Saturday, 26 October 2019

Tentang Uniatisme



JOINT INTERNATIONAL COMMISSION FOR THE THEOLOGICAL DIALOGUE BETWEEN THE ROMAN CATHOLIC CHURCH AND THE ORTHODOX CHURCH
http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/chrstuni/ch_orthodox_docs/rc_pc_chrstuni_doc_19930624_lebanon_en.html


Ada beberapa poin menarik dari dokumen Joint Commission antara Gereja Katolik dan Gereja Orthodox di link di atas.

Uniatisme menurut link yg di vatican.va adalah upaya untuk melakukan proselytisme atau mengkonvert umat dari Gereja Katolik ke Orthodox ataupun sebaliknya.

Communiqué: 'It is not a question of seeking the conversion of persons from one Church to the other. This latter type of missionary activity, which has been called "uniatism"...'

Apakah Katolik Timur hasil uniatisme? Menurut dokumen tsb, Katolik Timur muncul atas prakarsa dari dalam diri Gereja2 yang dulu berada di bawah Gereja Orthodox walaupun memang mendapat dukungan dari 'pihak luar'.

8. 'In the course of the last four centuries, in various parts of the East, initiatives were taken WITHIN certain Churches and impelled by outside elements, to restore communion between the Church of the East and the Church of the West.'). Keadaan ini membuat jarak antara Gereja Katolik dan Orthodox justru semakin renggang (9. '...the division remains, embittered by these attempts.'.

Dokumen tsb muncul untuk membahas kegusaran Gereja Orthodox thdp Katolik Timur yang melakukan karya pastoral di Eropa.

Communiqué: 'The theme of the seventh plenary session was entirely centred on the theological and practical questions presented by the existence and pastoral activity of the Oriental Catholic Churches. ... which have taken place in Central and Eastern Europe').

Gereja Orthodox menganggapnya sebagai upaya proselytisme atau uniatisme. Namun dalam dokumen tsb disepakati bahwa karya pastoral Katolik Timur tetap diperlukan untuk menjawab kebutuhan spiritual umatnya

3. ' Concerning the Oriental Catholic Churches, it is clear that they, as part of the Catholic Communion, have the right to exist and to act in answer to the spiritual needs of their faithful'.

Tidak dipungkiri bahwa dari kedua belah pihak memang telah terjadi upaya uniatisme yaitu keinginan untuk mengkonversi umat dari Gereja satu ke Gereja lain. Dokumen tsb juga mengakui upaya pemerintah sipil yang mendukung Gereja Orthodox untuk melakukan uniatisme terhadap Katolik Timur.

11. 'On the other hand certain civil authorities made attempts to bring back Oriental Catholics to the Church of their Fathers'.

Melalui dokumen tersebut dinyatakan bahwa uniatisme bukanlag cara yang baik untuk menyatukan kedua Gereja. Uniatisme dipandang sebagai metode masa lalu yang tidak cocok diterapkan pada masa sekarang yang memerlukan metode baru. Judul dokumen tersebut menyatakan hal tersebut: 'UNIATISM, METHOD OF UNION OF THE PAST, AND THE PRESENT SEARCH FOR FULL COMMUNION'.

Jadi, apakah Katolik Timur hasil dari uniatisme? Menurut dokumen tersebut tidak karena keinginan bersatu dengan Roma muncul dari dalam diri Gereja-gereja tersebut. Bahwa Gereja-gereja tersebut berusaha mengkonversi Gereja lokal lain mungkin iya, tapi itu juga dilakukan oleh Gereja Orthodox bahkan dengan dukungan pemerintah sipil (Russia mungkin ya?).

Dan omong2 tentang uniatisme/proselitisme, apa yang dilakukan Gereja Orthodox Indonesia di Indonesia adalah bentuk uniatisme karena berusaha mengkonversi umat Gereja Katolik ke Gereja mereka.

PASCENDI DOMINICI GREGIS


PASCENDI DOMINICI GREGIS

Ensiklik Paus Pius X
Tentang Doktrin Para Modernist

Kepada para Patriarkh, Primat, Uskup Agung, Uskup
Dan Ordinaria setempat lainnya
Dalam Damai dan Persatuan dengan Tahta Apostolik,

Berkat Kerasulan dan Kesehatan bagi Saudara-saudara yang terhormat,

Tugas yang secara Ilahi telah diberikan kepada Kita untuk memberi makan Umat Allah, yang secara istimewa memiliki kewajiban yang telah ditugaskan oleh Kristus, antara lain untuk menjaga dengan kewaspadaan penuh deposit iman yang disampaikan kepada para kudus, meniadakan ajaran-ajaran baru yang bersifat duniawi serta dan melakukan oposisi terhadap apa yang secara keliru disebut sebagai pengetahuan. Tiada henti-hentinya kewaspadaan kegembalaan ini diperlukan bagi tubuh Katolik, karena melihat usaha dari musuh kemanusiaan, tidak pernah ada kurangnya “beberapa orang dengan ajaran palsu mereka” (Kis 20:30), “dengan omongan yang sia-sia” (Tit 1:10), telah “menyesatkan dan disesatkan” (2 Tim 2:13). Harus diakui bahwa jumlah musuh salib Kristus dalam masa-masa ini meningkat pesat, mereka yang berusaha sungguh keras, dengan cara yang sungguh baru dan penuh kehalusan, untuk menghancurkan energi utama Gereja, dan, jika mampu, mereka ingin menghapuskan sama sekali kerajaan Kristus itu sendiri. Karena itu Kita tidak dapat lebih lama lagi berdiam diri, karena jika tidak maka Kita tidak memenuhi tugas suci Kita, dan kita dapat disebut telah melalaikan tugas Kita.

Arah dari Situasi yang Ada

2. Bahwa Kita tidak membuat penundaan dalam masalah ini disebabkan terutama oleh fakta bahwa pengikut kesesatan tampak tidak hanya terdapat di antara musuh terbuka Gereja : mereka tersembunyi, suatu hal yang sungguh disesalkan dan dicemaskan, jauh di dalam pangkuan dan jiwa Gereja, dan semakin kental sifat penentangannya, semakin tersembunyi mereka. Kami menujukan pernyataan tersebut pada mereka yang menjadi bagian dari para awam Katolik, dan juga, ini yang sungguh patut diratapi, kepada berbagai tingkatan keimaman itu sendiri, yang berpura-pura dalam cinta pada Gereja, telah mengalami kekurangan pegangan yang kuat terhadap filsafat dan teologi, bahkan lebih lagi, terpengaruh secara menyeluruh oleh doktrin-doktrin beracun yang diajarkan oleh musuh Gereja; dan kehilangan seluruh sikap rendah hati, membanggakan diri sebagai pembaharu Gereja, dan, dengan membangun serangan yang lebih jelas, menyerang seluruh kekudusan karya Kristus, bahkan terhadap pribadi Penebus Ilahi, yang dengan kenekadan tak bermoral telah mereka reduksi menjadi hanya sekedar manusia biasa.

3. Meskipun mereka sendiri menyatakan keheranannya, tak seorangpun dapat dikejutkan, dengan mengabaikan kecenderungan sifat masing-masing jiwa, yang mana Tuhan sendiri adalah hakimnya,  bahwa Kita menggolongkan orang-orang semacam itu sebagai bagian dari para musuh Gereja, jika doktrin, tata cara percakapan, serta perilaku mereka telah ditunjukkan. Juga seseorang tidak akan salah untuk menggolongkan mereka sebagai musuh Gereja yang paling jahat, karena sebagaimana yang telah Kami katakan, mereka merencanakan kehancuran Gereja tidak dari luar tetapi dari dalam, oleh karena itu, bahaya hadir hampir dalam setiap nadi dan jiwa Gereja, yang mana kerusakan yang ditimbulkan lebih nyata karena pengetahuan mereka yang cukup dalam mengenai Gereja. Terlebih lagi, mereka mengayunkan kapak tidak pada cabang dan ranting, tetapi pada akar, yaitu pada iman dan api terdalamnya. Dan setelah menyerang akar kekekalan ini, mereka mulai menyebarkan racun pada seluruh pohon, sehingga tidak ada sedikitpun kebenaran Katolik yang mereka genggam yang tidak mereka usahakan untuk rusak. Lebih lanjut, tidak ada yang lebih terampil, tidak ada yang lebih cerdik daripada mereka, dalam menggunakan ribuan cara berbisa, karena mereka memainkan peran ganda sebagai seorang rasionalis dan seorang Katolik, dan ini begitu lihainya sehingga mereka dapat menjerumuskan seseorang yang kurang waspada ke dalam kekeliruan, dan karena kenekadan adalah karakter utama mereka, maka tidak ada kesimpulan dalam bentuk apapun yang tidak mereka ciutkan artinya, dan tidak ada yang mereka percayai dengan sepenuh hati dan keyakinan yang teguh. Dalam hal ini harus ditambahkan fakta, yang sungguh mereka perhitungkan untuk memperdayai jiwa-jiwa, bahwa mereka memimpin kepada suatu kehidupan yang memiliki aktifitas terhebat, bahwa mereka bersungguh-sungguh dengan tekun dalam setiap cabang pembelajaran, dan bahwa mereka memiliki suatu reputasi moral yang paling disiplin sebagai sebuah aturan. Akhirnya, dan ini yang membuat hampir setiap cara penyembuhan tidak berguna, doktrin-doktrin pokok mereka telah memberikan suatu kecenderungan dalam pikiran mereka, untuk mengabaikan semua otoritas dan menghilangkan semua halangan; dan dengan mempercayakan diri pada suara hati yang keliru, mereka berusaha untuk mengangap sifat penentangan mereka itu berasal dari kecintaan terhadap kebenaran, yang kenyataannya adalah hasil dari kesombongan dan ketegaran hati.

Ada masa dimana Kami sungguh memiliki harapan untuk mengingatkan dan mengembalikan mereka pada pengertian dan pemahaman yang lebih baik, dan pada awalnya kami menunjukkan pada mereka kebaikan hati dengan menganggap mereka anak-anak Kami, kemudian kami memperlakukan mereka dengan lebih tegas, dan akhirnya, meski dengan keengganan yang besar, kami menegur mereka secara publik. Tetapi Anda mengetahui, Saudara-saudara yang terhormat, betapa sia-sianya tindakan Kami. Mereka menundukkan kepala untuk sementara waktu, tetapi segera mereka mengangkatnya dengan lebih arogan daripada sebelumnya. Jika ini adalah tentang diri mereka sendiri, Kami mungkin akan mengabaikannya; tetapi keamanan iman Katolik sedang dipertaruhkan. Oleh karena itu, karena dengan membiarkannya akan berarti suatu kekeliruan, Kita tidak boleh tinggal diam untuk menunjukkan kepada seluruh anggota Gereja sifat mereka yang sesungguhnya, mereka yang telah menjalani penyamaran yang buruk ini.

Pembagian Ensiklik

4. Tetapi karena para Modernis (sebagaimana mereka secara umum dan tepat disebut demikian) menggunakan suatu tipu daya yang lihai, katakanlah dengan menyajikan doktrin-doktrin mereka tanpa aturan yang sistematis dalam suatu kesatuan doktrin, tersebar dan seolah-olah tidak berhubungan satu sama lain, sehingga terlihat tidak memiliki doktrin tertentu, mereka sebenarnya memiliki doktrin yang sangat kokoh dan teguh. Akan menjadi suatu keuntungan, Saudara-saudara yang terhormat, untuk menyajikan ajaran-ajaran mereka secara bersama-sama di sini sebagai suatu kesatuan, dan menunjukkan hubungan antara ajaran-ajaran tersebut, dan dengan demikian dapat melakukan pemeriksaan terhadap sumber kekeliruannya, dan memberikan cara penyembuhan yang berguna untuk mencegah berkembangnya kejahatan mereka.

ANALISA TERHADAP AJARAN MODERNIS

5. Untuk melanjutkan dalam suatu kesinambungan pada subyek yang tersembunyi ini, pertama kali harus dipahami bahwa setiap Modernis dalam dirinya memiliki dan mendukung beragam kepribadian : ia adalah seorang filsuf, seorang yang percaya (a believer), seorang theolog, seorang sejarawan, seorang kritikus, seorang apologist, seorang pembaharu. Sifat-sifat tersebut harus secara jelas dibedakan antara satu dengan lainnya oleh siapapun yang ingin mengetahui sistem mereka dan secara menyeluruh memahami prinsip-prinsip dan konsekuensi dari doktrin-doktrin mereka.

Agnostisisme sebagai Dasar Filosofinya

6. Kami mulai dengan sifat mereka sebagai filsuf. Modernis meletakkan dasar filosofi religiusnya pada doktrin yang biasa disebut Agnostisisme. Menurut ajaran ini, akal manusia sepenuhnya dibatasi oleh lingkup fenomena, yaitu hal-hal yang dapat diindera oleh indera manusia. Tidak ada hak dan kemampuan bagi akal untuk melewati batas-batas indera ini. Dengan hal-hal tersebut, ajaran ini tidak mampu mengangkat dirinya sendiri kepada pemahaman tentang Tuhan dan pengenalan terhadap keberadaan-Nya, bahkan melalui hal-hal yang tampak. Dari sini disimpulkan bahwa Tuhan tidak akan dapat pernah menjadi obyek dari ilmu pengetahuan. Mengenai sejarah, Tuhan harus dipertimbangkan bukan sebagai suatu subyek sejarah. Premis-premis ini menunjuk pada Natural Theology, pada kecenderungan kepercayaan (motives of credibility), pada wahyu eksternal, yang oleh Modernis disederhanakan menjadi satu dalam Intelektualisme, yang mereka sebut sebagai sistem konyol masa lalu yang sudah tidak berfungsi. Fakta bahwa Gereja telah secara formal mengutuk kekeliruan yang luar biasa ini mereka anggap sebagai bentuk pengekangan yang paling ringan. Konsili Vatikan I menyatakan bahwa, “Jika seseorang mengatakan bahwa Allah benar yang satu, Tuhan dan Pencipta kita, tidak dapat dikenali dengan pasti oleh terang alami akal manusia melalui benda-benda yang ada yang merupakan ciptaan, biarlah ia menjadi terkutuk.” (De Revel., can. I); dan juga,  “Jika seseorang mengatakan bahwa tidaklah mungkin atau tidaklah berguna bahwa seseorang diajar, melalui media wahyu ilahi, tentang Tuhan dan penyembahan yang harus diberikan pada-Nya, biarlah ia menjadi terkutuk.” (ibid., can.2); dan akhirnya, “Jika seseorang mengatakan bahwa wahyu ilahi tidak dapat dipercaya melalui tanda-tanda eksternal, sehingga manusia seharusnya dituntun hanya oleh imannya sendiri yang diperoleh melalui pengalaman dalam dirinya sendiri atau melalui inspirasi pribadi, biarlah ia menjadi terkutuk.” (De Fide, can. 3). Tetapi bagaimana Modernis melakukan transisi dari Agnostisisme, yang adalah keadaan ketidaktahuan murni, menjadi Atheisme yang mendasarkan pada ilmu pengetahuan dan sejarah, yang merupakan doktrin penyangkalan positif; dan kemudian berlanjut, entah dengan cara penalaran yang bagaimana, mereka mulai berproses mulai dari ketidaktahuan tentang apakah Tuhan sungguh telah melakukan campur tangan dalam sejarah manusia atau tidak, kemudian dengan penjelasan mereka mengenai sejarah yang sama sekali menyangkal Tuhan, mereka menuju pada pemahaman bahwa Tuhan tidak pernah melakukan campur tangan, seolah-olah bahwa Tuhan memang benar-benar tidak campur tangan. Biarlah mereka sendiri yang menjawab bagaimana proses tersebut. Bahwa ilmu pengetahuan dan sejarah harus bersifat atheis adalah prinsip yang baku dan mendasar bagi mereka; dan dalam batasan mereka, tidak ada ruang bagi apapun selain fenomena. Tuhan dan segala yang ilahi dilarang masuk. Kita akan segera melihat dengan jelas apa yang menurut ajaran paling absurd ini harus dipegang sehubungan dengan pribadi paling kudus dari Kristus, tentang misteri kehidupan dan kematian-Nya, dan tentang kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.

Vital Immanence

7. Bagaimanapun, Agnostisisme ini hanya merupakan sisi negatif [cat: penyangkalan] dari sistem Modernis. Sisi positif [cat: pengakuan] dari sistem itu berisi tentang apa yang mereka sebut vital immanence (keberadaan sejati). Ini adalah kemajuan mereka. Agama, entah natural atau supernatural, seperti fakta lainnya, harus dapat dijelaskan. Tetapi ketika Natural Theology telah ditolak, maka jalan menuju pewahyuan tertutup dengan dibuangnya pandangan mengenai kepercayaan (rejection of the arguments of credibility), dan ketika semua wahyu eksternal sepenuhnya disangkal, maka Modernis mencari penjelasan mengenai agama ini dalam kehidupan manusia. Dengan demikian prinsip tentang keberadaan religius dirumuskan[ cat : yaitu ada dalam diri manusia itu sendiri]. Lebih lanjut, sebagai langkah pertama dari setiap fenomena pokok yang berada dalam kategori ini, termasuk agama, disebabkan oleh kebutuhan tertentu atau suatu impulsi (gerakan hati). Tetapi jika berbicara secara lebih lanjut, maka [menurut mereka] agama memiliki asal dari suatu gerakan hati, yang mana gerakan itu disebut sebagai suatu sentimen. Oleh karena itu, kita harus menyimpulkan bahwa iman, yang merupakan dasar dari semua agama, terdiri dari suatu sentimen yang berasal dari suatu kebutuhan akan hal yang ilahi. Kebutuhan akan hal yang ilahi ini, yang dialami dalam keadaan yang tertentu, tidak dapat dari dirinya sendiri digolongkan ke dalam domain kesadaran. Itu adalah hal yang paling tersembunyi dalam kesadaran, atau, dengan meminjam suatu istilah dari filsafat modern, berada dalam subsadar (subconsciousness), yang mana akarnya juga tersembunyi dan tidak terdeteksi.

Jika seseorang menanyakan bagaimana kebutuhan akan hal yang ilahi ini, yang dialami oleh seseorang dalam dirinya sendiri, dapat tumbuh menjadi suatu agama, Modernis akan menjawab seperti ini : Ilmu pengetahuan dan sejarah, kata mereka, dibatasi oleh dua batas : satu adalah batas eksternal, katakanlah, suatu dunia yang kelihatan, yang lain adalah batas internal, yang adalah berupa kesadaran. Ketika satu dari batas-batas ini telah dicapai, maka tidak dapat pernah ada kemajuan lebih lanjut, karena diluar batas-batas tersebut adalah apa yang disebut tak-dapat-diketahui (unknowable). Dalam hal terdapat kehadiran dari apa yang disebut tak-dapat-diketahui ini, entah itu berada di luar manusia dan berada di luar dunia yang kelihatan, atau tersembunyi dalam subsadar, kebutuhan akan yang ilahi ini, menurut prinsip-prinsip Fideism [cat: paham yang menyatakan bahwa iman tidak mempunyai dukungan rasional, suatu paham yang dikutuk Gereja], telah membangkitkan gairah suatu sentimen dalam suatu jiwa yang memiliki kecenderungan religius,  meskipun tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh pikiran; dan sentimen ini adalah tentang sesuatu yang ilahi, yang tersirat dalam dirinya sendiri baik sebagai obyeknya maupun penyebab dari dirinya sendiri, dan dalam suatu cara menyatukan manusia dengan sesuatu yang ilahi tersebut. Sentimen inilah yang oleh Modernis diberi nama iman, dan inilah yang mereka anggap sebagai permulaan dari suatu agama. [cat. penerjemah : vital immanence adalah penjelasan Modernis mengenai hal-hal ilahi, dimana menurut mereka hal-hal ilahi tersebut adalah bagian dari suatu sentimen subsadar yang muncul ketika manusia dihadapkan pada hal-hal yang tidak-dapat-diketahui (unknowable)]

8. Tetapi kita belum sampai pada akhir dari filosofi mereka, atau, untuk berbicara lebih akurat, kekonyolan mereka. Karena Modernis menemukan dalam sentimen tersebut tidak hanya iman, tetapi juga suatu wahyu yang muncul, bersama iman dan dalam iman itu, sebagaimana yang mereka pahami. Karena apa lagi yang dibutuhkan untuk suatu wahyu? Bukankah suatu sentimen religius yang dapat ditangkap dalam suatu kesadaran? Tidak, bukankah jika Tuhan sendiri adalah wahyu, yaitu bahwa Ia telah menyatakan diri-Nya kepada suatu jiwa, itu adalah mirip dengan perasaan religius tersebut? Dan mereka menambahkan : Karena Tuhan adalah obyek dan penyebab dari munculnya iman, wahyu tersebut pada saat yang sama adalah Tuhan itu sendiri dan dari Tuhan; sehingga, Tuhan adalah pewahyu dan yang diwahyukan.

Oleh karena itu, Saudara-saudara yang terhormat, muncul dari proposisi konyol Modernis, bahwa setiap agama harus dipertimbangkan baik natural maupun supernatural. Oleh karena itulah mereka menganggap bahwa kesadaran [cat : sesuatu yang natural] dan wahyu [cat : sesuatu yang supernatural] adalah hal yang sama. Oleh karena itu, hukum, yang adalah suatu kesadaran religius yang diberikan sebagai aturan umum, diletakkan sejajar dengan wahyu, dan semua hal harus disejajarkan dengan hukum itu, bahkan otoritas tertinggi Gereja, entah itu kapasitas mengajarnya, atau sebagai pemegang wewenang tertinggi dalam hal liturgi suci maupun disiplin Gereja.

Perubahan Makna dalam Sejarah Religius adalah Konsekuensinya

9. Bagaimanapun, dalam semua proses ini, yang menurut Modernis iman dan wahyu muncul dari proses tersebut, satu poin dapat dicatat, yang merupakan hal penting utama yang berhubungan dengan kritik sejarah yang darinya dapat ditarik kesimpulan, yaitu bahwa yang tak-dapat-diketahui (the Unknowable) yang mereka bicarakan, tidak menampilkan dirinya kepada iman sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari hal-hal lain, tetapi lebih dalam hubungan yang erat dengan beberapa fenomena. Dan walaupun itu berada dalam lingkup realita ilmu pengetahuan dan sejarah, yang tak dapat diketahui itu adalah sesuatu yang dalam beberapa hal telah melampaui batas-batas internal dan eksternal mereka. Fenomena yang demikian mungkin berupa suatu kejadian alam yang dalam dirinya sendiri terkandung sesuatu hal yang misterius; atau fenomena itu mungkin berupa seorang manusia yang karakter, tindakan dan kata-katanya tampak tidak dapat diselaraskan dengan hukum-hukum sejarah yang wajar. Maka iman, dipikat oleh hal yang tak dapat diketahui yang merupakan bagian dari fenomena tersebut, menjadikan dirinya sebagai keseluruhan fenomena tersebut, dan, sebagaimana yang sebenarnya terjadi, menyerapnya menjadi bagian dari dirinya sendiri. Untuk hal tersebut muncul dua hal. Yang pertama adalah semacam transfigurasi [perubahan figur] dari fenomena, yang mana suatu fenomena diangkat melebihi apa yang sebenarnya terjadi, sehingga fenomena tersebut menjadi dapat lebih diadaptasikan kepada suatu wujud yang bersifat ilahi, sehingga iman dapat dimasukkan di situ. Hal kedua adalah sejenis disfigurasi [perusakan figur] yang muncul dari fakta bahwa iman, yang telah membuat suatu fenomena terpisah dari lingkungan waktu dan tempatnya, memberikan kepada fenomena tersebut suatu atribut tertentu yang sebetulnya bukan merupakan atribut dari fenomena tersebut; dan ini secara khusus berkenaan dengan suatu fenomena yang terjadi di masa lalu, dan semakin jauh di masa lalu fenomena itu terjadi, semakin besar kemungkinan terjadi disfigurasi tersebut. Dari dua prinsip ini Modernis memunculkan dua hukum, yang jika digabungkan dengan hukum ketiga yang telah mereka dapatkan dari agnostisisme, akan membentuk suatu pondasi bagi kritik sejarah (historical criticism). Kita akan mengambil suatu ilustrasi dari Pribadi Kristus. Dalam pribadi Kristus, kata mereka, ilmu pengetahuan dan sejarah tidak menemukan apapun selain hal-hal yang manusiawi. Maka, sesuai dengan kanon pertama mereka yang diambil dari kebajikan agnostisisme, jika ada pandangan mengenai sejarah-Nya yang bersifat ilahi, hal tersebut harus dibuang. Kemudian, menurut kanon kedua, Pribadi Kristus historis telah mengalami transfigurasi [diangkat figurnya] oleh iman; maka segala hal yang mengangkat figur Kristus melebihi kondisi historisnya harus dihilangkan. Akhirnya, melalui kanon ketiga, yang menyatakan bahwa pribadi Kristus telah mengalami disfigurasi [perusakan figur] oleh iman, mensyaratkan bahwa semua hal harus dikesampingkan, baik kata-kata maupun perbuatan dan segala hal yang tidak sesuai dengan karakter-Nya [sebagai manusia biasa], lingkungan dan pendidikan-Nya, juga dengan waktu dan tempat di mana Ia hidup. Sungguh suatu pola pemahaman yang aneh, tetapi itulah pola kritik Modernis. [catatan penerjemah : Ini berarti menganggap dari suatu lingkungan petani tidak mampu dan buta huruf tidak mungkin muncul seorang anak yang mencapai gelar pendidikan tertinggi dan menjadi kaya raya. jika rekam jejak anak tersebut tidak tercatat. Bdk Yoh 1:46 : “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”].

10. Oleh karena itu, suatu sentimen religius adalah sifat dasar dari semua agama, yang melalui pemahaman mengenai vital immanence (keberadaan sejati), muncul dari tempat yang tersembunyi dalam subsadar, dan sentimen tersebut adalah penjelasan mengenai segala hal yang telah dan akan terjadi dalam semua agama. Sentimen ini, yang pada awalnya hanya merupakan suatu sifat dasar dan hampir tak berbentuk, secara bertahap menjadi matang, di bawah pengaruh dari prinsip misterius dari mana sentimen itu berasal, dan dengan perkembangan kehidupan manusia, seperti yang telah dikatakan, menjadi sebuah bentuk. Hal ini kemudian menjadi awal dari semua agama, bahkan agama supernatural; Agama-agama tersebut hanyalah suatu perkembangan dari suatu sentimen religius. Ini juga termasuk agama Katolik, yang dianggap sederajad dengan semua agama yang ada, karena agama ini menyebabkan, melalui proses vital immanence, munculnya suatu kesadaran akan Kristus, seorang manusia yang paling terpilih, yang tak pernah ada dan tak akan pernah ada seperti-Nya [cat : ini berarti diandaikan bahwa subsadar sekelompok orang telah memunculkan suatu harapan akan seorang pembebas terhadap himpitan masalah mereka, baik saat itu, yaitu saat kekaisaran Romawi menjajah, maupun saat ini, yaitu saat segala rasa ‘kurang puas’ menyelimuti; dan harapan itu secara berlebihan ditujukan kepada sosok Yesus, dengan segala reputasi-Nya sebagai seorang penyembuh pada jaman-Nya]. Siapapun yang mendengar pernyataan yang nekad dan tidak pantas ini akan terkejut! Dan, Saudara-saudara yang terhormat, ini bukan sekedar ucapan konyol sambil lalu dari orang yang tidak menganut suatu agama (infidel). Banyak orang Katolik, ya, dan bahkan para imam, yang mengatakan hal seperti itu secara terbuka; dan mereka membanggakan diri sebagai pembaharu Gereja melalui komentar-komentar konyol tersebut! Tak perlu lagi dipertanyakan sekarang mengenai bidat masa lalu, yang mengklaim bahwa kuasa supernatural dapat menjadi milik alami manusia. Kita telah jauh melampaui hal tersebut : kita telah mencapai titik dimana telah dinyatakan bahwa agama yang paling kudus, karena Kristus ada dalam kita, adalah sepenuhnya merupakan suatu pancaran yang spontan dari diri kita. Dibanding hal ini, maka sungguh tidak ada yang lebih bersifat merusak terhadap tatanan supernatural yang oleh Konsili Vatikan I telah dinyatakan : “Jika seseorang mengatakan bahwa manusia tidak dapat diangkat oleh Tuhan kepada suatu pengetahuan dan kesempurnaan yang melampaui sifat alaminya, tetapi bahwa ia dapat dan harus, melalui usahanya sendiri dan dengan menjalani suatu perkembangan yang konstan, pada akhirnya memperoleh pemahaman menyeluruh tentang kebenaran dan kebaikan, biarlah ia menjadi terkutuk” (De Revel. Can. 3).


Asal dari Dogma

11. Sejauh ini, Saudara-saudara  yang terhormat, sama sekali tidak disebutkan mengenai akal. Meskipun demikian, menurut ajaran para Modernis, akal juga memiliki peran dalam tindakan iman. Dan adalah penting untuk mengetahui bagaimana peran tersebut. Dalam sentimen yang berulangkali Kami bicarakan, yang mana sentimen bukanlah merupakan suatu pengetahuan, Tuhan sungguh menghadirkan diri-Nya pada manusia, tetapi dalam bentuk yang sungguh membingungkan dan tidak jelas sehingga hampir tidak dikenali bahkan oleh orang-orang yang percaya. Oleh sebab itu adalah perlu ada suatu terang yang bersinar di atas sentimen ini, sehingga Tuhan sungguh dapat dibedakan dan dipisahkan dari sentimen tersebut. Inilah tugas dari akal, yang fungsinya adalah untuk merefleksikan dan menganalisa, yang dengannya manusia pada tahap pertama mentransformasikan ke dalam gambaran mental mengenai fenomena yang muncul dari dalam dirinya, dan kemudian mengekspresikan gambaran mental tersebut dalam kata-kata. Atau dalam ucapan yang umum dari kalangan Modernis : orang yang religius harus mempertimbangkan imannya. Akal menjumpai sentimen ini secara langsung, dan kemudian berproses, seperti seorang pelukis yang memperbaiki dan memberi hidup baru pada suatu lukisan yang buram. Kemiripan proses ini adalah salah satu hal yang utama dalam Modernisme. Beroperasinya akal dalam proses ini adalah dobel proses : pertama, secara spontan dan alami, akal mengekspresikan konsepnya dalam pernyataan sederhana, kemudian, setelah melalui pertimbangan yang lebih dalam, atau dengan menggunakan bahasa mereka, mengelaborasi pemikiran tersebut untuk selanjutnya pemikiran tersebut diekspresikan dalam proposisi kedua, yang merupakan penyempurnaan dan penjelasan dari pernyataan pertama yang masih sederhana tadi. Proposisi kedua inilah, jika mendapat persetujuan dari Magisterium Gereja [cat. : yang dianggap sebagai suatu otoritas penentu], yang menjadi sebuah dogma. [cat : ini adalah penjelasan Modernis mengenai asal dogma].

12. Jadi, Kita telah mencapai satu dari prinsip-prinsip pokok dari sistem Modernis, yaitu asal dan sifat dari dogma, yaitu bahwa mereka menempatkan asal dari dogma pada formula yang sederhana dan sedemikian primitif, yang dalam keadaan tertentu adalah penting untuk suatu iman. Wahyu, sesungguhnya, memerlukan perwujudan yang jelas dari Tuhan pada alam sadar manusia. Tetapi bagi mereka, dogma adalah suatu proposisi kedua [cat. yang merupakan perumusan lebih lanjut dari proposisi pertama yang berupa konsep spontan pemahaman suatu sentimen].

Untuk mengetahui sifat dari dogma, kita pertama kali harus menemukan hubungan yang terjadi antara rumusan religius dengan sentimen religius. Hubungan itu telah dipahami oleh orang yang menyadari bahwa rumusan-rumusan ini tidak memiliki tujuan lain selain untuk membantu orang yang percaya dengan suatu alat untuk dirinya dalam beriman. Rumusan-rumusan ini berdiri di antara orang yang percaya tersebut dengan imannya; dalam hubungannya dengan iman, rumusan-rumusan tersebut bukanlah ungkapan yang cukup mengenai obyek imannya, dan rumusan-rumusan itu disebut simbol-simbol; dalam hubungannya dengan orang yang percaya, rumusan-rumusan itu hanyalah merupakan alat [cat : untuk membantu memahami obyek imannya].


Evolusi dari Dogma

13. Oleh karena itu adalah mustahil bagi rumusan-rumusan itu untuk mengungkapkan kebenaran absolut; karena mereka adalah simbol, images of truth, gambaran mengenai kebenaran, sehingga harus diadaptasikan dengan sentimen religius dalam hubungannya dengan manusia [cat : yang memiliki sentimen religius]; dan sebagai alat, rumusan-rumusan itu adalah kendaraan menuju kebenaran, dan pada gilirannya [cat : disini letak kegagalan Modernis dalam memahami dogma] harus diadaptasikan dengan manusia dalam hubungan manusia tersebut dengan sentimen religiusnya. Tetapi obyek dari sentimen religius tadi memiliki beragam aspek yang saat ini menampilkan diri seperti ini, disaat lain seperti itu. Dengan demikian, orang yang percaya akan melewati beberapa fase. Konsekuensinya, rumusan-rumusan tadi, yang kita sebut dogma, harus tunduk pada perubahan-perubahan ini, sehingga rumusan-rumusan tadi dapat berubah. Ini membuka jalan pada evolusi dogma. Ini adalah suatu kumpulan pandangan yang meruntuhkan dan menghancurkan semua agama. Dogma tidak hanya dapat, [cat : menurut Modernis] tetapi harus berevolusi dan berubah. Inilah yang sangat ditekankan oleh para Modernis, yang muncul dari prinsip-prinsip mereka. Di antara prinsip-prinsip pokok mereka adalah hal tersebut yang mereka dapatkan dari prinsip vital immanence [cat : yang muncul dari dalam diri]; bahwa rumusan religius, agar menjadi sungguh religius dan bukan spekulasi theologi, harus menghidupi dan hidup dalam sentimen religius. Ini tidak berarti bahwa rumusan-rumusan ini harus dibuat untuk suatu sentimen religius; yang menjadi pokok perhatian adalah bahwa sentimen religius tersebut, dengan beberapa modifikasi jika diperlukan, harus berasimilasi dengan rumusan-rumusan tersebut. Dengan kata lain, adalah perlu bahwa rumusan-rumusan primitif tadi diterima dan dipertimbangkan dalam hati, demikian juga pernyataan awal sederhana [cat. proposisi pertama] dari akal tadi harus diproses dibawah bimbingan suara hati agar dapat menghasilkan proposisi kedua. Maka sampailah pada pernyataan bahwa rumusan-rumusan tersebut harus diadaptasikan pada iman dan keadaan orang yang mempercayainya. Jika karena pertimbangan apapun adaptasi tersebut tidak bisa dilakukan, maka berarti rumusan-rumusan tadi telah kehilangan maknanya sehingga harus diganti dengan rumusan baru. Dan karena karakter dan dasar dari rumusan dogma [cat : oleh Modernis] begitu labilnya, maka tidak mengherankan jika Modernis [cat : berdasar pemahaman mereka sendiri] menganggap ringan dan tidak menghormati rumusan-rumusan dogma. Maka mereka dengan nekad menyerang Gereja baik dengan mengambil jalur yang salah mengenai pembedaan sifat-sifat moral dan religius dari rumusan-rumusan dogma yang hanya mereka pahami secara dangkal, maupun dengan berpegang dengan teguh dan sia-sia pada rumusan-rumusan tak berarti yang dari rumusan-rumusan tersebut dipahami bahwa agama dapat runtuh. Butalah mereka, dan pemimpin para butalah mereka, mendasarkan pada ilmu yang penuh bualan, mereka telah mencapai puncak kekonyolan saat mereka menyalahpahami dengan tidak wajar konsep kebenaran kekal dan sifat yang sesungguhnya dari sentimen religius, dengan sistem baru mereka; mereka terlihat berada dalam kekuasaan orang buta dan nafsu yang tidak mengindahkan kerendahhatian; sama sekali tidak memikirkan bagaimana agar dapat menemukan pondasi yang kokoh bagi kebenaran, tetapi dengan memandang rendah tradisi suci yang apostolik, dan dengan berpegang pada doktrin-doktrin yang sia-sia dan tidak jelas, yang telah dikutuk oleh Gereja, mereka berpikir, dalam puncak kesombongan mereka, dapat meletakkan dan mendirikan kebenaran pada doktrin-doktrin itu.

14. Sejauh ini, Saudara-saudara yang terhormat, adalah tentang Modernis sebagai seorang Filsuf. Sekarang kita akan berlanjut untuk melihatnya sebagai seorang yang beriman, a Believer, untuk mengetahui bagaimana seorang yang beriman, menurut Modernisme, dibedakan dari seorang Filsuf. Untuk itu harus diperhatikan bahwa meskipun seorang Filsuf mengenali obyek iman adalah berupa kenyataan ilahi (divine reality), kenyataan ini tetap tidak ditemui selain di hati orang yang percaya, sebagai obyek dari sentimen dan kepercayaannya, sehingga membawanya berada dalam lingkup fenomena. Tetapi apakah kenyataan ilahi itu berada di luar sentimen dan kepercayaan itu atau tidak, itu bukanlah hal yang harus menjadi perhatian bagi seorang Filsuf. Di lain pihak, bagi Modernis, seorang yang percaya menganggap kenyataan ilahi itu adalah fakta yang jelas dan terbuktikan sungguh ada yang secara mandiri dan tidak bergantung pada orang yang mempercayainya. Jika ditanya pada dasar apa pernyataan tersebut diletakkan, maka Modernis akan menjawab : berdasarkan pengalaman individu. Dalam hal ini Modernis berbeda dengan Rasionalis dan jatuh dalam opini Protestan dan pseudo-mystics. Inilah ciri mereka dalam mengajukan pertanyaan : dalam sentimen religius orang harus mengenali jenis intuisi hati yang menghubungkan manusia secara langsung dengan kenyataan Allah, dan memasukkan persuasi tentang keberadaan Allah serta perbuatan-Nya tersebut ke dalam dan ke luar manusia untuk mengungguli segala pendapat ilmiah. Mereka menegaskan tentang keberadaan suatu pengalaman nyata, suatu hal yang melampaui segala pengalaman rasional. Jika pengalaman ini disangkal, seperti oleh para rasionalis, maka tampaklah bahwa orang yang menyangkalnya tidak memiliki keinginan untuk meletakkan dirinya dalam suatu keadaan moral yang diperlukan untuk menghasilkan pengalaman tersebut. Pengalaman inilah, yang jika seseorang memilikinya, yang membuat seseorang menjadi seorang yang beriman.

Betapa jauhnya kita di sini menyimpang dari ajaran Katolik sebagaimana yang telah kita lihat pada dekrit Konsili Vatikan I. Kita akan melihat, dengan teori seperti itu, ditambah kekeliruan-kekeliruan yang telah disebutkan sebelumnya, terbuka jalan yang lebar menuju atheisme. Di sini patut dicatat bahwa jika doktrin tentang pengalaman ilahi tersebut dianut dan digabungkan dengan doktrin tentang symbolism, maka setiap agama, bahkan agama pagan sekalipun, harus dianggap benar. Apa yang menghalangi pengalaman ilahi seperti itu ada dalam setiap agama? Dalam kenyataannya banyak orang yang mengaku memiliki pengalaman ilahi itu.[cat. penekanan teks oleh penerjemah]. Dan dengan kewenangan apa Modernis menyangkal kebenaran pengalaman ilahi yang dialami oleh kaum Muslim? Dengan kewenangan apa mereka dapat mengklaim bahwa pengalaman ilahi itu hanya bagi orang Katolik saja? Sesungguhnya Modernis tidak menyangkal tetapi mengakuinya, beberapa sedikit ragu dan lainnya secara terbuka, bahwa semua agama adalah benar. [cat. penekanan teks oleh penerjemah]. Jelas mereka tidak dapat berpendapat sebaliknya. Karena atas dasar apa, menurut teori mereka, kekeliruan dapat disandangkan pada suatu agama apapun? Jelas harus pada salah satu dari dua hal berikut : entah dalam kekeliruan sentimen ataupun dalam kekeliruan perumusan sentimen itu oleh akal. Sekarang sentimen religius, walaupun bisa lebih sempurna ataupun kurang sempurna, selalu merupakan sentimen yang satu dan sama; dan rumusan intelektual, agar menjadi benar, harus merespon sentimen religius dan orang yang percaya (the Believer), bagaimanapun kapasitas intelektual orang yang percaya tersebut. Jika terjadi konflik antara agama yang berbeda, hal paling jauh yang dapat dikatakan oleh Modernis adalah bahwa Katolik memiliki lebih banyak kebenaran karena lebih hidup dan bahwa Katolik lebih layak menyandang nama Kristen karena Katolik memiliki hubungan yang lebih penuh dengan asal-muasal Kekristenan. Bahwa konsekuensi-konsekuensi ini mengalir dari premis-premis tersebut kelihatannya merupakan sesuatu yang wajar. Tetapi yang mengherankan adalah adanya orang Katolik dan sekelompok imam, Kami hampir tidak mempercayainya, mengutuk kebejatan tersebut tetapi berlaku seolah-olah mereka mendukung sepenuhnya pandangan-pandangan tersebut, dengan memberikan pujian dan kehormatan publik bagi para pengajar pandangan yang keliru tersebut, yang mereka tujukan tidak hanya sekedar kepada pribadi para pengajar tersebut, yang mungkin bukannya tidak memiliki kebaikan-kebaikan tersebut, tetapi lebih kepada pandangan-pandangan keliru yang diajarkan dan disebarluaskan dengan sekuat tenaga oleh para pengajar tersebut.


Pengalaman Religius dan Tradisi

15. Tapi doktrin tentang pengalaman ilahi ini juga berada di bawah aspek yang sepenuhnya bertentangan dengan kebenaran Katolik. Doktrin ini diperluas dan diaplikasikan kepada tradisi, yang dipahami oleh Gereja hingga sekarang, dan menghancurkan tradisi tersebut. Oleh Modernis, tradisi dipahami sebagai suatu komunikasi pada pihak lain, dengan mengajarkan melalui rumusan-rumusan intelektual, suatu pengalaman asal. Pada rumusan tersebut, dengan menambahkan pada nilai keperwakilannya, mereka menambahkan sejenis kekuatan sugestif yang bekerja baik pada pribadi yang percaya maupun pada orang yang percaya, yang padanya berfungsi untuk menstimulasi sentimen religius jika sentimen itu tumbuh dengan lambat dan untuk membaharui pengalaman yang telah dimiliki, dan juga kepada mereka yang kurang percaya, untuk membangkitkan sentimen religius pertama kalinya dan untuk menghasilkan pengalaman bagi mereka. Dalam cara inilah pengalaman religius disebarkan kepada orang-orang, tidak hanya untuk generesi sekarang melalui pengajaran-pengajaran lisan tetapi juga untuk generasi mendatang melalui buku-buku dan penerusan penceritaan secara lisan dari satu orang ke orang lain. Kadang komunikasi tentang pengalaman religius ini mengakar dan tumbuh subur, kadang mengering dan mati. Bagi Modernis, dapat bertahan hidup adalah suatu bukti, karena bagi mereka hidup dan kebenaran adalah satu dan merupakan hal yang sama. Karena itulah sekali lagi mereka berkesimpulan bahwa semua agama yang hidup saat ini adalah sama-sama benar, karena jika tidak maka mereka tidak dapat bertahan hidup.

Iman dan Pengetahuan

16. Setelah sampai pada titik ini, Saudara-saudara yang terhormat, kita memiliki materi yang cukup bagi kita untuk melihat bagaimana Modernis memandang hubungan antara iman dan pengetahuan, termasuk sejarah yang berada di bawah nama pengetahuan. Dan pada tempat pertama haruslah dipegang bahwa obyek dari salah satunya sama sekali tidak berhubungan dan terpisah dari obyek yang lain. Iman hanya berhubungan dengan hal-hal yang oleh pengetahuan dianggap sebagai hal yang unkowable bagi pengetahuan. Dengan demikian masing-masing memiliki ruang lingkup yang terpisah : pengetahuan sepenuhnya berhubungan dengan realitas fenomena, yang sama sekali tidak dimasuki oleh iman; sebaliknya, iman behubungan dengan kenyataan ilahi yang sama sekali tidak dikenal oleh pengetahuan. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin terdapat perselisihan antara iman dan pengetahuan, karena jika masing-masing tetap berada di wilayahnya maka tidak akan pernah terjadi perjumpaan sehingga tidak akan pernah ada kontradiksi di antara keduanya. Dan jika terdapat keberatan bahwa di dunia yang kelihatan ini terdapat hal-hal yang termasuk dalam wilayah iman, seperti kehidupan manusiawi Kristus, Modernis akan menyangkalnya. Karena meskipun hal-hal seperti itu masuk dalam kategori fenomena, tetap saja selama hal-hal itu dihidupi oleh iman dan sebagaimana yang telah dijelaskan telah mengalami transifugasi dan disfigurasu oleh iman, hal-hal itu telah terpisah dari dunia yang terindera dan diterjemahkan menjadi hal-hal yang ilahi. Jika ditanya lebih lanjut apakah Kristus sungguh mengadakan mujizat dan melakukan nubuat-nubuat nyata, atau apakah Ia sungguh bangkit dari mati dan naik ke surga, jawaban dari pengetahuan agnostik akan menolak hal-hal tersebut dan jawaban dari iman akan mengakuinya, sehingga dalam hal ini tidak terdapat konflik di antara keduanya. Karena hal itu akan disangkal oleh para pemikir sebagai pemikir yang berbicara kepada pemikir dan hanya mempertimbangkan Kristus dalam kehidupan sejarah-Nya, dan hal-hal itu akan diakui oleh para pembicara yang berbicara kepada orang-orang yang percaya dan mempertimbangakn kehidupan Kristus sebagai hidup kembali oleh iman dan dalam iman.

Iman Tunduk Kepada Ilmu Pengetahuan

17. Akan menjadi kekeliruan besar jika menganggap bahwa, sesuai dengan teori-teori tadi, seseorang memiliki kewenangan untuk mengakui bahwa iman dan pengetahuan adalah saling mandiri satu sama lain. Dari sisi pengetahuan mungkin benar, tetapi sungguh berbeda keadaannya dengan iman, yang tunduk pada pengetahuan tidak pada satu dasar tetapi pada tiga dasar. Yang pertama adalah harus diamati bahwa dalam setiap kenyataan religius, jika Anda menghilangkan kenyataan ilahi dan pengalaman yang dimiliki oleh orang yang percaya, segala sesuatu, teristimewa rumusan religius tentangnya, masuk dalam lingkup fenomena dan masuk dalam kendali pengetahuan. Biarlah orang yang percaya meninggalkan dunia ini jika ia mau, tetapi selama ia masih di dunia ini ia harus, suka atau tidak suka, tunduk kepada hukum, pengamatan dan penilaian dari pengetahuan dan sejarah. Lebih jauh, jika dikatakan bahwa Allah hanya merupakan obyek dari iman saja, pernyataan tersebut hanya merujuk pada kenyataan ilahi bukan pada gagasan tentang Allah. Gagasan tentang Allah tunduk pada pengetahuan karena ia memfilosofikan ke dalam apa yang disebut sebagai tatanan logis yang menuju pada hal yang ideal dan absolut. Adalah wewenang filosofi dan pengetahuan untuk membentuk suatu kesimpulan sehubungan dengan gagasan mengenai Allah, untuk mengarahkannya pada evolusinya dan memurnikannya dari segala elemen asing yang dapat membingungkannya. Akhirnya, orang tidak dapat bertahan terhadap keberadaan dualisme dalam dirinya, sehingga orang yang percaya merasakan dalam dirinya dorongan untuk mengharmoniskan iman dengan pengetahuan, bahwa iman tidak akan pernah bertentangan dengan konsepsi umum pengetahuan mengenai semesta ini.

Maka dinyatakan bahwa pengetahuan sepenuhnya independen dari iman, sementara di lain pihak, meskipun mereka seharusnya asing satu sama lain, iman dibuat tunduk pada ilmu pengetahuan. Semua ini, Saudara-saudara yang terhormat, adalah oposisi formal terhadap terhadap ajaran Pendahulu Kami, Pius IX, di mana ia telah menyatakan bahwa :  Dalam hal agama, adalah tugas dari filsafat bukan untuk memerintah tetapi untuk melayani, bukan untuk meresepkan apa yang harus dipercayai tetapi untuk berpegang pada apa yang harus dipercayai dengan kepatuhan yang masuk akal, bukan untuk memeriksa dengan cermat kedalaman misteri Allah tetapi untuk menghormatinya dengan tulus dan rendah hati.

Modernis sepenuhnya membalikkan bagian ini, dan bagi mereka dapat ditujukan kata-kata Pendahulu Kami, Gregory IX, yang ditujukan kepada beberapa theolog pada masanya : Beberapa di antara kamu, dipompa oleh semangat kesia-siaan bekerja keras demi pembaharuan duniawi untuk menyeberangi batas yang ditentukan oleh para Bapa Gereja, memelintir pemahaman hal-hal surgawi,…kepada ajaran rasional filosofis, bukan demi keuntungan pendengar mereka tetapi untuk melakukan ‘show of science’…Hal-hal ini, digoda oleh doktrin yang aneh dan eksentrik, menjadikan kepala sebagai ekor dan memaksa ratu untuk melayani pelayan.

[bersambung]


Refleksi Pribadi mengenai Peran Gereja dalam Tata Keselamatan

Image result for sacrament icon

Keselamatan kekal adalah rahmat dari Allah. Tidak ada usaha manusia yang tanpa rahmat Allah dapat mencapai keselamatan kekal. Predestinasi baik dari paham Thomist maupun Molinist mengajarkan bahwa sejak semula Allah telah menetapkan beberapa untuk selamat. Ini berarti bahwa siapa yang selamat adalah wewenang penuh Allah.

Lalu, untuk apa Kristus mendirikan Gereja, jika ternyata menjadi anggota Gereja pun belum tentu selamat, jika tidak dipredestinasi selamat oleh Allah? Bukankah bisa saja seseorang saat ini menentang Gereja habis-habisan, tetapi saat meninggalnya tiba-tiba Allah memberinya rahmat pertobatan sehingga ia minta dibaptis? Tentang pertobatan yang drastis mendadak tersebut mungkin bisa diperdebatkan, tetapi dari pertobatan mendadak tadi tampak peran Gereja dalam tata keselamatan.

Kristus telah memberikan wewenang kepada Gereja untuk menyelenggarakan sakramen-sakramen. Tanpa Gereja, tidak akan ada Sakramen Baptis (walaupun dalam keadaan mendesak semua orang bisa membaptis), dan yang terutama, tidak akan ada Sakramen Pengampunan Dosa. Tanpa sakramen-sakramen itu, kita akan tetap dalam keadaan berdosa hingga kematian kita. Melalui sakramen-sakramen yang diselenggarakan Gereja, maka kita bisa berada dalam kedaan terampuni dosa-dosa kita saat kematian, sehingga kita bisa berharap bahwa kita akan terus memandang wajah Allah dalam kehidupan kekal.

Quick Question series: Salvation



Pertanyaan :
Dalam Yohanes 3:16 Yesus berkata, " Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Sudah jelas bahwa Alkitab menolak pandangan Katolik tentang keselamatan oleh iman ditambah karya. Ayat tersebut mengajarkan keselamatan hanya karena iman. Yang harus Anda lakukan adalah percaya, titik.


Jawaban :
Pertama-tama, pandangan Katolik tentang keselamatan bukanlah iman plus karya, jika karya yang Anda maksud adalah murni usaha manusia untuk mendapatkan perkenan Allah.

Katolik percaya bahwa keselamatan adalah karena anugerah, namun anugerah tidak harus dilawan, baik sebelum pembenaran (yaitu dalam keadaan tidak percaya) atau setelah pembenaran (dengan terlibat dalam dosa yang serius [tamb. : walaupun saat dalam keadaan terbenarkan seseorang tahu tentang apa yang menjadikan berdosa]). Baca hati-hati 1 Korintus 6, Galatia 5, dan Efesus 5.

Kedua, Alkitab tidak menggunakan istilah "pembenaran karena iman" atau "keselamatan hanya karena iman." Yang pertama adalah penemuan langsung Luther, yang kedua adalah temuan Luther melalui implikasi. Luther memasukkan "hanya" ke dalam terjemahan Jerman Roma 3:23 untuk memberikan kepercayaan pada doktrin barunya.

Tapi pertanyaan di atas berhubungan dengan Yohanes 3:16. Ya, ayat ini berbicara tentang daya penyelamatan oleh iman, tetapi tidak dalam arti mengurangi peran ketaatan kepada Kristus dalam proses menuju ke surga.

Bahkan, ayat tersebut mengasumsikan itu. Sama seperti fundamentalis mengabaikan ayat-ayat berikutnya sehubungan dengan apa arti sesungguhnya mengenai dilahirkan dari air dan Roh Kudus - mereka mengabaikan bagian air, yang mengacu pada baptisan - mereka juga mengabaikan konteks ketika menafsirkan kata-kata Kristus tentang memperoleh hidup yang kekal dalam Yohanes 3:16.

Dalam Yohanes 3:36 kita diberitahu, " Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya."

Hal ini meluas kepada Yohanes 3:16. Ini adalah cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan Paulus di Roma 6:23: "Sebab upah dosa adalah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita."

Meskipun kita tidak bisa mendapatkan perkenan Allah yang tidak melihat jasa kita, kita dapat menolak kasih-Nya dengan dosa-dosa kita (yaitu, dengan karya-karya jahat kita) dan dengan demikian kehilangan hidup kekal yang secara bebas Ia tawarkan kepada kita dalam Kristus.

http://www.catholic.com/thisrock/quickquestions/keyword/salvation/page6