itu berada dalam lingkup realita ilmu pengetahuan dan sejarah, yang tak dapat
diketahui itu adalah sesuatu yang dalam beberapa hal telah melampaui
batas-batas internal dan eksternal mereka. Fenomena yang demikian mungkin
berupa suatu kejadian alam yang dalam dirinya sendiri terkandung sesuatu hal yang
misterius; atau fenomena itu mungkin berupa seorang manusia yang karakter,
tindakan dan kata-katanya tampak tidak dapat diselaraskan dengan hukum-hukum
sejarah yang wajar. Maka iman, dipikat oleh hal yang tak dapat diketahui yang
merupakan bagian dari fenomena tersebut, menjadikan dirinya sebagai keseluruhan
fenomena tersebut, dan, sebagaimana yang sebenarnya terjadi, menyerapnya
menjadi bagian dari dirinya sendiri. Untuk hal tersebut muncul dua hal. Yang
pertama adalah semacam transfigurasi [perubahan figur] dari fenomena, yang mana
suatu fenomena diangkat melebihi apa yang sebenarnya terjadi, sehingga fenomena
tersebut menjadi dapat lebih diadaptasikan kepada suatu wujud yang bersifat
ilahi, sehingga iman dapat dimasukkan di situ. Hal kedua adalah sejenis
disfigurasi [perusakan figur] yang muncul dari fakta bahwa iman, yang telah
membuat suatu fenomena terpisah dari lingkungan waktu dan tempatnya, memberikan
kepada fenomena tersebut suatu atribut tertentu yang sebetulnya bukan merupakan
atribut dari fenomena tersebut; dan ini secara khusus berkenaan dengan suatu
fenomena yang terjadi di masa lalu, dan semakin jauh di masa lalu fenomena itu
terjadi, semakin besar kemungkinan terjadi disfigurasi tersebut. Dari dua
prinsip ini Modernis memunculkan dua hukum, yang jika digabungkan dengan hukum
ketiga yang telah mereka dapatkan dari agnostisisme, akan membentuk suatu
pondasi bagi kritik sejarah (historical
criticism). Kita akan mengambil suatu ilustrasi dari Pribadi
Kristus. Dalam pribadi Kristus, kata mereka, ilmu pengetahuan dan sejarah tidak
menemukan apapun selain hal-hal yang manusiawi. Maka, sesuai dengan kanon
pertama mereka yang diambil dari kebajikan agnostisisme, jika ada pandangan
mengenai sejarah-Nya yang bersifat ilahi, hal tersebut harus dibuang. Kemudian,
menurut kanon kedua, Pribadi Kristus historis telah mengalami transfigurasi
[diangkat figurnya] oleh iman; maka segala hal yang mengangkat figur Kristus
melebihi kondisi historisnya harus dihilangkan. Akhirnya, melalui kanon ketiga,
yang menyatakan bahwa pribadi Kristus telah mengalami disfigurasi [perusakan
figur] oleh iman, mensyaratkan bahwa semua hal harus dikesampingkan, baik
kata-kata maupun perbuatan dan segala hal yang tidak sesuai dengan karakter-Nya
[sebagai manusia biasa], lingkungan dan pendidikan-Nya, juga dengan waktu dan
tempat di mana Ia hidup. Sungguh suatu pola pemahaman yang aneh, tetapi itulah
pola kritik Modernis. [catatan
penerjemah : Ini berarti menganggap dari suatu lingkungan petani tidak mampu
dan buta huruf tidak mungkin muncul seorang anak yang mencapai gelar pendidikan
tertinggi dan menjadi kaya raya. jika rekam jejak anak tersebut tidak tercatat.
Bdk Yoh 1:46 : “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”].
10. Oleh karena itu, suatu
sentimen religius adalah sifat dasar dari semua agama, yang melalui pemahaman
mengenai vital
immanence (keberadaan sejati), muncul dari tempat yang
tersembunyi dalam subsadar, dan sentimen tersebut adalah penjelasan mengenai
segala hal yang telah dan akan terjadi dalam semua agama. Sentimen ini, yang
pada awalnya hanya merupakan suatu sifat dasar dan hampir tak berbentuk, secara
bertahap menjadi matang, di bawah pengaruh dari prinsip misterius dari mana
sentimen itu berasal, dan dengan perkembangan kehidupan manusia, seperti yang telah
dikatakan, menjadi sebuah bentuk. Hal ini kemudian menjadi awal dari semua
agama, bahkan agama supernatural; Agama-agama tersebut hanyalah suatu
perkembangan dari suatu sentimen religius. Ini juga termasuk agama Katolik,
yang dianggap sederajad dengan semua agama yang ada, karena agama ini
menyebabkan, melalui proses vital
immanence, munculnya suatu kesadaran akan Kristus, seorang manusia
yang paling terpilih, yang tak pernah ada dan tak akan pernah ada seperti-Nya [cat : ini berarti diandaikan bahwa
subsadar sekelompok orang telah memunculkan suatu harapan akan seorang pembebas
terhadap himpitan masalah mereka, baik saat itu, yaitu saat kekaisaran Romawi
menjajah, maupun saat ini, yaitu saat segala rasa ‘kurang puas’ menyelimuti;
dan harapan itu secara berlebihan ditujukan kepada sosok Yesus, dengan segala
reputasi-Nya sebagai seorang penyembuh pada jaman-Nya]. Siapapun
yang mendengar pernyataan yang nekad dan tidak pantas ini akan terkejut! Dan,
Saudara-saudara yang terhormat, ini bukan sekedar ucapan konyol sambil lalu
dari orang yang tidak menganut suatu agama (infidel).
Banyak orang Katolik, ya, dan bahkan para imam, yang mengatakan hal seperti itu
secara terbuka; dan mereka membanggakan diri sebagai pembaharu Gereja melalui
komentar-komentar konyol tersebut! Tak perlu lagi dipertanyakan sekarang
mengenai bidat masa lalu, yang mengklaim bahwa kuasa supernatural dapat menjadi
milik alami manusia. Kita telah jauh melampaui hal tersebut : kita telah
mencapai titik dimana telah dinyatakan bahwa agama yang paling kudus, karena
Kristus ada dalam kita, adalah sepenuhnya merupakan suatu pancaran yang spontan
dari diri kita. Dibanding hal ini, maka sungguh tidak ada yang lebih bersifat
merusak terhadap tatanan supernatural yang oleh Konsili Vatikan I telah dinyatakan
: “Jika seseorang mengatakan bahwa manusia tidak dapat diangkat oleh Tuhan
kepada suatu pengetahuan dan kesempurnaan yang melampaui sifat alaminya, tetapi
bahwa ia dapat dan harus, melalui usahanya sendiri dan dengan menjalani suatu
perkembangan yang konstan, pada akhirnya memperoleh pemahaman menyeluruh
tentang kebenaran dan kebaikan, biarlah ia menjadi terkutuk” (De Revel. Can. 3).
Asal dari Dogma
11. Sejauh ini,
Saudara-saudara yang terhormat, sama sekali tidak disebutkan mengenai
akal. Meskipun demikian, menurut ajaran para Modernis, akal juga memiliki peran
dalam tindakan iman. Dan adalah penting untuk mengetahui bagaimana peran
tersebut. Dalam sentimen yang berulangkali Kami bicarakan, yang mana sentimen
bukanlah merupakan suatu pengetahuan, Tuhan sungguh menghadirkan diri-Nya pada
manusia, tetapi dalam bentuk yang sungguh membingungkan dan tidak jelas
sehingga hampir tidak dikenali bahkan oleh orang-orang yang percaya. Oleh sebab
itu adalah perlu ada suatu terang yang bersinar di atas sentimen ini, sehingga
Tuhan sungguh dapat dibedakan dan dipisahkan dari sentimen tersebut. Inilah
tugas dari akal, yang fungsinya adalah untuk merefleksikan dan menganalisa,
yang dengannya manusia pada tahap pertama mentransformasikan ke dalam gambaran
mental mengenai fenomena yang muncul dari dalam dirinya, dan kemudian
mengekspresikan gambaran mental tersebut dalam kata-kata. Atau dalam ucapan
yang umum dari kalangan Modernis : orang yang religius harus mempertimbangkan
imannya. Akal menjumpai sentimen ini secara langsung, dan kemudian berproses,
seperti seorang pelukis yang memperbaiki dan memberi hidup baru pada suatu
lukisan yang buram. Kemiripan proses ini adalah salah satu hal yang utama dalam
Modernisme. Beroperasinya akal dalam proses ini adalah dobel proses : pertama,
secara spontan dan alami, akal mengekspresikan konsepnya dalam pernyataan
sederhana, kemudian, setelah melalui pertimbangan yang lebih dalam, atau dengan
menggunakan bahasa mereka, mengelaborasi pemikiran tersebut untuk selanjutnya
pemikiran tersebut diekspresikan dalam proposisi kedua, yang merupakan
penyempurnaan dan penjelasan dari pernyataan pertama yang masih sederhana tadi.
Proposisi kedua inilah, jika mendapat persetujuan dari Magisterium Gereja [cat. : yang dianggap sebagai suatu
otoritas penentu], yang menjadi sebuah dogma. [cat : ini adalah penjelasan
Modernis mengenai asal dogma].
12. Jadi, Kita telah
mencapai satu dari prinsip-prinsip pokok dari sistem Modernis, yaitu asal dan
sifat dari dogma, yaitu bahwa mereka menempatkan asal dari dogma pada formula
yang sederhana dan sedemikian primitif, yang dalam keadaan tertentu adalah penting
untuk suatu iman. Wahyu, sesungguhnya, memerlukan perwujudan yang jelas dari
Tuhan pada alam sadar manusia. Tetapi bagi mereka, dogma adalah suatu proposisi
kedua [cat. yang
merupakan perumusan lebih lanjut dari proposisi pertama yang berupa konsep spontan
pemahaman suatu sentimen].
Untuk mengetahui sifat dari
dogma, kita pertama kali harus menemukan hubungan yang terjadi antara rumusan
religius dengan sentimen religius. Hubungan itu telah dipahami oleh orang yang
menyadari bahwa rumusan-rumusan ini tidak memiliki tujuan lain selain untuk
membantu orang yang percaya dengan suatu alat untuk dirinya dalam beriman.
Rumusan-rumusan ini berdiri di antara orang yang percaya tersebut dengan
imannya; dalam hubungannya dengan iman, rumusan-rumusan tersebut bukanlah
ungkapan yang cukup mengenai obyek imannya, dan rumusan-rumusan itu disebut
simbol-simbol; dalam hubungannya dengan orang yang percaya, rumusan-rumusan itu
hanyalah merupakan alat [cat
: untuk membantu memahami obyek imannya].
Evolusi dari Dogma
13. Oleh karena itu adalah
mustahil bagi rumusan-rumusan itu untuk mengungkapkan kebenaran absolut; karena
mereka adalah simbol, images
of truth, gambaran mengenai kebenaran, sehingga harus diadaptasikan
dengan sentimen religius dalam hubungannya dengan manusia [cat : yang memiliki sentimen
religius]; dan sebagai alat, rumusan-rumusan itu adalah kendaraan
menuju kebenaran, dan pada gilirannya [cat
: disini letak kegagalan Modernis dalam memahami dogma] harus
diadaptasikan dengan manusia dalam hubungan manusia tersebut dengan sentimen
religiusnya. Tetapi obyek dari sentimen religius tadi memiliki beragam aspek
yang saat ini menampilkan diri seperti ini, disaat lain seperti itu. Dengan
demikian, orang yang percaya akan melewati beberapa fase. Konsekuensinya, rumusan-rumusan
tadi, yang kita sebut dogma, harus tunduk pada perubahan-perubahan ini,
sehingga rumusan-rumusan tadi dapat berubah. Ini membuka jalan pada evolusi
dogma. Ini adalah suatu kumpulan pandangan yang meruntuhkan dan menghancurkan
semua agama. Dogma tidak hanya dapat, [cat
: menurut Modernis] tetapi harus berevolusi dan berubah. Inilah
yang sangat ditekankan oleh para Modernis, yang muncul dari prinsip-prinsip
mereka. Di antara prinsip-prinsip pokok mereka adalah hal tersebut yang mereka
dapatkan dari prinsip vital
immanence [cat
: yang muncul dari dalam diri]; bahwa rumusan religius, agar
menjadi sungguh religius dan bukan spekulasi theologi, harus menghidupi dan
hidup dalam sentimen religius. Ini tidak berarti bahwa rumusan-rumusan ini
harus dibuat untuk suatu sentimen religius; yang menjadi pokok perhatian adalah
bahwa sentimen religius tersebut, dengan beberapa modifikasi jika diperlukan,
harus berasimilasi dengan rumusan-rumusan tersebut. Dengan kata lain, adalah
perlu bahwa rumusan-rumusan primitif tadi diterima dan dipertimbangkan dalam
hati, demikian juga pernyataan awal sederhana [cat. proposisi pertama] dari akal tadi
harus diproses dibawah bimbingan suara hati agar dapat menghasilkan proposisi
kedua. Maka sampailah pada pernyataan bahwa rumusan-rumusan tersebut harus
diadaptasikan pada iman dan keadaan orang yang mempercayainya. Jika karena
pertimbangan apapun adaptasi tersebut tidak bisa dilakukan, maka berarti
rumusan-rumusan tadi telah kehilangan maknanya sehingga harus diganti dengan rumusan
baru. Dan karena karakter dan dasar dari rumusan dogma [cat : oleh Modernis]
begitu labilnya, maka tidak mengherankan jika Modernis [cat : berdasar pemahaman mereka
sendiri] menganggap ringan dan tidak menghormati rumusan-rumusan
dogma. Maka mereka dengan nekad menyerang Gereja baik dengan mengambil jalur
yang salah mengenai pembedaan sifat-sifat moral dan religius dari
rumusan-rumusan dogma yang hanya mereka pahami secara dangkal, maupun dengan
berpegang dengan teguh dan sia-sia pada rumusan-rumusan tak berarti yang dari
rumusan-rumusan tersebut dipahami bahwa agama dapat runtuh. Butalah mereka, dan
pemimpin para butalah mereka, mendasarkan pada ilmu yang penuh bualan, mereka
telah mencapai puncak kekonyolan saat mereka menyalahpahami dengan tidak wajar
konsep kebenaran kekal dan sifat yang sesungguhnya dari sentimen religius,
dengan sistem baru mereka; mereka terlihat berada dalam kekuasaan orang buta
dan nafsu yang tidak mengindahkan kerendahhatian; sama sekali tidak memikirkan
bagaimana agar dapat menemukan pondasi yang kokoh bagi kebenaran, tetapi dengan
memandang rendah tradisi suci yang apostolik, dan dengan berpegang pada
doktrin-doktrin yang sia-sia dan tidak jelas, yang telah dikutuk oleh Gereja,
mereka berpikir, dalam puncak kesombongan mereka, dapat meletakkan dan
mendirikan kebenaran pada doktrin-doktrin itu.
14. Sejauh ini,
Saudara-saudara yang terhormat, adalah tentang Modernis sebagai seorang Filsuf.
Sekarang kita akan berlanjut untuk melihatnya sebagai seorang yang
beriman, a Believer,
untuk mengetahui bagaimana seorang yang beriman, menurut Modernisme, dibedakan
dari seorang Filsuf. Untuk itu harus diperhatikan bahwa meskipun seorang Filsuf
mengenali obyek iman adalah berupa kenyataan ilahi (divine reality), kenyataan ini tetap
tidak ditemui selain di hati orang yang percaya, sebagai obyek dari sentimen
dan kepercayaannya, sehingga membawanya berada dalam lingkup fenomena. Tetapi
apakah kenyataan ilahi itu berada di luar sentimen dan kepercayaan itu atau
tidak, itu bukanlah hal yang harus menjadi perhatian bagi seorang Filsuf. Di
lain pihak, bagi Modernis, seorang yang percaya menganggap kenyataan ilahi itu
adalah fakta yang jelas dan terbuktikan sungguh ada yang secara mandiri dan
tidak bergantung pada orang yang mempercayainya. Jika ditanya pada dasar apa
pernyataan tersebut diletakkan, maka Modernis akan menjawab : berdasarkan pengalaman individu. Dalam
hal ini Modernis berbeda dengan Rasionalis dan jatuh dalam opini Protestan
dan pseudo-mystics.
Inilah ciri mereka dalam mengajukan pertanyaan : dalam sentimen religius orang
harus mengenali jenis intuisi hati yang menghubungkan manusia secara langsung
dengan kenyataan Allah, dan memasukkan persuasi tentang keberadaan Allah serta
perbuatan-Nya tersebut ke dalam dan ke luar manusia untuk mengungguli segala
pendapat ilmiah. Mereka menegaskan tentang keberadaan suatu pengalaman nyata,
suatu hal yang melampaui segala pengalaman rasional. Jika pengalaman ini
disangkal, seperti oleh para rasionalis, maka tampaklah bahwa orang yang
menyangkalnya tidak memiliki keinginan untuk meletakkan dirinya dalam suatu
keadaan moral yang diperlukan untuk menghasilkan pengalaman tersebut.
Pengalaman inilah, yang jika seseorang memilikinya, yang membuat seseorang
menjadi seorang yang beriman.
Betapa jauhnya kita di sini
menyimpang dari ajaran Katolik sebagaimana yang telah kita lihat pada dekrit
Konsili Vatikan I. Kita akan melihat, dengan teori seperti itu, ditambah
kekeliruan-kekeliruan yang telah disebutkan sebelumnya, terbuka jalan yang
lebar menuju atheisme. Di sini patut dicatat bahwa jika doktrin tentang
pengalaman ilahi tersebut dianut dan digabungkan dengan doktrin tentang
symbolism, maka setiap agama, bahkan agama pagan sekalipun, harus dianggap
benar. Apa yang menghalangi pengalaman ilahi seperti itu ada dalam setiap
agama? Dalam
kenyataannya banyak orang yang mengaku memiliki pengalaman ilahi itu.[cat. penekanan teks oleh
penerjemah]. Dan dengan kewenangan apa Modernis menyangkal
kebenaran pengalaman ilahi yang dialami oleh kaum Muslim? Dengan kewenangan apa
mereka dapat mengklaim bahwa pengalaman ilahi itu hanya bagi orang Katolik
saja? Sesungguhnya
Modernis tidak menyangkal tetapi mengakuinya, beberapa sedikit ragu dan lainnya
secara terbuka, bahwa semua agama adalah benar. [cat. penekanan teks oleh penerjemah].
Jelas mereka tidak dapat berpendapat sebaliknya. Karena atas dasar apa, menurut
teori mereka, kekeliruan dapat disandangkan pada suatu agama apapun? Jelas
harus pada salah satu dari dua hal berikut : entah dalam kekeliruan sentimen
ataupun dalam kekeliruan perumusan sentimen itu oleh akal. Sekarang sentimen
religius, walaupun bisa lebih sempurna ataupun kurang sempurna, selalu
merupakan sentimen yang satu dan sama; dan rumusan intelektual, agar menjadi
benar, harus merespon sentimen religius dan orang yang percaya (the Believer),
bagaimanapun kapasitas intelektual orang yang percaya tersebut. Jika terjadi
konflik antara agama yang berbeda, hal paling jauh yang dapat dikatakan oleh
Modernis adalah bahwa Katolik memiliki lebih banyak kebenaran karena lebih hidup
dan bahwa Katolik lebih layak menyandang nama Kristen karena Katolik memiliki
hubungan yang lebih penuh dengan asal-muasal Kekristenan. Bahwa
konsekuensi-konsekuensi ini mengalir dari premis-premis tersebut kelihatannya
merupakan sesuatu yang wajar. Tetapi yang mengherankan adalah adanya orang
Katolik dan sekelompok imam, Kami hampir tidak mempercayainya, mengutuk
kebejatan tersebut tetapi berlaku seolah-olah mereka mendukung sepenuhnya
pandangan-pandangan tersebut, dengan memberikan pujian dan kehormatan publik
bagi para pengajar pandangan yang keliru tersebut, yang mereka tujukan tidak
hanya sekedar kepada pribadi para pengajar tersebut, yang mungkin bukannya
tidak memiliki kebaikan-kebaikan tersebut, tetapi lebih kepada
pandangan-pandangan keliru yang diajarkan dan disebarluaskan dengan sekuat
tenaga oleh para pengajar tersebut.
Pengalaman
Religius dan Tradisi
15. Tapi doktrin tentang
pengalaman ilahi ini juga berada di bawah aspek yang sepenuhnya bertentangan
dengan kebenaran Katolik. Doktrin ini diperluas dan diaplikasikan kepada
tradisi, yang dipahami oleh Gereja hingga sekarang, dan menghancurkan tradisi
tersebut. Oleh Modernis, tradisi dipahami sebagai suatu komunikasi pada pihak
lain, dengan mengajarkan melalui rumusan-rumusan intelektual, suatu pengalaman
asal. Pada rumusan tersebut, dengan menambahkan pada nilai keperwakilannya,
mereka menambahkan sejenis kekuatan sugestif yang bekerja baik pada pribadi
yang percaya maupun pada orang yang percaya, yang padanya berfungsi untuk
menstimulasi sentimen religius jika sentimen itu tumbuh dengan lambat dan untuk
membaharui pengalaman yang telah dimiliki, dan juga kepada mereka yang kurang
percaya, untuk membangkitkan sentimen religius pertama kalinya dan untuk
menghasilkan pengalaman bagi mereka. Dalam cara inilah pengalaman religius
disebarkan kepada orang-orang, tidak hanya untuk generesi sekarang melalui
pengajaran-pengajaran lisan tetapi juga untuk generasi mendatang melalui
buku-buku dan penerusan penceritaan secara lisan dari satu orang ke orang lain.
Kadang komunikasi tentang pengalaman religius ini mengakar dan tumbuh subur,
kadang mengering dan mati. Bagi Modernis, dapat bertahan hidup adalah suatu
bukti, karena bagi mereka hidup dan kebenaran adalah satu dan merupakan hal
yang sama. Karena itulah sekali lagi mereka berkesimpulan bahwa semua agama
yang hidup saat ini adalah sama-sama benar, karena jika tidak maka mereka tidak
dapat bertahan hidup.
Iman dan Pengetahuan
16. Setelah sampai pada
titik ini, Saudara-saudara yang terhormat, kita memiliki materi yang cukup bagi
kita untuk melihat bagaimana Modernis memandang hubungan antara iman dan
pengetahuan, termasuk sejarah yang berada di bawah nama pengetahuan. Dan pada
tempat pertama haruslah dipegang bahwa obyek dari salah satunya sama sekali
tidak berhubungan dan terpisah dari obyek yang lain. Iman hanya berhubungan
dengan hal-hal yang oleh pengetahuan dianggap sebagai hal yang unkowable bagi
pengetahuan. Dengan demikian masing-masing memiliki ruang lingkup yang terpisah
: pengetahuan sepenuhnya berhubungan dengan realitas fenomena, yang sama sekali
tidak dimasuki oleh iman; sebaliknya, iman behubungan dengan kenyataan ilahi
yang sama sekali tidak dikenal oleh pengetahuan. Maka dapat disimpulkan bahwa
tidak mungkin terdapat perselisihan antara iman dan pengetahuan, karena jika
masing-masing tetap berada di wilayahnya maka tidak akan pernah terjadi
perjumpaan sehingga tidak akan pernah ada kontradiksi di antara keduanya. Dan
jika terdapat keberatan bahwa di dunia yang kelihatan ini terdapat hal-hal yang
termasuk dalam wilayah iman, seperti kehidupan manusiawi Kristus, Modernis akan
menyangkalnya. Karena meskipun hal-hal seperti itu masuk dalam kategori
fenomena, tetap saja selama hal-hal itu dihidupi oleh iman dan sebagaimana yang
telah dijelaskan telah mengalami transifugasi dan disfigurasu oleh iman,
hal-hal itu telah terpisah dari dunia yang terindera dan diterjemahkan menjadi
hal-hal yang ilahi. Jika ditanya lebih lanjut apakah Kristus sungguh mengadakan
mujizat dan melakukan nubuat-nubuat nyata, atau apakah Ia sungguh bangkit dari
mati dan naik ke surga, jawaban dari pengetahuan agnostik akan menolak hal-hal
tersebut dan jawaban dari iman akan mengakuinya, sehingga dalam hal ini tidak
terdapat konflik di antara keduanya. Karena hal itu akan disangkal oleh para
pemikir sebagai pemikir yang berbicara kepada pemikir dan hanya
mempertimbangkan Kristus dalam kehidupan sejarah-Nya, dan hal-hal itu akan
diakui oleh para pembicara yang berbicara kepada orang-orang yang percaya dan
mempertimbangakn kehidupan Kristus sebagai hidup kembali oleh iman dan dalam
iman.
Iman Tunduk Kepada
Ilmu Pengetahuan
17. Akan menjadi kekeliruan
besar jika menganggap bahwa, sesuai dengan teori-teori tadi, seseorang memiliki
kewenangan untuk mengakui bahwa iman dan pengetahuan adalah saling mandiri satu
sama lain. Dari sisi pengetahuan mungkin benar, tetapi sungguh berbeda
keadaannya dengan iman, yang tunduk pada pengetahuan tidak pada satu dasar
tetapi pada tiga dasar. Yang pertama adalah harus diamati bahwa dalam setiap
kenyataan religius, jika Anda menghilangkan kenyataan ilahi dan pengalaman yang
dimiliki oleh orang yang percaya, segala sesuatu, teristimewa rumusan religius
tentangnya, masuk dalam lingkup fenomena dan masuk dalam kendali pengetahuan.
Biarlah orang yang percaya meninggalkan dunia ini jika ia mau, tetapi selama ia
masih di dunia ini ia harus, suka atau tidak suka, tunduk kepada hukum,
pengamatan dan penilaian dari pengetahuan dan sejarah. Lebih jauh, jika
dikatakan bahwa Allah hanya merupakan obyek dari iman saja, pernyataan tersebut
hanya merujuk pada kenyataan ilahi bukan pada gagasan tentang Allah. Gagasan
tentang Allah tunduk pada pengetahuan karena ia memfilosofikan ke dalam apa
yang disebut sebagai tatanan logis yang menuju pada hal yang ideal dan absolut.
Adalah wewenang filosofi dan pengetahuan untuk membentuk suatu kesimpulan
sehubungan dengan gagasan mengenai Allah, untuk mengarahkannya pada evolusinya
dan memurnikannya dari segala elemen asing yang dapat membingungkannya.
Akhirnya, orang tidak dapat bertahan terhadap keberadaan dualisme dalam
dirinya, sehingga orang yang percaya merasakan dalam dirinya dorongan untuk
mengharmoniskan iman dengan pengetahuan, bahwa iman tidak akan pernah
bertentangan dengan konsepsi umum pengetahuan mengenai semesta ini.
Maka dinyatakan bahwa
pengetahuan sepenuhnya independen dari iman, sementara di lain pihak, meskipun
mereka seharusnya asing satu sama lain, iman dibuat tunduk pada ilmu
pengetahuan. Semua ini, Saudara-saudara yang terhormat, adalah oposisi formal
terhadap terhadap ajaran Pendahulu Kami, Pius IX, di mana ia telah menyatakan
bahwa : Dalam
hal agama, adalah tugas dari filsafat bukan untuk memerintah tetapi untuk
melayani, bukan untuk meresepkan apa yang harus dipercayai tetapi untuk
berpegang pada apa yang harus dipercayai dengan kepatuhan yang masuk akal,
bukan untuk memeriksa dengan cermat kedalaman misteri Allah tetapi untuk menghormatinya
dengan tulus dan rendah hati.
Modernis sepenuhnya
membalikkan bagian ini, dan bagi mereka dapat ditujukan kata-kata Pendahulu
Kami, Gregory IX, yang ditujukan kepada beberapa theolog pada masanya : Beberapa di antara kamu, dipompa
oleh semangat kesia-siaan bekerja keras demi pembaharuan duniawi untuk
menyeberangi batas yang ditentukan oleh para Bapa Gereja, memelintir pemahaman
hal-hal surgawi,…kepada ajaran rasional filosofis, bukan demi keuntungan
pendengar mereka tetapi untuk melakukan ‘show of science’…Hal-hal ini, digoda
oleh doktrin yang aneh dan eksentrik, menjadikan kepala sebagai ekor dan
memaksa ratu untuk melayani pelayan.
[bersambung]